• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing .1Biologi, Distribusi, Migrasi dan Karakteristik

5.2.6 Ancaman Kepunahan Populasi

Keseluruhan isu tentang perubahan lingkungan saat ini mengarah pada kepunahan spesies (Wilson 1980). Pendapat sama menyatakan kehidupan suatu spesies akan berubah dalam kurun waktu tertentu karena adanya perubahan sehingga adaptasi diperlukan untuk bertahan terhadap perubahan (Harding 1998 in

Wibowo 2007). Tetapi ketika perubahan besar dan berlangsung dalam rentang waktu singkat maka spesies tidak mampu beradaptasi terhadap proses reproduksi dan pada akhirnya mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies hewan dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah.

Tabel 21. Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing

Konvensi Status Uraian

IUCN (Keterancaman ekologi)

Critical Endangred

Spesies yang berpeluang tinggi untuk punah dalam waktu dekat

CITES (keterancaman

perdagangan)

Apendix I jenis yang terancam punah, peredaran komersil dilarang.

CMS atau Bonn

Convention (Keterancaman berdasarkan sifat migrasi)

Apendix I dan II Jenis terancam punah (I) Jenis belum terancam punah namun status konservasinya kurang baik sehingga membutuhkan perjanjian internasional bagi konservasi dan pengelolaannya, serta jenis lain dengan status konservasinya dapat terbantu secara signifikan apabila dilakukan kerjasama internasional melalui suatu perjanjian (II)

Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah diketahui dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru kedalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya dimana manusia adalah ancaman utama yang memberi tekanan sepanjang hidup penyu dari telur hingga penyu dewasa. Ancaman lain terhadap kehidupan populasi penyu adalah perubahan lingkungan dan iklim yang berlangsung secara global dan berdampak pada penurunan habitat dan ekosistem.

Ancaman terhadap penurunan populasi penyu belimbing baik populasi dewasa maupun juvenildi Jamursba Medi dan Wermon disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu pasir, penurunan habitat persarangan, predasi telur, perburuan individu dewasa, pengambilan telur dan perikanan komersil (Hitipeuw

et al. 2007). Faktor predasi terhadap telur oleh predator seperti babi hutan, anjing, biawak dan kepiting menjadi penyebab gagalnya sukses penetasan pada sarang-sarang alami selain faktor suhu pasir yang ekstrim dan pengambilan telur oleh masyarakat. Stark (1993) menyatakan predasi sarang penyu belimbing di pantai Jamursba Medi yang dilakukan anjing sebanyak 181 sarang dari 1300 sarang atau sekitar 14% pada bulan Juli sampai september 1993. Selanjutnya Tapilatu et al.

(2007) menyatakan laju predasi sarang mencapai 29.3% dalam periode waktu satu bulan (juni-juli) dengan jumlah sarang terpredasi sebanyak 29 sarang di pantai Wembrak Jamursba Medi. Observasi lain menunjukkan adanya aktivitas predasi yang ekstensif oleh babi hutan dan anjing dari bulan september sampai oktober di pantai Warmamedi.

Abrasi pantai peneluran teridentifikasi menjadi salah satu ancaman penurunan habitat persarangan di pantai peneluran. Pantai Jamursba Medi dan Wermon mengalami abrasi dan akresi musiman setiap musim monsun barat laut. Monsun barat laut ditandai dengan gelombang tinggi menyebabkan sarang-sarang dirusak ombak sampai terlihat telur di pantai. Kondisi ini biasanya ditemukan pada bulan Agustus sampai Oktober (Tapilatu et al. 2007). Pola pantai akan berbeda ketika musim teduh. Kondisi ini terlihat sekitar bulan April dimana terjadi penambahan pasir dari laut yang ditandai dengan peningkatan induk yang bertelur dipantai. Indikator lain penyebab terjadi abrasi dan akresi pada pantai peneluran adalah aktivitas penebangan dan pembuatan jalan penghubung antar kota dan kampung. Aktivitas penebangan untuk tujuan pembangunan basecamp

menyebabkan adanya pembukaan lahan di hulu sungai dan berdampak adanya banjir dan erosi. Aliran runoff menyebabkan banyaknya kayu terdampar di pantai peneluran dan menghalagi induk penyu yang akan melakukan peneluran. Putrawijaya (2000) in Hitipeuw et al. (2007) menyatakan bahwa aktivitas penebangan kayu dan transportasi pengangkutan di sungai menyebabkan erosi pada habitat peneluran di Jamursba Medi yang hanya berjarak 5 km dari lokasi penebangan. Aktivitas pembukaan lahan sebagai penghubung jalan antar kampung menyebabkan adanya fragmentasi habitat dan penurunan ekosistem daratan yang juga mempengaruhi ekosistem pantai dan laut.

Ancaman lainnya adalah pengambilan telur penyu oleh masyarakat. Pengambilan telur secara luas dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada daerah yang berdekatan dengan pantai peneluran (Kinch et al. 2009). Pengambilan telur termasuk salah satu ancaman penurunan populasi juvenil penyu (tukik). Kebiasaan ini dilakukan dalam kurun waktu yang lama sebelum penyu dilindungi sehingga menurun sampai saat ini dan berdampak kepada penurunan jumlah individu baru penyu (recruitmen).

Perburuan individu dewasa oleh masyarakat terklasifikasi sebagai pemanfaatan langsung sumberdaya penyu yang beresiko signifikan mempengaruhi populasi. Aktivitas ini terjadi hampir disemua negara (Thorbjarnarson et al. 2000

in Champbell 1996) seperti Amerika Serikat meliputi Florida, Georgia, Lousiana, Mississippi, North California, Texas dan Virginia), Pesisir Atlantik, Ecuador, Peru, Madagaskar, Seychelles, Indis, Srilanka, Jepang, dan Indonesia. Perburuan di Indonesia dalam skala besar terjadi di kepulauan Kei Maluku (Suarez dan Starbird 1996) karena keterkaitan adat istiadat terhadap perburuan menyebabkan tidak adanya larangan. Lawalata et al (2006) menyatakan bahwa tingkat perburuan masyarakat Kei terbilang tinggi mencapai 78% dengan jumlah penyu belimbing yang tertangkap berkisar antara 1-10 ekor dalam periode Juni-Oktober 2006. Lebih lanjut, terlihat adanya peningkatan jumlah tangkapan Penyu Belimbing periode tahun 2007-2009 yaitu sekitar 82 ekor pada musim 2006/2007, jumlah tangkapan menurun menjadi 16 ekor pada musim 2007/2008, dan pada musim 2008/2009 sekitar 48 ekor yang tertangkap oleh masyarakat Kei (WWF 2008). Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman perburuan sangat signifikan mempengaruhi penurunan populasi Penyu Belimbing dewasa.

Ancaman lain terhadap penurunan populasi penyu belimbing yaitu tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan yang terklasifikasi sebagai pemanfaatan tidak langsung. Perikanan komersil dalam skala besar seperti tuna dan udang telah menjadi ancaman terbesar bagi penyu karena tingginya tangkapan sampingan. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan tuna dan udang berpotensi menyebabkan penurunan populasi penyu belimbing terutama pada fase bermigrasi baik di peraiaran samudra maupun di perairan Indonesia. Meskipun sejauh ini, belum ada data dan informasi yang akurat tentang tertangkapnya penyu akibat perikanan di Indonesia, akan tetapi data tentang tertangkapnya penyu sebagai tangkap sampingan dari kegiatan rawai tuna telah dilaporkan dibeberapa perairan di kawasan lain seperti di laut Mediterania sekitar 20.000 ekor penyu tertangkap tuna rawai tuna setiap tahunnya, di Vietnam sekitar 4.000 ekor penyu per tahun dan di Australia sekitar 400 ekor penyu per tahun (Zainudin et al. 2006)