• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (STUDI KASUS: KABUPATEN SAMOSIR) SHEIKA AZZAHRA LUBIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (STUDI KASUS: KABUPATEN SAMOSIR) SHEIKA AZZAHRA LUBIS"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

(STUDI KASUS: KABUPATEN SAMOSIR)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana S1 pada Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara

SHEIKA AZZAHRA LUBIS 17 0404 059

BIDANG STUDI GEOTEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

i ABSTRAK

Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia.

Tanah longsor didefinisikan sebagai salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng. Dampak dari tanah longsor dapat merugikan berbagai aspek yang menghambat aktifitas masyarakat.

Sehingga perlu dilakukannya pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam pemetaan daerah yang berpotensi terjadinya tanah longsor dalam upaya mitigasi sehingga meminimalisir dampak dari tanah longsor tersebut.

Pada penelitian ini pemetaan daerah rawan longsor dilakukan di Kabupaten Samosir dengan mengacu pada model pendugaan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian (2004). Parameter yang digunakan yaitu curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, penutupan lahan, dan jenis tanah. Analisis pada penelitian ini dengan metode pengharkatan (scoring) dan overlay untuk mendapatkan kelas tingkat kerawaanan longsor dengan menggunakan aplikasi ArcGIS 10.8.

Berdasarkan hasil analisis peta tingkat kerawanan longsor di Kabupaten Samosir terdapat 4 kelas tingkat kerawanan yaitu kelas kerawanan rendah (105,1172 km2), kelas kerawanan sedang (782,7077 km2), kelas kerawanan tinggi (487,9 km2), dan kelas kerawanan sangat tinggi (25,9826 km2). Terdapat 7 kecamatan yang didominasi oleh tingkat kerawanan longsor sedang yaitu Kecamatan Simanindo, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kecamatan Palipi, Kecamatan Pangururan, Kecamatan Ronggurnihuta Kecamatan Nainggolan, dan Kecamatan Onanrunggu.

Sedangkan 2 kecamatan lainnya didominasi oleh tingkat kerawanan longsor tinggi yaitu Kecamatan Harian dan Kecamatan Sitiotio.

Kata kunci: Longsor, Sistem Informasi Geografis (SIG), Kabupaten Samosir, Citra Satelit

(5)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Penulisan Tugas Akhir yang berjudul “ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (STUDI KASUS: KABUPATEN SAMOSIR)” ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang berperan penting yaitu:

1. Terutama kepada kedua orang tua saya, Dra. Enny Agus dan Ir. Herry Lubis, M.T., serta abang-abang saya Abdel Renzy Lubis, S.E., M.M., Achmed Kahfi Lubis, S.E., kakak-kakak saya Syafira Balqis Lubis, S.Psi., Nazli Aulia, S.E. dan seluruh keluarga saya yang telah memberikan dukungan penuh, nasehat, motivasi serta mendoakan saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

2. Ibu Ika Puji Hastuty, S.T., M.T. selaku pembimbing yang sangat banyak memberikan dukungan, masukan, bimbingan serta meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran kepada saya untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Ir. Medis Sejahtera Surbakti, M.T., Ph.D (Almarhum) selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. M. Ridwan Anas, S.T., M.T. selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE selaku Koordinator KBK Geoteknik dan Dosen Penguji yang telah memberikan masukan, arahan, dan bimbingan kepada penulis.

(6)

iii 6. Bapak Ir. Rudi Iskandar, M.T. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan masukan, arahan, dan bimbingan kepada penulis.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Pengajar Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan memberikan pengajaran kepada saya selama menempuh masa studi di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh staf administrasi Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan selama ini kepada penulis.

9. Teman-teman saya sedari SMA, Ninis, Dijah, Fairuz, Luvi, dan Icut yang memberikan motivasi dan menghibur saya.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2017 khususnya Fifi, Indri, Fatimah, Fira, Latifa, Rijul, Devi, dan Jeje yang telah banyak mendukung, membantu, dan menghibur selama proses perkuliahan ini.

11. Keluarga Laboratorium Mekanika Tanah FT USU, Kak Yayang, Bang Farid, Bang Agung, Bang Okta, Bang Mumut, Farhan, Hariri, Aidil, dan Rizky yang telah banyak memberikan ilmu kepada saya.

12. Abang dan kakak stambuk 2014, 2015 dan 2016 yang sangat banyak memberikan arahan dan masukan serta perhatiannya kepada penulis dalam pengerjaan Tugas Akhir serta mengenal dunia perkuliahan di Teknik Sipil.

13. Seluruh rekan-rekan yang tidak mungkin saya tuliskan satu-persatu atas dukungannya yang sangat baik.

Saya menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak dan Ibu Staf Pengajar serta rekan – rekan mahasiswa demi penyempurnaan Tugas Akhir ini.

(7)

iv Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga laporan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, September 2021 Penulis,

Sheika Azzahra Lubis 17 0404 059

(8)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Tanah Longsor ... 5

2.1.1. Pengertian ... 5

2.1.2. Jenis-jenis ... 6

2.1.3. Faktor-faktor penyebab longsor ... 9

2.1.4. Mekanisme tanah longsor ... 14

2.1.5. Kawasan rawan longsor ... 15

2.1.6. Tipologi kawasan rawan bencana longsor berdasarkan penetapan zonasi ... 16

2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 17

2.2.1. Komponen SIG ... 17

2.2.2. Tugas utama SIG ... 18

2.2.3. Data spasial ... 19

2.2.4. Format data spasial ... 20

2.3. Studi Literatur ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Umum ... 25

3.2. Lokasi Penelitian ... 25

3.3. Alat dan Bahan Penelitian ... 26

(9)

vi

3.4. Parameter Penelitian ... 26

3.5. Prosedur Penelitian ... 27

3.6. Tahap Pengolahan Data ... 27

3.6.1. Pemetaan tingkat kerawanan tanah longsor ... 27

3.6.2. Pembuatan peta ... 31

3.7. Alur Penelitian ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1. Karakteristik Geografis Lokasi Penelitian... 45

4.2. Peta Parameter-Parameter Penyebab Tanah Longsor ... 47

4.2.1. Curah hujan ... 47

4.2.2. Jenis batuan ... 50

4.2.3. Kemiringan lereng ... 55

4.2.4. Penutupan lahan ... 58

4.2.5. Jenis tanah ... 61

4.3. Analisis Kerawanan Tanah Longsor ... 65

4.4. Distribusi Kerawanan Tanah Longsor ... 66

4.5. Pengecekan Lokasi Kejadian Tanah Longsor Melalui Citra Satelit Google Earth ... 81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1. Kesimpulan ... 87

5.2. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

(10)

vii DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi curah hujan harian... 11

Tabel 2. 2 Klasifikasi kemiringan lereng ... 12

Tabel 2. 3 Kelas penutupan lahan ... 13

Tabel 3. 1 Nilai pembobotan curah hujan ... 29

Tabel 3. 2 Nilai pembobotan jenis batuan ... 29

Tabel 3. 3 Nilai pembobotan kemiringan lereng ... 29

Tabel 3. 4 Nilai pembobotan penutupan lahan ... 29

Tabel 3. 5 Nilai pembobotan jenis tanah ... 30

Tabel 4. 1 Luas kecamatan di Kabupaten Samosir ... 45

Tabel 4. 2 Curah hujan Kabupaten Samosir... 47

Tabel 4. 3 Curah hujan berdasarkan luas wilayah per kecamatan ... 48

Tabel 4. 4 Jenis batuan Kabupaten Samosir... 52

Tabel 4. 5 Jenis batuan berdasarkan luas wilayah per kecamatan ... 53

Tabel 4. 6 Kemiringan lereng Kabupaten Samosir ... 55

Tabel 4. 7 Kemiringan lereng berdasarkan luas wilayah per kecamatan ... 56

Tabel 4. 8 Penutupan lahan Kabupaten Samosir ... 58

Tabel 4. 9 Penutupan lahan berdasarkan luas wilayah per kecamatan ... 59

Tabel 4. 10 Jenis Tanah Kabupaten Samosir ... 63

Tabel 4. 11 Jenis tanah berdasarkan luas wilayah per kecamatan ... 63

Tabel 4. 12 Interval tingkat kerawanan tanah longsor di Kabupaten Samosir... 65

Tabel 4. 13 Kawasan longsor yang memiliki tingkat kerawanan rendah ... 67

Tabel 4. 14 Kawasan longsor yang memiliki tingkat kerawanan sedang ... 69

Tabel 4. 15 Kawasan longsor yang memiliki tingkat kerawanan tinggi ... 71

Tabel 4. 16 Kawasan longsor yang memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi .... 73

Tabel 4. 17 Luas wilayah setiap tingkat kerawanan longsor ... 74

Tabel 4. 18 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Harian ... 76

Tabel 4. 19 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Simanindo... 76

Tabel 4. 20 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Sianjur Mulamula .. 77

Tabel 4. 21 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Palipi... 78

Tabel 4. 22 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Pangururan ... 78

Tabel 4. 23 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Ronggurnihuta ... 79

(11)

viii

Tabel 4. 24 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Nainggolan ... 79

Tabel 4. 25 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Onanrunggu ... 80

Tabel 4. 26 Hasil proses overlay 5 parameter di Kecamatan Sitiotio ... 80

Tabel 4. 27 Dominasi tingkat kerawanan longsor di setiap kecamatan ... 81

(12)

ix DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Longsoran translasi ... 6

Gambar 2. 2 Longsoran rotasi ... 7

Gambar 2. 3 Pergerakan blok ... 7

Gambar 2. 4 Runtuhan batu ... 8

Gambar 2. 5 Rayapan tanah ... 8

Gambar 2. 6 Aliran bahan rombakan ... 9

Gambar 2. 7 Data vektor ... 20

Gambar 2. 8 Data raster ... 21

Gambar 3. 1 Lokasi penelitian ... 25

Gambar 3. 2 Menu arc catalog ... 32

Gambar 3. 3 Kotak dialog raster dataset properties... 32

Gambar 3. 4 Mengatur koordinat ... 33

Gambar 3. 5 Proses georeferencing ... 33

Gambar 3. 6 Membuat shapefile baru ... 34

Gambar 3. 7 Mengatur koordinat pada shapefile baru ... 34

Gambar 3. 8 Tampilan table of content ... 35

Gambar 3. 9 Kotak dialog start editing ... 36

Gambar 3. 10 Proses digitasi ... 36

Gambar 3. 11 Tampilan save edits dan stop editing ... 37

Gambar 3. 12 Tampilan open attribute table ... 37

Gambar 3. 13 Kotak dialog add field ... 38

Gambar 3. 14 Tampilan attribute baru “JENIS TANAH” ... 38

Gambar 3. 15 Proses menampilkan keterangan attribute ... 39

Gambar 3. 16 Proses menampilkan data dengan symbology ... 40

Gambar 3. 17 Proses mengatur halaman layout ... 41

Gambar 3. 18 Tampilan data frame properties ... 41

Gambar 3. 19 Pemilihan grid ... 42

Gambar 3. 20 Pemilihan tampilan measured grid ... 42

Gambar 3. 21 Tampilan tab insert ... 43

Gambar 3. 22 Peta jenis tanah Kabupaten Samosir ... 43

Gambar 3. 23 Diagram alir penelitian ... 44

(13)

x

Gambar 4. 1 Peta batas administrasi kecamatan di Kabupaten Samosir ... 46

Gambar 4. 2 Peta curah hujan Kabupaten Samosir ... 49

Gambar 4. 3 Peta jenis batuan Kabupaten Samosir ... 54

Gambar 4. 4 Peta kemiringan lereng Kabupaten Samosir ... 57

Gambar 4. 5 Peta penutupan lahan Kabupaten Samosir ... 60

Gambar 4. 6 Peta jenis tanah Kabupaten Samosir ... 64

Gambar 4. 7 Peta tingkat kerawanan tanah longsor Kabupaten Samosir ... 75

Gambar 4. 8 Kondisi lapangan Kecamatan Harian ... 82

Gambar 4. 9 Kondisi lapangan Kecamatan Simanindo ... 82

Gambar 4. 10 Kondisi lapangan Kecamatan Sianjur Mulamula ... 83

Gambar 4. 11 Kondisi lapangan Kecamatan Palipi ... 83

Gambar 4. 12 Kondisi lapangan Kecamatan Pangururan ... 84

Gambar 4. 13 Kondisi lapangan Kecamatan Ronggurnihuta ... 84

Gambar 4. 14 Kondisi lapangan Kecamatan Nainggolan ... 85

Gambar 4. 15 Kondisi lapangan Kecamatan Onanrunggu ... 85

Gambar 4. 16 Penampakan 3D daerah Kecamatan Sitiotio ... 86

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di Indonesia.

Selain diakibatkan dari aspek geografisnya, aspek klimatologis juga berpengaruh, dimana Indonesia beriklim tropis dengan curah hujan tinggi yang memudahkan terjadi pelapukan pada tanah. Tidak stabilnya kondisi tanah akan mengakibatkan potensi terjadinya bencana longsor meningkat. Longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun 2020 telah terjadi 572 kejadian tanah longsor di seluruh Indonesia yang mengakibatkan adanya korban jiwa, kerusakan rumah sebanyak 1.681 unit dimana rusak berat 444 unit, rusak sedang 343 unit, dan rusak ringan 894 unit (BNPB, 2020).

Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang rawan terhadap terjadinya tanah longsor. Menurut BNPB (2020) Provinsi Sumatera Utara memiliki tingkat bahaya sedang hingga tinggi. Kejadian tanah longsor di Provinsi Sumatera masih menjadi masalah yang besar karena dampak yang ditimbulkan sangat buruk di berbagai aspek sehingga menghambat aktifitas masyarakat. Seperti dapat merusak pemukiman, lahan pertanian, infrastruktur (jalan, jembatan,dan saluran drainase), dll sehingga mengganggu kondisi sosial maupun ekonomi.

Oleh karena itu, informasi mengenai kemungkinan-kemungkinan terjadinya tanah longsor perlu diketahui oleh masyarakat seperti pemetaan tingkat kerawanan longsor agar meminimalisir dampak yang terjadi.

1.2 Rumusan Masalah

Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang rawan terjadi tanah longsor yaitu Kabupaten Samosir. Hal ini dikarenakan Kabupaten Samosir berada di tengah Danau Toba dan termasuk ke dalam Bukit Barisan sehingga menjadikan Kabupaten Samosir terletak pada wilayah dataran tinggi dengan topografi dan kontur tanah yang berbukit dan bergelombang dengan ketinggian antara 904 – 2.157 mdpl (BPS Kabupaten Samosir, 2020). Selain itu, curah hujan yang tinggi juga menjadi

(15)

2 faktor utama penyebab terjadinya tanah longsor dimana sepanjang tahun 2019, rata- rata curah hujan per bulan tertinggi terdapat di Kecamatan Onan Runggu yaitu 312 mm per bulan sedangkan yang terendah terdapat di Kecamatan Palipi yaitu 79 mm per bulan (BPS Kabupaten Samosir, 2020). Dari segi batuan penyusunnya, Kabupaten Samosir umumnya didominasi oleh material letusan gunung api yang sudah berusia ribuan tahun dikarenakan berada pada wilayah aktifitas vulkanik.

Jumlah penduduk Kabupaten Samosir pada tahun 2019 adalah sebanyak 126.188 jiwa. Dengan jumlah penduduk tersebut tentu banyak terjadi aktifitas yang membutuhkan penggunaan lahan sehingga mengakibatkan penambahan beban pada permukaan lereng. Berdasarkan PVMBG (2020) Kabupaten Samosir pada bulan Maret 2020 merupakan wilayah yang memiliki potensi menengah-tinggi untuk terjadi gerakan tanah.

Beberapa hal yang disebutkan di atas merupakan faktor yang menyebabkan Kabupaten Samosir rawan terhadap kejadian tanah longsor. Bencana tanah longsor yang terjadi sangat berdampak buruk di berbagai aspek yang menghambat aktifitas masyarakat. Sudah banyak tercatat kejadian tanah longsor di Kabupaten Samosir seperti kejadian tanah longsor di Desa Huta Ginjang Atas, Kecamatan Simanindo pada 13 Desember 2019 yang disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi, akibatnya jalan penghubung di daerah wisata tersebut tertutup oleh tanah longsoran.

Pada Oktober 2017 juga terjadi tanah longsor di Kecamatan Onan Runggu yang mengakibatkan jalan dan jembatan terancam, satu tempat ibadah terancam, dan satu buah makam rusak. Menurut Kementerian ESDM Badan Geologi penyebabnya yaitu endapan aluvium yang tidak padu, erosi pengaruh kelerengan, dan curah hujan yang lebat berlangsung lama sebelum dan pada saat kejadian.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukannya pemetaan tingkat kerawanan longsor di Kabupaten Samosir dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (map overlay) dengan sistem skoring dan pembobotan. Sehingga dengan mengetahui peta sebaran tersebut diharapkan dapat sebagai acuan dalam upaya mitigasi seperti penanaman pohon/tanaman pada lereng yang akarnya dapat menahan erosi, memasang rambu rawan longsor, membuat peraturan larangan aktifitas yang dapat mempercepat kelongsoran di

(16)

3 daerah yang rawan, dll untuk meminimalisir dampak dari bencana tanah longsor di Kabupaten Samosir.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat kerawanan longsor pada sebaran daerah di Kabupaten Samosir berbasis SIG.

2. Mengembangkan peta resiko (risk map) yang dapat dijadikan masukan kepada pihak terkait menggunakan SIG.

1.4 Batasan Masalah

Adapun Batasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Samosir.

2. Penelitian menggunakan parameter curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, penutupan lahan, dan jenis tanah.

3. Pembobotan dan scoring mengacu pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), Departemen Pertanian (2004).

4. Analisis data dan pemetaan tingkat kerawanan tanah longsor menggunakan aplikasi Microsoft Excel, ArcGIS versi 10.8, dan Google Earth

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran tentang variasi tingkat kerawanan tanah longsor di Kabupaten Samosir.

2. Melakukan mapping/zonasi daerah rawan tanah longsor di Kabupaten Samosir.

3. Mengetahui daerah yang paling rawan terhadap tanah longsor di Kabupaten Samosir.

(17)

4 4. Sebagai rujukan/acuan untuk pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan

bencana tanah longsor di Kabupaten Samosir.

5. Sebagai referensi pihak-pihak yang melakukan penelitian dengan topik yang sama.

1.6 Sistematika Penulisan

Rencana sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dibuat dalam 5 bab, dengan uraian sebagai berikut:

1. Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang penulisan, tujuan, manfaat, pembatasan masalah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi dasar teori, rumus dan segala sesuatu yang berkaitan dengan topik yang dibahas.

3. Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi tentang metodologi yang dilakukan dalam analisa berupa urutan–urutan tahapan pelaksanaan analisa dari pencarian data, studi literatur hingga analisa data yang telah diperoleh.

4. Bab IV : Analisis dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang spesifikasi data yang akan diolah dalam penelitian dan hasil pembahasan dalam penelitian.

5. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisi kesimpulan dari hasil analisa dan saran berdasarkan kajian yang telah dikumpulkan pada Tugas Akhir ini.

(18)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah Longsor

2.1.1. Pengertian

Menurut Peraturan Menteri PU No.22/PRT/M/2007 longsor didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi.

Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah.

Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng (Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

Tanah longsor adalah sebagai salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng (BNPB).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tanah longsor didefinisikan sebagai pergerakan massa tanah, batuan, bahan rombakan, atau material campuran pembentuk lereng dari daerah dengan elevasi tinggi ke daerah dengan elevasi yang lebih rendah akibat ketidakstabilan tanah sehingga tidak mampu menahan beban yang disebabkan oleh beberapa faktor.

(19)

6 2.1.2. Jenis-jenis

Berdasarkan Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG ada 6 jenis tanah longsor, yaitu: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia dan yang paling banyak memakan korban jiwa adalah aliran bahan rombakan.

1. Longsoran Translasi

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi umumnya terjadi di sepanjang kontak diskontinuitas geologis seperti sesar, sambungan, permukaan perlapisan, atau kontak antara batuan dan tanah. Ilustrasi gambar longsoran translasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Longsoran translasi

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

2. Longsoran Rotasi

Longsoran rotasi adalah bergerak-nya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung ke atas, dan pergerakan longsornya secara umum berputar pada satu sumbu yang sejajar dengan permukaan tanah. Longsoran ini sering terjadi pada material yang homogen, sehingga jenis longsoran ini paling sering terjadi. Ilustrasi gambar longsoran rotasi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(20)

7 Gambar 2. 2 Longsoran rotasi

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

3. Pergerakan Blok

Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu dengan jumlah batu yang biasanya tidak sedikit.

Longsoran tersebut akan sangat berbahaya bagi manusia jika terkena, karena sebagian besar materialnya adalah batuan. Ilustrasi gambar pergerakan blok dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Pergerakan blok

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

4. Runtuhan Batu

Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu- batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

Sangat dipengaruhi oleh gravitasi, pelapukan mekanik, dan keberadaan

(21)

8 air pada batuan. Ilustrasi gambar runtuhan batu dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2. 4 Runtuhan batu

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

5. Rayapan Tanah

Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat.

Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah. Ilustrasi gambar rayapan tanah dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2. 5 Rayapan tanah

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

(22)

9 6. Aliran Bahan Rombakan

Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menyebabkan korban cukup banyak. Ilustrasi gambar aliran bahan rombakan dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2. 6 Aliran bahan rombakan

(Sumber: Kementerian ESDM Badan Geologi PVMBG)

2.1.3. Faktor-faktor penyebab longsor

Secara umum kejadian longsor disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor pendorong/penyebab dan faktor pemicu. Faktor pendorong/penyebab adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi struktur material sendiri, sedangkan faktor pemicu adalah faktor yang menyebabkan terjadinya keruntuhan/pergerakan material tersebut (Faizana et al., 2015).

Adapun faktor penyebabnya yaitu geologi, morfologi, dan manusia. Sedangkan faktor pemicunya yaitu hujan, gempa bumi, dan aktifitas vulkanik.

Ada banyak banyak faktor yang dapat mengakibatkan bencana alam longsor. Namun menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2004) faktor penyebab longsor terdiri dari faktor curah hujan,

(23)

10 faktor jenis batuan, faktor kemiringan lereng, faktor penggunaan lahan, dan faktor jenis tanah.

1. Curah Hujan

Curah hujan adalah ketinggian air hujan yang jatuh pada tempat datar dengan asumsi tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) mm adalah air hujan setinggi 1 (satu) mm yang jatuh (tertampung) pada tempat yang datar seluas 1 m², mengalir sebagai air permukaan dan meresap ke dalam tanah (BMKG, 2019). Besar curah hujan tercatat melalui pos hujan dalam periode menitan, jaman, harian, bulanan, dan tahunan.

Karnawati dalam Sobirin et al., (2017) menyatakan salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan terjadinya longsor adalah curah hujan, dimana ketika intensitas curah hujan tinggi dalam waktu yang lama, menyebabkan air hujan yang turun dan meresap kedalam tanah akan merusak struktur batuan yang kompak dan kedap air. Lama kelamaan batuan tersebut akan pecah dan materi pecahan batuan akan terbawa oleh aliran air sehingga longsor terjadi.

Hujan yang jatuh ke permukaan tanah memiliki energi kinetik yang besar dan berpotensi menghancurkan partikel-partikel tanah dan akan membuat kondisi tanah menjadi tidak stabil. Besarnya curah hujan menentukan kekuatan dispersi, daya pengangkutan dan kerusakan pada tanah. Dengan kadar air yang sangat besar yang terkandung dalam tanah akan menyebabkan kuat geser tanah menjadi lemah dan berpotensi terjadi longsoran (Sitepu et al., 2017).

Curah hujan ekstrem adalah curah hujan dengan intensitas > 50 mm/hari menjadi parameter terjadinya hujan dengan intensitas lebat, sedangkan kriteria curah hujan ekstrem memiliki curah hujan dengan intensitas > 100 mm/hari. Klasifikasi curah hujan harian dapat dilihat pada Tabel 2.1.

(24)

11 Tabel 2. 1 Klasifikasi curah hujan harian

Curah Hujan Harian Klasifikasi

< 5 mm/ hari Sangat Ringan 5 – 20 mm/ hari Ringan

21 – 50 mm/ hari Sedang 50 – 100 mm/ hari Lebat

> 100 mm/ hari Sangat Lebat

Sumber: Kurnia (2017)

2. Jenis Batuan

Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik batuan, susunan, kedudukan batuan, umur batuan, dan struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu penyebab terjadinya longsor.

Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 22 tahun 2007, batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung yang umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

Sifat batuan ditentukan oleh asal batuan dan komposisi mineral yang berpengaruh terhadap kepekaan terhadap erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh batuan kokoh dari batuan vulkanik, sedimen, dan metamorfik (Faizin & Bambang, 2017) 3. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng merupakan salah satu inidikator penyebab tanah longsor. Semakin curam kemiringan lereng, maka akan semakin besar pula potensi longsor pada suatu wilayah terjadi, dan sebaliknya, semakin kecil besaran lereng maka akan semakin kecil potensi longsor yang terjadi di suatu wilayah tersebut.

Van Zuidam (1985) mengklasifikasikan kemiringan lereng menjadi 7. Klasifikasi kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(25)

12 Tabel 2. 2 Klasifikasi kemiringan lereng

Kelas Kemiringan Lereng

Klasifikasi

(%) (°)

1 0 – 2 0 – 2 Datar (flat to almost flat) 2 2 – 7 2 – 4 Agak landai (gentle sloping) 3 7 – 15 4 – 8 Landai (sloping)

4 15 – 30 8 – 16 Agak curam (moderately steep) 5 30 – 70 16 – 35 Curam (steep)

6 70 – 140 35 – 55 Sangat curam (very steep) 7 > 140 > 55 Curam ekstrim (extremely steep)

Sumber: Van Zuidam (1985)

Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0% hingga 15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor pada kawasan rawan gempa bumi akan semakin besar.

Kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan dua satuan, yaitu dengan satuan sudut (derajat) atau satuan persen yang menyatakan perbandingan antara jarak vertikal dan jarak horisontal dikalikan 100 persen.

4. Penutupan Lahan

Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara ilmiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk lahan tertentu. Penutupan lahan adalah tutupan biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati merupakan suatu hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakuan manusia yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk melakukaan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada penutup lahan tersebut (SNI 7645, 2010).

Penutupan lahan skala nasional memiliki 22 kelas penutupan lahan dengan 7 kelas penutupan hutan dan 15 kelas penutupan bukan hutan.

Penetapan standar kelas ini didasarkan pada pemenuhan kepentingan di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara khusus dan institusi-institusi terkait tingkat nasional secara umum (SNI 7645, 2010). Kelas penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

(26)

13 Tabel 2. 3 Kelas penutupan lahan

No. Kode Toponomi Keterangan

1 2001 Hp Hutan Lahan kering primer 2 2002 Hs Hutan lahan kering sekunder 3 2004 Hmp Hutan Mangrove primer 4 2005 Hrp Hutan rawa primer

5 20041 Hms Hutan mangrove sekunder 6 20051 Hrs Hutan rawa sekunder

7 2006 Ht Hutan tanaman

8 2007 B Belukar

9 2010 Pk Perkebunan

10 2012 Pm Pemukiman

11 2014 T Tanah terbuka

12 2500 Aw Awan

13 3000 S Savanna/ padang rumput

14 5001 A Badan air

15 20071 Br Belukar rawa

16 20091 Pt Pertanian lahan kering

17 20092 Pc Pertanian lahan kering campur

18 20093 Sw Sawah

19 20094 Tm Tambak

20 20121 Bdr Bandara/ Pelabuhan

21 20122 Tr Transmigrasi

22 20141 Pb Pertambangan

23 50011 Rw Rawa

Sumber: Perdirjen Planologi Kehutanan (2015)

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Minimnya penutupan permukaan tanah dan vegetasi, sehingga perakaran sebagai pengikat tanah menjadi berkurang dan mempermudah tanah menjadi retak-retak pada musim kemarau. Pada musim penghujan air akan mudah meresap ke dalam lapisan tanah melalui retakan tersebut dan dapat menyebabkan lapisan tanah menjadi jenuh air. Hal demikian cepat atau lambat akan mengakibatkan terjadinya longsor atau gerakan tanah.

Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

(27)

14 5. Jenis Tanah

Jenis tanah sangat menentukan terhadap potensi erosi dan longsor.

Tanah yang gembur karena mudah melalukan air masuk ke dalam penampang tanah akan lebih berpotensi longsor dibandingkan dengan tanah yang padat (massive) seperti tanah bertekstur liat (clay). Semakin cepat tanah menyerap air maka akan terjadi akumulasi air di bagian kaki lereng sehingga tanah menjadi jenuh, yang mengakibatkan karakteristik tanah menurun drastis, terjadinya penurunan kuat geser tanah dan lereng.

2.1.4. Mekanisme tanah longsor

Suatu lereng akan mengalami keruntuhan atau longsor secara mekanika disebabkan oleh dua komponen yaitu meningkatnya tegangan geser dan berkurangnya kuat geser. Peningkatan tegangan geser pada lereng dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu :

1. Penambahan beban pada lereng seperti penambahan struktur bangunan dan timbunan di bagian atas lereng.

2. Meniadakan struktur perkuatan karena pemotongan dan pemindahan bagian kaki lereng, atau keruntuhan lereng yang tertahan (retarded slope failure).

3. Perubahan tinggi muka air tanah yang sangat cepat pada lereng (sudden drawdown).

4. Gaya dari gempa bumi yang menyebabkan meningkatnya gaya yang mendorong blok tanah pada arah horizontal.

Berkurangnya kuat geser dapat ditimbulkan karena beberapa faktor yaitu:

1. Meningkatnya tekanan air pori karena infiltrasi air ke dalam lereng, debit air yang tidak terkontrol pada saluran drainase, atau gempa bumi yang mengakibatkan naiknya tekanan air pori.

(28)

15 2. Tanah pada lereng mengandung mineral lempung yang mengembang sehingga mudah menyerap air tetapi dapat menghilangkan lekatan tanah.

3. Pelapukan dan degradasi fisika – kimia karena pertukaran ion, proses hidrolisis, penggaraman.

4. Keruntuhan yang bertahap karena penguatan regangan geser (shear strain softening).

2.1.5. Kawasan rawan longsor

Pada umumnya kawasan rawan bencana longsor merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di atas 2500 mm/tahun), kemiringan lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau kawasan rawan gempa. Pada kawasan ini sering dijumpai alur air dan mata air yang umumnya berada di lembah-lembah yang subur dekat dengan sungai. Di samping kawasan dengan karakteristik tersebut, kawasan lain yang dapat dikategorikan sebagai kawasan rawan bencana longsor adalah:

1. Lereng-lereng pada kelokan sungai, sebagai akibat proses erosi atau penggerusan oleh aliran sungai pada bagian kaki lereng.

2. Daerah teluk lereng, yakni peralihan antara lereng curam dengan lereng landai yang di dalamnya terdapat permukiman. Lokasi seperti ini merupakan zona akumulasi air yang meresap dari bagian lereng yang lebih curam. Akibatnya daerah tekuk lereng sangat sensitif mengalami peningkatan tekanan air pori yang akhirnya melemahkan ikatan antar butir-butir partikel tanah dan memicu terjadinya longsor.

3. Daerah yang dilalui struktur patahan/sesar yang umumnya terdapat hunian. Dicirikan dengan adanya lembah dengan lereng yang curam (di atas 30%), tersusun dari batuan yang terkekarkan (retakan) secara rapat, dan munculnya mata air di lembah tersebut. Retakan batuan dapat mengakibatkan longsor.

(29)

16 4. Menurunnya kestabilan lereng, sehingga dapat terjadi jatuhan atau luncuran batuan apabila air hujan meresap ke dalam retakan atau saat terjadi getaran pada lereng.

2.1.6. Tipologi kawasan rawan bencana longsor berdasarkan penetapan zonasi

Zona berpotensi longsor adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor dengan kondisi terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan luar, baik yang bersifat alami maupun aktifitas manusia sebagai faktor pemicu gerakan tanah, sehingga berpotensi terjadinya longsor.

Berdasarkan hidrogeomorfologinya dibedakan menjadi tiga tipe zona (Peraturan Menteri PU, 2007), yaitu:

1. Zona Tipe A

Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng pegunungan, lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas permukaan laut.

2. Zona Tipe B

Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki pegunungan, kaki bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut.

3. Zona Tipe C

Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng berkisar antara 0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan 500 meter di atas permukaan laut.

(30)

17 2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Modul Pelatihan ArcGis Tngkat Dasar, 2007).

SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya.

2.2.1. Komponen SIG

SIG dapat beroperasi dengan komponen-komponen sebagai berikut:

a. Orang yang menjalankan sistem meliputi orang yang mengoperasikan, mengembangkan bahkan memperoleh manfaat dari sistem. Kategori orang yang menjadi bagian dari SIG beragam, misalnya operator, analis, programmer, database administrator bahkan stakeholder.

b. Aplikasi merupakan prosedur yang digunakan untuk mengolah data menjadi informasi. Misalnya penjumlahan, klasifikasi, rotasi, koreksi geometri, query, overlay, buffer, jointable, dsb.

c. Data yang digunakan dalam SIG dapat berupa data grafis dan data atribut.

d. Software adalah perangkat lunak SIG berupa program aplikasi yang memiliki kemampuan pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan data spasial (contoh : ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dll).

e. Hardware, perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem berupa perangkat komputer, printer, scanner, digitizer, plotter dan perangkat pendukung lainnya.

(31)

18 2.2.2. Tugas utama SIG

Beberapa tugas utama SIG adalah sebagai berikut:

a. Input Data

Sebelum data geografis digunakan dalam SIG, data tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk digital. Proses konversi data dari peta kertas atau foto ke dalam bentuk digital disebut dengan digitizing. SIG modern bisa melakukan proses ini secara otomatis menggunakan teknologi scanning.

b. Pembuatan Peta

Prosesnya diawali dengan pembuatan database. Peta kertas dapat didigitalkan dan informasi digital tersebut dapat diterjemahkan ke dalam SIG. Peta yang dihasilkan dapat dibuat dengan berbagai skala dan dapat menunjukkan informasi yang dipilih sesuai dengan karakteristik tertentu.

c. Manipulasi Data

Data dalam SIG akan membutuhkan transformasi atau manipulasi untuk membuat data-data tersebut kompatibel dengan sistem.

Teknologi SIG menyediakan berbagai macam alat bantu untuk memanipulasi data yang ada dan menghilangkan data-data yang tidak dibutuhkan.

d. Manajemen File

Ketika volume data yang ada semakin besar dan jumlah data user semakin banyak, maka hal terbaik yang harus dilakukan adalah menggunakan database management system (DBMS) untuk membantu menyimpan, mengatur, dan mengelola data.

(32)

19 e. Analisis Query

SIG menyediakan kapabilitas untuk menampilkan query dan alat bantu untuk menganalisis informasi yang ada. Teknologi SIG digunakan untuk menganalisis data geografis untuk melihat pola dan tren.

f. Memvisualisasikan Hasil

Untuk berbagai macam tipe operasi geografis, hasil akhirnya divisualisasikan dalam bentuk peta atau graf. Peta sangat efisien untuk menyimpan dan mengkomunikasikan informasi geografis. Namun saat ini SIG juga sudah mengintegrasikan tampilan peta dengan menambahkan laporan, tampilan tiga dimensi, dan multimedia.

2.2.3. Data spasial

Data spasial didefinisakan sebagai sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi deskriptif (attribute) yang dijelaskan berikut ini:

a. Informasi Lokasi (Spasial)

Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik koordinat geografi (lintang dan bujur) dan koordinat XYZ, termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi.

b. Informasi Deskriptif (Attribute)

Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial, suatu lokasi yang memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contohnya : jenis vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya.

(33)

20 2.2.4. Format data spasial

Data spasial memiliki format atau bentuk dan kode penyimpanan data.

Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format, yaitu:

a. Data Vektor

Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (merupakan titik perpotongan antara dua buah garis). Data vektor dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2. 7 Data vektor

Sumber: Modul Pelatihan ArcGis Tngkat Dasar (2007)

Keuntungan utama dari format data vektor adalah ketepatan dalam merepresentasikan fitur titik, batasan dan garis lurus. Hal ini sangat berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi, misalnya pada basis data batas-batas kadaster. Kelemahan data vektor yang utama adalah ketidakmampuannya dalam mengakomodasi perubahan gradual.

b. Data Raster

Data raster (atau disebut juga dengan sel grid) adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, obyek

(34)

21 geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan pixel (picture element). Data raster dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2. 8 Data raster

Sumber: Modul Pelatihan ArcGis Tngkat Dasar (2007)

Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran pixel-nya. Dengan kata lain, resolusi pixel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya. Data raster sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya.

Keterbatasan utama dari data raster adalah besarnya ukuran file.

Masing-masing format data mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Data vektor relatif lebih ekonomis dalam hal ukuran file dan presisi dalam lokasi, tetapi sangat sulit untuk digunakan dalam komputasi matematik. Sedangkan data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file yang lebih besar dan presisi lokasinya lebih rendah, tetapi lebih mudah digunakan secara matematis.

(35)

22 2.3. Studi Literatur

Beberapa jurnal yang digunakan sebagai referensi pada penelitian ini sebagai berikut:

a. (Sholikhan et al., 2019)

Pada penelitian tersebut mengkaji tentang pemetaan daerah rawan longsor di Kabupaten Boyolali dengan pemanfaatan webGIS menggunakan metode skoring dan pembobotan. Parameter yang digunakan mengacu pada model pendugaan Puslittanak tahun 2004 yaitu curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, penutupan lahan, dan jenis tanah. Penetapan daerah rawan longsor dilakukan dengan mengalikan skor dengan bobot pada setiap parameter, lalu hasilnya dijumlahkan sesuai dengan pendugaan Puslittanak 2004. Hasil dari penelitian tersebut terdapat 4 kecamatan dengan tingkat rawan bencana tinggi yaitu Ampel, Cepogo, Musuk, dan Selo. Hasil akhir dari peta ditampilkan dalam sebuah webGIS yang dibuat menggunakan teknologi google maps dan framework bootsrap dimana webGIS dapat diakses pada internet browser.

b. (Hardianto et al., 2020)

Penelitian tersebut bertujuan untuk memetakan tingkat kerawanan bencana tanah longsor di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dengan memanfaatkan informasi spasial berbasis SIG sehingga dapat menjadi acuan dalam melakukan mitigasi bencana tanah longsor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode overlay di mana setiap parameter diberi skor masing-masing dan kemudian dilakukan pembobotan.

Dari hasil pembobotan ini kemudian diperoleh tingkat kerawanan bencana tanah longsor pada daerah penelitian. Model pendugaan mengacu pada Puslittanak (2004). Parameter yang digunakan yaitu peta tutupan lahan, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, peta curah hujan, dan peta jenis batuan.

Hasil dari penelitian tersebut yaitu terdapat 4 kecamatan dengan kerawanan longsor rendah, 7 kecamatan dengan kerawanan longsor sedang, 12

(36)

23 kecamatan dengan kerawanan longsor tinggi, dan 3 kecamatan dengan kerawanan longsor sangat tinggi.

c. (Hidayati, 2019)

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan dan sebaran daerah rawan longsor di Kecamatan Sibolangit dalam bentuk spasial. Metode yang digunakan untuk model pendugaan pada pemetaan yaitu Puslittanak 2004 dan BNPB 2012. Parameter-parameter yang digunakan adalah jenis tanah, jenis batuan, kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan untuk pemetaan kerawanan dan ditambah pemetaan dengan parameter jarak patahan serta kepadatan penduduk, faktor pekerjaan, jumlah anak-anak, jumlah lansia, dan jumlah perempuan untuk pemetaan kerentanan. Hasil yang diperoleh yaitu kelas resiko longsor di Kecamatan Sibolangit untuk peta resiko dengan parameter tanah, parameter kependudukan, dan parameter tanah dan jarak patahan.

d. (Annisa, 2020)

Penelitian tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 mengenai kawasan rawan bencana longsor untuk pemetaan. Lokasi penelitian di Kabupaten Karo. Indikator-indikator yang digunakan adalah kemiringan lereng, jenis batuan, jenis tanah, curah hujan, kegempaan, tata air lereng, dan vegetasi. Setiap indikator diberi skor lalu dikalikan dengan persentasi bobot kemudian dijumlahkan berdasarkan kesesuaian lokasi geografisnya. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat 5 kecamatan dengan tingkat kerawanan rendah, 7 kecamatan dengan tingkat kerawanan longsor sedang, dan 5 kecamatan dengan tigkat kerawanan longsor tinggi.

e. (Ramadhan et al., 2017)

Penelitian tersebut melakukan pembuatan pemodelan potensi bencana tanah longsor di Kabupaten Semarang dengan menggunakan metode analisis SIG dan metode skoring dan pembobotan dengan mengacu pada Permen PU No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang

(37)

24 Kawasan Rawan Bencana Longsor dan metode Analytical Hierarchy Proccess (AHP) dengan narasumber Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Semarang. Hasil yang didapat yaitu dari analisis Overlay peta potensi tanah longsor didapatkan tiga kelas potensi yaitu tinggi dengan luas 18,641% untuk Permen PU dan 6,635% untuk AHP, sedang dengan luas 51,455% untuk Permen PU dan 47,167% untuk AHP dan rendah dengan luas 30,084% untuk Permen PU dan 46,199%

untuk AHP.

f. (Nusantara & Setianto, 2015)

Penelitian tersebut mengkaji pemetaan bahaya tanah longsor di Kecamatan Piyungan dan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode yang digunakan yaitu metode frequency ratio.

Frequency ratio didasarkan kepada hubungan antara lokasi kejadian tanah longsor dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor. Faktor- faktor faktor-faktor yang mempengaruhi longsor pada penelitian tersebut yaitu kemiringan lereng, jarak dari drainase, jarak dari patahan, satuan litologi, tata guna lahan, dan presipitasi. Nilai frequency ratio yang didapat dikalkulasikan menjadi LSI (Landslide Susceptibility Index) yang kemudian diklasifikan menjadi 4 zona bahaya longsor yang disajikan dalam bentuk peta bahaya tanah longsor. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemiringan lereng merupakan faktor yang berperan penting menyebabkan terjadinya longsor di daerah penelitian. Hasil validasi menunjukkan bahwa metode ini menghasilkan peta bahaya longsor yang cukup memuaskan dengan nilai akurasi sekitar 70% sehingga dapat diterapkan dalam upaya mitigasi bencana longsor.

(38)

25 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Umum

Penelitian ini menggunakan data-data sekunder yang dibutuhkan untuk proses analisis. Analisis pada penelitian ini dengan metode pengharkatan (scoring) dan overlay. Scoring dan pembobotan pada setiap parameter mengacu pada pendugaan Puslittanak, Departemen Pertanian (2004). Data yang sudah selesai kemudian ditumpang tindih dan akan menghasilkan skor total sebagai nilai pengklasifikasian zona tingkat kerawanan tanah longsor di Kabupaten Samosir.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Samosir yang terletak di antara 2°21’38”-2°49’48” Lintang Utara dan 98°24’00”-99°01’48” Bujur Timur. Lokasi penelitian dapat dilihat di Gambar 3.1.

Gambar 3. 1 Lokasi penelitian

(39)

26 3.3. Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut:

1. Alat

a. Laptop

b. Software ArcGIS 10.8 c. Software Microsoft Excel d. Software Google Earth e. Printer

2. Bahan

a. Peta curah hujan Kabupaten Samosir (sumber : Data RTRW Kabupaten Samosir 2011-2031 dan Peta Tematik Indonesia tahun 2017)

b. Peta jenis batuan Kabupaten Samosir (sumber : Peta Geologi Lembar Sidikalang dan (Sebagian) Sinabang, Sumatra tahun 1983) c. Peta kemiringan lereng Kabupaten Samosir (sumber : Data DEM

Nasional Republik Indonesia akses tahun 2021)

d. Peta penutupan lahan Kabupaten Samosir (sumber : Data RTRW Kabupaten Samosir 2011-2031 dan Peta Penutupan Lahan Indonesia tahun 2018)

e. Peta jenis tanah Kabupaten Samosir (sumber : Data Data RTRW Kabupaten Samosir 2011-2031 dan Peta Jenis Tanah Semidetail Indonesia tahun 2010)

3.4. Parameter Penelitian

Adapun parameter penelitian yang digunakan adalah:

1. Curah hujan (pembobotan 30% pada Tabel 3.1) 2. Jenis batuan (pembobotan 20% pada Tabel 3.2) 3. Kemiringan lereng (pembobotan 20% pada Tabel 3.3) 4. Penutupan lahan (pembobotan 20% pada Tabel 3.4) 5. Jenis tanah (pembobotan 10% pada Tabel 3.5)

(40)

27 3.5. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang diambil dalam prosedur penelitian ini, yaitu : 1. Studi Literatur

Studi literatur adalah studi kepustakaan guna mendapatkan dasar-dasar teori serta langkah-langkah penelitian yang berkaitan dengan analisis tanah longsor dan untuk mencari referensi penelitian yang sejenis.

2. Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu peta curah hujan, peta jenis batuan, peta kemiringan lereng, peta penutupan lahan, dan peta jenis tanah.

3. Analisis dan Pembahasan

Setelah semua data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dan perhitungan tingkat kerawanan tanah longsor.

Tahap awal yaitu melakukan pengklasifikasian pada setiap parameter dengan memberikan skor tertentu berdasarkan kriterianya. Lalu skor yang telah diberikan dikalikan dengan bobot setiap parameter sesuai dengan kontribusinya terhadap kelongsoran dengan mengacu pada pendugaan Puslittanak, Departemen Pertanian (2004). Setelah itu, seluruh parameter dioverlay yang menghasilkan skor total yang merupakan nilai dari tingkat kerawanan longsor. Semakin besar jumlah skor akhir maka semakin tinggi tingkat kerawanannya.

3.6. Tahap Pengolahan Data

3.6.1. Pemetaan tingkat kerawanan tanah longsor

Pemetan dilakukan dengan metode scoring dan overlay dengan software ArcGis 10.8. Pada penelitian ini digunakan parameter curah hujan,

(41)

28 jenis batuan, kemiringan lereng, penutupan lahan, dan jenis tanah. Data yang sudah dilakukan scoring dan pembobotan kemudian di overlay (tumpang tindih) untuk menghasilkan skor total yang merupakan nilai dari tingkat kerawanan longsor. Semakin besar jumlah skor total maka semakin tinggi tingkat kerawanannya. Hasil akhir yang akan diperoleh dari penelitian ini yaitu peta tingkat kerawanan tanah longsor Kabupaten Samosir. yang dibagi menjadi 4 kelas yaitu: rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi berdasarkan skor total.

Pemanfaatan aplikasi SIG dalam pemetaan kerawanan tanah longsor dapat mempermudah pekerjaan analitis dan mempersingkat waktu dan biaya.

3.6.1.1. Penentuan skor dan bobot

Pembobotan pada penelitian ini mengacu pada model pendugaan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), Departemen Pertanian tahun 2004. Parameter penyebab tanah longsor berdasarkan Puslittanak yaitu curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, penutupan lahan, dan jenis tanah.

Skoring merupakan suatu pemberian nilai pada masing-masing kelas parameter berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Sedangkan pembobotan merupakan peranan/kontribusi dari parameter terhadap terjadinya tanah longsor. Menurut Puslittanak, Departemen Pertanian (2004) peranan parameter tertinggi terhadap terjadinya tanah longsor yaitu curah hujan dengan bobot 30% dari total pembobotan. Parameter jenis batuan 20% dari total pembobotan, kemiringan lereng 20% dari total pembobotan, penutupan lahan memiliki bobot 20% dari total pembobotan, dan parameter jenis tanah memiliki bobot 10% dai total pembobotan. Besarnya bobot dan skor dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini:

(42)

29 1. Curah Hujan

Tabel 3. 1 Nilai pembobotan curah hujan

Bobot Parameter

30%

Curah Hujan (mm/tahun) Skor

Sangat kering (<1500) 1

Kering (1501-2000) 2

Sedang (2001-2500) 3

Basah (2501-3000) 4

Sangat basah (>3000) 5

Sumber : Puslittanak (2004)

2. Jenis Batuan

Tabel 3. 2 Nilai pembobotan jenis batuan

Bobot Parameter

20%

Jenis Batuan Skor

Batuan aluvial 1

Batuan sedimen 2

Batuan vulkanik 3

Sumber : Puslittanak (2004)

3. Kemiringan Lereng

Tabel 3. 3 Nilai pembobotan kemiringan lereng

Bobot Parameter

20%

Kemiringan Lereng (%) Skor

< 8 1

8 – 15 2

15 – 30 3

30 – 45 4

> 45 5

Sumber : Puslittanak (2004)

4. Penutupan Lahan

Tabel 3. 4 Nilai pembobotan penutupan lahan

Bobot Parameter

20%

Tutupan Lahan Skor

Tambak, waduk, perairan 1

Kota/ permukiman 2

Hutan dan perkebunan 3

Semak belukar 4

Tegalan, sawah 5

Sumber : Puslittanak (2004)

(43)

30 5. Jenis Tanah

Tabel 3. 5 Nilai pembobotan jenis tanah

Bobot Parameter

10%

Jenis Tanah Skor

Aluvial 1

Asosiasi latosol coklat kekuningan 2

Latosol coklat 3

Andosol, podsolik 4

Regosol 5

Sumber : Puslittanak (2004)

3.6.1.2. Tumpang susun (overlay) parameter

Metode overlay dilakukan dengan cara menimpa semua layer parameter yang sudah dianalisis pembobotannya, dengan atribut acuannya yaitu hasil dari perkalian skor dan bobot masing-masing parameter. Nilai perkalian tersebut akan ditotalkan yang menghasilkan data baru yaitu skor total yang merupakan nilai tingkat kerawanan longsor.

Berdasarkan Puslittanak, Departemen Pertanian (2004), formula pendugaan yang digunakan untuk mengindentifikasi tingkat kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut:

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = 0,3𝐹𝐶𝐻 + 0,2𝐹𝐵𝐷 + 0,2𝐹𝐾𝐿 + 0,2𝐹𝑃𝐿 + 0,1𝐹𝐽𝑇 (3.1) Keterangan:

FCH = Faktor Curah Hujan FBD = Faktor Jenis Batuan FKL = Faktor Kemiringan Lereng FPL = Faktor Penutupan Lahan FJT = Faktor Jenis Tanah

(44)

31 Hasil akhir dari klasifikasi menggunakan analisis skor dengan membagi menjadi 4 kelas tingkat kerawanan tanah longsor, yaitu tingkat kerawanan rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Adapun penentuan jumlah interval kelasnya menggunakan persamaan berikut:

𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 =𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑘𝑙𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 (3.2)

3.6.2. Pembuatan peta

Pada pembuatan peta dalam penelitian ini terdiri dari persiapan, proses georeferencing, pembuatan shapefile, proses digitasi, proses attributing, dan proses editing peta pada layout gambar.

3.6.2.1. Persiapan

Tahap persiapan meliputi persiapan alat dan bahan. Alat yang diperlukan yaitu laptop, printer, alat tulis, dan lainnya. Sedangkan bahan yang diperlukan yaitu data-data sekunder yang merupakan parameter pada penelitian ini yaitu peta tematik curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, tutupan lahan, dan jenis tanah Kabupaten Samosir.

3.6.2.2. Membuka software ArcGIS 10.8 dan mengatur koordinat Hal pertama yang dilakukan setelah software ArcGIS 10.8 dibuka yaitu mengatur koordinat dengan cara membuka menu arc catalog > pilih file pada folder connection > klik kanan pada file > pilih properties. Menu arc catalog dapat dilihat pada Gambar 3.2.

(45)

32 Gambar 3. 2 Menu arc catalog

Maka akan muncul tampilan seperti di bawah. Selanjutnya pilih spatial reference > klik edit. Kotak dialog raster dataset properties dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3. 3 Kotak dialog raster dataset properties

Lalu pilih geographic coordinate systems > klik pilihan world >

pilih WGS 1984 > klik OK. Proses mengatur koordinat dapat dilihat pada Gambar 3.4.

(46)

33 Gambar 3. 4 Mengatur koordinat

3.6.2.3. Proses georeferencing

Georefrencing merupakan proses pemberian sistem koordinat pada objek gambar peta dengan cara menempatkan suatu titik kontrol terhadap persimpangan antara garis lintang dan bujur pada gambar berupa objek tersebut, atau dengan menempatkan titik ikat pada lokasi yang sudah diketahui koordinatnya.

Tahap awal georeferencing yaitu klik add control points pada toolbar georeferencing > klik pada salah satu titik > klik kanan dan input DMS longitude dan latitude > klik OK. Proses georeferencing dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3. 5 Proses georeferencing

(47)

34 3.6.2.4. Pembuatan shapefile

Pembuatan shapefile atau feature class kosong dilakukan sebelum proses digitasi berfungsi untuk menampung data hasil digitasi yang telah dilakukan.

Langkah pertama yaitu klik kanan pada folder tempat menyimpan data > klik new > pilih shapefile. Lalu pada kolom name ketik nama shapefile, pada kolom feature type pilih feature type yang sesuai untuk digunakan pada proses digitasi dan klik edit. Membuat shapefile baru dapat dilihat pada Gambar 3.6.

Gambar 3. 6 Membuat shapefile baru

Pilih geographic coordinate systems > klik pilihan world > pilih WGS 1984 > klik OK. Proses mengatur koordinat pada shapefile baru dapat dilihat pada gambar 3.7.

Gambar 3. 7 Mengatur koordinat pada shapefile baru

(48)

35 Maka akan muncul layer baru pada table of content. Tampilan table of content dapat dilihat pada Gambar 3.8.

Gambar 3. 8 Tampilan table of content

3.6.2.5. Proses digitasi

Proses digitasi peta adalah membuat peta ke dalam format vektor sehingga dapat diolah dengan menggunakan ArcGIS 10.8.

Adapun format vektor yang dapat digunakan antara lain: titik, garis, dan poligon. Untuk data berupa lokasi pasti seperti desa dan ibu kota kecamatan menggunakan titik (point), untuk sungai dan jalan menggunakan garis (line). Sedangkan untuk wilayahnya menggunakan poligon (polygon).

Tahapan proses digitasi yaitu klik kanan pada layer baru yang didapat pada tahap sebelumnya > pilih edit features > klik start editing

> setelah muncul kotak dialog start editing, klik continue. Kotak dialog start editing dapat dilihat pada Gambar 3.9.

(49)

36 Gambar 3. 9 Kotak dialog start editing

Lalu muncul kotak dialog create features > klik create feature pada “Jenis Tanah” > pada construction tools, pilih polygon > zoom wilayah yang akan didigitasi agar terlihat jelas > lakukan proses digitasi. Proses digitasi dapat dilihat pada Gambar 3.10.

Gambar 3. 10 Proses digitasi

Setelah proses digitasi selesai, klik tombol editor > klik Save Edits > klik Stop Editing. Tampilan save edits dan stop editing dapat dilihat pada Gambar 3.11.

(50)

37 Gambar 3. 11 Tampilan save edits dan stop editing 3.6.2.6. Proses attributing

Data atribut adalah data yang mendeskripsikan karakteristik dan kenampakan di peta. Tanpa data yang tersimpan dalam tabel atribut , maka data tersebut tidak memiliki arti banyak karena hanya memberikan informasi bentuk fitur saja. Attributing bertujuan untuk menambah tabel kolom atribut guna mendeskripsikan kenampakannya pada peta.

Untuk membuat nama jenis tanah caranya yaitu klik kanan pada layer > pilih open attribute table. Tampilan open attribute table dapat dilihat pada Gambar 3.12.

Gambar 3. 12 Tampilan open attribute table

(51)

38 Lalu klik tab table option > plih add field > muncul kotak dialog add field > pada kolom name, ketik “JENIS TANAH” > pada kolom types, pilih text karena table akan berisi text > klik OK. Kotak dialog add field dapat dilihat pada Gambar 3.13.

Gambar 3. 13 Kotak dialog add field

Maka akan muncul kolom baru yaitu “JENIS TANAH”, lalu klik start editing agar kolom dapat diedit, selanjutnya isi kolom tersebut sesuai dengan nama jenis tanah di setiap polygon. Setelah selesai, klik save edits dan stop editing. Tampilan attribute baru “JENIS TANAH”

dapat dilihat pada Gambar 3.14.

Gambar 3. 14 Tampilan attribute baru “JENIS TANAH”

(52)

39 Hal yang sama juga dilakukan untuk menambah kolom “SKOR”

yang berguna unutuk proses skoring parameter. Namun tahap yang berbeda hanya pada pemilihan type-nya yaitu short integer karena pada kolom skor akan berisi angka.

3.6.2.7. Menampilkan keterangan attribute pada peta

Klik kanan pada layer > pilih properties > klik tab labels > pada Label Field pilih “JENIS TANAH” > ceklis pada label features in the layer > klik apply dan OK. Maka keterangan nama jenis tanah akan muncul pada peta. Proses menampilkan keterangan attribute dapat dilihat pada Gambar 3.15.

Gambar 3. 15 Proses menampilkan keterangan attribute Untuk menampilkan data ke dalam peta dengan symbology. Klik kanan pada layer > pilih properties > klik tab symbology > klik categories > pilih unique values > pada value field, pilih data yang ingin ditampilkan > klik add all values > pilih warna pada color ramp untuk memudahkan visual klasifikasi peta > klik apply dan OK. Proses menampilkan data dengan symbology dapat dilihat pada Gambar 3.16.

(53)

40 Gambar 3. 16 Proses menampilkan data dengan symbology

3.6.2.8. Proses editing peta pada layout gambar

Langkah editing dilakukan untuk melakukan penggambaran peta yang telah selesai kedalam layout gambar seperti memunculkan koordinat pada frame peta, membuat keterangan peta yang berisi arah utara, skala, legenda, serta tampilan kecil (insert) agar hasil digitasi dan attributing terlihat lebih jelas melalui legenda yang telah jadi.

a. Mengatur Halaman Layout

Hal pertama yang dilakukan sebelum memunculkan koordinat pada frame peta yaitu mengatur halaman layout dengan cara klik layout view pada bagian bawah halaman > klik tab file > pilih page and print setup > pada size pilih A4 untuk ukuran kertas > pada orientation pilih landscape > klik OK.

Proses mengatur halaman layout dapat dilihat pada Gambar 3.17.

(54)

41 Gambar 3. 17 Proses mengatur halaman layout

b. Memunculkan Koordinat pada Frame Peta

Klik kanan pada peta > pilih properties > pilih tab grid >

klik new grid > pilih measured grid > klik next > pilih appearance dan interval koordinat yang diingkan > klik next >

pilih pilihan tampilan sesuai keinginan > klik finish. Proses memunculkan koordinat pada frame peta dapat dilihat pada Gambar 3.18, Gambar 3.19, dan Gambar 3.20.

Gambar 3. 18 Tampilan data frame properties

Referensi

Dokumen terkait

Tabel tingkat potensi longsor tersebut menunjukkan bahwa tingkat potensi tanah longsor yang berada di Kecamatan Dlingo didominasi oleh tingkat sedang dan menunjukkan

Daerah kurang rawan longsor terdapat pada kemiringan lereng datar hingga agak curam dan jenis tanah yang mendominasi adalah assosiasi latosol coklat latosol kemerahan dengan

Analisis kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) (2009), parameter- parameter yang digunakan untuk

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lutfia Fajria (2016) dengan judul Tingkat Kerawanan Tanah Longsor di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman

3 Peta klasifikasi tutupan lahan Kabupaten Tanah Datar 15 4 Peta klasifikasi kemiringan lereng Kabupaten Tanah Datar 18 5 Peta klasifikasi curah hujan Kabupaten Tanah Datar 21 6

Tingkat rawan banjir yang mendominasi Kota Bandar Lampung adalah tingkat kerawanan banjir sedang seluas 104,74 km 2 (57,28%), Daerah yang memiliki potensi rawan

Gambar 4.4 Peta rawan longsor kabupaten TTU Umumnya longsor terjadi pada daerah yang memiliki intensitas curah hujan tinggi, kemiringan lereng tinggi dan tutupan lahan berupa tanah

Analisis Daerah Rawan Longsor Dari hasil analisis, beberapa faktor seperti jenis tanah, kelerengan, curah hujan, tutupan lahan, daerah Kota Batu secara garis besar memiliki tingkat