• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Bab ini membahas tentang kesimpulan dan rekomendasi

TINJAUAN UMUM TENTANG CAROK DI MADURA

D. Carok Menurut Para Ahli 1. Menurut Huub de Jonge 34

1. Analisis Yuridis

Terdakwa JATIM al.P. SUMHARI baik bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama dngan MARGIOal.p. MATSIRI pada hari senin tanggal 11 Agustus 2014 di kabupaten SAMPANG telah melakukan atau turut melakukan, dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, perbuatan tersebut dilakukan akibat, terdakwa yang bernama SUMHARI mempunyai hubungan dekat dengan Istrinya BUHARI yang bernama BUSIYAH, karena merasa dipermalukan oleh SUMHARI timbul rasa sakit hati dan dendam BUHARI dan SAMIRAN, untuk membalas dendan BUHARI,SAMIRAN dan ketiga temanya menuju kerumah terdakwa setelah sampai dirumah terdakwa, BUHARI dan SAMIRAN menantang carok kepada terdakwa, setelah mendengar tantanag carok dan makian tersebut terdakwa mengambil clurit untuk menghadapi tantangan tersebut kemudian datang NARDI dan kelima temanya , dalam perkelahian tersebut terdakwa berhasil membacok MUHWAR adalah satu teman dari BUHARI dengan menggunakan clurit sebanyak 2 kali mengenai punggung dan kepalanya, akibat bacokan tersebut MUHWAR meninggal dunia. Sedangkan teman yang lain dari terdakwa bernama MARGIO berhasil membacok SAMIRAN dengan menggunakan clurit sebanyak 2 kali mengenai leher bagian belakang, akibat tersebut SAMIRAN meninggal dunia, kesimpulan pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan beberapa luka teruka pada leher, puggung dan tangan akibat persentuhan dengan benda tajam.

Dalam kacamata legal formal, carok dipandang sebagai bentuk kejahatan (criminal), semua tindakan carok selalu dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP secara bervariasi sesuai dengan peristiwanya. Berdasarkan bentuk dan ciri-ciri dari perbuatannya, kejahatan carok dapat mengalami beberapa kemungkinan.

52

Kemungkinan tersebut terdiri dari: pertama, Pasal penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Kedua, Pasal penganiayaan mengakibatkan luka berat (Pasal 353 KUHP, Pasal 354 KUHP dan Pasal 355 KUHP). Ketiga, Pasal pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Keempat, Pasal pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga dijelaskan tentang hukuman terhadap permbunuhan, tertuang dalam Pasal 336, Pasal 337, Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340 yang lebih jelas diatur tentang hukuman terhadap kejahatan nyawa.64 Hukuman tersebut akan menurunkan niat seseorang melakukan tindak pidana, sehingga bisa dijadikan sebagai alat untuk pencegahan sekaligus pembelajaran bagi khalayak akan arti pentingnya menjaga hak-hak sesama dan tidak melanggarnya. Masyarakat menginginkan keadilan, seseorang pembunuh sepantasnya dibunuh atau dihukum dengan hukuman penjara yang setimpal. Ini terbukti dengan idiom dalam masyarakat yang mengatakan bahwa “hutang budi dibayar budi dan hutang nyawa dibayar nyawa”.

Berikut dikemukakan kutipan Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP. Pasal 338 menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan Pasal 340 menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan pasal tersebut bagi pelaku carok tidak lain karena carok telah memenuhi rumusan yang ada dalam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP, di mana rumusan tersebut terdapat adanya suatu tindak pidana yang merugikan orang lain dengan maksud untuk menghilangkan nyawa seseorang. Namun pada realitanya yang terjadi pada saat ini, carok dapat dikategorikan sebagai kasus direncanakan terlebih dahulu (Pasal 340 KUHP), karena selain menghilangkan nyawa orang lain juga

53

mengandung unsur direncanakan terlebih dahulu, di mana dalam melakukan carok tersebut biasanya dimatangkan atau dipersiapkan terlebih dahulu dalam suatu sidang keluarga. Berdasarkan pasal 338 dan 340 KUHP tersebut nampak jelas bahwa tindak pidana pembunuhan dengan carok termasuk kejahatan, dan bagi pelakunya (si pembunuh) dikenakan hukuman sesuai pelanggaran yang telah diperbuatnya.

Menurut Mr. MH. Tirtaatmadja “direncanakan lebih dahulu” memiliki pengertian “ Bahwa ada jangka waktu, bagaimana pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”. Disini dapat diuraikan bahwa dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya antara pengambilan putusan kehendak pelaksanaan pembunuhan. Dapat dilihat bahwa dalam waktu itu si pembunuh masih semat untuk menarik kehendaknya untuk membunuh dan jika kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan dengan alat apa dia akan membunuh. Dengan demikian, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu antara timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan dengan saat dilaksanakan perbuatan.

Menurut penulis, direncanakan terlebih dahulu dipandang ada jika pelaku dalam satu waktu yang cukup telah memikirkan serta menimbang- nimbang dan kemudian menentukan waktu, tempat, cara atau alat dan lain sebagainya yang akan digunakan untuk pembunuhan tersebut. Menjadi pertanyaan selanjutnya, kenapa penjatuhan pidana terhadap J dan MG itu sama? sedangkan kedua terdakwa tersebut memiliki banyak perbedaan mulai dari motif dan waktu pelaksanaannya.

Terhadap faktor-faktor yang sudah dijelaskan sebelumnya, hakim harus sangat hati-hati dalam mengambil keputusan terhadap kasus carok tersebut. Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, dan memutus serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di suatu sidang pengadilan. Penemuan hakim merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang bersifat kompleks, yang pada dasarnya dimulai sejak hakim memeriksa kemudian mengadili suatu perkara hingga dijatuhkan putusan dalam perkara tersebut.65

54

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, dan kemudian menjatuhkan putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap tindakan di persidangan, yaitu sebagai berikut:66

1. Tahap mengkonstatir. Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk memastikan hal tersebut, maka diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum, dimana dalam perkara pidana dapat dikemukakan dalam Pasal 184 KUHAP.

2. Tahap mengkualifikasi. Pada tahap ini, hakim mengkualifisir dengan menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa atau yang bagaimana atau menemukan hukum untuk peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan kata lain, tahap mengkualifisir berarti mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa konkret tersebut termasuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum (apakah irtu pencurian, penganiayaan, perzinahan, perjudian, atau peralihan hak, perbuatan melawan hukum atau sebagainya).

3. Tahap menkonstituir. Dalam tahap ini, hakim menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan (para pihak atau terdakwa). Keadilan yang diputuskan oleh hakim bukanlah produk dari intelektualitas hakim, tetapi merupakan semangat hakim itu sendiri.

Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa tiga tahap tindakan persidangan diatas majelis hakim memiliki hak untuk membenarkan ada tidaknya suatu peristiwa tersebut dengan adanya alat bukti yang diberikan dari masing-masing terdakwa maupun korban, selanjutnya hakim dapat mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa tersebut dan yang terakhir yaitu majelis hakim berhak memutuskan atau menetapkan hukuman kepada para pihak atau terdakwa sehingga memberikan keadilan bagi para pihak tersebut.

Sebelum hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu hakim akan melihat unsur-unsur dalam perbuatan pidana, jika unsur-unsur tersebut terpenuhi maka

55

hakim berdasarkan alat bukti dan petunjuk hakim akan memutus serta mengadili pelaku. Pertama, dakwaan primair. Dakwaan primair dalam surat dakwaan berupa penjatuhan pasal 340 KUHP junto Pasal 55 ayat KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah:

1) Barang siapa

Unsur ini merujuk pada subjek hukum dalam suatu perkara, dimana subyek hukum yang dimaksudkan dalam pasal ini menunjuk kepada terdakwa yang diajukan di persidangan yang dengan sendirinya dapat mempertanggung-jawabkan perbuatannya didepan hukum kecuali ada hal lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

Barang siapa dalam kedua putusan ini adalah J dan MG. Keduanya sudah diajukan oleh penutut umum sebagai terdakwa dengan identitas yang jelas dan berdasarkan keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa tersebut terbukti terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta diakui kebenarannya bahwa terdakwa dalam perkara a quo bernama J dan MG sehingga dengan demikian tidak terdapat error in person.67 Oleh karenanya hakim berkesimpulan bahwa terdakwa adalah orang yang dimaksud dapat bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Dengan demikian unsur barang siapa telah terpenuhi.

1. Dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu

Unsur dengan sengaja pada perkara ini merujuk pada konsep kesengajaan (opzettelijke) yang secara umum maknanya meliputi arti dari istilah menghendaki (willwen) dan mengetahui (wetens), dalam arti bahwa pelaku memang menghendaki terjadinya perbuatan melawan hukum serta mengetahui pula akibat yang timbul dari perbuatan tersebut.

Menurut teori ilmu hukum pidana, unsur dengan disengaja dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:

1) Sengaja sebagai tujuan, yaitu bahwa kesengajaan yang dilakukan oleh si pelaku itu memang benar-benar dimaksudkan untuk menimbulkan

56

akibat sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku bersangkutan dan memang akibat itulah yang menjadi tujuan perbuatan pelaku;

2) Sengaja berdasarkan kepastian, yaitu apabila si pelaku berkeyakinan bahwa ia tidak akan mencapai tujuannya jika tidak dengan menimbulkan akibat atau kejadian yang lain, yang sebenarnya tidak menjadi tujuannya. Akan tetapi ia mengetahui benar (secara pasti) bahwa akibat atau kejadian lain yang tidak menjadi tujuannya itu akan terjadi.

3) Sengaja berkesadaran kemungkinan, yaitu adalah apabila si pelaku dalam melakukan perbuatannya tidak secara pasti lain yang sebenarnya tidak dikehendaki mengikuti perbuatan itu. Mengetahui (yakin) akan terjadinya akibat atau kejadian lain yang tidak menjadi tujuannya. Dengan kata lain si pelaku hanya dapat mebayangkan bahwa kemungkinannya akan terjadi peristiwa lain yang sebenarnya tidak dikehendaki mengikuti perbuatan itu.

Dalam kasus carok ini, penulis akan menguraikan perbedaan waktu pada putusan yang dimiliki oleh J dan MG. Apakah dapat dikatakan direncanakan atau tidak? Waktu yang dimiliki oleh mereka berdua berbeda. Posisi J adalah pihak yang langsung ditantang. Dengan spontan J langsung masuk ke rumah dan mengambil clurit untuk melancarkan aksinya. Sedangkan MG memiliki beberapa waktu jeda, MG melihat bahwa posisi J adalah saudaranya maka dengan keinginannya ia langsung membantu. Pada kondisi lain, MG bukanlah orang yang ditantang, dalam hal ini dapat ia pikirkan akibat dari perbuatannya itu.

Ewis Meywan Batas berpendapat bahwa jeda waktu yang dimiliki seorang pelaku setidaknya bisa memikirkan akibat dari perbuatannya atau cara- cara lain sehingga orang lain tidak mudah mengetahui bahwa dia adalah pembunuh. Apakah ia secara tenang atau emosional pada waktu yang cukup itu untuk memikirkannya, tidaklah terlalu penting.

Namun terkadang beberapa waktu yang diperlukan untuk dapat memikir-mikirkan dan menimbang-nimbang cara melakukan perbuatan itu adalah relatif. Disinilah letak kesulitan untuk menentukan ada tidaknya unsur

57

berencana dalam melakukan suatu tindak kejahatan terhadapnya walaupun patut diakui bahwa dalam peristiwa-peristiwa tertentu unsur berencana ini sangat jelas karena dengan mudah diperoleh dari fakta-fakta melalui keterangan saksi-saksi bahkan mungkin keterangan pelaku sendiri.

Meskipun dalam undang-undang tidak dijelaskan detail waktu direncanakan, namun hakim dapat mengambil kesimpulan dari pengamatannya selama persidangan berlangsung.68 Pengamatan hakim didapat dari keterangan saksi dan alat-alat bukti yang ada disertai pengetahuan dan kecakapan hakim.

Berdasarkan temuan penulis, Hakim Pengadilan Negeri Sampang menambahkan bahwa unsur direncanakan bisa diketahui apabila tersangka memberikan keterangan kepada orang lain bahwa ia akan membunuh korban. Misal “A berkata: besok saya akan membunuh B dengan carok di daerah pesawahan”. Jika ucapan ini benar maka unsur direncanakan dapat terpenuhi. Kondisi ini tidak ditemukan dalam kasus J dan MG. Dengan demikian unsur direncanakan terlebih dahulu tidak terpenuhi.69

Dalam kasus ini, penulis menemukan bahwa ada beberapa perbuatan yang menjadi pertimbangan hakim terhadap waktu direncanakan, diantaranya:

1) Mengenai direncanakan terlebih dahulu menunjukkan waktu pembuatan rencana dengan pelaksanaan dari rencana tersebut terdapat jangka waktu tertentu, yaitu beberapa hari (hitungan antara 1 hari s/d 7 hari), sehingga dalam waktu tersebut terdapat cukup waktu bagi J dan MG untuk mempertimbangkan kembali rencana yang telah dibuat secara tenang dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan serta akibat-akibat dari tindakannya tersebut.

2) Dalam persidangan tidak ada keterangan saksi yang dapat menunjukan J dan MG melakukan pembunuhan tersebut dengan direncanakan terlebih dahulu, walaupun didalam persidangan terdapat keterangan J pada saat berlarian ke rumah untuk mengambil sebilah clurit yang berada diatas televisi dan

68Afrizal, Studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 4 November 2019 di Pengadilan Negeri Sampang

69Afrizal, Studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 4 November 2019 di Pengadilan Negeri Sampang

58

kembali menemui korban, dimana Terdakwa sempat dihalangi oleh istri Terdakwa agar tidak merespon ajakan SM serta kesadaran J kalau membacok orang dapat meninggal dunia namun demikian pengakuan J atau MG saja tidaklah cukup untuk dapat membuktikan yang dimaksud “direncanakan terlebih dahulu”.

2. Merampas nyawa orang lain

Bahwa yang dimaksud dengan menghilangkan nyawa orang lain adalah aktivitas atau perbuatan yang dilakukan oleh J yang tertuang pada putusan Nomor 242/Pid.B/2014/PN.Spg dan perbuatan yang dilakukan oleh MG yang tertuang pada putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg menyebabkan SM dan MH kehilangan nyawa atau meninggal dunia.

Berdasarkan pertimbangan diatas maka Majelis Hakim memandang bahwa terdapat hal-hal yang memberatkan bahwa sifat dari perbuatan terdakwa tersebut sangat kejam dan keji karena tega menghilangkan nyawa orang lain. Dalam pandangan legal positifis tentulah tindakan delik pembunuhan sebagaimana dipaparkan memang membuktikan bahwa pelaku telah melanggar ketentuan pidana.

3. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan. Dalam unsur ini yang dimaksud dengan orang yang melakukan adalah orang yang memenuhi semua unsur delik, termasuk apabila dilakukan lewat orang lain atau bawahan orang tersebut. Orang yang menyuruh melakukan adalah pelaku perbuatan pidana yang paling sedikit ada dua orang sebagai yang menyuruh dan yang disuruh. Turut melakukan adalah dua orang atau lebih yang bersama-sama melakukan tindak pidana, dimana terlihat adanya kerjasama yang menyeluruh antar pelaku untuk mewujudkan tindak pidana dan kerjasama tersebut harus dilakukan secara sadar.

Menurut teori keadilan Aris toteles yang dikemukakan oleh Theo Hujibers salah satu uraianya yaitu keadilan yang merupakan bidang penafsiran hukum. Karena Undang-undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkan seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa tersebut. Menurut Aristoteles, hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “sesuatu rasa tentang apa yang pantas”

59

Maksud dari teori tersebut menurut penulis dalam pertimbangan hakim tentang kasus pembunuhan berupa carok ini sangatlah berperan karena pada dasarnya hakim sendiri memiliiki hak untuk keputusan yang adil dalam persidangan, dan juga untuk memberikan hubungan baik antara orang perorangan dan keseimbangan antara dua pihak yang bersangkutan.

Dalam putusan Nomor 242/Pid.B/2014/Pn.Spg dan Putusan Nomor 14/Pid.B/2015/Pn.Spg. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas kedua Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana “Pembunuhan” dengan tidak adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagai alasan penghapus pidana pada perbuatan terdakwa, dan juga mengapa kedua putusan ini memiliki hukman yang sama karena kedua terdakwa tersebut telah berbuat kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orag lain dan degan adanya majelis hakim yang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu ; a. perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat, b. perbuatan terdakwa juga menimbulkan aspek sosial kemasyarakatan yang luas dan memicu timbulnya pidana lain yang bersumber dari tindak pidana ini sendiri. Hal yang meringankan yaitu : a. Terdakwa bersikap sopan di depan persidangan, b. Terdakwa mengakui terus terang perbuatanya dan telah menunjukkan sikap penyesalanya. c. Terdakwa belum pernah dihukum. Dan majelis hakim menyatakan bahwa Terdakwa dijatuhkan Pidana penjara selama 10 tahun dan menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Pada proses penemuan hukum oleh hakim, perlu dibedakan dua hal, yaitu mengenai tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post).70 Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini, tidak menganut pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai satu- satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya disini, hakim dapat menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum, yaitu undang-undang,

70 Jasim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interpertasi Teks, (Yogyakarta: UII Pers, 2006), h. 36

60

kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktirn, hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat.71 Dalam kasus carok ini yang menjadi pertimbangan lain dari hakim adalah dilihat dari Antropologi.

Menurut Penulis, Pendekatan ini menjadi salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan carok. Kejahatan merupakan masalah kemanusian dan masalah sosial yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana. Carok dalam keseharian masyarakat Madura memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial, ekonomi, agama bahkan pendidikan.72 Bentuk perasaan malo yang selalu tertanam pada setiap masyarakat Madura mencakup semua aspek. Tidak hanya keberanian namun juga tanggung jawab. Ketika harga diri diinjak oleh orang lain, segala upayapun dilakukan bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain dalam bentuk carok.

Menurut penulis, Ada beberapa kebiasaan yang terjadi pada masyarakat Madura ketika carok sudah terjadi. Pertama, ketika carok sudah terjadi, pihak yang menang biasanya langsung menyerahkan diri kepada pihak berwenang, seperti kepala desa, atau aparat kepolisian setempat. Kedua, mereka tidak melarikan diri. Sebagaimana pepatah orang Madura “lebih baik putih tulang dari pada putih mata”. Implikasi dari pepatah ini sangat luas cakupannya. Orang Madura akan terpancing amarahnya jika harga diri dipermalukan, namun akan bertanggung jawab atas semua perbuatannya termasuk pembunuhan.73

Dalam putusan Nomor Nomor 242 Pid.B/2014/PN.Spg. dan Putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg terlihat jelas bahwa, sikap yang diberikan oleh terdakwa ketika proses persidangan memberikan sikap patuh, hormat dan bertanggung jawab. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi alasan hakim untuk meringankan jumlah hukuman pidana penjara kepada terdakwa. Jika dalam delik pembunuhan biasa pada pasal 338 tuntutan maksimal adalah lima belas tahun, maka berdasarkan pertimbangan sosiologis juga hakim

71Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Bogor: Ghalia, 2005), h. 57

72 H. Cahyono, SH., MH. Model Penangulangan Konflik Kekerasan (Carok)Etnis Madura Melalui Criminal Justice System, Yogyakarta: Deepublish, 2012), h. 209

73 Afrizal, Studi lapangan yang dilakukan pada tanggal 4 November 2019 di Pengadilan Negeri Sampang

61

menjatuhkan pidana penjara sepuluh tahun.

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma- norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.74 Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.

Menurut Jumhur Ulama Fiqih, termasuk Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, membagi tindak pidana pembunuhan menjadi tiga macam dan salah satunya menjelaskan bahwa pembunuhan dengan sengaja merupakan suatu pembunuhan yang sengaja, dan diiringi dengan rasa perrmusuhan, dengan menggunakan alat yang biasanya dapat menghilangkan nyawa, baik secara langsung maupun tidak, seperti menggunakan senjata tajam, kayu atau batu besar, atau melukai seseorang yang berakibat kepada kematian.

Berdasarkan pertimbangan Majelis hakim sudahjelas dalam mebuktikan bahwa terdawa telah melakukan tindak pidana pembunuhan karena didalam pendapat ulama diatas sudah benar jika seseorang melakukan pembunuhan menggunakan senjata tajam yang menimbulkan kematian maka termasuk dalam kejahatan tindak pidana dan dalam putusan diatas bahwa Terdakwa Bernama JATIM membacok salah satu korban dengan Pisau dan Terdakwa yang Bernama MARGIO membacok korban dengan Batu bata yang membuat kedua dari korban tersebut kehilangan nyawa (Meninggal).

Dalam hukum Fiqih juga menyatakan bahwa tindak pembunuhan itu memiliki unsur pembunuhan sengaja karena yang pertama yang dibunuh itu manusia yang diharamkan Allah SWT darahnya (membunuhnya) atau isilah dalam fiqih yaitu Ma’sum ad-dam (yang terpelihara darahnya), kedua perbuatanya itu membawa kematian seseorang dan yang terakhir bertujuan menghilangkan nyawa seseorang.

Hukuman bagi pelaku pembunuhan sengja menurut ulama fiqih mengemukakan bahwa ada beberapa macam hukuman yaitu hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan, dimana dari ketiga macam

74Arbijoto, Refleksi terhadap Manusia sebagai Homo Religious, (Jakarta: Pusdiklat, 2000), h.51

62

hukuman tersebut yang digunakan dalam pembunuhan sengaja yaitu menggunakan hukuman pokok yaitu berupa Qishash yang dimaksud dengan qishah merupakan memberikan perlakuan yang sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukanya terhadap korban. Hukuman qishash bagi pelaku pidana disyaratkan agar perbuatan pembunuhan harus perbuatan langsung, bukan perbuatan tidak langsung. Apabila perbuatanya tidak langsung hukumanya adalah diyat sebagai hukuman pengganti.

Dengan demikian, Penjatuhan hukuman oleh hakim terhadap J dan MG dalam kasus yang penulis teliti bertujuan untuk memberikan sifat keadilan bagi keluarga korban. Memutus rantai dendam merupakan tujuan lain dari pidana yang dijatuhkan terhadap J dan MG. Kondisi ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan

Dokumen terkait