• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN DAN FASILITASI

VASTUS MEDIALIS OBLIQUUS LEBIH EFEKTIF

MENINGKATKAN AKTIVITAS FUNGSIONAL

DARIPADA APLIKASI KINESIO TAPING PADA

PENDERITA SINDROMA NYERI PATELLOFEMORAL

ATIKA YULIANTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN DAN FASILITASI VASTUS

MEDIALIS OBLIQUUS LEBIH EFEKTIF MENINGKATKAN

AKTIVITAS FUNGSIONAL DARIPADA APLIKASI KINESIO TAPING

PADA PENDERITA SINDROMA NYERI PATELLOFEMORAL

ATIKA YULIANTI NIM 1190361009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

KONSENTRASI FISIOTERAPI

UNIVERSITAS UDAYANA

2013

(3)

ii

MEDIALIS OBLIQUUS LEBIH EFEKTIF MENINGKATKAN

AKTIVITAS FUNGSIONAL DARIPADA APLIKASI KINESIO TAPING

PADA PENDERITA SINDROMA NYERI PATELLOFEMORAL

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga – Fisioterapi Program Pascasarjana Universitas Udayana

ATIKA YULIANTI NIM 1190361009

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA – FISIOTERAPI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

Lembar Persetujuan Pembimbing

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL ………..

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ketut Tirtayasa,MS,AIF Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis NIP. 19501231 198003 1 015 NIDN. 0317025201

Mengetahui

Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi

Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.Sp.And NIP 194402011964091001

(5)

iv

Oleh Panitia Penguji pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 2 Oktober 2013

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 1815/UN.14.4/HK/2013

Tanggal 25 september 2013

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah :

Ketua : Prof. DR. dr. J. Alex Pangkahila, M. Sc, Sp. And Anggota :

1. Prof. dr. Ketut Tirtayasa,MS,AIF 2. Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis

3. Prof.Dr.dr..Alex Pangkahila,Sc.Sp.And.AIFO 4. Dr.Ir.I.Ketut Wijaya,M.Erg

(6)
(7)

vi

Pertama–tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa “Allah SWT”, karna hanya atas izin dan karunia-Nya, tesis ini dapat di selesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF selaku pembimbing pertama dan Bapak Sugijanto, Dipl. PT, M. Fis selaku pembimbing kedua yang penuh perhatian, telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyusun tersis hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tahap demi tahap.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD, KHOM, Direktur Program Pascasarjana Univeritas Udayana Prof. Dr. dr.A.A. Raka Sudewi, SpS(K) dan Ketua Program Studi Pascasarjana Fisiologi Olahraga Universitas Udayana Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M. Sc, Sp.And atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Universitas Udayana.

Ucapan terimakasih yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Malang DR.Muhadjir Efendi M.AP, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Tri Lestari Handayani Sp.Mat, dan teman teman sejawat dilingkungan fikes khususnya prodi S1 fisioterapi yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis selama proses studi hingga penelitian ini berakhir.

Ucapan yang sama juga di tujukan kepada kepada Direktur Rumah Sakit Islam Gondang legi Malang dr Husnul Muttaqin dan Direktur Matahari Homecare Yoyok Bekti Prasetyo M.Kep, Sp.Kom yang telah memberi ijin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Rumah sakit dan pasien home visit Matahari Homecare dan tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada para pasien penelitian yang telah ikut berparisipasi dalam penelitian ini dan meluangkan waktu dengan teratur dalam kegiatan penelitian ini sampai dengan selesai.

Dan tidak lupa juga Penulis sampaikan banyak ucapan terima kasih serta peluk sayang kepada Kedua Orang tua tercinta Bapak Muhammad Yusuf Dan Ibu Sukaeni Tercinta, dengan penuh harapan dan kasih sayang memberikan semangat baik moril maupun materil agar penulis mampu menyelesaikan studi ini sampai akhir serta Adinda Bevira Agusnistari,

(8)

vii

memberikan dorongan, menghibur disaat hampir menyerah, menyeka air mata, serta selalu menemani selama studi dan penelitian ini berakhir.

Penulis sadar bahwa isi dari tulisan ini masih jauh dari kata sempurna sehingga bila terdapat kesalahan – kesalahan dalam penulisan dan lain- lain, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. Sebagai penutup penulis sampaikan semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia kependidikan terutama bidang fisiologi olahraga konsentrasi Fisioterapi.

Denpasar, Oktober 2013 Penulis,

(9)

viii

ABSTRAK

KOMBINASI TEKNIK MULLIGAN DAN FASILITASI VASTUS MEDIALIS

OBLIQUUS LEBIH EFEKTIF MENINGKATKAN AKTIVITAS

FUNGSIONAL DARIPADA APLIKASI KINESIO TAPING PADA SINDROMA NYERI SENDI PATELLOFEMORAL

Sindroma nyeri sendi patellofemoral merupakan nyeri lutut yang sering dikeluhkan pada usia dewasa muda yang sedang produktif, sindroma ini ditandai dengan nyeri yang dirasakan disekitar tempurung lutut, dan diperparah pada aktivitas jongkok berdiri, naik turun tangga, dan perubahan posisi lutut setelah posisi diam yang lama (berdiri setelah duduk lama). Hal ini disebabkan karena adanya kelemahan pada otot otot paha khususnya vastus

medialis obliquus.

Penguatan kembali otot otot paha yang lemah khususnya penguatan pada otot vastus medialis obliquss merupakan penanganan yang tepat untuk meningkatkan aktivitas fungsional pada sindroma ini. Jenis penelitian ini adalah Eksperiment dengan randomized pre

and post test group design. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis obliquus dengan aplikasi kinesio taping terhadap

peningkatan aktivitas fungsional ekstremitas bawah. Dalam penelitian ini 11 responden diberikan kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis obliquus selama 5 minggu dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu, dan 11 responden diberikan aplikasi kinesio taping selama 5 minggu dengan pengaplikasian 3 hari sekali diganti dengan yang baru. Masing masing perlakuan diukur dengan Lower Extremity Fungtional Scale sebelum dan sesudah 5 minggu.

Hasil analisis statistic parametrik dengan Paired Sampel t-test menyebutkan ada pengaruh antara kombinasi teknik mulligan dengan fasilitasi vastus medialis obliquus dan aplikasi kinesio taping terhadap peningkatan aktivitas fungsional ekstremitas bawah dengan nilai p < 0,05. Uji beda dengan Independent Sample t-test dengan hasil ada perbedaan yang signifikan antara kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis obliquus dengan aplikasi kinesio taping dengan nilai p < 0,05.

Simpulan pada penelitian ini bahwa kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus

medialis obliquus 3 kali seminggu selama 5 minggu efektif meningkatkan aktivitas

fungsional ekstremitas bawah pada penderita sindroma nyeri sendi patellofemoral dibanding aplikasi kinesio taping dengan pengaplikasian 3 hari dan diganti dengan yang baru selama 5 minggu.

Kata Kunci : teknik mulligan, fasilitasi vastus medialis obliquus, kinesio taping,

(10)

ix

COMBINING OF MULLIGAN TECHNIQUE AND FACILITATE OF VASTUS MEDIALIS OBLIQUE MOST EFFECTIVE THAN APLICATION OF KINESIO TAPING TO INCREASE FUNCTIONAL ACTIVITY OF PATELLOFEMORAL

PAIN SYNDROME

Patellofemoral pain syndrome is complained of knee pain by young adults who are

productive oftenly, syndrome characterized by pain that is felt around the kneecap, and aggravated the activity squat and stand, up and down stairs, and change the position of the knee after a long standstill ( stand up after sitting for a long time). This is due to the weakness of the thigh muscles especially vastus medialis obliquus.

Reinforcement of weak muscle in particular strengthening of the vastus medialis oblique an appropriate treatment to increase the functional activity of the syndrome. The study was a randomized experiment with pre and post-test group design. This study aimed to compare the combining of mulligan techniques and facilitate of vastus medialis obliquus with application of kinesio taping to increase the functional activity of the lower extremities. In this study, 11 respondents were given a combination of mulligan techniques and facilitation of vastus medialis oblique for 5 weeks with a frequency of exercise 3 times a week, and 11 respondents provided application of kinesio taping for 5 weeks with 3 days and replaced with a new taping. Each treatment was measured by the Lower Extremity Fungtional Scale before and after 5 weeks.

Statistical analysis parametric paired sample t-test results is the influence of a combining of mulligan techniques and facilitate of vastus medialis oblique and application of kinesio taping to increase the functional activity of the lower extremities with p<0.05. Test of different with the independent sample t-test with a result there are significant difference between the combining of techniques mulligan and facilitation of vastus medialis obliquus with application of kinesio taping values with p <0.05.

Conclusions in this study that a combining of mulligan techniques and facilitation of

vastus medialis obliquus, 3 times a week for 5 weeks effectively to increase the functional

activity of the lower extremities of patients with patellofemoral pain syndrome compared to application of kinesio taping for 5 weeks with 3 days in a single use.

Keywords: mulligan techniques, facilitation of vastus medialis oblique, kinesio taping,

(11)

x

Halaman SAMPUL DALAM………

HALAMAN PRASYARAT GELAR………... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……… LEMBAR PENETAPAN PENGUJI………. SURAT KETERANGAN BEBAS PLAGIAT………. UCAPAN TERIMA KASIH………. ABSTRAK ABSTRAC DAFTAR ISI………. DAFTAR GAMBAR...………. DAFTAR TABEL………. DAFTAR GRAFIK……… DAFTAR LAMPIRAN……… BAB I PENDAHULUAN………. 1.1 Latar Belakang……….. 1.2 Rumusan Masalah………. 1.3 Tujuan Penelitian……… 1.4 Manfaat Penelitian………. BAB II KAJIAN PUSTAKA……….

2.1 Anatomi dan Biomekanika………..……….. 2.1.1 Anatomi Sendi Patelofemoral….………... 2.1.2 Biomekanik Sendi Patelofemoral……….. 2.1.3 Rantai Kinetik Patellofemoral Join……… 2.1.4 Kekuatan dan Gaya Vector Quadricep...……… 2.1.5 Q Angel Quadricep……… 2.2 Patellofemoral Pain Syndrome….………. 2.2.1 Tanda dan Gejala………... 2.2.2 Etiologi……….………. 2.2.3 Patofisiologi………...………... 2.2.4 Pemeriksaan Khusus PFPS……… 2.2.5 Faktor Resiko………... 2.3 Teknik Mulligan………...

2.3.1 Dasar Mobilisasi Sendi……….. 2.3.2 Prinsip Mulligan’s Mobilization……… 2.3.3 Peripheral Mobilization with Movement….……….. 2.3.4 Efek Mekanik dan Neurologis………. 2.4 Kinesio Taping………...

2.4.1 Definisi………..………. 2.4.2 Efek kinesio Taping……… a. Pengarug Fisiologis……… b. Pengaruh Neuromuskular……….. c. Pengaruh Biomekanik……… d. Aplikasi Dasar Kinesio Taping………. e. Teknik khusus penggunaan kinesio taping………... f. Tujuan Aplikasi Kinesio Taping……….. 2.4.3 Aplikasi Kinesio taping pada sindroma nyeri sendi

i ii iii iv v vii viii ix x xi xii xiii xiv 1 1 7 7 8 9 9 11 11 11 12 14 15 16 17 17 18 20 20 21 23 25 25 28 28 29 29 29 30 31 32 34

(12)

xi

2.5.1 Mekanisme Kontraksi Otot……… 2.6 Lower Extremity Fungtional Scale……… 2.6.1 Petunjuk Penilaian………. 2.6.2 Intepretasi Penilaian……….. 2.6.3 Intruksi……….. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS………...

3.1 Kerangka Berfikir ……….. 3.2 Kerangka Konsep………... 3.3 Hipotesis………. BAB IV METODE PENELITIAN……… 4.1 Rancangan Penelitian………. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 4.3 Populasi dan Sampel….……….

4.3.1 Populasi……….. 4.3.2 Sampel……… 4.3.2.1 Kriteria Inklusi………. 4.3.2.2 Kriteria Eksklusi……….. 4.3.2.3 Kriteria Drop out………. 4.3.3 Besar Sampel……….. 4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel………. 4.4 Variabel Penelitian……… 4.4.1 Variabel Independen.………. 4.4.2 Variabel Dependen……… 4.5 Definisi Operasional………. 4.6 Tempat dan waktu penelitian……….

4.5.1 Tempat Penelitian……….. 4.5.2 Waktu Penelitian……… 4.7 Instrumen Penelitian……….. 4.8 Prosedur Penelitian………. 4.8.1 Tahap Persiapan………. 4.8.2 Penelitian Awal……….. 4.8.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel………... 4.8.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian……… 4.9 Alur Penelitian……… 4.10 Analisis Data……… BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA……….

5.1 Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian………. 5.2 Data Kategorik Karakteristik Subjek Penelitian……… 5.3 Uji Prasyarat Analisis (Normalitas)……….. 5.4 Uji Hipotesis………..

5.4.1 Uji Hipotesis 1……… 5.4.2 Uji Hipotesis II………... 5.4.3 Uji Hipotesa III………..

5.4.3.1 Uji Kompatibilitas sebelum Perlakuan……….. 5.4.3.2 Uji Komparasi Hasil Pengukuran Sesudah Perlakuan…... BAB VI PEMBAHASAN……….……….

6.1 Karakteristin sampel………... 6.2 Penanganan Kombinasi Teknik Mulligan dan Fasilitasi Vastus medialis

38 42 42 42 43 44 44 47 48 52 52 53 53 53 53 50 50 50 52 53 54 54 54 54 62 62 62 62 63 63 63 64 67 65 67 69 69 70 70 71 71 71 73 72 73 75 75

(13)

xii

Ekstremitas Bawah……… 6.4 Beda Pengaruh Antara Kombinasi Teknik Mulligan Dengan Aktivasi

Vastus medialis Dengan Aplikasi Kinesio taping Pada Peningkatan

Aktivitas Fungsional Ekstremitas Bawah……….. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………... 7.1 Simpulan……… 7.2 Saran……….. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 75 80 83 83 83

(14)

xiii

Tabel Halaman

2.1 Tabel Mekanoreseptor Sendi……… 5.1 Tabel Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian……….…. 5.2 Tabel Data Kategorik Karakteristik Subjek Penelitian……… 5.3 Tabel Uji Normalitas ……….……….…. 5.4 Tabel Uji Hipotesa I dan II……….………. 5.5 Tabel Uji Kompatibilitas Sebelum perlakuan………. 5.6 Uji Beda Sebelum dan Sesudah 2 Kelompok……….

28 69 70 70 71 73 74

(15)

xiv

Grafik Halaman

6.2. GrafikPenanganan Kombinasi Teknik Mulligan dan Fasilitasi Vastus

medialis Efektif meningkatan Aktivitas Fungsional Ekstremitas Bawah……

6.3.GrafikAplikasi Kinesio taping Dapat Meningkatkan Aktivitas Fungsional.... 6.4.Beda Pengaruh Antara Kombinasi Teknik Mulligan Dengan Aktivasi

Vastus medialis Dengan Aplikasi Kinesio taping Pada Peningkatan

Aktivitas Fungsional Ekstremitas Bawah……….... 75 78

(16)

xv

Gambar Halaman

2.1 Gambar Otot Quadricep………... 2.2 Gambar Diagram Kekuatan Vector Quadricep – Patellar……… 2.3 Gambar Perbedaan q-angle quadricep pada pria dan wanita………….. 2.4 Gambaran anatomi Patellofemoral Pain Syndrom……… 3.1 Bagan Kerangka Konsep………. 4.1 Bagan Rancangan Penelitian……… 4.11 Skema Alur Penelitian……….

10 13 15 16 47 49 66

(17)

xvi

1. Deskripsi Numerik Karakteristik Subjek Penelitian……….. 2. Deskripsi Kategorik Karakteristik Subjek Penelitian Klompok 1………. 3. Deskripsi Kategorik Karakteristik Subjek Penelitian Klompok 2………. 4. Uji Normalitas ….. ………...………. 5. Uji beda paired sample t-test kelompok 1……….. 6. Uji Beda Paired Sampel t-test Kelompok 2………... 7. Uji Kompatibilitas Independent t-test Sebelum Perlakuan……… 8. Uji Beda Rerata paired t-test sebelum dan sedudah kedua kelompok

perlakuan……… 9. Uji Komparasi t-Independen sesudah kedua kelompok……… 10. Pemeriksaan Khusus Sindroma Nyeri Patellofemoral………... 11. Fasilitasi Vastus medialis obliquus………... 12. Teknik Mulligan………. 13. Aplikasi Kinesio taping……….. 14. Rekapitulasi Data Responden……….... 15. Inform Consern……….. 16. Lower Extremitas fungtional Scale………

17. Dokumentasi Penelitian………... 94 94 95 96 95 95 94 95 96 97 98 102 104 105 106 107 110

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini permasalahan kesehatan menjadi sorotan utama, terlebih pada mereka yang membutuhkan kondisi tubuh yang baik untuk menjalankan aktivitas sehari hari, namun kondisi anggota tubuh yang bermasalah membuat aktivitas yang dilakukan terhambat bahkan terhenti. Lutut manusia telah menjadi topik yang menarik dari segi anatomi dan klinis selama lebih dari 150 tahun (Fourie, 2006). Keluhan nyeri pada lutut merupakan keluhan terbesar kedua yang sering dikeluhkan di dunia medis, dan penderita merupakan kalangan usia dewasa muda. Persentasi klinis ditandai dengan adanya nyeri disekitar patela terutama pada pergerakan sendi

patellofemoral seperti membungkuk, naik turun tangga, berlutut, ketika berolahraga dan nyeri

yang didapat setelah selesai melakukan gerakan/kegiatan (berjalan, melompat, bersepeda), gejala-gejala ini menyebabkan terjadinya disabiliti fungtional. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis adanya nyeri pada anterior lutut, dan bukan karena penyebab lain (tendinopahty, Osgood schlatter, peripatellar bursitis, intraartikular patogis, osteoarthritis). Seringnya pengobatan konservatif (non bedah) dianggap sebagai pilihan pertama dalam penanganan sindroma ini, dan pendekatan yang banyak disarankan adalah dengan pendekatan pasif yaitu dengan beristirahat, menunggu, dan lihat hasilnya (Linsschoten, 2012).

Sindroma nyeri patellofemoral adalah diagnosa deskriptif yang ditandai dengan rasa nyeri jangka panjang yang dirasakan di bagian anterior lutut. Rasa sakit yang dirasakan berubah ubah atau tidak tetap tergantung dari jenis dan tingkat aktivitas yang dilakukan. Beberapa nama sudah ditetapkan untuk menentukan nama dari penyakit ini, antara lain nyeri lutut anterior kronis, nyeri

(19)

lutut anterior idiopatik, patellalgia, malaligment patellofemoral, sindroma kompresi patela, dan

chondromalacia patella (Naslund, 2006).

Sindroma nyeri patellofemoral atau yang sering disebut sindroma lutut pelari (runner’s

knee), adalah nyeri lutut yang paling sering terjadi dari semua penyebab nyeri lutut yang dialami

kebanyakan orang, sindroma ini ditandai dengan adanya nyeri yang dirasakan disekitar tempurung lutut. Hampir semua orang pernah mengalaminya, terutama pelari, pengendara sepeda, pejalan kaki, pekerja kantoran khususnya yang sebagian besar aktivitasnya dalam keadaan duduk, dan juga sering terjadi pada remaja. Hampir 40% sindroma ini diderita oleh para pengendara sepeda motor yang setiap tahunnya mengeluh nyeri disekitar anterior lututnya, namun korban sindroma ini yang paling banyak adalah para pelari jarak jauh (Ingraham, 2012). Sindroma nyeri patellofemoral sering disebutkan dikarenakan pergerakan sendi

patellofemoral yang overuse selama melakukan kegiatan dan adanya malaligment (posisi

sendi/tulang yang patologis). Nyeri yang berasal dari sendi patellofemoral dan pengurangan atau perubahan aktivitas fisik dari sendi patellofemoral mengakibatkan penurunan kekuatan ekstensor lutut terutama selama kontraksi eksentrik dengan bukti adanya gangguan selektif pada otot

quadriceps femoris, terutama pada sudut tertentu. Rekomendasi yang disarankan saat ini adalah

latihan yang diberikan pada otot vastus medialis obliquus dan latihan fungsional pada ekstremitas bawah termasuk pemberian edukasi juga sangat ditekankan pada program penanganan (Biedert, 2004).

Sindroma nyeri patellofemoral merupakan gangguan lutut yang lazimnya dialami di kalangan remaja dan dewasa muda. Gejala yang paling sering dikeluhkan yaitu peripatellar difus dan retropatellar nyeri local, biasanya sakit diprofokasi dengan aktivitas naik turun tangga dan jongkok. Etiologi dari Sindroma nyeri patellofemoral terdiri dari banyak faktor, dari banyak teori

(20)

yang dikemukakan terdiri dari biomekanik, otot, overactivity dan dari kesemuanya itu cukup berpotensi menyebabkan maltracking atau ke luar dari alurnya (troklea femoralis), yang mengakibatkan timbulnya nyeri dan penurunan fungsional (Lowri et al, 2008). Sebuah

tinjauan literatur menghasilkan beberapa percobaan mengenai pengobatan sindroma nyeri

patellofemoral. Meskipun kurangnya bukti, penguatan quadriceps paling sering direkomendasikan sebagai pengobatan utama karena peran signifikan otot-otot ini berperan selama pergerakan patella, otot quadricep termasuk vastus medialis obliquus, vastus intermedius,

vastus lateralis, dan rektus femoris. Pengobatan metode konservatif berfokus pada penguatan quadricep, dengan penekanan pada vastus medialis obliquus. Penguatan pada otot vastus medialis obliquus adalah dianggap paling utama, karena kelemahan pada otot ini memungkinkan

patela untuk bergeser terlalu jauh ke arah lateral, hal ini yang meningkatkan terjadinya gesekan terus menerus pada sendi patellofemoral dan artikular kartilago dan pada akhirnya menimbulkan iritasi yang disebabkan karena stress pada kedua area tersebut. Sayangnya, vastus medialis

obliquus adalah otot yang sulit untuk diisolasi. Meskipun modifikasi penelitian jelas menunjukkan hasil yang signifikan dalam fasilitasi vastus medialis obliquus di antara individu-individu yang didiagnosa sindroma nyeri patellofemoral, rekomendasi bertentangan telah dibuat mengenai metode lain yang lebih optimal untuk memperkuat vastus medialis obliquus (O’Sullivan, et al. 2005).

Beberapa hasil studi menunjukkan tingginya tingkat bukti dalam hal penguatan vastus

medialis obliquus, yang pertama oleh Sacket et al. (2002), menyimpulkan bahwa fasilitasi vastus medialis obliquus lebih selektif dapat diperoleh pada aktivitas jongkok berdiri, lutut menekuk

pada 60 derajat. Penelitian yang dilakukan oleh Tang et al. (2001) melaporkan pergerakan ekstensi knee dan ekstensi knee dengan rotasi medial tibia menjadi metode yang paling efektif

(21)

untuk mengaktifkan vastus medialis obliquus, dan dari beberapa penelitian membuktikan. Aplikasi pada latihan rantai kinetic terbuka (open kinetic chain) yaitu dengan rotasi medial tibia memproduksi fasilitasi yang optimal vastus medialis obliquus.

Penderita sindroma nyeri patellofemoral mengalami ketidakstabilan pada otot vastus medial

obliquus. Inbalance pada otot ini dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot dan penurunan

aktivitas fungsional. Manifestasi nyeri pada anterior lutut ini diperburuk dengan kegiatan seperti jongkok dan naik turun tangga. Taping pada patella telah lama digunakan untuk mengobati keluhan nyeri pada lutut, tetapi belum ada penelitian lebih lanjut yang membuktikan kebenaran ilmiahnya. Beberapa studi telah membuktikan keberhasilan dari teknik ini untuk kasus cedera akut, penanganan aktivitas fungsional, adaptasi nyeri propioseptik, pasca cedera fungsi neurologis, dan ketidak stabilan otot. Belum ada penelitian selanjutnya untuk membuktikan kinesio taping pada efektifitas penurunan nyeri jangka panjang, fleksibilitas jaringan lunak dan fungsional aktivitas pada penderita sindroma nyeri sendi patellofemoral (Salsich et al. 2002). Sindroma nyeri sendi patellofemoral merupakan salah satu keluhan yang paling sering dialami kalangan wanita. Tercatat insiden sindroma nyeri sendi patellofemoral ini dialami 25 % pada remaja dan orang dewasa. Nyeri sendi patellofemoral ini disebabkan oleh berbagai proses patofisiologis. Adanya spasme dari jaringan lunak di sekitar sendi lutut dan ketidakseimbangan otot paha depan sering digambarkan sebagai faktor timbulnya nyeri pada sendi patelofemoral. Ketidakseimbangan antara otot vastus medialis obliquus dengan otot vastus lateralis dapat mengubah dinamika dari sendi patellofemoral. Ketidakseimbangan ini menyebabkan bergesernya patella ke lateral dikarenkan pergerakan otot vastus lateralis selama ekstensi lutut. Secara klinis, rehabilitasi untuk pasien dengan sindroma nyeri sendi patellofemoral sering dilakukan penguatan otot vastus medialis obliquus dengan tujuan untuk menstabilisasi otot

(22)

patella secara aktif ke arah medial di dalam troklea femur dan prosedur penanganan patella ke posisi yang normal ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan misalnya seperti terapi latihan, taping, dan bracing (Hains & Hains, 2010).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Power et al (2000) menunjukkan bahwa revious atlet (atau pasien) dengan sindrom nyeri patellofemoral menampilkan onset tertunda vastus medialis

obliquus bila dibandingkan dengan vastus lateralis. Hal ini dianggap patologis dikarenakan vastus medialis obliquus seharusnya melawan gerakan ke arah lateral dari gaya otot vastus lateralis (Sacket et al. 2000). Oleh karena itu, ahli fisioterapi olahraga akan mencoba untuk

mengembalikan keseimbangan dengan menekankan fasilitasi vastus medialis obliquus

Pendekatan fisioterapi yang dilakukan merupakan latihan dalam upaya untuk memaksimalkan aktivitas vastus medialis obliquus. Penelitian yang dilakukan Peng et al. (2012) menunjukkan bahwa co-kontraksi adductors pinggul dan ekstensor lutut dapat menimbulkan fasilitasi yang lebih besar pada vastus medialis obliquus lewat latihan fasilitasi otot.

Metode kinesio taping diaplikasikan pada otot untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan, mengendurkan otot yang spasme, dan untuk mensupport otot-otot ketika bergerak secara 24 jam per harinya. Kinesio taping adalah jenis perekat non-restriktif yang memungkinkan untuk tetap bergerak maximal. Berbeda dengan taping (kovensional) untuk para atlet olahraga direkatkan di sekitar sendi untuk stabilisasi dan support selama acara olahraga dengan menghalangi aliran cairan tubuh sebagai efek samping yang diinginkan (Kase et al. 2003). Taping pada patella sekarang ini dipercaya sebagai pilihan pengobatan yang tepat untuk pasien dengan sindroma nyeri sendi patellofemoral dan instabil pada patella. Taping pada patella ini di desain khusus untuk mengatasi abnormalisasi posisi pada patella (Pergeseran, perputaran, penekanan) dan

(23)

untuk menjaga agar patella tetap berada ditempat yang benar (di dalam troklea femoralis) selama pergerakan lutut maksimal.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan efek dari kombinasi teknik mulligan dan latihan fasilitasi vastus medialis obliquus lebih efektif meningkatkan aktivitas fungsional daripada aplikasi kinesio taping pada penderita sindroma nyeri patellofemoral.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis obliquus dapat meningkatkan aktivitas fungsional ekstremitas bawahpada sindroma nyeri

patellofemoral?

2. Apakah aplikasi kinesio taping dapat meningkatkan aktivitas fungsional ekstremitas bawah pada syndroma nyeri petellofemoral?

3. Apakah kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis obliquus lebih efektif meningkatkan aktivitas fungsional ekstremitas bawah daripada aplikasi kinesio taping pada kasus sindroma nyeri patellofemoral?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengetahui efek dari kombinasi teknik mulligan fasilitasi otot vastus medialis obliquus dalam meningkatkan aktivitas fungsional ekstremitas bawah pada sindroma nyeri

(24)

b. Mengetahui efek aplikasi kinesio taping dalam memingkatkan aktivitas fungsional ekstremitas bawah pada penderita sindroma nyeri patellofemoral.

c. Mengetahui perbedaan antara kombinasi teknik mulligan dan fasilitasi vastus medialis

obliquus dengan aplikasi kinesio taping dalam meningkatkan aktivitas fungsional

ekstremitas bawah pada sindroma nyeri patellofemoral

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut : a. Akademisi

Memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan tentang kombinasi teknik mulligan pada

latihan fasilitasi vastus medialis dan aplikasi kinesio taping untuk peningkatan aktivitas fungsional pada penderita sindroma nyeri patellofemoral. Dan sebagai acuan dan

referensi untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. b. Praktisi

Sebagai acuan dalam dalam penanganan fisioterapi dengan menggunakan kombinasi teknik mulligan pada latihan fasilitasi vastus medialis dan aplikasi kinesio taping pada penderita sindroma nyeri patellofemoral agar dapat memilih penanganan yang tepat dan benar

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Sindroma nyeri patellofemoral merupakan keluhan keluhan nyeri lutut yang komplek, maka dari itu akan dikupas satu persatu mulai dari antomi biomekanikanya sampai pada penangan fisioterapinya.

2.1 Anatomi dan Biomekanika

2.1.1 Anatomi sendi patelofemoral

Patela merupakan tulang sesamoid terbesar dalam tubuh manusia, fungsinya antara

lain untuk meningkatkan efisiensi fleksi dan untuk melindungi sendi tibiofemoral. Kombinasi dari tendon quadriceps, lateral retinakulum, medial retinakulum, dan tendon patella membantu menstabilkan patella, karena patella tidak sepenuhnya ada dalam alurnya selama 0-30 derajat di fleksi pertama. Melihat dari letaknya, posisi tulang patela itu melayang dan melekat insersi tendon quadriceps dan tendon patela. Serta berada di jalur trochlea femur. Dimana tulang patela harus bergerak pada jalur tersebut untuk menghindari pergesekan atau kontak langsung antar tulang patela dan femur yang dapat mempengaruhi dari ketidakseimbangan posisi dari tulang patella (Waryaszet & Macdermot, 2008). Sendi patellofemoral terdiri dari patela dan troklea femoralis. Patela berperan sebagai tuas dan juga meningkatkan pergerakan sendi patellofemoral, otot

quadriceps, dan tendon patella. Bertemunya patela dengan femur dimulai pada 20 derajat

fleksi dan pergerakan fleksi selanjutnya sampai pada fleksi maksimum di 90 derajat. Sendi Patellofemoral merupakan stabilisator yang dinamis dan statis, sendi ini mengandalikan pergerakan patella dan troklea, jalur pergerakan patella dapat berubah

(26)

dikarenakan adanya ketidakseimbangan dari kekuatan stabilisasi antara permukaan sendi

patellofemoral, patella, tendon quadriceps, dan jaringan lunak di sekitarnya. Beban pada

patella berkisar antara sepertiga sampai satu setengah dari berat badan pada saat berjalan, tiga kali dari berat badan pada saat naik turun tangga, dan tujuh kali dari berat badan ketika jongkok (Jhun, 1999)

Gambar 2.1 Otot Quadricep Femoris Sumber : Dixit et al. (2007)

Otot quadriceps terdiri dari empat otot, yaitu otot rectus femoris, vastus medialis

obliquus, vastus lateralis, dan vastus intermedius. tulang patella memiliki stabilisator yang

terdiri dari otot vastus medialis obliquus sebagai stabilisator dinamis sisi medial, vastus

lateralis obliquus, dan vastus lateralis longus sebagai stabilisator dinamis sisi lateral.

otot-otot tersebut sebagai stabilisator dinamis dikarenakan mereka berinsersi di retinacullum tulang patella (hafez, et al. 2012). ligamen patella melekat pada tuberculum tibialis.

(27)

2.1.2 Biomekanika sendi patelofemoral

Biomekanika gerak dari sendi patelofemoral itu mengikuti gerak normal dari sendi lutut yaitu gerak fleksi dan ekstensi. Pada sendi patellofemoral, gerakan kearah fleksi penuh akan menyebabkan patella slide ke arah kaudal sekitar 7 cm di atas condylus femur dan patella masuk ke dalam sulcus intercondylaris. Dari extensi penuh ke 90 derajat fleksi, facet medial dan lateral femur masih bersendi dengan patella, sedangkan di atas 90 derajat fleksi, patella akan berotasi ke arah external sehingga hanya facet medial femur yang bersendi dengan patella. Sebaliknya gerakan ke arah extensi penuh akan menyebabkan patella slide ke arah kranial (kembali ke posisinya semula). Untuk mengetahui besar maksimum dari gaya reaksi sendi, gaya otot dan gaya ligamen pada sendi tibiofemoral selama siklus berjalan maka digunakan analisis dinamik (Jhun, 1999).

2.1.3 Rantai kinetic sendi patellofemoral

Rantai kinetic ditujukan untuk melihat kinerja otot pada angota gerak bawah, yang memungkinkan untuk memberikan kekuatan, stabilisasi anggota gerak bawah, dan memberikan tekanan berkelanjutan mulai dari bagian distal pada akhir rantai kinetic. Pada sendi lutut komponen rantai kinetik yang terjadi pada gerak fungsi yaitu gerak fleksi dan ekstensi. Berdasarkan hal tersebut biomekanika dari sendi lutut dibagi menjadi dua komponen rantai kinetic, yaitu open kinetic chain (OKC) dan closed kinetic chain (CKC).

Open kinetic chain (OKC) merupakan suatu gerakan yang mentitik beratkan pada satu

sendi saja, digerakkan oleh satu atau kelompok otot, melawan gravitasi bumi, dan tidak bertumpu pada tubuh. Sedangkan closed kinetic chain (CKC) merupakan suatu gerakan yang menggunakan lebih dari satu sendi yang bergerak dengan bertumpu pada berat tubuh untuk memberikan pembebanan pada lebih dari satu kelompok otot yang bekerja

(28)

dalam waktu yang sama baik agonis maupun antagonis. Berdasarkan konsep rantai kinetic tersebut akan mempengaruhi gerak sendi patellofemoral, sendi patellofemoral bertugas untuk mengatur gerak dari sendi lutut, yaitu untuk membantu gerak dari fleksi ke ekstensi dan sebagai lengan ayun yang menarik kinerja otot quadriceps pada posisi fleksi 20o-60o. Saat gerakan OKC hanya ada kinerja dari otot quadriceps dan

meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Karena titik gravitasi ada di depan sendi lutut dan jika dilakukan pada posisi 90 derajat fleksi ke ekstensi akan meningkatkan tekanan antara patela dengan trochlea. (Nobre 2012 ; Power et al.,, 2010).

2.1.4 Kekuatan dan gaya vector quadricep

Kekuatan vector quadriceps meliputi kekuatan dari orientasi serabut otot vastus

lateralis, vastus intermedius, rektus femoris, dan vastus medialis. Vastus lateralis terdiri

dari dua komponen yaitu vastus lateralis longus dan vastus lateralis obliquus. Vastus

medialis juga terdiri dari 2 komponen kekuatan vektor yaitu vastus medialis lateralis dan vastus medialis obliquus. Dalam bidang koronal, sudut vector quadricep dibuat oleh vastus lateralis obliquus di 35 derajat dan 14 derajat pada vastus lateralis longus, 0

derajat pada vastus lateralis dan rektus femoris, di medial 47 derajat pada vastus medialis

obliquus dan 15 derajat pada vastus medialis longus. Secara keseluruhan kekuatan quadricep memiliki tarik posterior sagital untuk menjaga patella dalam artikulasi yang

(29)

Gambar 2.2 Diagram Kekuatan Vector Quadricep – Patellar Sumber : Waryaszet & Macdermott 2008

Pada sendi lutut ketika gerakan ekstensi, posisi patella berada di trochlea, sedangkan pada saat fleksi patella bergeser ke arah postero lateral. Pergerakan patella terjadi dikarenakan adanya kontraksi dari quadriceps dan gaya vector resultan yang terjadi di tendon patella yang menggeser dan menekan patella ke arah posterolateral (Amis, 2007).

2.1.5 Q angle quadriceps

Sudut q pada quadriceps dibentuk oleh garis yang ditarik dari titik asis (anterior

superior iliac spine) ke titik medial patella kemudian ditarik garis ke titik tuberositas tibia. Normalnya sudut q-angle untuk pria adalah 14 derajat dan 17 derajat pada wanita.

Wanita memiliki sudut q-angle lebih besar dikarenakan anatomi panggul wanita lebih lebar daripada pria, . Sudut ini telah disefinisikan oleh Hungerford dan Barry sebagai sudut lancip yang dibentuk oleh vector dari gabungan tarikan otot quadriceps femoris dan

(30)

tendon patela. Secara teoritis, semakin tinggi nilai sudut q-angle, maka membuktikan semakin besar pula tarikan pada otot quadriceps femoris kearah lateral dan menjadi factor terjadinya maltracking patella pada alurnya yang mempotensi terjadinya gangguan pada

sindroma nyeri patellofemoral, chondromalacia patellae, dan subluxasi patella lateralis

berulang. Permasalahan stabilitas pada patella dipengaruhi oleh kontraksi dari quadriceps

femoris. Sudut q-angle yang lebih besar mengakibatkan maltracking pada patella, dan

mengakibatkan patella tidak bergeser didepan sendi lutut sebagaimana mestinya. Dalam waktu yang lama ma tracking pada patella ini menyebabkan microtrauma pada tulang rawan di bagian belakang patella dan mengakibatkan rasa sakit yang dikenal sebagi nyeri lutut anterior, nyeri sendi patellofemoral atau chondromalacia patella (Waryaszet * McDermott, 2008 ; Sra, et a. 2008 )

Gambar 2.3 Perbedaan q-angle quadricep pada pria dan wanita Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif

2.2 Patellofemoral Pain Syndrom

Sindroma nyeri sendi patellofemoral dapat didefinisikan sebagai nyeri retropatellar atau peripatellar dikarenakan perubahan fisik dan biokimia pada sendi patellofemoral. Ini yang

(31)

membedakan dengan chondromalacia, di mana pada dasarnya keluhan dan kerusakan ada pada tulan rawan patella. Pasien dengan sindroma nyeri patellofemoral mengalami nyeri pada daerah lutut anterior yang biasanya nyeri timbul ketika sedang beraktivitas dan semakin parah ketika aktivitas turun tangga (Jhun 1999).

Gambar 2.4 Gambaran anatomi Patellofemoral Pain Syndrom Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif

2.2.1 Tanda dan gejala sindroma nyeri sendi patellofemoral

Gejala yang ditimbulkan dari penderita patellofemoral pain adalah nyeri di

bawah atau di sekitar tempurung lutut. Nyeri bertambah pada saat sedang beraktivitas atau berdiri setelah duduk pada waktu yang lama. Nyeri dapat terjadi pada satu lutut atau ke duanya. Menurut Jhun (1999) pula, pasien dengan sindroma nyeri patellofemoral menggambarkan rasa nyerinya di bagian lutut terutama di bagian lutut depan. Penderita menggambarkan rasa sakit bertambah ketika aktivitas naik tangga terutama saat turun tangga, duduk lama, jongkok dan berlutut, sebagian besar menggambarkan rasa nyeri,

(32)

tetapi sensasi bisa berubah menjadi nyeri yang tajam bahkan dapat digambarkan seperti nyeri terbakar. Secara palpasi didapatkan kelunakan di area tempurung, pembengkakan terjadi setelah melakukan aktivitas, kadang kadang terdapat suara krepitasi bila sendi lutut digerakkan, sudut q-angel lebih besar dari 18 sampai 20 derajat, spasme otot termasuk, hamstring, quadriceps (terutama vastus lateralis), illiotibial band dan bila sakit sudah berlanjut didapatkan atrofi di sepanjang otot paha depan (Bolgla, et.al, 2011)

2.2.2 Etiologi

Berdasarkan paparan yang sudah dijelaskan, sindroma nyeri patellofemoral merupakan gangguan fungsi dari patela yang mengalami maltracking dari tempatnya

(trochlea femoralis), dan di antara penyebabnya antara lain :

a. Kelemahan otot quadricep Femoris

b. Ketidak seimbangan kerja otot quadriceps femoris c. Spasme pada jaringan lunak sendi lutut (otot) d. Kelemahan otot otot pada sendi panggul e. Perubahan bentuk kaki/kinematik kaki f. Oceruse dan overload

g. Problematika biomekanika sendi lutut

h. Penurunan fungsi otot (pes planus, pes cavus, q-angle,) i. Distrofi otot vastus medialis obliquus

(Bolgla et al. 2011 ; Juhn, 1999 ; Jensen, 2008)

2.2.3 Patofisiologi sindroma nyeri patellofemoral

Faktor-faktor yang mungkin berkontribusi pada sindroma nyeri patellofemoral disebabkan tidak normalnya posisi patela. hal tersebut ditemukan adanya kelemahan otot

(33)

paha depan (quadriceps), ketidakseimbangan otot paha depan (quadriceps), kekakuan jaringan lunak yang berlebihan, sudut paha depan meningkat (Q-angle), kelemahan otot penopang sendi pinggul, dan perubahan kinematika kaki.

2.2.4 Pemeriksaan Khusus Sindroma nyeri patellofemoral

a. Vastus Medialis Coordination Test

Tes koordinasi vastus medial merupakan koordinasi yang dilakukan dan

ditafsirkan seperti yang dijelaskan oleh Souza & Hyde (1997). Posisi pasien berbaring terlentang, dan posisi terapis berada di dekat lutut pasien, pasien diminta untuk meluruskan lututnya perlahan tanpa ada penekanan dan penarikaan dari hip. Pasien diinstruksikan untuk melakukan ekstensi penuh. Tes itu dianggap positif ketika terlihat jelas pasien tidak bisa melakukkan ekstensi hip secara penuh, yaitu ketika pasien kesulitan meluruskan lututnya dan terlihant pasien melakukan fleksor pinggut. Tes dinyatakan positif karena ters diatas menjadi indicator dari disfungsi dari vastus medialis obliquus yang dapat menyebabkan sindroma nyeri

patellofemoral.

b. Patellar Apreheshion Test

Patellar apreheshion tes, juga disebut sebagai tes koordinasi Fairbanks, aplikasi

tes dilakukan dengan posisi pasien berbaring terlentang dan relaks (Reider, 1999). Pemeriksaan ini menggunakan satu tangan untuk mendorong patela pasien ke arah lateral, dimaksud untuk mendapatkan pergeseran patella kearah lateral. Dimulai dengan lutut di fleksikan di 30 derajat, tangan terapis yang satunya memegang tumit dan dengan pelan mendorong, fleksi gabungan di lutut dan pinggul (Reider, 1999;. Malanga, et al, 2003). Pergeseran arah patella ke lateral dipertahan sepanjang

(34)

pengujian. Tes dianggap positif ketika direproduksi pasien nyeri atau ketika adanya rasa takut dari pasien. kekhawatiran tersebut dapat memanifestasikan dirinya dalam berbagai cara, mulai dari ekspresi verbal kecemasan yang memanivestasi pasien membuat lututnya untuk mengkontraksikan otot paha depan (menjadi tidak nyaman karena mencegah fleksi lutut untuk bergerak lebih lanjut) (Reider, 1999; Malanga, et

al. 2003.).

c. Eccentric step test

Untuk eccentric step test, pasien mengenakan celana pendek dan melakukan

pengujian tanpa menggunakan alas kaki. Siapkan stool atau bangku yang memiliki tinggi 50% dari panjang tibia Selfe et al, (2001). Bangku yang digunakan berbahan kayu, dan lapisan non-slip (karet) pada bagian atas kayu untuk mencegah pasien tergelincir saat melakukan tes. Berikan aba aba pada pasien: berdiri di banggu, letakkan tangan di pinggul, dan mundur dari bangku secara perlahan-lahan dan lakukan semampu yang bisa dilakukan. Pasien diminta untuk menjaga tetap meletakkan tangganya di pinggu mereka selama latihan. Setelah setiap pasien dilakukan tes dengan satu kaki, prosedur itu diulang dengan menggunakan kaki yang lain. Pasien tidak diperbolehkan untuk istirahat selama tes. Tes ini adalah dianggap positif ketika pasien melaporkan nyeri lutut selama tes dilakukan.

2.2.5 Faktor resiko

a. Pasien yang memiliki tempurung lutut kecil b. Spasme Jaringan lunak (otot) disekitar lutut c. Kekakuan sendi disekitar lutut

(35)

e. Atlet yang melakukan banyak lari jarak jauh dan medan tanjakan f. Pasien yang memiliki dislokasi lutut sebelumnya

g. Wanita muda pekerja yang memiliki perkerjaan statis yang lama (contoh ; sekretaris yang duduk/berdiri lama)

2.2 Teknik Mulligan

Konsep Brian Mulligan (1999) tentang mobilization with movement (MWM) adalah

kelanjutan alami dari evolusi manual terapi dari dasar-dasar latihan perbaikan dan latihan aktif dari praktisi diterapkan gerakan fisiologis pasif dan ke teknik aksesori mobilisasi pasif. Mobilisasi dengan gerakan fisiologis aktif dan atau pasif. Pasif akhir - range overpressure sekarang dapat diterapkan tanpa rasa sakit sebagai penghalang.

Teknik ini dikembangkan oleh Mulligan (1999) di Selandia Baru lewat perannya sebagai

instruktur klinis untuk assosiasi terapi manipulasi lulusan program diploma di Selandia Baru, dan lebih dari 40 tahun di praktek klinik pribadi. Pertama kali digunakan pada cervical, Mobilisasi dengan gerak ini dengan cepatnya menemukan treatment untuk terapi disfungsi sendi perifer dan telah mengalami perbaikan klinis dan pengembangan ke seluruh area tulang belakang dan kebanyakan pada sendi di ekstremitas. Teknik Mulligan (1999) ini berlaku ketika :

a. Tidak terdapat kontra indikasi untuk manual terapi

b. Lengkapnya pemeriksaan klinis yang menunjukan patologi pada mekanik musculoskeletal c. Adanya analisis spesifik biomekanik yang menunjukan hilangnya mobilitas lokal atau

didapat rasa nyeri terkait dengan fungsi .

Tidak ada rasa sakit yang ditimbulkan selama dan setelah aplikasi dilakukan. Nyeri disini dijadikan suatu panduan. Keberhasilan dari tehnik ini ditandai dengan tidak ditemukannya rasa

(36)

nyeri selama praktisi melakukan teknik dalam menggerakkan dan meningkatkan fungsi. Setelah fungsi sendi kembali, program selanjutnya adalah pemulihan kekuatan otot, daya tahan, dan pengembangan neuro control motor. Patokan mulligan adalah mengendalikan dari posisi yang salah untuk dijadikan konsep, satu per satu mekanisme penelusuran gerak dan fungsi sendi dirotasikan dengan mempertimbangkan respon neurofisiologisnya (Mulligan, 1999).

2.3.1 Dasar dasar mobilisasi sendi

Konsep Mulligan menggunakan mobilisasi sendi berupa teknik oscillasi dan roll

glide. Kedua teknik tersebut menggunakan gerak fisiologis atau gerak asesoris (Kisner

and Colby, 2007).

a. Gerak fisiologis ; gerak fisiologis adalah gerakan yang dirasakan secara volunter oleh pasien. Dalam gerak fisiologis dikenal istilah osteokinematika yang menggambarkan gerakan antara kedua tulang melalui axis sendi. Sebagai contoh, gerak fleksi, abduksi dan rotasi.

b. Gerak asesoris ; gerak asesoris adalah gerakan yang terjadi didalam sendi dan jaringan disekitarnya, yang diperlukan untuk mencapai LGS normal tetapi tidak dapat dilakukan secara aktif oleh pasien. Istilah yang berkaitan dengan gerak asesoris adalah :

1) Komponen gerakan yaitu gerakan-gerakan yang menyertai gerak aktif tetapi tidak dibawah kontrol volunter. Istilah ini seringkali digunakan dalam gerak asesoris. Sebagai contoh, gerakan upward rotasi scapula dan clavicula yang terjadi pada gerakan fleksi shoulder, kemudian gerak rotasi fibula yang terjadi pada gerakan ankle.

(37)

2) Joint play menggambarkan gerakan-gerakan yang terjadi antara permukaan sendi yang melibatkan elastisitas kapsul sendi, sehingga dapat menghasilkan gerakan pada tulang. Gerakan-gerakan yang diperlukan untuk fungsi sendi normal dengan LGS penuh hanya dapat dilakukan secara pasif tetapi tidak dapat dilakukan secara aktif oleh pasien. Gerakan-gerakan tersebut mencakup traksi,

slide (translasi), kompresi, rolling dan spin yang terjadi pada permukaan sendi.

Gerakan-gerakan tersebut termasuk kedalam arthrokinematika.

2.3.2 Prinsip mobilisasi mulligan

Dalam penerapan teknik manual terapi, terapis harus mempertimbangkan adanya

kontraindikasi terhadap pengobatan dan harus dihargai setiap saat. Meskipun selalu berpedoman pada aturan (tanpa rasa sakit), terapis sendiri yang memilih prosedur yang dikembangkan oleh brian mulligan, masih harus memahami dan mematuhi aturan aturan dasar penerapan teknik manual terapi. Khususnya untuk penerapan konsep Mulligan (1999) dalam praktek klinis, prinsip prinsip berikut telah dikembangkan :

a. Selama pemeriksaan terapis megidentifikasi satu atau lebih tanda tanda yang sebanding seperti antara lain ; hilangnya pergerakan sendi, rasa nyeri yang terkai dengan gerakan, atau nyeri dengan aktivitas fungsional tertentu (contoh ; nyeri siku lateral dengan ekstensi, ketegangan saraf yang merugikan, dll)

b. Mobilisasi pasif gerak asesoris diterapkan mengikuti prinsip prinsip kaltenborn (yaitu paralele atau tegak lururs terhadap bidang sendi) sehingga glide asesoris harus bebas dari nyeri.

c. Terapis harus memantau reaksi pasien untuk memastikan tidak ada rasa sakit yang muncul. Memanfaatkan pengetahuan klien tentang arthologi sendi, kembangkan

(38)

dengan baik (sense) dari ketegangan jaringan dan alasam klinis, sehingga terapis dapat menyelidiki berbagai kombinasi dari gliding yang sejajar (paralel) atau tegak lurus (perpendicular) untuk menemukan treatment yang tepat pada bidang gerak dan tingkatan dari gerakan aksesori.

d. Selama mempertahankan gliding, pasien diminta untuk membandingkan apa yang dirasakan (comparable sign). Comparable sign seharusnya menunjukan perbaikan yang signifikan (peningkatan lingkup gerak sendi) dan berkurang/hilangnya nyeri asal dari keluhan.

e. Kegagalan untuk meningkatkan perbaikan terhadap tanda/gejala comparable sign akan menunjukan bahwa praktisi belum menemukan treatment yang tepat dari bidang gerak tersebut, tingkatkan atau arahkan mobilisasi, segmen spinal, atau ditemukan bahwa teknik ini tidak di indiksi.

f. Gerakan sebelumnya yang terbatas dan/atau gerak atau aktivitas yang menyakitkan diulang oleh pasien sementara praktisi terus mempertahankan gliding (gerakan) yang tepat. Kemajuan lebih lanjut diharapkan dengan dilakukannya pengulangan selama sesi treatment, biasanya sepuluh repetisi dengan empat set

g. Penguatan lebih lanjut dapat dilakukan dengan mandiri dengan mengaplikasikan

overpressure yang bebas nyeri pada akhir gerakan yang dilakukan. Hal ini

diharapkan lagi overpressure ini bebas dari rasa nyeri. Manfaat anatomi dan

neurofisiologis dari artikular pada pembebanan akhir gerakan mungkin dapat dicapai

tanpa rasa sakit sebagai batasannya.

Treatment dengan pinsip mobilisasi dengan gerak ini sering kali dilakukan dengan menggunakan pita perekat (taping adhesive sport) atau pasien melakukan usaha sendiri

(39)

untuk menghasilkan komponen gliding beserta gerak aktif fisiologis. Selalu diingat, nyeri sebagai patokan. Berhasilnya teknik konsep mulligan harus membuat comparable sign tanpa rasa nyeri, sementara peningkatan fungsi berlangsung dalam teknik ini. Diharapkan adanya peningkatan/perbaikan agar dapat mengetahui tepat tidaknya pemberian intervensi yang sedang berlangsung.

2.3.3 Peripheral mobilization with movement

Mobilisasi dengan gerakan pada sendi perifer juga merupakan kombinasi simultan

dari pengaplikasian terapis pada teknik gliding dan pasien melakukan gerakan fisiologis. Mobilisasi dengan gerakan paling sering digunakan untuk sendi ekstremitas dah hasilnya dapat segera dirasakan dengan meningkatnya fungsi dan mobilitas.

2.3.4 Efek mekanik dan neurofisiologis

Pada umumnya efek mekanikal yang dihasilkan oleh teknik mobilisasi adalah

sebagai berikut :

a. Gerakan sendi dapat merangsang aktivitas biologis oleh adanya gerakan cairan sinovial yang membawa nutrisi-nutrisi ke cartilago yang avaskular didalam permukaan sendi dan ke jaringan fibrocartilago intra-articular (meniskus).

b. Gerakan sendi dapat memelihara ekstensibilitas dan kekuatan regangan dari jaringan sendi dan periartikular.

Dengan efek mekanikal tersebut maka teknik mobilisasi digunakan untuk mengobati kekakuan sendi (stiffness) atau hipomobilitas sendi, dimana dapat menghasilkan peningkatan mobilitas kapsul-ligamentair dan deformasi plastic serta menghasilkan

(40)

mobilisasi Mulligan bertujuan untuk mengoreksi kegagalan positional dari facet joint akibat adanya minor sprain/strain (Exelby, 2002).

Sedangkan efek neurofisiologi berkaitan dengan mekanoreseptor dan receptor nyeri didalam sendi. Fasilitasi impuls saraf afferent dari receptor sendi merupakan respon terhadap gerakan sendi yang akan ditransmisikan informasi tersebut ke sistem saraf pusat, dan oleh karena itu akan memberikan kesadaran posisi sendi dan gerak sendi. Gerakan sendi dapat memberikan input sensorik yang relatif terhadap :

a. Posisi statik dan rasa kecepatan gerakan (receptor tipe I yang ditemukan pada kapsul sendi bagian superficial).

b. Perubahan kecepatan gerakan (receptor tipe II yang ditemukan pada lapisan dalam dari kapsul sendi dan bantalan lemak sendi).

c. Rasa arah gerakan (receptor tipe I dan III ; tipe III ditemukan pada ligamen). d. Regulasi tonus otot (receptor tipe I, II, dan III).

e. Stimulus nociceptive (receptor tipe IV yang ditemukan pada kapsul fibrous, ligamen, bantalan lemak sendi, periosteum, dan dinding pembuluh darah).

Efek neurofisiologi tersebut digunakan dalam teknik mobilisasi untuk menurunkan nyeri. Penurunan nyeri terjadi melalui neuromodulasi pada innervasi sensorik mekanoreseptor sendi sehingga pintu gerbang nyeri tertutup oleh inhibisi transmisi stimulus nosiseptive pada spinal cord dan level batang otak (Mulligan, 2001).Mekanoreseptor sendi yang terfasilitasi oleh teknik mobilisasi oscillasi adalah tipe I, II dan III. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 2.1 Mekanoreseptor Sendi

(41)

Tipe Fungsi Lokasi Terfasilitasi Oleh Sifat

I Postural

Aktif saat rest

Kapsul superfisial

Grade atau oscillasi progresif pada akhir

ROM Adaptasi lambat Postural kinestetik Awareness Tonik stabilizer II Dinamik

Tidak aktif saat rest ; terfasilitasi saat

gerak dimu-lai

Kapsul deep Grade atau oscillasi progresif pada

perte-ngahan ROM Adaptasi cepat Sensasi dinamik Phasic movers III Inhibitive Sama fungsi dan strukturnya de-ngan GTO

Ligamen Stretch atau diperta-hankan terus mene-rus pada akhir ROM

Defensive receptor Memberikan inhibi-si refleks pada to-nus otot IV Nosiseptive Sebagian

be-sar jaringan

Injury dan inflamasi Non-adaptasi Tonic reflexogonic

Efek yang mengha-silkan

guarding

Sumber : Edward P. Mulligan, 2001

2.4 Kinesio Taping

2.4.1 Definisi kinesio taping

Kinesio taping diciptakan oleh kenzo Kase pada tahun (1996), kinesio taping adalah pita

khusus yang tipis, elastic, dan dapat ditarik hingga 120% - 140% dari panjang aslinya sehingga cukup dikatakan elastis dibanding dengan taping yang konvensional. Hal ini memungkinkan pergerakan yang maksimal dari otot dan sendi, adanya tarikan pada kulit oleh pita perekat (taping) bertujuan untuk meningkatkan ruang antara kulit dan otot, sehingga mengurangi tekanan lokal dan membantu meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik, akibat dari proses tersebut dapat mengurangi nyeri, mengurangi oedema, dan mengurangi spasme otot.

(42)

Kinesio taping adalah teknik yang didasarkan pada proses alami penyembuhan tubuh

secara sendiri, proses dari teknik ini mengfasilitasi system saraf dan peredaran darah. Metode ini pada dasarnya berasal dari ilmu “Kinesiologi”, maka dari itu dinanamakan “kinesio”. . Otot tidak hanya sebagai penyokong dan penggerak tubuh, tetapi juga mengontrol peredaran darah vena dan aliran getah bening, suhu tubuh, dan lain-lain. Oleh karena itu, kegagalan system fungsi musculoskeletal dapat menyebabkan berbagai macam gejala (Kase, 2003).

Kinesio taping dikembangkan oleh Dr. Kenzo Kase pada tahun 1970-an. Pada awal

penggunaannya Kinesiotaping banyak digunakan untuk dunia olahraga. Kinesiotaping dibuat menyerupai kulit, ketebalannya menyerupai epidermis kulit manusia dan dapat diregangkan hingga 140% dari panjang normal sebelum diaplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat diaplikasikan pada kulit (Prientice, 2011; Thelen, 2008). Kinesio

taping terdiri dari polimer elastis yang dibungkus serat katun 100%. Serat katun

memungkinkan untuk terjadinya penguapan kelembapan tubuh dan cepat kering. Tidak terdapat lateks di dalam kinesio taping, perekat ini 100% acrylic dan penagktif panas. Tegangan atau uluran pada kinseio taping akan mempengaruhi keberhasilan yang diharapkan. Dalam pengaplikasian, jika tehnik yang diperlukan adalah 25%, Namun pengukuran persentase penguluran tersebut sangatlah deskriptif dan tergantung dari kemampuan feeling dan pengalaman.

2.4.2 Efek kinesio taping

a. Pengaruh fisiologis

Kinesio taping ini merangsang atau memfasilitasi beberapa proses fisiologi tubuh

manusia, seperti meningkatkan fungsi otot, menurunkan tonus otot, melancarkan aktivitas sistem limfatik, dan mekanisme analgesic endogen serta meningkatkan

(43)

mikrosirkulasi. Hal tersebut dikarenakan kinesio taping akan mengangkat kulit dan memberikan ruang pemisah antara kulit dengan otot, serta meningkatkan aktivitas propioseptif melalui kulit untuk menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri. (Slupik, et al.,, 2007; Akbas. 2011).

b. Pengaruh neuromuskular

Kinesio taping dapat memberikan rangsangan kepada sistem neuromuskular dalam mengaktifasi kinerja saraf dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional pada suatu sendi. Selain itu juga kinesio taping dapat menurunkan tonus otot yang mengalami ketegangan yang berlebih akibat adanya kontrol neuromuskular yang kurang baik. Kinesio taping akan memfasilitasi melalui mekanoreseptor yang berada pada kulit untuk mengarahkan gerakan yang diinginkan dan akan memberikan rasa nyaman pada area yang dipasangkan kinesio taping ini. Pada praktiknya, kinesio taping dapat memfasilitasi suatu gerakan karena adanya tarikan atau penguluran dari kinesio taping itu sendiri baik dari sisi distal ke proksimal dan dari sisi proksimal ke distal, ataupun diberikan kea rah gerakan yang diinginkan.

Dalam sebuah penelitian, kinesio taping secara klinis akan meningkatkan kemampuan bioelektrik otot dengan menggunakan electromyogaphy (EMG) setelah 24 jam pemasangan kinesio taping dan akan menurun fungsinya setelah empat hari pemakaian. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa pemberian kinesio taping cukup sampai dengan tiga hari karena puncak pengaruh dari kinesio taping setelah 24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan kontraksi dan setelah 72 jam tonus otot menurun, sehingga untuk mengurangi dari tonus otot yang belerbih disarankan pemasangan cukup sampai dengan 3 hari (Slupik, et al. 2007).

(44)

c. Pengaruh biomekanik

Setelah melihat aktifitas motor unit setelah menggunakan kinesiotaping dengan menggunakan EMG setelah 24 jam terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Oleh karena itu aktifitas dari motor unit untuk dapat menggerakkan sendi tentu akan mempermudah gerakan menjadi lebih terbantu dan efisien. Hal tersebut dapat kita lihat dari penelitian oleh Hsu dan rekannya (2008) bahwa kinesio taping memliki pengaruh positif terhadap perubahan gerak scapula pada kasus impingement sendi bahu.

d. Aplikasi dasar penggunaan kinesio taping

Perekat kinesio taping dapat diaplikasikan dalam bentuk “Y”, “I”, “X”, Fan”,

“Web”, dan “Donut”. Bentuk yang dipilit tergantung dari besarnya otot yang terkena dan efek yang diinginkan.

a) Teknik “Y” adalah metode yang paling umum digunakan. Teknik ini digunakan untuk memfasilitasi otot sekitarnya (menghambat rangsangan otot). Prinsip dasar terapeutik dari perekat ini adalah mengendurkan (mengurangi ketegangan) otot disekitar otot yang direkatkan. Pengaplikasian metode “Y” herus sekitar 2 inchi lebih panjang dari otot, diukur dari origo sampai insersio.

b) Metode “I” dapat digunakan di metode “Y” untuk otot yang mengalami cedera akut, yang bertujuan untuk mengurangi oedema dan nyeri.

c) Metode “X” digunakan ketika origo dan insersio otot mengalami perubahan dan dari pola pergerakan sendi (contoh : rhomboid)

d) Metode “FAN” digunakan untuk membantu proses penyaluran limfe ke saluran utama

(45)

e) Metode “WEB” merupakan modifikasi dari metode “FAN” yang di potong, kedua ujung strip dibiarkan utuh, dengan strip yang dipotong di bagian tengah.

f) Metode “DONUT” digunakan untuk oedema khususnya untuk atlet olahraga, satu, dua, atau tiga strip di rekatkan secara ditindih (direkatkan ulang diperekat sebelumnya) dan bagian tengahnya dipotong sehingga menyerupai lubang donat, dan direkatkan langsung di area yang di obati.

e. Teknik khusus penggunaan kinesio taping

Aplikasi Kinesio taping dapat dilakukan dengan beberapa teknik, dapat dilakukan secara tunggal ataupun kombinasi tergantung kondisi dan tujuan pemasangan. Teknik-teknik aplikasi Kinesio tapinge berdasarkan letak dan tujuannya antara lain:

1) Mechanichal correction

Hal yang harus diperhatikan pada koreksi mekanik ini adalah posisi jaringan harus dalam keadaan bebas, dan bukan membuat jaringan atau sendi berada dalam posisi terfiksasi. Kinesiotaping diaplikasikan untuk memberikan stimulus pada mechanoreseptor pada jaringan atau sendi. Teknik ini dapat digunakan untuk membantu posisi dari otot, fascia, atau sendi untuk menstimulasi mechanoreseptor sehingga akan membantu tubuh beradaptasi dengan stimulus tersebut

2) Fascia correction

Fascia correction ini diaplikasikan untuk membuat fascia pada posisi yang benar, dan menjaga fascia untuk tidak kembali ke posisi yang tidak diinginkan. Teknik ini dimaksudkan untuk mengurai keterbatasan fascia secara perlahan melalui gerakan kulit dan kemampuan elastisitas dari Kinesiotaping itu sendiri.

(46)

Space corection ini diaplikasikan untuk membuat ruang lebih langsung di area nyeri, inflamasi, atau oedem. Ruang yang meningkat akan menurunkan tekanan dengan cara mengkerutkan kulit pada area cidera. Hasil dari penurunan tekanan akan menurunkan tingkat iritasi receptor kimia dan akan menurunkan nyeri.

4) Ligament/ tendon correction

Ligamen/ tendon correction ini diaplikasikan untuk membuat peningkatan pada daerah ligamen atau tendon yang dihasilkan dari peningkatan stimulasi mechanoreceptor. Stimulus ini dipercaya akan dirasakan sebagai propioceptive stimulation yang akan diinterpretasikan oleh otak sebagai tegangan jaringan yang normal.

5) Functional correction

Functional correction digunakan ketika membantu keterbatasan gerak melalui stimulasi sensoris. Kinesiotaping diaplikasikan dengan tanpa tarikan selama gerak aktif. Tegangan yang muncul dipercaya akan memberikan stimulasi pada mechanoreceptor. Persepsi stimulasi dipercaya diinterpretasikan sebagai stimulasi propioceptif yang bertindak sebagai penanda pada posisi akhir gerakan.

6) Lymphatic correction

Lymphatic corection digunakan untuk membantu mengurangi bengkak dengan cara mengarahkan cairan menuju nodus lympatik yang lebih longgar.

Hal yang perlu dipahami pada aplikasi Kinesio taping adalah derajad dari penguluran pada area target. Ada beberapa pembagian penguluran sesuai dengan teknik aplikasi yang diberikan:

(47)

b) Berat : 75% c) Sedang : 50% d) Ringan/ Paper off : 15-25% e) Sangat ringan : 0-15% f) Tidak diulur

f. Tujuan aplikasi kinesio taping

Metode kinesio taping dikembangkan berdasarkan struktur jaringan otot sebagai penggerak utama tubuh manusia. Pemasangan Kinesio taping diawali dengan mengukur lembar kinesio taping mulai 2 inci dibawah origo atau 2 inci diatas insersio otot. Pemasangan diharuskan menyesuaikan bentuk anatomis tubuh manusia. Dasar pemasangan Kinesio taping selalu diawali dan diakhiri dan diakhiri tanpa adanya tegangan dari Kinesio taping. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir rasa kurang nyaman dari aplikasi kinesio taping (Kase et. al, 2003)

kinesio taping memiliki 4 fungsi utama yaitu:

1. Supporting muscle

Kinesio taping dapat meningkatkan kemampuan otot yang lemah, mengurangi nyeri

dan rasa lelah, dan menjaga otot dari keadaan kram, ketegangan dan kontraksi yang berlebihan.

2. Melancarkan sistem sirkulasi

Kinesiotaping dapat meningkatkan sirkulasi darah dan sistem limfatik, juga

mengurangi pembengkakan yang terjadi pada jaringan. 3. Mengaktifkan sistem analgesik endogen

(48)

Kinesiotaping dapat memfasilitasi tubuh untuk melakukan Self healing dan

memproduksi zat analgesik sehingga dapat mengurangi nyeri. 4. Memperbaiki masalah persendian

Tujuan dari Kinesio taping adalah memperbaiki Range of motion dan menyesuaikan posisi sendi yang salah yang dihasilkan dari otot yang tegang.

Pada penelitian ini penulis menggunakan mechanic correction dan fungsional correction untuk meningkatkan stimulasi mechanoreceptor pada insan stroke.

Mechanoreseptor merupakan salah satu informasi yang diperlukan untuk feedback

sebuah gerakan volunter.

Aplikasi Kinesio taping cukup tiga hari karena sesuai dengan penelitian Slupik et. al (2007) , bahwa berdasarkan data electromyography (EMG) pengaruh puncak dari

Kinesiotaping setelah 24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan

kontraksi, dan akan menurun setelah 72 jam pemakaian.

2.4.3 Aplikasi kinesio taping pada sindroma nyeri patellofemoral

Sesuai dengan penjelasan tentang sindroma nyeri patellofemoral dinyatakan bahwa

sindroma nyeri patellofemoral memiliki masalah pada perubahan arah dari tulang patella yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangnya otot vastus medialis obliquus dan vastus lateralis. maka diberikan alat bantu berupa taping yang ditujukan untuk memfasilitasi otot

vastus medialis obliquus, menginhibisi akitivitas dari otot vastus lateralis, dan mengkoreksi

atau mengarahkan tulang patella ke posisi normal.

Pertama berikan fasilitasi pada otot vastus medialis obliquus dengan menggunakan kinesiotaping kurang lebih panjangnya 20 cm dan berikan potongan pada sisi tengah (potongan huruf Y) dan sisakan 5 cm sebagai jangkar. fleksikan kaki kira-kira 30o dan

Gambar

Gambar 2.1 Otot Quadricep Femoris  Sumber : Dixit et al. (2007)
Gambar 2.2 Diagram Kekuatan Vector Quadricep – Patellar   Sumber : Waryaszet &amp; Macdermott 2008
Gambar 2.3 Perbedaan q-angle quadricep pada pria dan wanita  Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif
Gambar 2.4 Gambaran anatomi Patellofemoral Pain Syndrom  Sumber : www.gla.ac.uk/t4/~fbls/files/fab/images/biomech/akpqangle.gif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini didukung oleh Tabel 1 dan 2, yaitu pertum- buhan vegetatif tanaman yang merupakan komponen bobot brangkasan berbeda tidak nyata, demikian juga Tabel 3 yang menam-

Skenario stabil dengan keuntungan maksimum dari masing-masing frame kemudian dibandingkan sedemikian hingga, dapat diketahui frame yang lebih baik untuk dipergunakan

Berdasarkan RKAP tahun 2017 seperti pada menjelaskan proporsi pendapatan pada tahun 2016 yang dimiliki Sales and Channel merupakan yang terbesar yaitu 75 % dari total

PEMANFAATAN GANGGANG HIJAU MENJADI BAHAN BAKAR BIOETANOL MELALUI HIDROLISIS ASAM SULFAT..

Untuk melindungi peralatan dari sambaran petir maka dipasang arrester dan arcing horn yang dipasang pada jaringan SUTM 20kV secara bersamaan.Pengkombinasian arrester

` Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran ilmu pengetahuan alam

Struktur tegakan vertikal (stratifikasi tajuk) pohon untuk semua jenis yang menghubungkan antara kerapatan pohon dengan kelas tinggi (stratum) dapat dilihat

Ardiana (2010) mengatakan apabila proporsi aset terbesar adalah piutang dari penyaluran kredit, maka piutang dari penyaluran kredit (kategori lancar) akan