• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomi dan Biomekanika

Dalam dokumen TESIS KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN (Halaman 25-35)

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Biomekanika

2.1.1 Anatomi sendi patelofemoral

Patela merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia, fungsinya antara

lain untuk meningkatkan efisiensi fleksi dan untuk melindungi sendi tibiofemoral. Kombinasi dari tendon quadriceps, lateral retinakulum, medial retinakulum, dan tendon patella membantu menstabilkan patella, karena patella tidak sepenuhnya ada dalam alurnya selama 0-30 derajat di fleksi pertama. Melihat dari letaknya, posisi tulang patela itu melayang dan melekat insersi tendon quadriceps dan tendon patela. Serta berada di jalur trochlea femur. Dimana tulang patela harus bergerak pada jalur tersebut untuk menghindari pergesekan atau kontak langsung antar tulang patela dan femur yang dapat mempengaruhi dari ketidakseimbangan posisi dari tulang patella (Waryaszet & Macdermot, 2008). Sendi patellofemoral terdiri dari patela dan troklea femoralis. Patela berperan sebagai tuas dan juga meningkatkan pergerakan sendi patellofemoral, otot

quadriceps, dan tendon patella. Bertemunya patela dengan femur dimulai pada 20 derajat

fleksi dan pergerakan fleksi selanjutnya sampai pada fleksi maksimum di 90 derajat. Sendi Patellofemoral merupakan stabilisator yang dinamis dan statis, sendi ini mengandalikan pergerakan patella dan troklea, jalur pergerakan patella dapat berubah

dikarenakan adanya ketidakseimbangan dari kekuatan stabilisasi antara permukaan sendi

patellofemoral, patella, tendon quadriceps, dan jaringan lunak di sekitarnya. Beban pada

patella berkisar antara sepertiga sampai satu setengah dari berat badan pada saat berjalan, tiga kali dari berat badan pada saat naik turun tangga, dan tujuh kali dari berat badan ketika jongkok (Jhun, 1999)

Gambar 2.1 Otot Quadricep Femoris Sumber : Dixit et al. (2007)

Otot quadriceps terdiri dari empat otot, yaitu otot rectus femoris, vastus medialis

obliquus, vastus lateralis, dan vastus intermedius. tulang patella memiliki stabilisator yang

terdiri dari otot vastus medialis obliquus sebagai stabilisator dinamis sisi medial, vastus

lateralis obliquus, dan vastus lateralis longus sebagai stabilisator dinamis sisi lateral.

otot-otot tersebut sebagai stabilisator dinamis dikarenakan mereka berinsersi di retinacullum tulang patella (hafez, et al. 2012). ligamen patella melekat pada tuberculum tibialis.

2.1.2 Biomekanika sendi patelofemoral

Biomekanika gerak dari sendi patelofemoral itu mengikuti gerak normal dari sendi lutut yaitu gerak fleksi dan ekstensi. Pada sendi patellofemoral, gerakan kearah fleksi penuh akan menyebabkan patella slide ke arah kaudal sekitar 7 cm di atas condylus femur dan patella masuk ke dalam sulcus intercondylaris. Dari extensi penuh ke 90 derajat fleksi, facet medial dan lateral femur masih bersendi dengan patella, sedangkan di atas 90 derajat fleksi, patella akan berotasi ke arah external sehingga hanya facet medial femur yang bersendi dengan patella. Sebaliknya gerakan ke arah extensi penuh akan menyebabkan patella slide ke arah kranial (kembali ke posisinya semula). Untuk mengetahui besar maksimum dari gaya reaksi sendi, gaya otot dan gaya ligamen pada sendi tibiofemoral selama siklus berjalan maka digunakan analisis dinamik (Jhun, 1999).

2.1.3 Rantai kinetic sendi patellofemoral

Rantai kinetic ditujukan untuk melihat kinerja otot pada angota gerak bawah, yang memungkinkan untuk memberikan kekuatan, stabilisasi anggota gerak bawah, dan memberikan tekanan berkelanjutan mulai dari bagian distal pada akhir rantai kinetic. Pada sendi lutut komponen rantai kinetik yang terjadi pada gerak fungsi yaitu gerak fleksi dan ekstensi. Berdasarkan hal tersebut biomekanika dari sendi lutut dibagi menjadi dua komponen rantai kinetic, yaitu open kinetic chain (OKC) dan closed kinetic chain (CKC).

Open kinetic chain (OKC) merupakan suatu gerakan yang mentitik beratkan pada satu

sendi saja, digerakkan oleh satu atau kelompok otot, melawan gravitasi bumi, dan tidak bertumpu pada tubuh. Sedangkan closed kinetic chain (CKC) merupakan suatu gerakan yang menggunakan lebih dari satu sendi yang bergerak dengan bertumpu pada berat tubuh untuk memberikan pembebanan pada lebih dari satu kelompok otot yang bekerja

dalam waktu yang sama baik agonis maupun antagonis. Berdasarkan konsep rantai kinetic tersebut akan mempengaruhi gerak sendi patellofemoral, sendi patellofemoral bertugas untuk mengatur gerak dari sendi lutut, yaitu untuk membantu gerak dari fleksi ke ekstensi dan sebagai lengan ayun yang menarik kinerja otot quadriceps pada posisi fleksi 20o-60o. Saat gerakan OKC hanya ada kinerja dari otot quadriceps dan

meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Karena titik gravitasi ada di depan sendi lutut dan jika dilakukan pada posisi 90 derajat fleksi ke ekstensi akan meningkatkan tekanan antara patela dengan trochlea. (Nobre 2012 ; Power et al.,, 2010).

2.1.4 Kekuatan dan gaya vector quadricep

Kekuatan vector quadriceps meliputi kekuatan dari orientasi serabut otot vastus

lateralis, vastus intermedius, rektus femoris, dan vastus medialis. Vastus lateralis terdiri

dari dua komponen yaitu vastus lateralis longus dan vastus lateralis obliquus. Vastus

medialis juga terdiri dari 2 komponen kekuatan vektor yaitu vastus medialis lateralis dan vastus medialis obliquus. Dalam bidang koronal, sudut vector quadricep dibuat oleh vastus lateralis obliquus di 35 derajat dan 14 derajat pada vastus lateralis longus, 0

derajat pada vastus lateralis dan rektus femoris, di medial 47 derajat pada vastus medialis

obliquus dan 15 derajat pada vastus medialis longus. Secara keseluruhan kekuatan quadricep memiliki tarik posterior sagital untuk menjaga patella dalam artikulasi yang

Gambar 2.2 Diagram Kekuatan Vector Quadricep – Patellar Sumber : Waryaszet & Macdermott 2008

Pada sendi lutut ketika gerakan ekstensi, posisi patella berada di trochlea, sedangkan pada saat fleksi patella bergeser ke arah postero lateral. Pergerakan patella terjadi dikarenakan adanya kontraksi dari quadriceps dan gaya vector resultan yang terjadi di tendon patella yang menggeser dan menekan patella ke arah posterolateral (Amis, 2007).

2.1.5 Q angle quadriceps

Sudut q pada quadriceps dibentuk oleh garis yang ditarik dari titik asis (anterior

superior iliac spine) ke titik medial patella kemudian ditarik garis ke titik tuberositas tibia. Normalnya sudut q-angle untuk pria adalah 14 derajat dan 17 derajat pada wanita.

Wanita memiliki sudut q-angle lebih besar dikarenakan anatomi panggul wanita lebih lebar daripada pria, . Sudut ini telah disefinisikan oleh Hungerford dan Barry sebagai sudut lancip yang dibentuk oleh vector dari gabungan tarikan otot quadriceps femoris dan

tendon patela. Secara teoritis, semakin tinggi nilai sudut q-angle, maka membuktikan semakin besar pula tarikan pada otot quadriceps femoris kearah lateral dan menjadi factor terjadinya maltracking patella pada alurnya yang mempotensi terjadinya gangguan pada

sindroma nyeri patellofemoral, chondromalacia patellae, dan subluxasi patella lateralis

berulang. Permasalahan stabilitas pada patella dipengaruhi oleh kontraksi dari quadriceps

femoris. Sudut q-angle yang lebih besar mengakibatkan maltracking pada patella, dan

mengakibatkan patella tidak bergeser didepan sendi lutut sebagaimana mestinya. Dalam waktu yang lama ma tracking pada patella ini menyebabkan microtrauma pada tulang rawan di bagian belakang patella dan mengakibatkan rasa sakit yang dikenal sebagi nyeri lutut anterior, nyeri sendi patellofemoral atau chondromalacia patella (Waryaszet * McDermott, 2008 ; Sra, et a. 2008 )

Gambar 2.3 Perbedaan q-angle quadricep pada pria dan wanita Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif

2.2 Patellofemoral Pain Syndrom

Sindroma nyeri sendi patellofemoral dapat didefinisikan sebagai nyeri retropatellar atau peripatellar dikarenakan perubahan fisik dan biokimia pada sendi patellofemoral. Ini yang

membedakan dengan chondromalacia, di mana pada dasarnya keluhan dan kerusakan ada pada tulan rawan patella. Pasien dengan sindroma nyeri patellofemoral mengalami nyeri pada daerah lutut anterior yang biasanya nyeri timbul ketika sedang beraktivitas dan semakin parah ketika aktivitas turun tangga (Jhun 1999).

Gambar 2.4 Gambaran anatomi Patellofemoral Pain Syndrom Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif

2.2.1 Tanda dan gejala sindroma nyeri sendi patellofemoral

Gejala yang ditimbulkan dari penderita patellofemoral pain adalah nyeri di

bawah atau di sekitar tempurung lutut. Nyeri bertambah pada saat sedang beraktivitas atau berdiri setelah duduk pada waktu yang lama. Nyeri dapat terjadi pada satu lutut atau ke duanya. Menurut Jhun (1999) pula, pasien dengan sindroma nyeri patellofemoral menggambarkan rasa nyerinya di bagian lutut terutama di bagian lutut depan. Penderita menggambarkan rasa sakit bertambah ketika aktivitas naik tangga terutama saat turun tangga, duduk lama, jongkok dan berlutut, sebagian besar menggambarkan rasa nyeri,

tetapi sensasi bisa berubah menjadi nyeri yang tajam bahkan dapat digambarkan seperti nyeri terbakar. Secara palpasi didapatkan kelunakan di area tempurung, pembengkakan terjadi setelah melakukan aktivitas, kadang kadang terdapat suara krepitasi bila sendi lutut digerakkan, sudut q-angel lebih besar dari 18 sampai 20 derajat, spasme otot termasuk, hamstring, quadriceps (terutama vastus lateralis), illiotibial band dan bila sakit sudah berlanjut didapatkan atrofi di sepanjang otot paha depan (Bolgla, et.al, 2011)

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan, sindroma nyeri patellofemoral merupakan gangguan fungsi dari patela yang mengalami maltracking dari tempatnya

(trochlea femoralis), dan di antara penyebabnya antara lain :

a. Kelemahan otot quadricep Femoris

b. Ketidak seimbangan kerja otot quadriceps femoris c. Spasme pada jaringan lunak sendi lutut (otot) d. Kelemahan otot otot pada sendi panggul e. Perubahan bentuk kaki/kinematik kaki f. Oceruse dan overload

g. Problematika biomekanika sendi lutut

h. Penurunan fungsi otot (pes planus, pes cavus, q-angle,) i. Distrofi otot vastus medialis obliquus

(Bolgla et al. 2011 ; Juhn, 1999 ; Jensen, 2008)

2.2.3 Patofisiologi sindroma nyeri patellofemoral

Faktor-faktor yang mungkin berkontribusi pada sindroma nyeri patellofemoral disebabkan tidak normalnya posisi patela. hal tersebut ditemukan adanya kelemahan otot

paha depan (quadriceps), ketidakseimbangan otot paha depan (quadriceps), kekakuan jaringan lunak yang berlebihan, sudut paha depan meningkat (Q-angle), kelemahan otot penopang sendi pinggul, dan perubahan kinematika kaki.

2.2.4 Pemeriksaan Khusus Sindroma nyeri patellofemoral

a. Vastus Medialis Coordination Test

Tes koordinasi vastus medial merupakan koordinasi yang dilakukan dan

ditafsirkan seperti yang dijelaskan oleh Souza & Hyde (1997). Posisi pasien berbaring terlentang, dan posisi terapis berada di dekat lutut pasien, pasien diminta untuk meluruskan lututnya perlahan tanpa ada penekanan dan penarikaan dari hip. Pasien diinstruksikan untuk melakukan ekstensi penuh. Tes itu dianggap positif ketika terlihat jelas pasien tidak bisa melakukkan ekstensi hip secara penuh, yaitu ketika pasien kesulitan meluruskan lututnya dan terlihant pasien melakukan fleksor pinggut. Tes dinyatakan positif karena ters diatas menjadi indicator dari disfungsi dari vastus medialis obliquus yang dapat menyebabkan sindroma nyeri

patellofemoral.

b. Patellar Apreheshion Test

Patellar apreheshion tes, juga disebut sebagai tes koordinasi Fairbanks, aplikasi

tes dilakukan dengan posisi pasien berbaring terlentang dan relaks (Reider, 1999). Pemeriksaan ini menggunakan satu tangan untuk mendorong patela pasien ke arah lateral, dimaksud untuk mendapatkan pergeseran patella kearah lateral. Dimulai dengan lutut di fleksikan di 30 derajat, tangan terapis yang satunya memegang tumit dan dengan pelan mendorong, fleksi gabungan di lutut dan pinggul (Reider, 1999;. Malanga, et al, 2003). Pergeseran arah patella ke lateral dipertahan sepanjang

pengujian. Tes dianggap positif ketika direproduksi pasien nyeri atau ketika adanya rasa takut dari pasien. kekhawatiran tersebut dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara, mulai dari ekspresi verbal kecemasan yang memanivestasi pasien membuat lututnya untuk mengkontraksikan otot paha depan (menjadi tidak nyaman karena mencegah fleksi lutut untuk bergerak lebih lanjut) (Reider, 1999; Malanga, et

al. 2003.).

c. Eccentric step test

Untuk eccentric step test, pasien mengenakan celana pendek dan melakukan

pengujian tanpa menggunakan alas kaki. Siapkan stool atau bangku yang memiliki tinggi 50% dari panjang tibia Selfe et al, (2001). Bangku yang digunakan berbahan kayu, dan lapisan non-slip (karet) pada bagian atas kayu untuk mencegah pasien tergelincir saat melakukan tes. Berikan aba aba pada pasien: berdiri di banggu, letakkan tangan di pinggul, dan mundur dari bangku secara perlahan-lahan dan lakukan semampu yang bisa dilakukan. Pasien diminta untuk menjaga tetap meletakkan tangganya di pinggu mereka selama latihan. Setelah setiap pasien dilakukan tes dengan satu kaki, prosedur itu diulang dengan menggunakan kaki yang lain. Pasien tidak diperbolehkan untuk istirahat selama tes. Tes ini adalah dianggap positif ketika pasien melaporkan nyeri lutut selama tes dilakukan.

2.2.5 Faktor resiko

a. Pasien yang memiliki tempurung lutut kecil b. Spasme Jaringan lunak (otot) disekitar lutut c. Kekakuan sendi disekitar lutut

e. Atlet yang melakukan banyak lari jarak jauh dan medan tanjakan f. Pasien yang memiliki dislokasi lutut sebelumnya

g. Wanita muda pekerja yang memiliki perkerjaan statis yang lama (contoh ; sekretaris yang duduk/berdiri lama)

Dalam dokumen TESIS KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN (Halaman 25-35)

Dokumen terkait