• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIAWALI OLEH CAROK DI PENGADILAN NEGERI SAMPANG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIAWALI OLEH CAROK DI PENGADILAN NEGERI SAMPANG SKRIPSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIAWALI OLEH CAROK

DI PENGADILAN NEGERI SAMPANG SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

MUAMMAR QADAFI 11150430000007

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIAWALI OLEH CAROK DI PENGADILAN NEGERI SAMPANG” telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 26 November 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Muammar Qadafi

NIM : 11150430000007

Program Studi : Perbandingan Madzhab

Alamat :Dsn. Batusendi Desa Sidogedungbatu Kec.Sangkapura Kab. Gresik.

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari ditemukan hasil karya penelitian ini plagiat maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 November 2020

MUAMMAR QADAFI 11150430000007

(5)

iv

ABSTRAK

MUAMMAR QADAFI. NIM 11150430000007. PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DIAWALI OLEH CAROK DI PENGADILAN NEGERI SAMPANG. Program StudiPerbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020M/1441H. x+75 halaman.

Carok adalah konflik kekerasan orang Madura yang timbul dan disebabkan karena persoalan harga diri. Carok sebagai institusionalisasi kekerasan orang Madura, yang berupa upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam, pada umumnya adalah clurit. Yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri. Rumusan masalah tulisan ini adalah bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan yang diawali oleh carok di Pengadilan Negeri Sampang dalam putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.Spg dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg. Jenis penelitian ini yaitu penelitian lapangan (field research). Data primer diperoleh dari lokasi penelitian, yaitu di Pengadilan Negeri Sampang. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik dengan mengumpulkan data yang valid melalui sumber-sumber terpercaya. Teknik pengumpulan data berupa observasi, interview (wawancara) dan dokumentasi. Analisis data menggunakan metode kualitatif.

Kesimpulan penelitian ini yaitu Penjatuhan hukuman oleh hakim terhadap J dan MG dalam kasus ini bertujuan untuk memberikan sifat keadilan bagi keluarga korban. Memutus rantai dendam merupakan tujuan lain dari pidana yang dijatuhkan terhadap J dan MG. Kondisi ini sangat efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat dikualifikasikan kejahatan berat seperti carok.

Kata Kunci : Pertimbangan Hakim, Pidana Pembunuhan, Carok

Pembimbing : Fahmi Ahmad Ahmidi, M.Si., Mara Sutan Rambe, S.H.I., M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1998 s.d. Tahun 2020

(6)

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar aksara Akrab dan padaanya dalam Bahasa Latin :

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan ا Tidak dilambangkan ب b Be خ t Te ث ts te dan es ج j Je

ح h ha dengan garis bawah

خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r Er س z zet س s es

(7)

vi

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض d de dengan garis bawah

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع koma terbalik di atas hadap

kanan غ gh ge dan ha ف f ef ق q Qo ك k ka ل l el م m em ن n en و w we ه h ha ء apostrop ي y ya

(8)

vii

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ ـــــ َـــــ a fathah َ ـــــ َـــــ i kasrah َ ـــــ َـــــ u dammah Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ـــــ َ َ َـ ــ َــ

َََ

ََ

ي

ai a dan i َ ـــــ ـــــ

َ

َو

au a dan u Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ ـا

َــــ

â a dengan topi diatas

َىَـ

َ َ

َـ

َـــ

î i dengan topi atas

َ ــو

ـــ

û u dengan topi diatas

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

(9)

viii

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam )لا), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyahatau huruf qamariyyah. Misalnya: َداهثجلإا=al-ijtihâd

No Kata Arab Alih Aksara

1

َحعٌزش

syarî ‘ah

2

َحٍملاسلإاَحعٌزشلا

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah

3

َةهاذملاَحنراقم

Muqâranat al-madzâhib

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan g. Huruf Kapital

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

َحصخزلا= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah e. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: ةع فشلا = al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah

(10)

ix

huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, يراخبلا= al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara

No Kata Arab Alih Aksara

1

َخ

َا

ر

َى

َظح

م

َل

َا

َح

ٍََ

َث

َت

جرو

َزضلا

al-darûrah tubîhu almahzûrât

2

َ

َ

م

لا

َس

لإ

ََا

د

َا

صت

ق

لإا

al-iqtisâd al-islâmî

3

ه

قفل

ََا

لىصأ

usûl al-fiqh

4

ح

َح

َا

تل

إ

َا

ء

َا

َ ٍشلأ

َا

َى

ََف

لصلأا

al-‘asl fi al-asyyâ’ alibâhah

5

َحلسزملاَححلصملا

al-maslahah al-mursalah

ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

(11)

x

KATA PENGANTAR

مي حهرلاَ ن مْحهرلاَ هاللََّ مْس ب

Segala puji dan syukur tak hentinya penulis sampaikan kepada Allah SWT. berkat rida, rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang Diawali oleh Carok di Pengadilan Negeri Sampang”. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat dan salam senantiasa penulis mohonkan kepada Allah SWT semoga selalu tercurahan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada segenap keluarganya, sahabat-sahabatnya serta umatnya yang kokoh dan setia mengikuti ajarannya sepanjang zaman. Mudah-mudahan kita termasuk bagian umat beliau yang akan mendapatkan pertolongan di hari kiamat, amin.

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa hasil penelitian ini selesai berkat bimbingan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak. Banyak pihak yang sudah berkontribusi dan menjadi penyemangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Dengan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Karlie, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Ibu Siti Hanna, M.A selaku Ketua Program Studi dan Bapak Hidayatullah, M.H selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab yang terus memberikan ilmu kepada penulis

3. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Bapak Mara Sutan Rambe, MH. Selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas waktu, tenaga, ilmu yang diberikan. Semoga kesehatan, kemudahan dan keberkahan selalu menyertainya.

4. Bapak Hasan Ali, MA. Selaku dosen Pembimbing Akademik selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Syariah dan Hukum, semoga Semoga kesehatan, kemudahan dan keberkahan selalu menyertainya.

5. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada penulis

(12)

xi

6. Bapak Afrizal dan jajaran, selaku hakim pada Pengadilan Negeri Sampang yang telah membantu penulis dalam studi lapangan.

7. Bapak Muslim dan Tokoh masyarakat di Daerah Sampang, Madura yang telah memberikan informasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga keberkahan selalu terlimpah kepada mereka.

8. Teristimewa untuk keluarga kecil penulis, Ayahanda H. Abdul Malik Bin Abdul Mutolib dan Ibunda Hj. Aisah Binti Tabri. Terima kasih atas semua doa, pengorbanan, jerih payah, serta dukungan atas semua cita-cita dan impian penulis. Tiada kata yang pantas selain doa yang selalu penulis panjatkan, juga untuk kakak-kakak pernulis tersayang, yang selalu memberikan semangat dan doa untuk penulis. Semoga kesehatan dan keberkahan selalu menyertai semuanya.

9. Segenap keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, terima kasih atas pergerakan kalian, teruslah bergerak bersama, karena jalan kehidupan masih panjang, menunggu karya-karya hebat dari sang pejuang;

10. Teman-teman Perbandingan Mazhab yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

11. Teman-teman penulis yang terus memotivasi penulis (Yori Febrianto, Iqbal Maulana, Almas Nahrowi, Rifqi Ahmad Nawawi dan Risye Julianti) semoga sukses selalu untuk semuanya.

12. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini

Jakarta, 28 November 2020

13 Rabiul Akhir 1442 H

Penulis

MUAMMAR QADAFI 11150430000007

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI . ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kajian Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CAROK DI MADURA A. Pengertian Carok.. ... 11

B. Budaya Masyarakat Madura ... 13

1. Gambaran Budaya Madura. ... 13

2. Pepatah dalam Budaya Madura ... 16

3. Carok sebagai suatu Tradisi di Madura ... 18

C. Carok Menurut Para Ahli ... 19

1. Menurut Huub de Jonge ... 19

2. Menurut Touwen Bouwsma ... 20

(14)

xiii

D. Carok Sebagai Tindak Pidana ... 21

1. Pengertian Hukum Pidana ... 21

2. Unsur-Unsur dalam Tindak Pidana ... 24

3. Jenis-Jenis Pemidanaan ... 27

4. Pembunuhan dalam Hukum Pidana ... 28

5. Pasal-Pasal yang dapat dijatuhkan terhadap Carok .29 BAB III CAROK PADA PUTUSAN NOMOR 242 Pid.B/2014/PN.Spg. DAN PUTUSAN NOMOR 14/Pid.B/2015/PN.Spg A. Duduk Perkara ... 33

B. Fakta-Fakta di Persidangan ... 35

C. Pertimbangan Hakim ... 39

D. Amar Putusan ... 44

E. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Sampang... 46

1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Sampang 46 2. Hakim-hakim pada Pengadilan Nageri Sampang 47 3. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Sampang 50 4. Perkara yang diselesaikan di Pengadilan Negeri Sampang ... 51

BAB IV ANALISIS CAROK PADA PUTUSAN NOMOR 242 /Pid.B/ 2014/ PN. .Spg. DAN PUTUSAN NOMOR 14/Pid.B/2015/PN.Spg A. Pendekatan Yuridis ... 54 B. Pendekatan Sosiologis ... 62 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...66 B. Saran ...67 DAFTAR PUSTAKA

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk didalamnya agama, politik, hukum, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat komplek, abstrak, dan luas. Budaya turut menentukan perilaku seseorang dan kegiatan sosial manusia lainnya.

Indonesia terdiri dari berbagai budaya yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja, Madura dengan budaya caroknya. Budaya carok sering menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Disisi lain, penilaian orang tentang carok sering terjebak dalam stereotiep orang Madura yang keras perilakunya, kaku, menakutkan, dan ekspresif. Stereotiep ini sering mendapatkan pembenaran ketika terjadi kasus- kasus kekerasan dengan aktor utama orang Madura. Padahal, peristiwa itu sebenarnya bukan semata-mata masalah etnis, melainkan juga menyangkut masalah ekonomi, sosial, dan politik yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan.

Penilaian orang secara stereotiep ini pernah dikaji oleh Huub de Jonge (l995) dengan menganalisis arsip-arsip Belanda abad ke-19. Pada abad ke-19, pemerintah Kolonial berusaha meningkatkan keamanan di Pulau Madura dengan menetapkan syarat-syarat tambahan terhadap pemerintah otonom. Pemerintah Kolonial tidak saja memperkuat daerah kekuasaannya pada otoritas-otoritas yudisial dan kepolisian. Akan tetapi, adanya larangan memperbanyak membawa senjata pada tahun 1863.1 Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Kolonil Belanda pada waktu itu menunjukkan bahwa

carok sudah ada sejak zaman dahulu.

1A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LkiS, 2002) h.79

(16)

2

Dalam implementasinya, pelaku carok bisa terjadi dalam bebarapa keadaaan, pertama satu orang melawan satu orang, kedua satu orang lawan dua orang, ketiga dua orang lawan satu orang, dan bahkan satu orang melawan tiga orang atau lebih. Jika carok dilakukan oleh lebih dari satu orang, pasti pelaku carok dibantu oleh kerabat dekatnya (taretan dalem). Bahkan, juga kerabat yang ikut membantu carok, bukan orang dalam katagori tersebut, meskipun termasuk kerabat dekat. Jika ada balasan dari pihak yang kalah terhadap pihak yang menang. Biasanya, ada kemungkinan yang akan melakukannya adalah orang tua. jika orang tua tidak mampu melakukan dikarenakan alasan usia yang sudah tua atau alasan tertentu, maka ada kemungkinan yang lain adalah saudara kandungnya (kakak atau adik) atau kerabat dekatnya, seperti saudara sepupu.

Carok yang dilakukan di Madura sangat erat kaitannya dengan harga diri. Hal ini tertuang dalam pepatah orang Madura yang berbunyi “ango’an apote tolang etempang apote matah2”. Pepatah tersebut bermakna lebih baik mati dari pada menangung malu. Jelas terlihat bahwa carok yang dilakukan orang Madura bermula dengan harga dirinya yang dilecehkan orang lain sehingga menimbulkan perasaan malo (malu), perasaan malo ini menjadi salah satu faktor utama pemicu terjadinya carok. Pengungkapan kebebasan perasaan dan tindakan itu tidak hanya dalam lingkup pribadi, melainkan juga dalam kehidupan bersama. Bagi masyarakat Madura, lingkup sosial ini bisa menyangkut harga diri yang bisa diartikan sebagai kapasitas dari seorang yang mentukan posisinya dalam struktur sosial.3

Menurut catatan Noonan, lembaga-lembaga peradilan serta para hakim sangat diagungkan sekalipun, lebih sering gagal untuk memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi atau kepentingan kepentingan sosial para pihak. Itu terjadi ketika para hakim membiarkan adanya “topeng” (yaitu konsep-konsep untuk mengklasifikasikan secara formal) dan dengan begitu menyembunyikan realitas kemanusiaan dan sosial yang komplek yang ada dalam kasus-kasus yang mereka hadapi. Carok pada masyarakat madura sudah menjadi tradisi yang telah berlangsung turun menurun. Carok cukup

2 B. Madura : Lebih baik putih tulang dari pada putih mata

3 Mahrus Ali, Nilai-nilai Budaya Masyarakat Madura Mengenai Penyelesaian Carok dalam Hukum Pidana, Ius Quia Iustum, (Jurnal Hukum, UII Yogyakarta, Vol. 17, NO.1 Januari 2010), h. 89.

(17)

3

merepotkan bagi aparat penegak hukum, dikarenakan dapat menimbulkan korban yang relatif banyak dan ada upaya balas dendam dari masing-masing kelompok yang bertikai, serta sewaktu-waktu bisa muncul kembali dalam suasana tak terduga.4

Carok sering terjadi dan sudah banyak korban yang kehilangan nyawa karena terbunuh dalam pertentangan carok tersebut. Terjadinya pembunuhan dalam carok dikarenakan karakteristik masyarakat Madura yang menempatkan harga diri diatas segalanya. Hilangnya nyawa orang lain termasuk dalam hukum Indonesia termasuk dalam tindak pidana dengan konsekuensi tertentu.

Dalam beberapa kasus, carok seringkali menimbulkan kematian. Seperti kasus yang terjadi pada keluarga Sumhari dan Buhari yang terdapat dalam Putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.spg. Kasus ini bermula dari berita yang menyebar ditengah masyarakat bahwa telah terjadi perselingkuhan antara anak terdakwa dengan istri Buhari yang bernama Busiyah dari keluarga Busiyah. Buhari mereka merasa di permalukan oleh terdakwa. Merasa harga dirinya diinjak, Buhari mengajak teman-temannya untuk melakukan carok kepada keluarga tersangka.

Dua orang meninggal dalam kejadian ini. Sesuai dengan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam visum et repertum No.188/VER/434.102.100.10/2014 tanggal 18 agustus 2014 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. H. Sukarno.5 Pelaku pun dijerat dalam pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP dan mendapat hukum penjara 10 tahun atas tindak pembunuhan tersebut.

Permasalahan diatas kalau dikaitkan dengan hukum pidana di Indonesia yang berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk pembunuhan dengan direncanakan. Dalam pasal 340 KUHP disebutkan bahwa seseorang dikenakan pidana pembunuhan jika memenuhi unsur-unsur yamg terdiri dari unsur subjektif diantaranya opzettelijk (dengan sengaja) voorbedachte raad (direncanakan lebih). Selain unsur subjektif juga terdapat unsur objektif diantaranya broven (menghilang), leven (nyawa), een

4Dr. H. Cahyono, Model Mediasi Penal Dalam Penanggulangan Konflik Kekerasan Carok Masyarakat Madura Berdasarkan Local Wisdom h. 2

(18)

4

ender (orang lain).

Permasalahan ini merupakan permasalahan serius. Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya memperhatikan aspek yuridis namun juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan sosiologis. Pada akhirnya hukuman pidana pembunuhan yang terjadi di Madura dengan latar belakang carok seringkali berbeda dengan hukuman pidana pembunuhan yang dijatuhkan di luar Madura.

Berdasarkan permaslahan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang diawali oleh Carok di Pengadilan Negeri Sampang”. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perdedaan tersebut terletak pada objek dan kasus yang diteliti.

B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Terdapat beberapa hal yang dijadikan pokok permasalahan dalam penelitian yang dilakukan. Pokok permasalahan dari latar belakang yang telah diatas antara lain :

a. Kuatnya tradisi carok dalam keseharian masyarakat yang mengenyampingkan penyelesaian masalah secara musyawarah dan hukum positif;

b. Carok masih menjadi tradisi untuk menjaga kehormatan dalam masyarakat Madura;

c. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum positif yang pada akhirnya mendahulukan budaya terhadap penyelesaikan masalah.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Penulis hanya akan membahas mengenai “Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang diawali oleh Carok di Pengadilan Negeri Sampang (Analisis Putusan Nomor : 242 Pid.B/2014/PN.Spg dan Putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg)

(19)

5

3. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis angkat adalah bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan yang diawali oleh carok di Pengadilan Negeri Sampang dalam putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.Spg dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian sengketa carok di pengadilan Negeri Sampang dalam putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.spg. dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan pemikiran hukum dan teori hukum di Indonesia, terutama mengenai hukum pidana di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Peneliti, penelti dapat mengetahui pertimbangan hakim dan cara penyelesaian dalam putusan yang terdapat dalam Nomor 242/Pid.B/2014/PeN.spg dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg

2) Bagi Akademisi, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk memahami suatu budaya carok yang berkaitan dengan hukum tindak pidana di Indonesia

3) Bagi Masyarakat, penelitian ini memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang ilmu hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan dengan carok sehingga akan memberikan kesadaran mendalam.

D. Kajian Terdahulu

Sebelumnya telah ada penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, yang terdiri dari; Pertama, “Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Yang Berkaitan Dengan Carok Di Kabupaten Pamekasan” oleh Moh.Wahana Surya Prayoga, Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional. Dalam penelitian ini ia lebih membahas

(20)

6

tentang tindak kekerasan yang disebabkan oleh carok yang berkutat dalam Kepada Kitab Undang-undang Hukum pidana dan Hukum islam serta pemberian sanksi bagi pelaku Carok.6

Kedua, “Peran Ulama dalam Upaya-Upaya Penyelesaian Budaya Carok di Daerah Bilaporah, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan-Madura” oleh Robert Antariksa, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Wali Songo Semarang. Dalam penelitian ini ia menjelaskan tentang praktek budaya carok dan peran ulama dalam penyelesaian carok di Bilaporah Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.7

Ketiga, “Pelaksanaa Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Carok Massal di Wilayah Hukum Polwil Madura” oleh Tria Rosita Oktarina, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. dalam penelitian ini ia lebih menjelaskan tentang penyelidikan dan penyidikan perkara carok massal di Polwil Madura.8

Keempat, “Peran Kiai dalam Rekonsiliasi Sosil Pasca Carok Massal di Bujur Tengah Pemekasan Madura” oleh Ismail dam Moh Wardi, STAI Nazhatut Thullab Sampang. Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa konflik yang terjadi di Bujur Tengah, yang berujung pada terjadinya caok massal dilatarbelakangi oleh kepentingan atau kebutuhan tertentu diantara para pihak yang berkonflik. Konflik ini dielesaikan oleh Kiai, Kiai berperan sebagai konseptor, negosiator, mediator dan eksekutor.9

E. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.

6 Moh.Wahana Surya Prayoga, Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang Berkaitan dengan Carok di Kabupaten Pamekasan, (Surabaya: UPN, 2012), h. 56

7 Robert Antariksa, Peran Ulama dalam Upaya-Upaya Penyelesaian Budaya Carok di Daerah Bilaporah, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan-Madura, (Semarang : UIN Walisongo, 2016), h. 101-102

8Tria Rosita Oktarina, Pelaksanaa Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana Carok Massal di Wilayah Hukum Polwil Madura, (Surakarta: USM, 2008), h. 63-64

9Ismail, Moh. Wardi, Peran Kiai dalam Rekonsiliasi Sosial Pasca Carok Massal di Bujur Tengah Pemekasan Madura, (Madura: STAI Nazhatut Thullab Sampmang, 2019), h. 150.

(21)

7

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut :

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang didukung oleh studi kepustakaan dengan pendekatan kualitatif.10 Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis yang dikerjakan langsung ke lapangan yaitu dengan melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum lainya yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana dalam tindak pembunuhan, serta dilakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan data dan informasi terkait dengan penelitian ini guna mendapatkan data dan informasi yang akurat serta dapat dipercaya kebenaranya.Penelitian ini mengacu pada permasalahan budaya carok dalam penyelesaian sengketa oleh hakim terhadap tindak pidana pembunuhan yang terjadi di Pengadilan Negeri Sampang (Studi kasus Putusan Nomor : 242 Pid.B/2014/PN.Spg dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg).

2. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yang dimaksud data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada penulis.11 misalnya data-data yang didapat secara langsung di lapangan dengan cara mendapatkan informasi dan informan yang dilakukan melalui wawancara dilapangan, sedangkan data sekunder ini meliputi putusan pengadilan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, buku harian, hasil interview, dan lain-lain.

Data primer bersumber dari hasil penelitian secara langsung dilokasi penelitian. Data perimer ini diperoleh melalui putusan hakim yang berisi tentang terjadinya carok serta dasa pertimbangan hakim dalam penyelesaian sengketa untuk menjatuhkan hukuman tindak pidana pembunhan dan wawancara dengan narasumber yang terkait dalam 10Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 2002), h. 3

(22)

8

putusan yang terdapat di pengadilan Negeri Sampang tersebut.

Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari laporan tertulis yang ada pada dokumentasi, pendapat pakar, dan undang- undang yang menunjang bahan hukum primer. Dalam hal ini data sekunder diperoleh dari Putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.Spg., dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data yang digunakan, dibutuhkan teknik pengumpulan data, agar bukti dan fakta yang diperoleh tidak menyimpang dari data yang sebanenarnya.12 Untuk memperoleh data yang relevan

dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat kualitatif, maka teknik pengumpulan data penulis diawali dengan penelusuran peraturan perundang-undangan yang dianggap relevan dengan pokok permasalahan yang teliti, kemudian dilanjutkan dengan pengkajian terhadap permasalahan diteliti dengan cara menganalisis putusan pengadilan yang memiliki hukum tetap dalam hal ini.

4. Teknik Pengelolaan Data dan Analisis Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan data yang digunakan adalah melalui Analisis deskriptif yaitu menguraikan, menggambarkan, memaparkan dan menganalisis tentang carok dalam penyelesaian sengketa oleh hakim terhadap tindak pidana Pembunuhan yang terjadi di Pengadilan Negeri Sampang (Studi kasus Putusan Nomor : 242 Pid.B/2014/PN.Spg., dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg.) 5. Pedoman Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan sasuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017.

(23)

9

F. Sistematika Penulisan

Untuk menjelaskan skripsi secara menyeluruh ke dalam penelitian yang sistematis dan terstruktur, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab, sebagai berikut :

BAB I : Merupakan Bab Pendahuluan yang berisi uraian latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian, sistematika penulisan

BAB II : Bab ini membahas Tinjauan Umum tentang Carok. Dalam bab ini dijelaskan tentang pengertian carok, budaya masyarakat Madura, sejarah carok menurut para ahli, carok sebagai tindak pidana, para pihak yang bisa meredamkan emosi orang Madura. BAB III : Bab ini membahas tentang Perkara Carok pada Putusan Nomor

242 Pid.B/2014/PN.Spg., dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg. yang terdiri dari duduk perkara, fakta-fakta, pertimbangan hakim, amar putusan, gambaran umum Pengadilan Negeri Sampang.

BAB IV : Bab ini membahas tentang analisis temuan dan pembahasan, yang terdiri dari analisis pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan yang diawali oleh carok di Pengadilan Negeri Sampang dalam putusan Nomor: 242/Pid.B/2014/PN.Spg dan putusan Nomor 14/Pid.B/2015/PN.Spg.

(24)

10

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG CAROK DI MADURA

A. Pengertian Carok

Carok adalah istilah yang berasal dari bahasa Madura yang diartikan dengan berkelahi atau bergaduh. Carok sebagai bentuk sebuah perkelahian dalam perbuatannya menggunakan senjata tajam khas Madura yaitu clurit. Dalam artian lain carok juga ditafsirkan sebagai suatu tindakan secara fisik yang dilakukan oleh seseorang untuk menewaskan atau membunuh seorang musuh dengan menggunakan clurit.13

Clurit merupakan senjata tajam yang berbentuk bulan sabit, yang pada fungsi sesungguhnya digunakan sebagai alat bantu dalam pertanian, namun melihat bentuk senjata tersebut, tidak dapat dipungkiri dapat mencederakan orang lain. Disamping penggunaan clurit, carok dalam masyarakat Madura sudah menjadi suatu kelaziman dan menjadi pola prilaku yang turun-temurun dari generasi ke generasi. Singkat kata carok sudah diterima sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan berbagai sengketa dan persoalan yang bertitik pada masalah harga diri.14

Dalam kehidupan bermasyarakat orang Madura, status seseorang tidak dapat dipisahkan pada peranan dan status dalam struktur sosial. Peranan dan status dalam struktur sosial tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk masing- masing individu tetapi juga harus diakui oleh masyarakat lain yang hidup di lingkungan sosial tersebut. Sehingga peranan dan struktur sosial sesorang individu harus diakui dan dihargai oleh individu lain yang hidup dalam masyarakat. Bagi masyarakat Madura, tindakan tidak menghargai atau tidak mengakui peranan dan status sosial seseorang sama artinya dengan memperlakukan seseorang itu sebagai orang yang tada’ ajina (benar-benar tidak punya harga diri lagi) dan selanjutnya menimbulkan perasaan malo. Dengan kata lain bagi orang Madura, jatuhnya harga diri atau muruah diri

13Muhamad Fauzi B. Sukmi, Carok sebagai Elemen Identiti Manusia Madura, Akademika 65, 2004, h. 97-98

14 Muhamad Fauzi B. Sukmi, Carok sebagai Elemen Identiti Manusia Madura, Akademika

(25)

11

dianggap sama artinya dengan jatuhnya status diri dimata masyarakat.15 Orang Madura yang merasa harga dirinya sudah digugat akan cenderung melakukan tindakan balas terhadap orang yang menghinanya sebagai usaha untuk memulihkan harga dirinya. Tindakan yang diambil cenderung sangat agresif dan lazimnya adalah tindakan menyerang dengan senjata tajam yaitu clurit. Akibatnya musuh tercedera bahkan sampai terbunuh. Berpedoman pada pepatah ango’an poteya tolang etembang potea mata (biar putih tulang jangan putih mata). Pepatah ini sering dipakai bagi masyarakat Madura ketika harga dirinya tidak dianggap, mereka rela mati dari pada menanggung malu.16

Setidaknya ada lima perkara yang menimbulkan perasaan malo17 pada orang Madura. Pertama, apabila istri mereka diganggu, makna ini mengalami perluasan misalnya dalam bentuk perselingkuhan, perzinahan hingga menganggu seorang gadis yang sudah dilamar oleh seorang pria. Kedua, apabila harta mereka diganggu, misalnya pencurian, perampokan dan lain-lain. Ketiga, tanah percanton, merupakan tanah milik desa, diperoleh dari kas desa atau pemberian dari pemerintah. Keempat dalam beberapa kasus carok juga terjadi akibat perbedaan pilihan dalam pemilihan kepala desa atau daerah. Motif ini biasanya dilakukan oleh para pendukung calon yang maju dalam pemilihan kepala desa atau daerah. Kelima, carok bermotif membalas dendam kematian keluarga sebelumnya, motif ini akan menciptakan carok yang terus menerus jika kata damai tidak tercapai.18

Selain dari perkara diatas, tidak jarang carok juga terjadi dengan tujuan agar martabatnya dipulihkan kembali. Kejadian ini disebut dengan carok balasan atas carok sebelumnya. Hal ini dilakukan ketika bukti-bukti terhadap carok sebelumnya tidak ditemukan kebenarannya atau hanya sebatas fitnah.19

15Latief Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2002), cet. 1, h. 171.

16 Muhamad Fauzi B. Sukmi, Carok sebagai Elemen Identiti Manusia Madura, Akademika

65, 2004, h. 98

17 Malo, B. Madura artinya malu

18Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bapak Muslim, pada 3 November 2019 di Karang Durin, Sampang.

19 Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bapak Muslim, pada 3 November 2019 di

(26)

12

Berdasarkan beberapa penyebab diatas, perbuatan menganggu istri adalah yang paling rendah derajatnya. Bagi orang Madura ini sangat hina sekali dan sangat menyakitkan. Perasaan malu ini tidak bisa diperbaiki selain dengan membunuh (carok) orang yang telah menjatuhkan harga dirinya. martabat seorang istri adalah manifestasi martabat dan kehormatan suami.20

Dalam pemahaman orang Madura, menang dalam carok merupakan bentuk kepuasan tertinggi disaat malo-nya dipermainkan. Pelaksanaan carok tersebut dilakukan dengan berbagai cara.21 Pertama, carok dengan cara nyelep adalah tindakan menyerang musuh secara serang hendap (menyerang secara mengejutkan dan belakang dengan sekali tebas membelah perut atau memotong urat nadi leher. Meskipun dianggap mampu untuk menumbangkan musuh, namun disisi lain cara ini dianggap pengecut dan tidak kesatria. Kedua, dengan menentang musuh secara berhadap-hadapan, tindakan ini boleh dilakukan dimana saja. Ketiga, carok yang disebut sebagai ngonggai, yang mana pihak yang ingin melakukan carok harus mengunjungi rumah lawannya lalu mencabar untuk bertarung secara berhadapan.

B. Budaya Masyarakat Madura 1. Gambaran Budaya Madura

Madura adalah nama pulau yang secara geografis terletak di Pulau Jawa, kurang lebih 7o sebelah selatan dari khatulistiwa diantara 112o dan

114o bujur timur. Pulau ini dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura, yang

menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Moncongnya di barat laut, agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut. Panjang Pulau Madura itu kurang lebih 190 km dan jarak yang terlebar pulau itu adalah 40 km, luasnya 5303 km2, Pantai selatannya dibagian timur memiliki dua teluk yang besar, terlindung oleh pulau-pulau, gundukan-gundukan pasir, dan batu karang. Disebelah timur terletak Kepulauan Sapudi dan Kangean yang termasuk administrasi Madura. Kepulauan itu keseluruhannya terdiri dari

20 Latief Wiyata, Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:

PT. LKIS Printing Cemerlang, 2002), cet. 1, h. 173.

21Muhamad Fauzi B. Sukmi, Carok sebagai Elemen Identiti Manusia Madura, Akademika 65, 2004, h. 101

(27)

13

hampir 50 pulau yang berpenghuni dan yang tidak berpenghuni.22

Pulau Madura memiliki empat Kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Madura, pulau dengan sejarahnya yang panjang, tercermin dari budaya dan keseniannya dengan pengaruh Islamnya yang kuat. Pulau Madura didiami oleh salah satu suku etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar dua puluh juta jiwa.23

Agama Islam adalah elemen yang penting dalam kehidupan orang Madura. Agama Islam dibawa masuk ke Pulau Madura pada abad ke-15 dan 16 oleh para Wali Songo, terutama pengikut Sunan Giri dari Gresik. Pengaruh agama Islam terhadap unsur kehidupan masyarakat Madura dapat dilihat terutamanya pada hubungan yang erat antara ulama dengan anggota masyarakat.24

Selain agama Islam, bahasa dan budaya Madura merupakan unsur yang penting dalam membedakannya dengan kumpulan suku lain yang ada di Jawa Timur. Meskipun pada kenyataannya budaya Madura hampir sama dengan budaya Jawa, bahkan dalam lingkaran yang lebih luas, budaya Madura dapat dikatakan termasuk dalam lingkaran kebudayaan Jawa-Bali- Madura-Sunda. Namun, ciri tersendiri tentu dimiliki oleh budaya Madura. Perbedaan jelas terlihat dari segi bahasa yang sangat berpengaruh terhadap budaya keseharian masyarakat.25

Dalam pandangan orang diluar suku Madura, orang Madura selalu diidentikkan dengan stereotiep kasar dan tidak berbudi bahasa bahkan disebutkan bahwa orang Madura bersifat panas dan cepat meluap perasaannya. Namun demikian dalam keseharian ada beberapa aspek yang ciri khas Madura yaitu soto madura, sate madura, kerapan sapi, carok, remo dan ojung.

Dalam literatur lain disebutkan bahwa orang Madura bersinonim

22Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam Studi-Studi Antropologi Ekonomi, ( Jakarta: Gramedia, 1989), h. 3

23https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pulau_Madura, diakses pada 27 September 2019 pukul 14.00 WIB.

24Andang Subaharianto, Tantangan Industrial Madura: Membentuk Kultur, Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia, 2004)

25Muhamad Fauzi B. Sukmi, Carok sebagai Elemen Identiti Manusia Madura, Akademika 65, 2004, h. 92

(28)

14

dengan senjata. Ketika menyebut orang Madura, senjata selalu muncul dalam pemikiran. Dalam terbitan Wop pada tahun 1866 disebutkan bahwa “di jalan atau di sawah, hampir tak pernah terlihat orang Madura yang tidak berbekal tombak atau keris, atau membawa arit, tjaloq (parang berujung bengkok) atau wadung (sejenis tjaliq), atau pekerjaan. Dengan alat itu ia membelah kayu, membabat semak belukar untuk membuka jalan setapak, memotong bambu dan lain-lain, dan kalau perlu, ia menggunakannya pula untuk memotong lengan, kaki, dan kepala sesama manusia”.26

Dalam De Java Post yang diterbitkan pada tahun 1911 disebutkan bahwa “Sebagaimana bocah di negeri Belanda yang menerima celana panjang ketika menjadi remaja, bocah seumurannya di Madura mendapatkan clurit”. Pengenalan senjata sudah diajarkan sejak dini, menjadi suatu hal yang wajar ketika pada akhirnya carok menjadi hal yang wajar di Madura.

Namun, berdasarkan pengamatan penulis, tradisi pemberian clurit sudah jarang dilakukan. Bahkan dalam keseharian, clurit lebih sering dipajang di rumah, digunakan jika terdesak. Clurit sudah tidak menjadi kelengkapan diri saat berpergian. Namun sifat menjaga harga diri masih kuat bagi orang Madura.27

2. Pepatah dalam Budaya Madura

Melihat kondisi budaya dan tradisi orang Madura yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia, maka ada beberapa filosofi yang melatarbelakangi orang Madura untuk melaksanakan budaya dan tradisi tersebut, dalam tradisi carok misalnya orang Madura memegang kuat pepatah pote mata ban pote tolang, ango’ poteya tolang. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia berbunyi lebih baik putih tulang daripada putih mata. Bahkan lebih ditegaskan lagi dalam ungkapan “tambhana todus, mate”.28 Dalam beberapa kondisi dapat dipahami sebagai tindakan menolong diri sendiri dengan cara kekerasan di kalangan orang Madura.

26Huub de Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011), h. 68-69.

27Wawancara yang dilakukan dengan Bapak Muslim pada 4 November 2019 di Sampang Madura 28Tambhana todus mate, B. Madura artinya obatnya malu adalah mati.

(29)

15

Secara umum, bebagai pelanggaran yang masih diselesaikan dengan tindakan menolong diri sendiri adalah pelanggaran yang tidak tercantum dalam undang-undang dan yang lazimnya dianggap tidak penting di tataran yang lebih tinggi. Pengabaian ini berarti bahwa hukuman yang dijatuhkan dianggap terlalu ringan menurut pendapat masyarakat setempat. Dalam kasus-kasus seperti ini, hukum nasional tidak sejalan dengan rasa keadilan setempat. Hampir selalu, urusan-urusan ini berkenaan dengan masalah kehormatan dan rasa malu. Kehormatan dan kekuatan fisik, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Kiefer (seorang antropolog) manusia berdarah daging seolah-olah perwujudan kehormatan. Melukai kehormatan seseorang identik dengan menyakiti seseorang secara fisik dan sebaliknya.

Dalam konflik-konflik semacam ini, tidak seorang pun mengharapkan hukum adil atau keputusan cepat dari pihak berwenang yudisial. Apapun penyebabnya, hingga kini masyarakat pedesaan Madura tetap cenderung curiga kepada pemerintah. Meskipun telah belajar menerima kontrol negara di bidang-bidang tertentu, mereka tidak mempercayai atau menerima campur tangan pihak luar dalam soal kehormatan. Oleh karena itu, masyarakat membela kepentingan mereka sendiri. Jika harga diri dan martabat terlibat, serta terjadi benturan antara rasa kehormatan dan rasa malu, maka tindakan menolong diri dengan cara kekerasan menjadi satu-satunya jawaban yang tersedia bagi orang Madura yang hidup di pedesaan.29

Reaksi yang demikian ekstrem ini juga diharapkan dan didorong oleh kerabat, tetangga dan penonton dari orang-orang yang dihina dan dipermalukan. Tidak ada yang lebih malu dari pada jawaban menghindar, sabar atau gentar, terhadap perlakuan yang mengecilkan atau pelanggaran yang menistakan, betapun kecilnya. Bahkan ada ungkapan bahwa tampil berani adalah nilai penting dalam kepercayaan diri laki-laki. Hanya melalui kekuatan fisiklah ia dapat menyelamatkan kehormatannya.

3. Carok sebagai suatu Tradisi di Madura

Dalam tradisi Madura, carok sudah menjadi suatu kabiasaan yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

29Huub de Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, 2011), h. 138-139

(30)

16 Carok sebagai bagian dari etnografi Madura meskipun tergolong sadis, spontan dan tak berperikemanusiaan. Namun carok memiliki aturan dan etika dalam pelaksanannya. Carok sebagai solusi problematika lazim dijadikan jalan efektif ketika harga diri orang Madura dilecehkan. Namun demikian masih terdapat upaya rekonsiliasi terlebih dahulu sebelum terjadi carok.

Penting dinyatakan kembali bahwa istilah carok hanya dipakai oleh orang Madura untuk menyebut pembunuhan atau mutilasi (jika pembunuhan itu tidak berhasil) dengan senjata tajam. Membunuh atau melukai manusia dengan senjata api atau racun tidak pernah disebut sebagai carok. Penggunaan senjata api atau racun dalam konflik antarindividu atau antarkeluarga jelas dipandang sebagai kurang terhormat.30

Carok bisa dikatakan sebagai kemurkaan yang terkendali, yang ditujukan kepada individu tertentu. Dengan kata lain carok merupakan tidakan pilih-pilih bulu. Carok secara paradoksal, memiliki unsur pengendalian diri, meskipun situasinya dapat saja menjadi tidak terkendali. Ketika carok sudah terjadi, aturan main tetap diberlakukan. Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan tidak menyergap dari arah belakang dan ketika lawan tersungkur maka posisi mayat akan menentukan proses kelanjutannya. Jika mayat terlentang, posisi tersebut dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya, maka keluarganya dipandang berhak untuk melakukan balas dendam. Tetapi, jika posisi meninggalnya tertelungkup menghadap tanah, maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.31

Dalam sejarah Madura, tercatat banyak korban yang sudah meninggal karena carok. Carok seringkali mewarnai masyarakat Madura ketika terjadi suatu sengketa dengan motif dan tujuan tertentu. Dalam beberapa kasus carok tidak hanya terjadi antara dua pihak sebagai bentuk harga diri masing-masing keluarga, namun carok pernah terjadi secara massal (melibatkan banyak orang) misalnya carok yang terjadi pada tahun 2006 di daerah Bujur, Kabupaten Pemekasan dalam sengketa tanah

30 Huub de Jonge, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing

Cemerlang, 2011), h. 127

31Taufiqurrahman, Identitas Budaya Madura, Karsa Jurnal Studi keIslaman Vol. XI 1 April 2007.

(31)

17 percanton. Carok massal ini berkaitan dengan perebutan tanah percanton di Desa Bujur Tengah. Carok tersebut awalnya dipicu oleh masalah individual antara kepala desa H. Mursyidin dan mantan kepala desa H. Baidawi mengenai sengketa tanah percanton.32

Carok tidak pernah disepakati menjadi suatu budaya dalam masyarakat Madura. Akan tetapi, kehadirannya tidak dapat dipisahkan sebagai bentuk harga diri dan cara untuk menyelesaikan permasalahan.33Kondisi inilah yang mewarnai orang Madura dengan pembunuhan yang diawali carok.

C. Teori Keadilan Menurut Aristoteles

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.

Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributif menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Sehingga dapat disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan

32 Ismail dan Moh Wardi, Peran Kiai dalam Rekonsiliasi Sosial Pasca Carok Massal di Bujur Tegah Pemekasan Madura, (Madura: Stai Nazhatut Thullab Sampang, 2019), h. 133

33 Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Bapak Muslim, pada 3 November 2019 di Karang Durin, Sampang.

(32)

18

keadilan.

akorektif menurut Aristoteles. Teori keadilan menurut Arsitoteles yang dikemukakan oleh Theo Huijbers adalah sebagai berikut:

1) Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik. Disini berlaku kesamaan geometris. Misalnya seorang Bupati jabatannya dua kali lebih penting dibandingkan dengan Camat, maka Bupati harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada Camat. Kepada yang sama penting diberikan yang sama, dan yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.

2) Keadilan dalam jual-beli. Menurutnya harga barang tergantung kedudukan dari para pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.

3) Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat dan juga publik. Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa mempedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang, kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi, maka pejabat itu harus dihukum tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.

4) Keadilan dalam bidang penafsiran hukum. Karena Undang- Undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa konkret tersebut. Menurut Aristoteles, hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu “suatu rasa tentang apa yang pantas”.

D. Carok Menurut Para Ahli 1. Menurut Huub de Jonge34

Tindakan kekerasan berupa carok di Madura tidak dapat dilepaskan dari sejarah politik Pulau Madura ketika ketika pemerintahan Kolonial berkuasa sekitar abad ke-19. Menurut Huub de Jonge, ketika pada awal abad ke-19 di Jawa dibentuk pemerintahan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda, justru di Madura tetap dipertahankan pemerintahan sendiri. Dengan kata lain, pada waktu itu Madura berada dalam kontrol pemerintah (pusat) kolonial. Sistem pemerintahan ini antara lain menyebabkan Madura terisolasi di bidang kemasyarakatan dan feodalisme dengan segala aspeknya berkembang dengan sangat leluasa. Kaum ningrat dan penguasa terjerumus

34Huub de Jonge, Agama, Kebudayaan dan Ekonomi: Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura, (Jakarta: Rajawali Pres, 1989), dalam H. Cahyono, Model Penangulangan Konflik Kekerasan (Carok)Etnis Madura Melalui Criminal Justice System, Yogyakarta: Deepublish, 2012), h. 21-22

(33)

19

dalam kehidupan konsumerisme yang segala pembiayaannya ditanggung oleh rakyat. Akibatnya kewajiban penguasa menurun , kepercayaan kepada pemegang hukum adat hilang, sehingga muncul berbagai bentuk ketidakpastian.

Selain itu, institusi pengadilan tidak berfungsi dan hukum tidak lagi ditaati karena sanksi bagi pelanggar hukum dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Tindakan sewenang-wenang terjadi dimana- mana. Pada gilirannya angka kejahatan berupa pembunuhan meningkat pesat bila dibandingkan masa-masa sebelumnya. Akan tetapi, pertengahan abad ke-19, ketika dimulai pemerintahan langsung, kepastian hukum mulai dirasakan sehingga kekerasan secara drastis berkurang, meskipun masih tetap cukup tinggi bila dibandingkan dengan daerah lain di Nusantara. 2. Menurut Touwen Bouwsma35

Touwen Bouwsma berpendapat bahwa tindakan kekerasan (carok) di Madura berkaitan erat dengan dua peristiwa, yaitu pemilihan kepala desa dan remo36. Menurut ancaman terjadinya carok sangat mungkin oleh peristiwa ini. Dalam pemilihan kepala desa para calon saling bersaing, bahkan saling menantang. Akibatnya tak jarang calon yang kalah merasa terhina dan upaya memulihkan harga diri yang terhina ini tiada cara lain, kecuali diselesaikan melalui carok.

Pada peristiwa remo, potensi konflik biasanya terjadi ketika acara tarian berlangsung. Bentuk-bentuk atau jenis tarian yang dipilih oleh seseorang anggota remo bermakna sebagai ungkapan apa dan siapa dia. Jika bentuk atau jenis tarian yang sama dilakukan oleh orang lain, maka munculah perasaan terhina pada orang yang memilih jenis tarian itu sebelumnya. Konflik pun terjadi dan penyelesaiaan adalah dengan carok.

35 H. Cahyono, Model Penangulangan Konflik Kekerasan (Carok)Etnis Madura Melalui Criminal Justice System, Yogyakarta: Deepublish, 2012), h. 22

36Remo, B. Madura : salah satu tarian untuk penyambutan tamu yang ditampilan baik oleh satu atau lebih.

(34)

20

3. Menurut Smith37

Smith memahmi carok dengan memberi penjelasan dari aspek historis, serta kekuatan-kekuatan struktural sosial. Mengutip beberapa arsip zaman kolonial dari Huub de Jonge dan Touwen Bouwsma, beliau menyatakan bahwa carok telah ada di Madura sejak abad ke-19. Kecenderungan orang Madura untuk melakukan carok atau main hakim sendiri (individual justice) tidak dapat dipisahkan dari pola atau struktur pemukiman keluarga Madura yang terpisah satu sama lain (tenayan).

Menurut A. Latief Wiyata, adanya pola pemukiman terpisah seperti yang dijelaskan oleh Smith dapat menyebabkan kontrol sosial menjadi longgar, sehingga makin terbuka kemungkinan bagi orang Madura untuk melakukan carok. Latief menambahkan bahwa, pengamatan Smith masih perlu penjelasan lebih rinci, yaitu pola hunian yang terpisah dalam realitasnya sangat membuka peluang pada seseorang untuk berperilaku menyimpang, dalam artian, melanggar kaidah-kaidah sosial yang berlaku.

Salah satunya kemungkinan adalah terjadinya gangguan terhadap istri atau perselingkuhan, yang selalu menjadi faktor pemicu utama terjadinya carok. Suami yang istrinya diganggu akan merasa terhina dan malo, karena perbuatan tersebut dianggap sebagai pelecehan terhadap harga diri yang dilecehkan itu, ditempuh dengan cara kekerasan, yaitu carok. E. Carok Sebagai Tindak Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

Jika kita tarik permasalahan carok dalam lingkup hukum nasional, maka tindakan menghilangkan nyawa orang lain termasuk dalam perbuatan pidana. Berikut ini adalah definisi hukum pidana meurut para ahli:38 Menurut W.P.J Pompe hukum pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perilaku-perilaku apa yang seharusnya dipidana dan pidana apa yang seharusnya dikenakan. Menurut G.A. van Hamel, hukum

37H. Cahyono, Model Penangulangan Konflik Kekerasan (Carok)Etnis Madura Melalui Criminal Justice System, Yogyakarta: Deepublish, 2012), h. 22-23

38Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT RajaGrafindo, 2012), h. 6.

(35)

21

pidana adalah semua dasar dan aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada pelanggar larangan-larangan tersebut. Definisi lebih luas diberikan oleh Moeljatni, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan- aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersbut.

Dalam definisi Moeljatno tersebut angka (1) berkenaan dengan perbuatan pidana, angka (2) berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana, yang keduanya merupakan bagian dari hukum pidanan material sedangkan angka (3) berkenaan dengan hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Adapun perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Berlakunya hukum pidana, secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu berlakunya hukum pidana menurut waktu dan berlakunya hukum pidana menurut tempat.39

1. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Berlakunya hukum pidana menurut waktu adalah kapan seseorang melakukan sebuah perbuatan pidana. Sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut telah

39Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta, Pernadamedia Group, 2014), h. 18-28

(36)

22

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini berlaku asas legalitas. Asas legalitas terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang isinya: “tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu”.

2. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempat dibagi menjadi dua yakni: pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas terirorial). Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan di luar wilayah negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif. a. Asas Teritorial,

Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP, “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Asas ini lebih menitikberatkan pada terjadinya perbuatan pidana dalam wilayah negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warganegara atau orang asing.

b. Asas Personal

Disebut juga asas nasional yang aktif, asas ini tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga negara yang sedang berada dalam wilayah negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Pasal 5 KUHP menyatakan : (1) ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan: salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-pasal 160, 161, 240, 279,450, dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. (2) Penuntutan perkara

(37)

23

sebagaimana dimaksud dalm butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan. c. Asas Perlindungan,

Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi diluar wilayah negara. Pasal 4 KUHP kemudian diubah dan ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang- Undangan Pidana, Kejahatan Penerangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerangan.

d. Asas Universal,

Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian- pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan Internasional (asas universal) adalah dilandassi pemikiran bahwa setiap negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum internasional.

2. Unsur-Unsur dalam Tindak Pidana

Tindak pidana mencakup tiga unsur penting. Pertama perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik. Kedua, sifat melawan hukum. Ketiga, tidak adanya alasan pembenar.40 Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci.

Unsur pertama dalam tindak pidana adalah perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik. Unsur ini berhubungan erat dengan asas legalitas yang mensyaratkan bahwa tindak pidana harus dirumuskan secara tertulis sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam kerangka tindak pidana, unsur ini berdiri sendiri, bersifat netral dan terbebas dari penilaian tentang sifat melawan hukum. Dengan demikian, perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik ini bersifat netral dan tidak

40Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: PT Kharisme Putra Utama, 2016), h. 22.

(38)

24

mempersoalkan tentang baik-buruknya suatu perbuatan.41

Unsur kedua dalam tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Berbeda dengan rumusan delik yang hanya menekankan kepada undang- undang dan bersifat netral, sifat melawan hukum justru didasarkan atas hukum dalam pengertian luas dan memberikan penilaian tentang ketidakpatuhan dari perbuatan yang dilarang. Menurut Ernet Ludwig von Beling, sifat melawan hukum didasarkan kepada sistem hukum yang lebih tinggi dari undang-undang, yaitu norma. Sifat melawan hukum bersandar pada sistem yang terbuka dan mempunyai fungsi otonom untuk menilai apakah perbuatan yang dilarang itu bertentangan dengan norma ataukah dalam keadaan tertentu dianggap patut.42 Dalam pandangannya, norma mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada undang-undang, sehingga norma yang pada akhirnya menentukan apakah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang itu sesuai atau tidak sesuai dengan kepatutan. Namun demikian, objek penilaian tentang kepatutan ini dibatasi hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam delik. Oleh karenanya, sifat melawan hukum bersanding dengan asas legalitas karena tidak dimungkinkan untuk menilai ketidakpatutan perbuatan yang tidak dirumuskan dalam undang-undang. Berdasarkan pembatasan ini, terdapat dua konsekuensi yang dihasilkan. Pertama, perbuatan yang dilarang undang-undang dipandang tidak patut berdasarkan hukum. Perbuatan tersebut formal dan materil melawan hukum. Kedua, perbuatan yang dilarang dipandang patut secara hukum. Bentuk terakhir ini lazim disebut dengan sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif yang mengajarkan bahwa perbutaan yang dilarang dan dirumuskan dalam undang-undang bukanlah tindak pidana apabila berdasarkan perasaan hukum masyarakat perbuatan tersebut dipandang patut. Dengan kata lain,

41Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: PT Kharisme Putra Utama, 2016), h. 22-26

42 Ernst Ludwig von Beling, Die Lehre vom Vebrechen, dalam Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: PT Kharisme Putra Utama, 2016), h. 40.

(39)

25

perbuatan yang dilarang itu tidak mengandung sifat melawan hukum.43

Unsur ketiga adalah tidak adanya alasan pembenar. Alasan pembenar merupakan salah satu alasan penghapus pidana yang menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan, sehingga perbuatan yang tercela dapat dibenarkan untuk alasan tertentu. Sebelum tahun 1913, hukum pidana tidak membedakan secara tegas antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. Keduanya disatukan dalam istilah “alasan penghapus pidana” yang secara limitatif ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Dalam KUHP alasan pembenar terkandung dalam Pasal 48 KUHP tentang pertentangan dua kepentingan atau kewajiban hukum, Pasal 49 ayat (1), Pasal 50, Pasal 51 ayat (1) KUHP yang terhimpun dalam alasan penghapus pidana. Pasal-pasal ini mengatur bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum dapat dibenarkan manakala terdapat pertentangan beberapa kepentingan atau kewajiban hukum, pembelaan terpaksa, pelaksanaan perbuatan karena undang-undang dan perintah jabatan yang sah.44 Kendati demikian, ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan

alasan pembenar dan alasan pemaaf. Perbedaan tersebut didasarkan pada keberadaan norma tindak pidana yang secara implisit selalu disertai dengan norma pertanggungjawaban pidana.

3. Pembunuhan dalam Hukum Pidana

Nyawa adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, dengannya manusia dapat menjalani kehidupan diatas dunia. Dalam kehidupannya manusia memerlukan perlindungan hukum terhadap nyawa sebagai pemberian Tuhan tersebut. Tindak pidana terhadap nyawa disini, akibat yang timbul adalah hilangnya nyawa orang atau matinya orang lain. Tindak pidana ini dinamakan tindak pidana pembunuhan, akibat yang ditimbulkan merupakan syarat yang mutlak.45

43Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: PT Kharisme Putra Utama, 2016), h. 42-43.

44Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: PT Kharisme Putra Utama, 2016), h. 50-51.

45Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta, Pernadamedia Group, 2014), h. 106

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 28 tentang Akuntansi Asuransi Kerugian, Net Premium Growth adalah rasio yang diinterpretasikan bersama-sama dengan

[r]

Keadaan anak yang bermasalah dengan hukum, baik sianak sebagai pelaku tindak pidana diperlukan perangkat hukum untuk mencegah keadaan yang lebih parah dengan memberikan

[r]

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Saran, para guru dapat menggunakan software CNC Bubut KELLER Q plus sebagai media pembelajaran program diklat mesin bubut CNC karena siswa lebih mudah dalam memahami materi