• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH

LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

FAUZIAH ALHASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2006

(3)

ABSTRAK

FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS.

Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu 8.460 Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar 2.789 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570 Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan laha n, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.

(4)

FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS.

Landslide is the natural disaster that most frequently occurred in the study area of North Sumedang and South Sumedang subdistric. The existing of landslide hazard and risk map s are not yet adequate to be use in policy making. The aim of the research is to provide potential hazard and risk maps to mitigate landslide hazard using geographic information system technology. The result showed that most area in the North Sumedang and South Sumedang subdistrict is moderate landslide hazard covered 8.460 Ha (65,51%), high landslide hazard covered 2.798 Ha (21,67%), low landslide hazard covered 1.570 Ha (12,16%) and very low landslide hazard covered 85 Ha (0,66%). Combining landslide hazard with property value has produced map of landslide risk. Neverthe less most areas are low risk class (7.962 Ha/61,67%) and the high risk areas are only occurred in small places (568 Ha/4,4 %).This phenomena showed that area with high potential class of landslide hazard is not always having a high value of risk. The risk is determined by properties value such as: infrastructure, road network and land use, while the landslide hazardous class is determined by natural factors such as: slope, soil type, geology and land use.

(5)

© Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk

(6)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

FAUZIAH ALHASANAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk m emperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006

(7)

Judul Tesis : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunaka n Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Fauziah Alhasanah

NRP : P052030141

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul “Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat)”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekan-rekan di P3 -TISDA BPP Teknologi Jakarta.

Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.S c. dan Laju Gandharum, S.Si. penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do’a dan kesabarannya dalam mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal, M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga. Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding dalam pelaksanaan penelitian lanjutan.

Bogor, Juni 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta . Pada Agustus 2003 , penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah Pascasa rjana, Institut Pertanian Bogor.

(10)

Untuk dia yang mampu memberi sepercik asa

A friend in need is a friend indeed

(11)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 5 1.4. Kegunaan Penelitian... 5 1.5. Kerangka Pemikiran... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Proses Terjadinya Longsor ... 8

2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa... 10

2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor... 14

2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor ... 16

2.5. Mitigasi Bencana Tanah Longsor... 16

2.6. Sistem Informasi Geografis... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN... 22

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 22

3.2. Bahan dan Alat Penelitian... 22

3.3. Metodologi... 22

3.3.1. Persiapan ... 22

3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik ... 23

3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor ... 23

3.3.4. Validasi Lapangan... 26

3.3.5. Analisis Ulang... 26

3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko ... 26

3.3.6.1. Peta Properti ... 27

3.3.6.2. Peta Risiko Longsor... 27

3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian... 31

4.1.1. Administrasi dan Kependudukan... 31

4.1.2. Curah Hujan ... 35 4.1.3. Suhu ... 36 4.1.4. Topografi ... 36 4.1.5. Hidrologi ... 40 4.1.6. Penggunaan Lahan ... 40 4.1.7. Geologi... 43 4.1.8. Jenis Tanah ... 44 4.2. Bencana Longsor... 47

4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor... 49

(12)

4.4.3. Jenis Tanah ... 54

4.4.4. Geologi... 55

4.4.5. Tutupan Lahan... 56

4.5. Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor ... 57

4.5.1. Peta Infrastruktur... 58

4.5.2. Peta Jaringan Jalan ... 59

4.5.3. Peta Penggunaan Lahan ... 60

4.5.4. Peta Risiko Tanah Longsor... 63

4.6. Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor... 68

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 74

5.1. Kesimpulan... 74

5.2. Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA... 76

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor ... 16

2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor... 24

3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor... 26

4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 32

5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan ... 33

6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang………... 35

7. Kelas Lereng dan Luasannya ... 37

8. Jenis Penggunaan Lahan Luasannya ... 40

9. Satuan Batuan Beserta Luasannya... 44

10. Jenis Tanah Beserta Luasannya ... 46

11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor. 48

12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan ... 49

13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor ... 50

14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor... 50

15. Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng ... 54

16. Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor ... 55

17. Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor ... 56

18. Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor ... 57

19. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur... 58

20. Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan... 60

21. Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan... 61

22. Matriks Penentuan Nilai Risiko ... 63

23. Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya ... 65

24. Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan... 66

25. Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ... 68

26. Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan... 72

(14)

1. Diagram Alir K erangka Pemikiran Penelitian ... 7

2. Diagram Tipe Gerakan Massa... 14

3. ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya ... 15

4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana ... 17

5. Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor... 17

6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor... 28

7. Diagram Alir Tahap Penelitian... 30

8. Lokasi Penelitian ... 31

9. Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang Selatan ... 34

10. Peta Kontur... 38

11. Peta Kelas Lereng... 39

12. Peta Penggunaan Lahan ... 41

13. Citra ASTER tahun 2003... 42

14. Peta Geologi... 45

15. Peta Tanah Tinjau ... 46

16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor ... 52

17. Peta Bahaya Tanah Longsor... 53

18. Peta Properti ... 62

19. Peta Risiko Tanah Longsor... 64

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(16)

1.1. Latar Belakang

Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997).

Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan.

Tanah longsor dikategorikan sebaga i salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam.

Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut me rupakan banjir dan longsor (Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup signifikan.

Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

(17)

2

Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Ba horok (Sumatera Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka -luka yang mencapai ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur). Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah.1

Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik.

Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1.

Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan pada t penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan . Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya. Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992)

1

(18)

menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya.

Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor.

Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum (2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial menelan korban jiwa dalam jumlah besar.

Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000 . Padahal, idealnya skala yang harus dibuat adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui secara detail (Asriningrum 2003).

Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah longsor.

(19)

4

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah , struktur geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya, Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya.

1.2. Perumusan Masalah

Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.

Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan rata-rata 40 cm per hari pada musim hujan.

Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.

Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian , beban lereng menjadi bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang

(20)

menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang memungkinkan terjadinya gerakan tanah.

Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut, yaitu :

a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan?

b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor? c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan

menggunakan teknologi SIG?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan.

c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah long sor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan .

1.4. Kegunaan Penelitian

a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang.

b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fen omena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami

(21)

6

kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, d efinisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya , jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.

Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.

Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan.

Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date. Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor.

Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran, pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan datang.

Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan

(22)

gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan secara umum.

Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram alir berikut.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Terjadinya Longsor

Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur.

Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno (1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan, gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance, longsoran (landslide ), nendatan (slump), longsoran hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal. Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya.

Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut :

α

sin

W

F

=

dimana : F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²)

W : Berat massa batuan di suatu titik

α

: Sudut lereng

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya

(24)

dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono 2005).

Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung faktor keamanan (Factor of safety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

Gaya yang menahan Fs =

Gaya yang meluncurkan

Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan (Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan, akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah.

Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut: a. Komposisi dan tekstur material.

b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan seragam.

c. Reaksi kimia.

d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung. e. Pengaruh tekanan air pori.

f. Perubahan struktur material karena pe ngaruh pelapukan. g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.

Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain :

a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.

(25)

10

b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan diatas lereng, dan genangan air di atas lereng.

c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.

d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan.

e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan pengembangan tanah.

f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan

vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak.

h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor.

i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yan g mendorong terjadinya longsor.

2.2. Pengertian dan Batasan Gerakan Massa

Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.

(26)

Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.

Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa, menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

a. Jatuhan (Falls)

Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membentur-bentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan. Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan.

Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls, yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil. Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh.

b. Robohan (Topples)

Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide).

c. Longsoran (Slides)

Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.

(27)

12

d. Nendatan (Slump)

Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen kohesif yang tebal seperti lempung.

Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang. Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan melemahkan le mpung yang berada di bawahnya.

e. Aliran (Flow)

Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung.

Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia.

Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur, tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas, yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng.

Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut, adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya

(28)

cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya.

Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada, mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow leb ih sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi dengan slump.

Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka alirannya tidak secepat mudflow.

f. Kompleks/Campuran (Complex)

Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya mudflows).

g. Avalanches

Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang lain, karena dalam media yang ada ikut berperan.

h. Solifluction

Gerakan massa tipe ini te rmasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan.

Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas secara visual disajikan dalam Gambar 2.

(29)

14

2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor

Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang terlihat dalam skema dalam Gambar 3.

Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa

(menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990)

Translational TOPPLES SLIDES Rotational FLOWS COMPLEX Rock Fall Rock topple Rotational slump Rock slide Rock Avalanche

Rock fragmen flow (flow slide)

Soil fall

Debris topple

Slides

Earth block slide

Debris flow Sand or silt flow

Earth flow

Debris avalanche Sand run

ROCK coarse SOILS fine-grained

Joint opened Original support removed FALLS source area main track depositional area rock fall

flow tongue of rock debris

mixed sediments undercut by river clay-gravel clean sand main scarp head graben slip surface toe pressure ridge

failure along faults

dip slope control by bedding planes scarp face

control by joints

(30)

Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen -komponen Penyebabnya (Karnawati 2004)

Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak.

Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama.

Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.

(31)

16

Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor

No. Faktor Penyebab Parameter

1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 1. Faktor Pemicu Dinamis

3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah

6. Permeabilitas Tanah 2. Faktor Pemicu Statis

7. Tekstur Tanah

Sumber: Goenadi et al. (2003)

2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor

Mikrozoning (risk mapping ) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto 2001).

Pembuatan peta risiko tanah long sor dapat dilakukan berdasarkan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers dan Soeters 1993 dalam Barus 1999).

2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor

Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab terjadinya bencana.

(32)

Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004)

Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam mengindetifikasi langkah -langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut.

(33)

18

Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta (risk ) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut.

Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut :

) )( ( ) )( (E Rs E HxV Rt = = dimana : Rt : Risiko

E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya

V : Kerentanan

Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang memiliki risiko pada suatu area.

Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total).

Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan disebut dengan rencana mitigasi.

Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam

(34)

pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama-sama dan saling memperkuat.

Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan.

2.6. Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan.

SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough 1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan. Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG dalam pemetaan, antara lain :

a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar, khususnya dalam peta tematik.

b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer. c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan

remote sensing.

d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai media (peta, foto udara, dan citra satelit).

e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi informasi dari berbagai peta.

Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Klasifikasi/Reklasifikasi

Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.

(35)

20

b. Overlay

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan.

Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarn ya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat.2 Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah.

Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah penggambaran kondisi daerah yang bersang kutan dan pada domain inilah peran data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra satelit.

Peta -peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor, dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Prose s penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan spasial.

2

(36)

Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai informasi terbaru yang akurat.

(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember 2005. Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta.

3.2 . Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM Kabupaten Sumedang path-row 121-065 akuisisi 18 September tahun 1996, Landsat ETM7+ path-row 121 -065 akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7, Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System (GPS).

3.3 . Metodologi

Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapan-tahapan berikut, yaitu :

a. Persiapan.

b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik.

c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor. d. Validasi lapangan.

e. Analisis ulang.

f. Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor. g. Penyajian hasil penelitian.

3.3.1. Persiapan

Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan “historical event” tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang tanah longsor.

(38)

3.3.2. Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik

Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi).

a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah)

Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau skala 1:50.000 Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor.

b. Peta Kontur

Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan Peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. c. Peta Penggunaan Lahan

Peta Penggunaan Lahan/Land Use , skala 1:25.000 (Bakosurtanal) direvisi dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan.

d. Peta Geologi

Peta Geologi, skala 1:100.000 (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan dasar untuk pengelompokkan kondisi geologi/litologi sebagai faktor kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu lereng.

e. Peta In frastruktur

Peta Infrastruktur diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal).

f. Peta Jaringan Jalan

Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1:25.000 (Bakosurtanal).

Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor.

3.3.3. Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC 321) tahun 2003 pada lokasi longsoran. Interpretasi citra adalah penafsiran suatu

(39)

24

objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga akan dihasilkan tutupan lahan terkini.

Adapun cara memperbaharui (up-dating ) Peta Tutupan Lahan dilakukan dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun 2003. Hal ini diperlukan karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru.

Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia. Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor

No. Parameter Nilai Harkat (Skor )

I Curah hujan (mm/tahun)

a. sangat basah (>3000 mm) 5 b. basah (2501 – 3000 mm) 4 c. sedang/lembab (2001 – 2500 mm) 3 d. kering (1501 – 2000 mm) 2 e. sangat kering (> 1500 mm) 1 II Kelerengan (%) a. > 45 5 b. 30 – 45 4 c. 15 – 30 3 d. 8 – 15 2 e. < 8 1

III Permeabilitas tanah

a. sangat lambat 5 b. lambat 4 c. agak cepat/sedang 3 d. cepat 2 e. sangat cepat 1 IV Tutupan lahan a. tegalan, sawah 5 b. semak -belukar 4

c. hutan dan perkebunan 3

d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf 2

e. tambak, waduk, dan perairan 1

V Geologi

a. batuan volkanik (tuf, pasir) 3

b. batuan sedim en (liat, napal) 2

c. batuan berbahan resent (aluvial) 1

Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah nilai dari parameter. Diacu dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004

(40)

Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan .

Dasar penggunaan skor da lam pembuatan peta bahaya tanah longsor mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah longsor ditentukan dengan bobot dan skor.

Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan hanya skor.

Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat, diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1.

Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu ) akan berpotensi tergelincir menjadi longsor.

Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Siste m Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon). Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan (iv) tidak rawan. Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)

(41)

26

Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii) Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci, parameter-parameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Poten sial) Tanah Longsor

Kelas Parameter

Sangat Rawan - Kelerengan di atas 30%

- Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat - Curah hujan >2.000 mm/tahun

- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan

- Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik Rawan - Kelerengan di atas 15%

- Permeabilitas tanah agak cepat/sedang

- Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan

- Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik Kurang Raw an - Kelerengan di atas 8%

- Permeabilitas tanah cepat

- Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman Tidak Rawan - Kelerengan kurang dari 8%

- Permeabilitas cepat

- Satuan batuan pada umumnya berbahan resent - Penggunaan lahan berupa pemukiman

Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah)

3.3.4. Validasi Lapangan

Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait). Hasil dari validasi lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis ulang.

3.3.5. Analisis Ulang

Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil survai lapangan.

(42)

3.3.6. Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko

Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor.

3.3.6.1. Peta Properti

Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan infrastruktur lainnya).

Peta properti diperoleh dengan “menggabungkan” peta penggunaan lahan dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.

3.3.6.2. Peta Risiko Longsor

Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan informasi wilayah -wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara skematis disajikan dalam Gambar 6.

(43)

28

Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor

Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta , yaitu peta infrastruktur dan peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta penggunaan lahan dan peta bahaya , karena batasannya sudah diketahui.

Buffering dilakukan pada data titik dan ga ris untuk mendapatkan suatu poligon,

dengan atribut skor yang telah ditentukan.

Proses selanjutnya adalah melakukan griding, yaitu melakukan perubahan terhadap format data keempat peta tersebut dari bentuk vektor menjadi raster. Kemudian, data hasil griding dianalisis dengan menggunakan software Global

Mapper untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemrosesan data pada

tahapan berikutnya.

Dari gambar di atas juga terlihat bahwa proses ini menggunakan software SPSS yang berguna untuk membaca titik koordinat (x dan y) dan skor (z) di setiap pixel pada masing-masing peta. Setelah melalui proses dengan menggunakan beberapa software, diperoleh hasil penggabungan berupa skor

(44)

pada masing-masing peta. Nilai skor yang diperoleh tersebut, selanjutnya dilakukan reklasifikasi (pengelompokan kembali) dengan menggunakan software ArcView, sehingga menghasilkan nilai risiko sebagai dasar dalam pembuatan peta risiko tanah longsor.

3.3.7. Mitigasi Bencana Tanah Longsor

Dalam melakukan upaya mitigasi bencana diperlukan tahapan kegiatan yang dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai upaya yang harus dilakukan. Tahapan -tahapan tersebut meliputi pengkajian potensi bencana, analisis kerawanan, dan analisis risiko bencana. Setelah dihasilkan Peta Risiko Tanah Longsor, perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi berbagai alternatif tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan mananggulangi bencana tanah longsor.

Tahapan penelitian secara sistematik sebagaimana diuraikan di atas secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut.

(45)

30

(46)

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian 4.1.1. Administrasi dan Kependudukan

Kabupaten Sumedang terletak pada 06º48′25″-06º56′50″ Lintang Selatan

dan 107º51′10″-107º58′30″ Bujur Timur serta berada pada ketinggian 25-1.001 m dpl. Bata s-batas administrasi Kabupaten Sumedang sebelah utara

berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung, serta sebelah timur barbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gambaran spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 .

KAB. S UBAN G

#

SUMED ANG U TARA

#

SUMED ANG SELATAN KAB. I N DR AMAYU

KAB. BAND UNG

KAB. GAR UT

KAB. MAJALEN GKA

7 °0 0 ' 7 °0 0 ' 6 °5 0 ' 6 °5 0 ' 6 °4 0 ' 6 °4 0 ' 107°40' 107°40' 107°50' 107°50' 108 °00' 108 °00' 108°10' 108°10' 108 108 -7 -7

PETA KABUPATEN SUMEDANG DAN SEKITARNYA

LOKASI PENELITIAN KABUPAT EN SUMEDANG, PRO VINSI JAWA BARAT

N Keterangan : Batas Kabupaten Kecamatan-kecamatan di Kab. Sumedang Sumedang Selatan Sumedang Utara 4 0 4 8 Km

(47)

32

Penyebaran penduduk di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sumedang Selatan, Sumedang Utara, dan Cimalaka . Penyebaran yang tidak merata tersebut karena pusat kegiatan pendidikan , ekonomi, hiburan , pemukiman, dan industri lebih banyak berada di kecamatan-kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Surian 11.330 2 Cisarua 18.500 3 Cibugel 19.910 4 Ganeas 21.870 5 Tomo 22.238 6 Tanjungmedar 23.318 7 Jatigede 23.955 8 Cisitu 25.441 9 Ujungjaya 28.303 10 Sukasari 28.420 11 Conggeang 29.266 12 Buahdua 31.272 13 Tanjungkerta 32.127 14 Situraja 33.426 15 Paseh 35.564 16 Rancakalong 36.227 17 Darmaraja 36.238 18 Jatinunggal 40.330 19 Wado 42.664 20 Pamulihan 48.263 21 Cimalaka 51.725 22 Tanjungsari 63.962 23 Cimanggung 64.421 24 Sumedang Selatan 65.190 25 Sumedang Utara 75.754 26 Jatinangor 87.238

Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2003)

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten Sumedang per kecamatan pada tahun 2003 sebanyak 996.952 jiwa . Selain itu, dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan termasuk wilayah yang memiliki jumlah penduduk di atas 60.000 jiwa.

(48)

Secara geografis, letak kedua kecamatan tersebut berada pada posisi 06º81´-06º96´ Lintang Selatan dan 107º85´-107º97´ Bujur Timur. Adapun secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan terdiri dari 24 desa dengan luas wilayah mencapai

±12.914 ,80 Ha. Peta orientasi lokasi Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan disajikan dalam Gambar 9. Adapun pembagian wilayah (desa) dan luasan dari desa di dua kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan

Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 1999

No. Nama Kecamatan/Desa Jumlah (Ha) Sumedang Selatan 1 Baginda 383,16 2 Ciherang 654,56 3 Cipameungpeuk 610,96 4 Cipancar 1.487,17 5 Citengah 1.511,48 6 Gunasari 804,10 7 Pasanggrahan 1.211,16 8 Regol Wetan 642,79 9 Kota Kulon 318,53 10 Meruya Mekar 601,14 11 Sukagalih 117,78 12 Sukajaya 1.404,19 Sumedang Utara 13 Jatihurip 125,20 14 Jatimulya 478,68 15 Kebonjati 43,02 16 Kota Kaler 381,95 17 Girimukti 147,29 18 Margamukti 449,05 19 Mekarjaya 199,32 20 Mulyasari 516,59 21 Padasuka 149,31 22 Sirnamulya 277,04 23 Situ 228,44 24 Talun 171,88 Total 12.914,80

Gambar

Gambar 1.  Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa
Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen -komponen  Penyebabnya (Karnawati  2004)
Gambar 5. Manajemen Risiko  Ben cana Tanah longsor (Kotter 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel tingkat potensi longsor tersebut menunjukkan bahwa tingkat potensi tanah longsor yang berada di Kecamatan Dlingo didominasi oleh tingkat sedang dan menunjukkan

Di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dari hasil overlay kesepuluh faktor penyebab longsor diperoleh 5 (lima) kelas tingkat rawan bencana longsor, meliputi ;

(c) Pada daerah sangat rawan longsor penutupan lahan yang mendominasi adalah hutan dengan jenis tanah Podsolik merah kekuningan dengan batuan bahan Volkanik-1 yang didominasi

adalah Kecamatan Tanah Jawa dengan luas 49.175 ha, sedangkan yang paling kecil. luasnya adalah Kecamatan Dolog Pardamean dengan luas

3 Peta klasifikasi tutupan lahan Kabupaten Tanah Datar 15 4 Peta klasifikasi kemiringan lereng Kabupaten Tanah Datar 18 5 Peta klasifikasi curah hujan Kabupaten Tanah Datar 21 6

74 Berdasarkan hasil dari setiap kelas tingkat kerawanan tanah longsor di Kabupaten Samosir tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat kerawanan sedang memiliki luas

Daerah dengan kategori longsor rendah dengan interval (2,34-3,67) Pada tingkat kerawanan sedang ini variabel yang mempengaruhi terjadinya tanah longsor yaitu

Penelitian ini dilakukan untuk mengintrepetasikan kejadian longsor yang terjadi di Kecamatan Nanggung dalam bentuk peta longsor berdasarkan peta jenis tanah, peta