• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Indeks Kerentanan Populasi Penyu Belimbing

5.4.1 Penentuan Bobot Variabel Kerentanan

5.4.2.2 Kenaikan Muka Laut

Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua mengikuti pola linier dengan kenaikan rata-rata per tahun adalah 7.6 mm seperti pada Gambar 32 dan 33. Data terakhir dengan satelit Jason dan Altimetri ditemukan bahwa kenaikan rata rata di Indonesia berkisar antara 5 mm sampai 1 cm per tahun dengan

Mar_ Wn Feb_ Wn Jan_ Wn Des_ Wn Nov_ Wn Okt _ Wk Sep_ Wk Agt_ Wk Jul_ Wk Jun_ Wk Mei_ Wk Apr_ Wk Okt _Wi Sep_ Wi Agt_ Wi Jul_ Wi Jun_ Wi Mei_ Wi Apr_ Wi Okt _BR Sep_ BR Agt_ BR Jul_ BR Jun_ BR Mei_ BR Apr_ BR 34 33 32 31 30 29 28 27 26 S u h u P as ir ( 0 C )

Baturumah Warmamedi Wembrak Wermon

Gambar 31. Variasi Suhu Pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon per bulan 2010/2011.

proporsi terbesar adalah kawasan timur Indonesia, salah satunya adalah pesisir Utara Kepala Burung. Skala dan trend kenaikan muka laut ditampilkan pada Gambar 32 dan 33.

Posisi geografis Jamursba Medi dan Wermon, terletak pada 0021 S, 132033 E dan Wermon terletak 0026 S, 132050 E) yang berbatasan langsung dengan samudra Pasifik menjadikan daerah ini rentan terhadap kenaikan muka laut. Topografi Jamursba Medi yang relatif datar rata-rata kemiringan 1.037% membuat area daratan yang terendam lebih kecil dibandingkan pantai Wermon. Sedikit berbeda dengan Wermon yang relatif landai dengan kemiringan 13.64% beresiko merendam daratan pantai dalam area yang lebih besar.

Kenaikan muka laut diperkirakan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun kedepan. Hasil proyeksi IPPC (2010) in Poloczanska et al. 2009 menunjukkan adanya kemungkinan kenaikan muka laut mencapai 18 - 59 cm pada tahun 2100 dan berpotensi adanya tambahan kenaikan muka laut antara 10 sampai 20 cm karena mencairnya lapisan es dan gletser (Overpeck et al. 2006; McInnes

and O‟Farrell 2007; Meehl et al. 2007 in Poloczanska et al. 2009).

Skala kenaikan muka laut

(mm/tahun)

Gambar 32. Skala kenaikan muka laut di Pesisir Utara Kepala Burung Papua (1993-2011). (Altimetri 2012)

Hubungan kenaikan muka laut terhadap penurunan populasi penyu belimbing adalah potensi limpasan air pada pasang tinggi terhadap sarang. Selain itu, potensi rendaman akibat kemunduran garis pantai juga mempengaruhi sarang mengakibatkan gagal menetas. Limpus et al. (2003) in Fuentes et al. (2009) menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir persentase sukses penetasan telur Penyu di Reine Island menurun yang diduga disebabkan oleh tingginya proporsi air dalam sarang, adanya proses geomorfik dan kenaikan muka laut diduga berperan dalam frekuensi genangan sarang. Berdasarkan teori ini, maka perlu diketahui potensi rendaman yang terjadi akibat kenaikan muka laut di pesisir utara kepala burung Papua. Potensi rendaman perlu diketahui untuk memprediksi berapa luasan pantai peneluran yang terendam dan seberapa besar resiko terhadap sarang-sarang penyu. Potensi rendaman pantai peneluran yang terjadi di Jamursba Medi dan Wermon tersaji pada Tabel 29.

Tabel 29. Potensi rendaman pantai peneluran terhadap kenaikan muka laut Pantai Lebar kelerengan (m) Panja ng (m) Luas (m2) Rata kemiringan (%) Potensi limpasan (meter) Kemunduran garis pantai (m) Wembrak 48.5 7500 363750 1.25 1.088 0.0059 Baturumah 51.87 4000 207200 0.95 1.840 0.0070 Warmamedi 60.48 5400 326700 0.93 0.929 0.0082 Wermon 21.71 6000 130260 13.64 6.494 0.0006

Sumber : Data primer 2012

Gambar 33. Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua berdasarkan Altimetri (1993-2011).

Empat skenario potensi rendaman berdasarkan IPCC 2010 (Fuentes et al. 2010) yang terdiri dari skenario 1.(0.18 m), skenario 2.(0.35 m), skenario 3.(0.59 m) dan skenario 4.(0.79 m) seperti pada Gambar 34.

Hasil skenario pada Gambar 34 menunjukkan bahwa pantai Wermon berpotensi merendam area sebesar 0.054 - 0.24 m. Kondisi sama juga terlihat dipantai Baturumah, Wembrak dan Warmamedi berpotensi terendam dengan area rendaman cenderung kecil yaitu 0.002 - 0.018 m. Adanya perbedaan potensi rendaman pada empat pantai ini terkait dengan elevasi dan kemiringan pantai. Tabel 29 menyatakan bahwa pantai Wermon terklasifikasi landai dengan lebar pantai yang sempit menyebabkan area perendaman semakin tinggi. Potensi rendaman di pantai Warmamedi, Wembrak dan Baturumah relatif sama dimana area yang terendam cenderung kecil. Hal ini disebabkan ketiga pantai yang terklasifikasi datar dan landai menyebabkan tinggi muka laut yang merendam area daratan cenderung lebih kecil. Pengurangan area daratan akan mempengaruhi kepadatan sarang dan berpotensi meningkatkan infeksi sarang terutama sarang yang terletak dibawah batas pasang terendah (Fuentes et al. 2009). Dampak dari naiknya muka laut disebabkan oleh badai yang menyebabkan pantai peneluran akan terabrasi dan terakresi secara periodik. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi perkembangan telur dalam sarang dan menyebabkan kematian Gambar 34. Potensi rendaman akibat kenaikan muka laut di pantai peneluran di

Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan skenario IPPC (0.18, 0.35, 0.59 dan 0.79 m/tahun)

embrio dalam telur karena tingginya potensial air, perubahan suhu pasir dan kelembaban dalam sarang

5.4.2.3Kemiringan Pantai

Kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai, daerah intertidal dan pembentukan zona gelombang pecah. Pantai Jamursba Medi dan Wermon termasuk pantai lurus dan panjang dari pesisir datar. Pantai ini terletak ditepian samudera dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar dengan asupan sedimen yang dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidakseimbangan lereng dasar perairan dan asupan sedimen (Hantoro 2006 in Kalay 2008).

Kemiringan dikedua pantai menunjukkan perbedaan dimana Jamursba Medi dengan persentasi kemiringan 1.037% termasuk dalam klasifikasi pantai datar, sedangkan Wermon adalah 13.64% termasuk klasifikasi landai (Tabel 29 dan 30). Berdasarkan pengamatan lapangan penyu mampu mencapai pantai dengan kemiringan 450, namun pantai yang landai lebih memudahkan penyu untuk menemukan tempat bersarang yang tepat dan memilih lokasi bersarang diatara pasang tertinggi dan pasang terendah atau pada zona supratidal.

Tabel 30. Persentase kemiringan pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon Pantai Peneluran Kemiringan (%) Kelas Rata Klasifikasi Jamursba Medi 1.095 Datar Wembrak 1.25 1 Baturumah 1.08 1 Warmamedi 0.93 1 Wermon 13.64 IV 13.64 Landai Rata keseluruhan II 14.74 Landai

Sumber : Data Primer 2012

Kemiringan pantai berkorelasi dengan kenaikan muka laut dimana semakin datar topografi pantai maka kenaikan muka laut cenderung rendah dengan potensi rendaman terhadap daratan cenderung kecil. Berbeda jika pantai berbentuk landai maka muka laut akan semakin meningkat dan potensi rendaman akan semakin besar dan berdampak pada penyempitan lebar pantai. Elevasi pantai berkorelasi dengan muka laut. Semakin tinggi elevasi pantai maka kenaikan muka laut potensi rendaman area pantai cenderung kecil, berbeda apabila elevasi pantai rendah maka kemungkinan rendaman area pantai cenderung besar. Fuentes el al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai elevasi pantai peneluran maka

potensi rendaman akan semakin rendah begitupun ketika elevasi pantai bernilai rendah maka potensi rendaman daratan cenderung tinggi.

5.4.2.4Monsun

Wilayah Papua termasuk salah satu wilayah yang dipengaruhi monsun. Sebagaimana diketahui dua monsun global yang mempengaruhi wilayah Indonesia yaitu munson Asia dan monsun Australia. Angin monsun menunjukkan bahwa angin barat mulai terbentuk dan bertiup meskipun belum cukup stabil di Indonesia selama bulan Desember. Kondisi ini berbeda apabila dibandingkan data klimatologi (1979 - 1995) menunjukkan bahwa angin monsun yang melewati Indonesia pada bulan desember pada kondisi normal, karena terjadinya olakan anomali angin timur diatas perairan Papua dan sekitar.

Perairan Utara Kepala Burung Papua sangat terpapar untuk dilewati munson baik Asia Monsun dan Australia Monsun. Monsun Asia yang terjadi pada bulan oktober sampai april ditandai dengan musim presipitasi yang tinggi dan musim penghujan dibagian barat Indonesia. Sementara monsun Australia terjadi pada bulan April sampai Oktober yang ditandai dengan musim kemarau di wilayah timur Indonesia. Hubungan antara monsun dengan musim peneluran Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon dikaitkan dengan periode waktu yang sama. Musim peneluran yang mengikuti munson Asia adalah musim peneluran di Wermon yang terjadi pada bulan November sampai Maret dengan puncak peneluran Desember sampai Februari. Sementara musim Jamursba Medi mengikuti monsun Australia yang terjadi pada bulan April sampai September dengan musim puncak pada bulan Juni-Juli. Dokumentasi menyatakan tahun 2005-2007, monsun Asia selalu ditandai dengan musim ombak karena kecepatan angin yang berkisar antara 5 - 6 knott/jam dengan arah angin dari dari timur ke barat. Kondisi ini sangat berbeda apabila melihat pada Gambar 35 dimana kecepatan melemah bahkan negatif dan menunjukkan adanya musim teduh yang panjang dari bulan November sampai Maret, sebelum masuk musim peralihan.

Hasil analisis secara simultan (Uji F) terlihat bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu di Jamursba Medi. 91% variasi yang terjadi pada musim peneluran dipengaruhi oleh model yang dibangun (Monsun Asia dan Australia), sedangkan 88% dipengaruhi oleh variabel lain diluar monsun. Secara parsial pada selang kepercayaan 95% monsun Asia dan Australia singnifikan dan memiliki tanda negatif dimana artinya peningkatan kecepatan angin Asia dan Australia menyebabkan penurunan musim peneluran dan sebaliknya. Peningkatan kecepatan monsun Asia sebesar 1 knott/jam akan mengurangi sarang selama musim peneluran sebesar 31,236 sarang/musim di Jamursba Medi. Selanjutnya pningkatan kecepatan monsun angin Australia pada 1 knot/jam akan mengurangi jumlah sarang selama musim peneluran sebesar 67,72 sarang. Meskipun kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Australia memiliki dampak lebih besar dibandingkan monsun Asia.

Gambar 35.Indeks angin monsun Asia (knot/jam) 2011-2012 (sumber : http://www.cpc.noaa.gov/products/Global_Monsoons/Asian_Monsoons/Figure s/Index/amindex_total_forecast.gif)

Kondisi berbeda ditunjukkan oleh grafik monsun Australia pada Gambar 36, yang menunjukkan kecepatan angin melemah pada bulan Agustus-Oktober dan mengalami peningkatan kecepatan pada bulan November – Maret. Hasil analisis simultan (uji f) menunjukkan bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu Belimbing di Wermon. 77% Variasi yang terjadi pada musim peneluran Wermon dipengaruhi monsun Asia dan Australia, sementara 69% dipengaruhi variabel luar lainnya. Apabila dikaji secara terpisah pada selang kepercayaan diatas 95% monsun signifikan mempengaruhi dan memberi tanda negatif yang artinya semakin meningkat kecepatan angin monsun Asia dan Australia menyebabkan penurunan musim peneluran. Peningkatan monsun Asia sebesar 1 knott/jam akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 12,872 sarang/musim, sementara apabila kecepatan monsun Australia sebesar 1 knott/jam maka akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 9,620 sarang/musim. Terlihat bahwa kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Asia cenderung memiliki pengaruh dan berdampak besar dibandingkan monsun Australia.

Gambar 36. Indeks angin monsun Australia (knot/jam) 2011-2012 (sumber :

http://www.cpc.noaa.gov/products/Global_Monsoons/Asian_Monsoons/Figure s/Index/aminde x_total_forecast.gif

Hubungan monsun Asia dan Australia terhadap musim peneluran populasi penyu belimbing tidak terjadi secara langsung terjadi tetapi melalui beberapa proses. Monsun mempengaruhi kondisi oseanografi seperti arus, angin, suhu dan faktor lainnya, yang berdampak pada percampuran massa air dan proses lainnya. Percampuran massa air laut merujuk pada proses upwelling (kenaikan massa air dari dasar ke permukaan). Proses upwelling mempengaruhi kondisi lokal perairan terutama kesuburan perairan. Kesuburan perairan ini menyebabkan terjadi peningkatan organisme pelagik seperti ikan kecil karena memanfaatkan nutrien untuk makan dan bertumbuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh ubur-ubur laut yang merupakan predator dari juvenil ikan. Selain ubur ubur, penyu belimbing juga berada diposisi menguntungkan karena ketersediaan ubur ubur yang merupakan pakan dari Penyu Belimbing. Ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor penunjang selama musim kawin dan musimn bertelur. Secara jelas hubungan monsun terhadap musim peneluran tersajikan pada Gambar 37.

Gambar 37. Hubungan antara monsun dan musim peneluran penyu belimbing

Monsun Oseanografi Arus Angin Kondisi lokal Percampuran

massa air laut

Upwelling Peningkatan pelagik Agregasi Ubur ubur Penyu Belimbing Perilaku mencari makan (ARS) Suhu laut

Monsun juga mempengaruhi pengaruhi pola sirkulasi arus permukaan terutama pada kedalam 100-300 meter (Rizal et al. 2009). Arus yang terbentuk dari monsun disebut dengan arus monsun (ARMONDO) yaitu arus laut yang terbentuk akibat dorongan angin monsun yang bersifat musiman baik dari monsun Australia maupun Asia (Rizal et al. 2009). Pola sirkulasi arus laut yang terbentuk akibat monsun di pantai Jamurba Medi didominasi oleh monsun Australia. Pada monsun ini arus akan bergerak dari Australia menuju Asia, dikarenakan pengaruh angin monsun timur dimana pola pergerakan arus ini terjadi pada periode bulan Juni sampai Agustus (Widyastuti et al. 2002). Sementara pola sirkulasi arus laut terhadap musim Wermon didominasi oleh monsun Asia dengan membentuk arus yang bergerak dari Asia menuju ke Australia, dikarenakan pengaruh angin monsun barat, dimana rata-rata pola pergerakan arus ini terjadi pada periode bulan Desember sampai Februari (Widyastuti et al. 2002).

Monsun timur atau monsun Australia memperlihatkan sirkulasi arus dari samudera Pasifik melewati Selat Makassar membelok ke Laut Jawa dengan kecepatan 20-30 cm/detik dan sebagian juga membelok ke timur menuju Samudera Pasifik dengan kecepatan >60 – 100 cm/detik melalui Laut Buru dan Laut Maluku (Rizal et al. 2009). Arus yang mengalir sekitar perairan Papua bergerak menuju laut Banda dan laut timor. Di sisi lain dari Laut Arafuru, arus mengalir menuju Samudera Hindia dengan kecepatan 40 - 80 cm/detik yang akhirnya bergerak ke arah perairan selatan Jawa (Rizal et al. 2009).

Pola sirkulasi arus permukaan pada monsun barat atau monsun Asia di perairan Indonesia Timur, memperlihatkan pola arus yang melewati Selat Makassar menuju ke selatan dan membelok ke timur dengan kecepatan arus 40 cm/detik dan dilanjutkan ke Samudera Pasifik dengan kecepatan >40 – 100 cm/detik melalui Laut Buru dan Laut Maluku serta ke Laut Banda dan Laut Arafuru sekitar 10 - 25 cm/detik. Arus yang melewati Laut Timor berkecepatan 30 - 40 cm/detik menuju Laut Banda dan Arafuru (Rizal et al. 2009). Berdasarkan penjelasan ini maka keterkaitan antara pola arus dan musim peneluran tergambar dari pola migrasi dimana pola arus membantu dalam proses daya renang penyu belimbing ketika bermigrasi (Benson et al. 2011). Pola migrasi penyu terlihat berdasarkan Gambar 38 searah dengan sirkulasi pola arus yang

dibentuk oleh monsun. Berdasarkan penelitian Benson et al. (2011) terhadap beberapa populasi penyu belimbing ditemukan di Laut Banda, Laut Seram, Laut Sulawesih dan beberapa perairan disekitarnya sampai pesisir California.

Gambar 38 menunjukkan sebaran penyu belimbing pada perairan California, Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Pada musim monsun Australia yang bertepatan dengan musim peneluran Jamusrba Medi, diperkirakan pola arus yang bergerak dari Australia menuju kearah barat turut menghantar Penyu Belimbing untuk mencapai Laut Cina Selatan untuk sekedar transit dan mencari makan yang selanjutnya akan menuju ke samudra pasifik lalu menuju Centra Gambar 38. Daerah sebaran penyu belimbing pada periode migrasi dimana titik

merah : perilaku mencari makan, titik hitan : perilaku transit pada perairan di California (A), Laut Cina Selatan (B) dan Indonesia (C) (Benson et al. 2011)

California (CCA). Kondisi berbeda ditunjukkan oleh monsun Asia yang terjadi bersamaan dengan musim peneluran Wermon. Pada musim ini diperkirakan pola arus yang bergerak dari Asia menuju ketimur Indonesia seperti Laut Banda, Seram dan salah satunya perairan Kei yang merupakan daerah pakan penyu belimbing. Berdasarkan penjelasan ini maka monsun pada dasarnya memiliki keeratan hubungan dengan pola migrasi dan musim peneluran penyu belimbing.

5.4.2.5Laju Predasi

Predasi atau pemangsaan adalah proses biologi yang identik dengan konsumsi suatu mahluk (mangsa) oleh mahluk lain (pemangsa=predator) dan mangsa tersebut masih dalam keadaan hidup ketika pemangsa menyerang pertama kali. Pemangsaan terjadi sebagai bentuk ketahanan untuk tetap hidup dialam tetapi juga merupakan bagian dari proses ekologi yang terdeskripsikan dalam rantai makanan. Salah satunya bentuk pemangsaan yang tergambar dalam penelitian ini adalah pemangsaan terhadap telur penyu. Telur sangar rentan terhadap pemangsaan oleh kepiting, babi hutan, anjing dan biawak. Hasil menunjukkan bahwa predasi kepiting bervariasi setiap musimnya. Rata-rata pemangsaan pada musim peneluran 2009/2010 mencapai 55,33 butir pada 19 sarang. Pada musim 2010/2011 pemangsaan telur oleh kepiting berkurang dengan rata-rata 11,67 butir per 21 sarang. Pemangsaan telur oleh kepiting mempengaruhi persentasi sukses penetasan meskipun tidak merusak sarang seperti predasi oleh hewan lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi di pantai Wermon seperti terlihat pada Tabel 31. Tabel 31. Pemangsaan telur penyu belimbing oleh kepiting di pantai Jamursba

Medi dan Wermon

Pantai Peneluran Musim 2009/2010 Musim 2010/2011 2011/2012 Rata (stdv) n Rata (stdv) n Rata (stdv) n Jamursba Medi 55.33 ±80.31 (19) 11.67±15.31 (21) -

Wermon - 43.5±44.7 (26) 15.33±21.01 (26)

Sumber : Data primer 2012

Tabel 31 menjelaskan bahwa pemangsaan terhadap telur oleh kepiting berpeluang kecil untuk merusak telur lain dibandingkan dengan pemangsaan yang dilakukan oleh hewan tingkat tinggi seperti babi hutan, anjing dan biawak. Evaluasi tahun 2001 terhadap sarang penyu di Bill Baggs Cape Florida State Park (CFSP) di Selatan Biscayne, Florida menunjukkan bahwa terjadi kegagalan penetasan akibat predasi yang dilakukan Colepteran ditandai dengan

lubang-lubang kecil pada kulit telur penyu. Dodd (1988) in Ellen et al. (2004) menyatakan bahwa predator utama yang bersifat destruktif di pantai Biscayne Florida adalah racoon, kepiting hantu, armandillo (Dasypus novemcinctus), rubah (Vulpes), anjing domestik (Canis familiaris), babi liar (Suscrofa), sigung (Spilagale putorius) dan beberapa larva serangga yang juga memangsa telur.

Predasi oleh hewan tersebut merusak sarang secara keseluruhan. Persentase predasi sarang berbeda disetiap musimnya dimana pantai Jamursba Medi didominasi oleh predator anjing dan Wermon lebih didominasi oleh predator babi hutan seperti pada Tabel 33. Penelitian tahun 2003/2004 sarang yang dirusak oleh babi hutan dan anjing sekitar 4.9% dan 3.9% (Hitipeuw et al. 2002). Hasil penelitian Starbird and Suarez (1994) menduga bahwa sekitar 40% sarang di Warmon dirusak oleh babi hutan. Sedangkan Jamursba Medi pada bulan Juni sampai Juli 2005 sekitar 29 sarang di pantai Warmamedi dirusak oleh predator babi (29.3%) dan Wembrak hanya satu sarang yang dirusak (Tapilatu et al. 2007). Berdasarkan fakta ini maka dipastikan laju predasi terhadap telur penyu menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi populasi individu baru (tukik penyu).

Tabel 32. Predasi sarang di Jamursba Medi dan Wermon Musim

peneluran penyu belimbingPredator sarang Jamursba Medi (%) predasi (%) predasi Wermon 2009/2010

JM = 13 sarang Anjing Babi 7.52 2.26 - -

Biawak - - 2010/2011 JM = 16 sarang W = 11 sarang Anjing 29.09 39.13 Babi - - Biawak - 8.7 2011/2012 JM = 0 sarang W = 37 sarang Anjing - 2 Babi - 23.33 Biawak - 0.86

Sumber : Data Primer 2012

5.4.2.6Tekstur Pasir

Pasir merupakan unsur utama utama penyusun tekstur sarang penyu, dimana susunan tekstur pasir berdiameter halus dan sedang, sisanya adalah debu dan liat (Nuitja 1992). Sebaran partikel pasir berdasarkan ukuran t_sieve

menunjukkan persentase ukuran >500nm lebih tinggi dibandingkan ukuran lainnya disemua pantai peneluran seperti pada Gambar 39.

Gambar 39 menunjukkan bahwa proporsi untuk diameter pasir pada pantai peneluran didominasi oleh pasir berukuran <500 nm dengan rata rata sebesar 40%. Dominasi pasir dengan ukuran ini disebabkan pantai peneluran yang berhadapan dengan samudra menyebabkan adanya kecenderungan substrat berukuran kecil. Selain letak pantai yang terbuka terhadap samudra, menurut Nybakken (1988) bahwa ukuran partikel pasir di pantai merupakan fungsi dari gerakan ombak pantai. Gerakan ombak pada pantai berpasir merupakan faktor lingkungan yang dominan terjadi dipantai tersebut. Jika gerakan ombak kecil maka terbentuk partikel pasir berukuran kecil, sedangkan jika gerakan ombak besar dan kuat maka akan terbentuk partikel pasir berukuran kasar dan kerikil. Butiran pasir halus akan menampung air lebih banyak karena adanya gaya kapiler sementara pasir berukuran kasar cenderung mengalirkan (Nybakken 1988). Butiran ukuran halus ini berperan sebagai media yang dimanfaatkan oleh penyu belimbing untuk menyimpan telur ketika musim peneluran.

Proporsi diameter pasir dikedua pantai menunjukkan ukuran yang sama tetapi masing masing pantai memiliki nilai median yang berbeda seperti yang ditampilkan pada Gambar 40. Pantai Wermon memiliki proporsi nilai median yang relatif kecil yaitu 6,34% dibandingkan proporsi di pantai Jamursba Medi. Gambar 39. Persentase pasir berdasarkan ukuran t-sieve di pantai Jamursba Medi

Hal ini disebabkan selama penelitian pantai Wermon dipengaruhi oleh musim ombak sehingga sedimen yang terangkut dengan massa air dar laut relatif berukuran antara 1 mm sampai 2 mm. Ukuran pasir menjadi penunjang dalam perkembangan embrio dan penetasan telur selama dalam sarang selama masa inkubasi. Ackerman (1977) in Wallace et al. 2003) menyatakan bahwa aktivitas metabolisme embrio penyu sangat dipengaruhi oleh konduktivitas dan difusi pasir pantai, adanya hubungan penapasan embrio dengan ukuran butir pasir, jumlah volume pasir dan pertukaran udara dalam sarang akan membuat kondisi ideal sarang sehingga menunjang perkembangan embrio penyu selama masa inkubasi

Pantai Wembrak Median : 9.46 Median : 10.08 Pantai Baturumah Median : 11.57 Median : 6.34 Pantai Wermon Pantai Warmamedi

Gambar 40. Persen komulatif median ukuran pasir pada Pantai Jamursba Medi dan Wermon.

Sebaran pasir pada keempat pantai peneluran menunjukkan dominasi pasir dengan tekstur halus. Rata rata persentase pasir dengan tekstur halus 50%, diikuti pasir yang berukuran sedang sekitar 20% dan pasir berukuran kasar dibawah 10%. Pasir dengan ukuran sedang sampai halus merupakan tekstur ideal yang disukai penyu ketika hendak memilih habitat untuk bertelur. Anonimus (1999) mengemukakan bahwa penyu akan membatalkan proses bertelur jika tipe pasir yang berada dalam sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil. Selain ukuran pasir kasar dan pecahan karang, penyu juga sensitif ketika ukuran pasir terlalu halus. Hal ini dikarenakan ketika melakukan penggalian sarang akan terjadi longsor sarang yang mengakibatkan penyu akan berpindah lokasi untuk mencari tempat lain.

5.4.2.7Kedalaman Sarang

Kedalaman sarang adalah jarak antara permukaan pasir sampai dasar sarang tempat dimana telur diletakkan. Penggalian sarang merupakan bagian dari proses peneluran yang umumnya dilakukan oleh induk penyu sebelum melepaskan telur. Penyu memiliki insting untuk menggali sarang berdasarkan panjang fliper, dimana semakin panjang fliper kemungkinan sarang yang tergali akan semakin dalam, begitupun sebaliknya.

Kedalaman sarang pada kedua pantai menunjukkan perbedaan. Kedalaman sarang di Jamursba Medi cenderung dalam, terutama jarak dasar sarang kepermukaan sarang adalah 91,3 cm dibandingkan Wermon sekitar 85 cm.