• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analsisi SWOT dan Strategi Kebijkan

VI. ANALISIS DAYA SAING

6.4. Analsisi SWOT dan Strategi Kebijkan

Analisis SWOT digunakan untuk menenetukan faktor apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada komoditas ikan tuna dalam perdagangan internasional. Faktor internal dilihat berdasarkan faktor kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal dilihat berdasarkan faktor ancaman dan peluang. Berikut penjelasan mengenai faktor tersebut:

1) Faktor Kekuatan

Faktor kekuatan merupakan keunggulan yag dimiliki oleh komoditas ikan tuna negara Indonesia dibandingkan dengan negara lain yang menjadi pengekspor ikan tuna. Faktor kekuatan tersebut adalah:

a)Indonesia memiliki laut yang luas dan posisi yang baik untuk penangkapan ikan tuna.

Indonesia memiliki luas perarian sebesar 5,8 juta km2. Negara Indonesia diapit oleh dua samuder yaitu Samuder Hindia dan Samuder Pasifik. Indonesia memiliki potensi yang baik sebagai negara produsen tuna. Posisi Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa menguntungkan untuk produksi tuna Indonesia, hal ini dikarenakan sebagai berikut (DKP 2005):

iv) Adanya massa air barat dan timur yang melintas di Samudera Hindia dengan membawa partikel dan kaya akan makanan biota laut.

v) Adanya arus Kuroshio yaitu North Equatorial dan South Equatorial

Current di Samudera Pasifik merupakan wilayah yang kaya dengan

bahan makanan serta mempunyai suhu, salinitas, dan beberapa faktor oseanografis yang disukai oleh ikan tuna.

vi) Wilayah periaran nusantara merupkan tempat berpijah atau kawin berbagai jenis ikan termasuk ikan tuna, terutama di perairan Selat Makassar dan Laut Banda.

b) Adanya daerah penangkapan ikan tuna yang masih berstatus under

exploied (UE).

Daerah yang masih berstatus UE terdapat pada Laut Cina Selatan, Selat Makasaar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram, Laut Halmahera, Teluk Tomini, Laut Sulawesi (Samudera Pasifik), LAut Arafura, dan Samudera Hindia. Tabel 2 menjelaskan bahwa daerah UE ini belum dimanfaatkan secara maksmial, namun sangat berpotensial dengan potensi ikan pelagis termasuk ikan tuna yang cukup besar .

c)Kuantitas Tenaga Kerja yang memadai.

Indonesia memiliki jumlah penduduk kelima terbesar didunia. Rakyat Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan. Besarnya jumlah tenaga kerja yang dimiliki merupakan kekuatan yang dimiliki untuk pengembangan daya saing ikan tuna Indonesia.

d) Adanya hubungan baik dengan negara tujuan ekspor.

Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara tujuan ekspor seperti dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura yang termasuk dalam ASEAN (Assocaition of Southeast Asian Nations). Indonesia juga mempunyai hubungan kerjasama yang baik dengan negara Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa. Kerjasama yang terjalin tidak hanya dalam masalah perdagangan internasional tapi juga menyangkut masalah social, ekonomi, dan edukasi. Hubungan baik ini dapat dimanfaatkan untuk menjalin kerjasama dan memperoleh bantuan modal.

e) Adamya dukungan pemerintah.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan ekspor ikan tuna sangat baik. Adanya program revitalisasi perikanan yang dilakukan oleh DKP

yaitu terhadap tiga komoditas utama udang, ikan tuna dan rumput laut. Program ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ikan tuna. Pemerintah melalui DKP juga mendirikan lembaga riset untuk komoditas perikanan, untuk ikan tuna sendiri dibentuknya Komisi Tuna Nasional untuk mengatasi masalah ikan tuna.

2) Faktor Kelemahan

Faktor kelemahan merupakan faktor kekurangan yang dimiliki oleh komoditas ikan tuna Indonesia jika dibandingkan dengan negara pengekspor ikan tuna lainnya. Faktor kelemahan tersebut adalah:

a) Rendahnya pengawasan kualitas mutu.

Rendahnya tentang pengawas mutu ikan tuna dengan banyaknya kasus penolakan ikan tuna yang terjadi. Penolakan ini umumnya disebabkan mutu ikan yang dihasilkan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh negara importir. Rendahnya mutu disebakan masih rendahnya kesadaran khususnya kepada para nelayan untuk melakukan cold storage pada ikan setelah ditangkap. Ikan tuna yang tidak segera dibekukan akan mengalami penurunan kualitas dan tidak dapat diekpor.

b) Kualitas tenaga kerja yang belum memadai.

Sumberdaya manusia yang dimiliki oleh negara Indonesia sangat besar, namun kualitasnya belum memadai. Nelayan yang ada umumnya status pendidikan rendah dan teknik penangkapan masih tradisional. Kemampuan manajemen dan pemasaran juga masih rendah. Kemampuan untuk melalukan penanganan yang baik setelah ikan ditangkap untuk para nelayan masih rendah. Nelayan yang sudah bekerjasama dengan perusahaan eksporitr telah memiliki kemampuan dan penerapan teknologi yang cukup baik, namun masih banyak nelayan di Indonesia yang statusnya masih nelayan tradisional dan hanya memakai kapal yang sederhana. Keadaan ini membuat ikan tuna nasional lemah daya saing jika dibanding dengan negara Asia Tenggara seperti Thailand kualitasnya jauh dibawah Thailand. Thailand mampu melakukan ekspor ikan tuna kaleng dalam jumlah besar walaupun hasil perikanannya lebih banyak berasal dari impor.

c) Rendahnya sistem penanganan hasil.

Nelayan sebagai pihak pertama dalam kegiatan penangkapan ikan tuna masih rendah kesadarannya untuk memasukkan ikan setelah ditangkap ke dalam cold storage. Ikan harus segera dimasukkan, sebab jika tidak saat ikan sampai ke tangan pengumpul ikan telah mengalami penurunan kesegaran. Jarak tempuh yang lama akan membuat ikan dalam keadaan tidak segar tersebut akan cepat membusuk, terutama untuk produk ekspor. Oleh karena itu banyak produk ikan tuna yang ditolak karena saat sampai ke negara tujuan ekspor sudah tidak segar kembali dan kualitas mutunya tidak sesuai dengan standar.

d) Infrastruktur yang kurang memadai.

Sistem transportasi yang kurang memadai membuat kelancaran pendistribusian ikan tuna akan terhambat dan waktu tempuh akan bertambah. Sistem komunikasi yang dimiliki memang cukup baik, namun kondisi jalan Indonesia terutama untuk daerah-daerah pesisir umumnya masih buruk. Keadaan ini akan mengurangi mutu ikan yang dihasilkan.

e) Ketergantungan terhadap harga dunia.

Posisi Indonesia sebagai pengikut pasar dalam struktur pasar komoditas ikan tuna internasional yang cenderung mengarah ke oligopoli. Posisi Indonesia tersebut mengakibatkan Indonesia tidak dapat membuat keputusan tentang harga dan harus mengikuti harga yang ditetapkan oleh pemimpin pasar.

f) Rendahnya pengawasan perairam

Rendahnya pengawasan terhadap perairan Indonesia menyebabkan naikknya kasus pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing. Hal ini disebabkan kurangnya sumberdaya manusia dan peralatan untuk mengawasai perairan Indonesia yang sangat luas. Pengawasan terhadap pencatatan ikan yang ditangkap oleh petugas pelabuhan belum berjalan dengan baik, sehingga sulit untuk memprediksi ketersediaan sumberdaya yang masih tersisa.

3) Faktor Peluang

Faktor peluang merupakan keadaan yang mampu memberikan keuntungan untuk ekspor ikan tuna Indonesia. Faktor peluang ini terkait dengan keadaan diluar kondisi ikan tuna Indonesia, namun dapat memberikan efek positif untuk pengembangan ekspor ikan tuna Indonesia. Faktor peluang tersebut adalah:

a) Adanya perkembangan teknologi budidaya.

Perkembangan budidaya ini terkait dengan adanya cara baru yang dapat dilakukan untuk melakukan budidaya ikan tuna. Budidaya ini sangat bermanfaat sehingga bisa menjaga ketersediaan ikan tuna, karena saat ini Indonesia hanya mengandalkan ketersedian ikan tuna melalui hasil tangkapan di alam bebas (wild catch).

b) Pangsa pasar yang masih luas.

Ikan tuna merupakan produk ikan yang digemari oleh masyarakat dunia. Pangsa pasar untuk komoditas ikan tuna masih terbuka luas. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa merupakan pasar yang potensial untuk dimasuki. Kebutuhan akan permintaan ikan tuna untuk ketiga negara tersebut belum mampu dicukupi oleh negara pengekspor ikan tuna. Negara Jepang memiliki persentase permintaan impor rata-rata pertahun untuk ikan tuna segar, beku dan olahan masing-masing sebesar 33,17; 8.01; dan 3,06 persen. Negara Amerika Serikat memiliki persentase permintaan impor untuk ikan tuna segar, beku, dan olahan masing-masing sebesar 16,87; 0,42; dan 15,88 persen. Kawasan Uni Eropa memiliki persentase permintaan impor untuk ikan tuna segar, beku, dan olahan masing-masing sebesar 4,83; 3,94; dan 29,35 persen. Hasil ini memperlihatkan bahwa Negara Jepang adalah pasar yang saat berpotensial untuk komoditas ikan tuna segar, Uni Eropa berpotensial untuk ikan tuna olahan dan Amerika Serikat merupakan pasar yang potensial untuk komoditas ikan tuna beku dan olahan (Lampiran 13) c) Adanya tren from red meat to white meat.

Tren tersebut mulai mengubah pandangan masyarakat yang selama ini lebih banyak mengkonsumsi daging hewan ternak mulai menggemari

memakan daging yang berasal dari ikan. Daging merah memiliki kadungan lemaknya lebih tinggi daripada ikan, jika terlalu banyak mengkonsumi akan mengakibatkan penyakit seperti kolesterol Winarno (1993) diacu dalam Rospiati (2006) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi tiga golongan yaitu ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari dua persen) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus; ikandengan kandungan lemak sedang (dua sampai dengan lima persen) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan mas, lemuru, salmon; dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (empat sampai dengan lima persen) terdapat pada hering, mackerel, salmon, salon, sepat, tawes dan nila. Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari delapan belas. Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak jenuh dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada daging ikan kurang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21 persen dan asam lemak tidak jenuh 79 – 83 persen dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993 diacu dalam Rospiati 2006). Kandungan nilai nutrisi ikan tuna mentah terdapat pada Lampiran 14. Tren tersebut diakibatkan oleh semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Kandungan nutrisi ikan tuna mentah dijelakan pada lampiran dua belas.

d) Munculnya penyakit pada hewan ternak.

Penyakit yang muncul pada hewan ternak seperti sapi gila dan flu burung membuat konsumsi masyarakat terhadap hewan ternak mulai berkurang, karena takut akan terkena dampak dari penyakit tersebut. Masyarakat mulai mencari pengganti sumber protein lain selain dari daging ternak tersebut. Ikan merupakan sumber protein lain yang dapat menggantikan daging hewan ternak. Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan dengan protein hewan lainnya, dengan asam amino essensial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 diacu dalam Rospiati 2006). Oleh karena itu peluang untuk meningkatkan volume ekspor sangat

terbuka lebar terutama untuk ikan tuna yang menjadi salah satu jenis ikan yang disukai oleh masyarakat selain salmon, makarel, dan herring.

e) Adanya Organisasi Manajemen Perikanan Regional (Regional Fisheries

Management Organization).

Organisasi tersebut adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang menangani manajemen penangkapan ikan tuna yang terletak di Samudera Hindia, International Convention on Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) yang menangani kegiatan penangkapan dan konservasi ikan tuna di kawasan Atlantik, Western and Central Pacific Fisheries

Commission (WCPFC), dan Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang menangani khusus tentang tuna sirip biru

selatan.

f) Adanya negara yang mau berinvestasi.

Australia merupakan negara yang mau melakukan investasi untuk komoditi ikan tuna, karena melihat potensi yang dimiliki oleh Indonesia masih banyak yang belum dimaksimalkan. Kesempatan ini sangat baik untuk dimanfaatkan untuk mengatasi kendala modal yang menjadi salah satu masalah internal untuk ikan tuna.

4) Faktor Ancaman

Faktor ancaman merupakan keadaan yang mampu memberikan efek negatif peningkatan daya saing komoditas ikan tuna Indonesia. Faktor peluang ini terkait dengan keadaan diluar kondisi ikan tuna Indonesia. Faktor peluang tersebut adalah:

a) Peningkatan kekuatan tawar pembeli.

Peningkatan kekuatan pembeli dapat menurunkan posisi tawar dalam proses perdagangan. Misalnya, berbagai macam peraturan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor baik yang menyangkut tarif maupun non-tarif membuat negara Indonesia mengalami kendala untuk melakukan ekspor karena akan meningkatkan biaya produksi. Peraturan yang ditetapkan pun berbeda-beda, jika produk ikan tuna yang dihasilkan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka produk tersebut ditolak.

b) Peningkatan teknologi budidaya pesaing.

Adanya teknik budidaya yang mulai dilakukan oleh negara pesaing sangat berbahaya, sebab negara tersebut mampu menjaga ketersediaan ikan tuna untuk diekspor. Negara seperti Australia dan Jepang saat ini mulai meningkatkan budidaya ikan tuna, jika mereka mampu melakukan budidaya maka permintaan impor dari negara lain untuk ikan tuna akan mengalami penurunan.

c) Adanya hambatan tarif.

Hambatan tarif menjadi faktor yang menurunkan daya saing ikan tuna Indonesia di pasar internasional. Tarif produk ikan tuna berbeda antar pasar. EU memasang tarif 24 persen untuk produk tuna, namun bebas pajak import pada tuna kaleng untuk negara-negara ACP (Afrika, Karibia dan Pasifik). Negara-negara penghasil tuna di EU seperti Spanyol, sangat menentang pengurangan tarif tuna karena merusak persaingan mereka. Negara-negara dari The Andean Pact (Peru, Bolivia, Equador, Columbia), Panama dan negara-negara Amerika Tengah bebas dari pajak impor untuk ikan tuna kaleng oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat mengenakan tairf untuk produk ikan tuna sebesar 35 persen. Tingginya tarif yang dikenakan membuat keuntungan yang didapat akan semakin kecil karena biaya yang dikeluarkan akan semakin besar dan adanya pembatasan kuota.

d) Adanya hambatan non-tarif.

Hambatan non-tarif menyangkut tentang isu mutu, sanitasi, keamanan pangan, kesehatam, isu terorisme, isu hak asasi manusia, isu lingkungan dan hambatan administratif. Isu yang terkait dengan mutu, kesehatan, sanitasi, dan keamanan pangan yaitu peraturan yang ditetapkan oleh

Codex Alimentarius Comisscion (CAC) seperti persyaratan komposisional suatu produk, batasan kandungan dan bahan makanan apa saja yang dapat digunakan. Kesepakatan tentang sanitary and

phytosanitary (SPS) yang menyakut tentang keamanan pangan dan

Isu hak asasi manusia yang terkait dengan rendahnya upah pekerja dan pekerja bawah umur. Isu terorisme oleh Amerika Serikat kepada Indonesia karena dianggap terlalu lemah dalam menangani terorisme, hal ini dikhawatirkan akan menggangu peluang untuk ekspor komoditas perikanan. Isu lingkungan seperti dolphin issue yang menuntut pencantuman label lingkungan (ecolabelling), jika tidak mencantumkan maka produk akan dikenakan larangan impor.

Hambatan administratif yang terjadi di Uni Eropa yaitu approval number yaitu penolakan impor karena eksportir tidak memiliki approval number yang dikeluarkan komisi Eropa dan health certificate yang harus sesuai dengan bahasa nasional pelabuhan masuk di Eropa dan ditandatangani oleh pejabat yang telah dinotifikasi menggunakan cap dan tinta yang sesuai. Hambatan non-tarif ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sebab dibutuhkan biaya yang untuk mendapatkan semua sertifikat yang dibutuhkan untuk ekspor ikan tuna.

e) Krisis ekonomi baik yang bersifat nasional maupun global.

Krisis ekonomi nasional yang dialami oleh Indonesia berpengaruh terhadap kondisi ikan tuna Indonesia. Dampak krisis ekonomi nasional yang paling berpengaruh yaitu naiknya harga bahan bakar minyak. Kenaikan ini membuat banyak kapal penangkap baik skala menengah dan besar yang berhenti berproduksi karena tingginya biaya yang dikeluarkan. Penangkapan ikan tuna sendiri hanya bisa dilakukan dengan kapal berukuran besar yang memerlukan bahan bakar solar. Dampak dari krisis ekonomi global terjadi ketika negara Amerika Serikat

mengalami krisis ekonomi. Krisis ini membuat eksportir di Cilacap tidak dapat melakukan ekspor karena Amerika Serikat melakukan pemberhentiaan untuk impor ikan tuna. Krisis ekonomi Amerika Serikat tentunya akan mempengaruhi perekonomian Indonesia juga, walaupun saat ini masih belum terpengaruh namun jika terjadi dalam jangka panjang tentunya akan membawa masalah bagi perekonomian Indonesia juga.

f) Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing).

IUU fishing ini pertama kali dikeluarkan saat diselengarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living

Resources) tahun 1997 yang membahas mengenai kerugian yang

potensial muncul dari praktek penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggota CCAMLR. Isu ini berkembang secara global oleh FAO dengan alasan cadangan ikan dunia menujukkan trend menurun dan salah satu faktornya penyebabnya adalah praktek illegal fishing ini.

Illegal fishing terdiri dari dua jenis yaitu pencurian semi legal dan murni

illegal. Pencurian semi illegal terjadi ketika pihak asing memanfaatkan surat ijin penangkapan legal yang dimiliki oleh penangkap global dan menggunakan kapal dengan bendera lokal atau negara lain, hal ini terkenal dengan istilah pinajm bendera atau flag of convenience (FOC). Pencurian murni illegal terjadi ketika pihak asing dengan menggunakan kapal dengen bendara negara sendiri melakukan penangkapan di luar wilayah negaranya.

Kasus unreported fishing menyangkut kegiatan penangkapan ikan (walaupun legal) yang tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan dalam pelaporannya (misreported) dan pelaporan yang tidak semestinya (underreported). Kasus unregulated fishing menyangkut kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur (unregulated) oleh negara yang bersangkutan. Dampak negatif yang disebabkan oleh praktik-praktik IUU fishing, diantaranya adalah:

i) IUU fishing melibatkan wilayah yang luas baik dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas oleh kapal-kapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries vessels). Pada akhirnya, praktik-praktik IUU fishing akan mengancam upaya pengelolaan masyarakat, baik nasional maupun internasional.

ii) IUU fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok sumberdaya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi. Hal ini dikarenakan, praktik-praktik IUU fishing menyebabkan pencatatan

statistik perikanan tidak akurat, serta ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan pembuatan keputusan-keputusan pengelolaan.

iii) IUU fishing dapat merusak hubungan antara negara-negara yang bertetangga. Hal ini dikarekan, pelakunya cenderung menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum.

Keempat faktor tersebut dianalisis berdasarkan analisis SWOT akan menghasilkan strategi kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya saing komoditas ikan tuna Indonesia di pasar internasional. Hasil analisis SWOT dan strategi kebijakan dapat dilihat pada Gambar 7.

Faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang terdapat pada komoditas ikan tuna digunakan untuk menentukan strategi kebijakan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan peluang yang ada dan memperkecil ancaman yang dapat terjadi. Berikut adalah strategi kebijakan yang dilakukan berdasarkan analisis SWOT:

1) Strategi SO

Strategi SO dilakukan untuk memaksimalkan keunggulan yang dimiliki dengan peluang yang ada. Strategi SO untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan produski ikan tuna. Pangsa pasar yang masih terbuka luas dan mulai meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan membuat permintaan akan ikan semakin meningkat kedepannya. Luasnya daerah perairan Indonesia dan beberapa daerah yang masih berstatus UE dapat dimaksimalkan pemanfaatannya. Potensi tersebut sangat baik untuk peningkatan kuantitas jumlah yang diekspor. Produksi ikan tuna akan meningkat, jika didukung oleh penguatan kelima kondisi faktor sumberdaya yang saat ini masih memiliki keterbatasan. Peningkatan produksi yaitu dengan cara:

i) Memberikan modal untuk pengembangan ikan tuna untuk wilayah timur seperti di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Irian Jaya. Bisnis ikan tuna membutuhkan biaya yang besar untuk memulainya.

Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya memperluas akses modal dan mempermudah proses pengurusan surat ijin penangkapan ikan kepada nelayan. Ketiga tempat di atas perlu dikembangkan agar mampu bertahan dalam persaingan internasional yang semakin ketat. ii) Melakukan budidaya ikan tuna melalui lembaga riset. Budidaya ikan tuna merupakan suatu peluang yang sangat baik untuk meningkatkan daya saing ikan tuna nasional. Budidaya ini dapat diterapkan di Indonesia sebab kondisi alam yang mendukung, namun budidaya ini juga memerlukan modal dan tenaga ahli yang berkualitas. Penerapan budidaya ikan tuna saat baik untuk dilakukan untuk mengantisipasi penurunan populasi dan jumlah ikan tuna yang dapat ditanggkap. Penerepan teknologi ini berguna untuk konservasi dan meningkatkan kepercayaan lembaga manajemen ikan regional. Peningkatan kepercayaan akan membawa dampak positif untuk mengurangi kemungkinan produk ikan tuna nasional akan dikenakan embargo.

b) Memperluas pasar. Pangsa pasar yang masih tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Perluasaan pasar akan meningkatkan daya saing komoditas ikan tuna nasional dan menambah devisa negara. Perluasaan pangsa pasar dilakukan melalui cara sebagai berikut:

i) Menambah negara tujuan ekspor. Indonesia saat ini telah melakukan kerjasama dengan beberapa negara untuk kegiatan ekspor ikan tuna. Ekspor ikan tuna Indonesia masih terfokus kepada Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa. Kompetisi untuk masuk ketiga negara tersebut sangat ketat, sebab ketiga negara tersebut memiliki daya beli yang baik. Negara lain saat ini mulai aktif melakukan kegiatan produksi ikan tuna, sebagian memanfaatkan potensi alam yang dimiliki dan menerepkan teknologi budidaya. Pesaing baru tersebut pasti akan mencoba masuk ke pasar Amerikan, Jepang dan Kawasan Uni Eropa. Indonesia perlu untuk mengantisipasi hal tersebut dengan memperluas jaringan pemasaran, sehingga ketika terjadi

pengurangan kuota dari ketiga negara tersebut hasil ikan tuna nasional masih dapat dipasarkan ke negara lain.

ii) Mendaftar sebagai anggota lembaga yang menangani masalah tuna. Lembaga manajemen perikanan regional memberikan pengaruh terhadap daya saing komoditas ikan tuna. Keaktifan sebagai anggota akan membuka akses Indonesia sebagai pemanfaat sumberdaya ikan tuna di perairan internasional (high seas). Keanggotaan juga akan membuat Indonesia memiliki kuota produksi dan kuota pasar internasional serta menghindari Indonesia dari kemungkinan embargo untuk produk ikan tuna.

2) Strategi ST

Strategi ST dilakukan dengan memaksimalkan keunggulan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada. Strategi ST untuk komoditas ikan tuna adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan mutu ikan tuna yang dihasilkan. Mutu ikan merupakan