• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kerentanan populasi penyu belimbing (dermochelys coriacea, vrandelli 1761) di pantai jamursba medi dan wermon sebagai indikator keberlanjutan kawasan konservasi laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kerentanan populasi penyu belimbing (dermochelys coriacea, vrandelli 1761) di pantai jamursba medi dan wermon sebagai indikator keberlanjutan kawasan konservasi laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat"

Copied!
463
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KERENTANAN POPULASI PENYU BELIMBING (Dermochelys coriacea Vrandelli 1761) DI PANTAI JAMURSBA MEDI

DAN WERMON SEBAGAI INDIKATOR KEBERLANJUTAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH ABUN

KABUPATEN TAMBRAUW PAPUA BARAT

FERAWATI RUNTUBOI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea, Vrandelli 1971) sebagai Indikator

Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat, adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2012

(3)

ABSTRACT

FERAWATI RUNTUBOI, Vurnerability of Leatherback Population Analysis (Dermochelys coriacea Vrandelli 1761) in Jamusrba Medi and Wermon Beach as

Indicator of Sustainability of Abun Marine Protected Area Tambrauw Regency, West Papua. Supervised by M. MUKHLIS KAMAL and LUKY ADRIANTO.

Decline of leatherback population in Jamursba Medi and Wermon beach in the last 10 years, has impact stock leatherback populations in the Western Pacific. Environmental and social antropogenic factors were be fathomed on population decline, especially the number of individuals and the number of new individual adults. This study aims to determine the status utilization of leatherback populations, vulnerability index, and recommendations in the implementation of best management scenarios sustainability Abun marine protected area as protection of the leatherback habitats and these population. Result explicates that currently these status has categorized in endangered and be beased non determental finding reveals that utilization of leatherback does not lead to

sustainability. Composite performance of these vurnerable index framing in Jamursba Medi is at the level of medium vurnerable (0.486) and Wermon is at the

level of high vurnerable (0.616). Social influences of anthropogenic be one of the

greatest threats to the environment in addition to population decline. The threat is indicated by the high activity of egg collection, hunting the adults of the community within and outside marine protected area, as the north sea islands, Manokwari and Southeast Maluku. In addition to direct use of bycatch from commercial fisheries are also factors leatherback population decline. Furthermore, directly use through co-catching from comersial fishery operations was also be a decreasing factor of leatherback population. Based the results it is recommended several scenarios through tradeoff analysis approach. Both of sub model

environmental integration and social antropogenic scenarios are selected and considered as the best with the quality value of 66.03. It are which in turn encouraged in sustainable implementation of Abun MPA.

(4)

RINGKASAN

FERAWATI RUNTUBOI, Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing (D.coriacea Vrandelli 1761) di Pantai Jamusrba Medi dan Wermon sebagai

Indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan LUKY ADRIANTO.

Pantai Jamursba Medi dan Wermon merupakan pantai peneluran terbesar yang berperan sebagai penyuplai populasi penyu belimbing terbesar di Pasifik Barat. Dalam 10 tahun terakhir, terjadi penurunan populasi penyu belimbing secara drastis yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Faktor lingkungan berkaitan dengan perubahan iklim global yang mempengaruhi proses ekologi seperti proses peneluran dan penetasan. Faktor sosial antropogenik berkaitan dengan pemanfaatan langsung sumberdaya penyu seperti pengambilan telur dan daging serta pemanfaatan tidak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar. Solusi dalam meminimalkan dampak tersebut adalah melakukan pengelolaan secara terpadu salah satunya adalah penetapan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang berfungsi melindungi keanekaragaman hayati sumberdaya seperti penyu belimbing.

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk (1) mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing melalui penilaian non detrimental finding (2)

mengestimasi indeks kerentanan populasi penyu belimbing (3) merekomendasikan skenario pengelolaan dalam implementasi keberlanjutan KKLD Abun.

Penelitian ini dilakukan di pesisir Utara Kepala Burung Papua tepatnya di pantai Jamursba Medi dan Wermon dan beberapa kampung yang berada didalam KKLD Abun. Pendekatan yang digunakan adalah non detrimental finding (NDF)

dan indeks kerentanan. Pengambilan data dilakukan secara eksporasi terbagi dua bagian yaitu pengambilan data lingkungan dipantai peneluran dan pengambilan data sosial antropogenik di kampung berada dekat dengan pantai peneluran. Dua kampung lainnya adalah kampung di Utara Manokwari.

Metode non detrimental finding adalah metode penilaian status pemanfaatan

populasi berdasarkan perankingan dari 5 variabel penyusun yang kemudian dijabarkan kedalam 25 unsur. NDF terdiri dari lima variabel utama yaitu (1) biologi, distribusi, migrasi dan karakteristik, (2) Trend populasi dan status konservasi, (3) ancaman populasi, (4) perdagangan dan pemanfaatan serta (5) pengawasan dan regulasi. Metode indeks kerentanan disusun oleh faktor utama yaitu faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Kedua faktor ini kemudian dikategorikan kedalam tiga indeks kerentanan yaitu indeks keterpaparan, indeks kepekaan dan indeks kapasitas adaptif. Analisis penentuan tingkat kerentanan populasi penyu belimbing dilakukan dengan menggunakan composite vulnerable index. Selanjutnya untuk merekomendasikan skenario keberlajutan KKLD Abun,

maka dilakukan dengan pendekatan Tradeoff analisis dimana hasil dari skenario

(5)

Hasil menunjukkan bahwa status populasi penyu belimbing termasuk dalam

endangared dan berdasarkan penilaian non detrimental finding (NDF) bahwa

pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing tidak mengarah pada kelestarian. Selanjutnya hasil komposit indek kerentanan populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi diketahui bahwa populasi berada dilevel medium vurnerable

(0.49) dibandingkan pantai Wermon yang berada pada level high vurnerable

(0.62). Rentannya populasi dikedua pantai ini dipengaruhi faktor lingkungan dan sosial antropogenik. Faktor sosial antropogenik terindikasi menjadi salah satu ancaman terbesar yang mengakibatkan penurunan populasi. Ancaman tersebut terindikasi dengan tingginya aktivitas pengambilan telur, perburuan terhadap penyu dewasa oleh masyarakat didalam KKLD Abun maupun masyarakat diluar KKLD Abun seperti di perairan Kei Maluku Tenggara. Selain pemanfaatan langsung masyarakat, tangkapan sampingan dari perikanan berskala besar seperti perikanan tuna dan udang menjadi faktor penurunan populasi penyu belimbing.

Kondisi ini mendasari perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap populasi penyu belimbing diKKLD Abun. Pengelolaan yang dihasilkan haruslah pengelolaan yang berkelanjutan. Berdasarkan tujuan tersebut dengan pendekatan

tradeoff dimunculkan empat skenario pengelolaan yaitu skenario tanpa

pengelolaan, pengelolaan sub model lingkungan, pengelolaan sub model sosial antropogenik, sub model keterpaduan antara lingkungan dan sosial antropogenik. Dari empat skenario yang dianalisis, skenario keterpaduan sub model lingkungan dan sosial antropogenik merupakan skenario terbaik dengan nilai skenario terbesar yaitu 66.03 yang harus diaplikasikan dalam keberlanjutan KKLD Abun.

Kata kunci: Penyu belimbing, non detrimental finding, kerentanan populasi,

(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

ANALISIS KERENTANAN POPULASI PENYU BELIMBING (Dermochelys coriacea Vrandelli 1761) DI PANTAI JAMURSBA MEDI

DAN WERMON SEBAGAI INDIKATOR KEBERLANJUTAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH ABUN

KABUPATEN TAMBRAUW PAPUA BARAT

FERAWATI RUNTUBOI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea, Vrandelli 1761) di Pantai

Jamursba Medi dan Wermon sebagai Indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat.

Nama : Ferawati Runtuboi NIM : C 252 100 111

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc Ketua

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(10)

PRAKATA

Syukur dan terimakasih penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Pengasih atas penyertaan-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema penelitian ini adalah “Analisis Kerentanan Populasi Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea Vrandelli 1971) di Pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai Indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat”, Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan KKLD Abun guna melindungi sumberdaya penyu belimbing sehingga populasi ini tetap tersedia di alam.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidaklah mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis tulus menyampaikan terimakasih yang sebesar-sebesarnya pada :

1. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan anggota pembimbing, atas waktu, tenaga, pikiran, arahan, diskusi dan ilmu yang diberikan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Kedua orang tuaku Bapak O.Runtuboi dan Ibu A. Numberi, Bapak D. Runtuboi dan Ibu A. Simaela buat doa dan supportnya pada penulis selama studi.

3. Suami Aston Situmorang dan Anakku Keyko Easter Situmorang untuk pengertiannya dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi.

4. Saudara-saudariku Dirk Runtuboi dan keluarga, DA Iyai dan keluarga, Milano Runtuboi, Frank, Andre dan Aksamina Runtuboi, untuk semua doa dan supportnya pada penulis selama studi.

5. Bapak Rektor Unipa, Jurusan Ilmu Kelautan Unipa untuk bantuan dan perhatiannya.

6. Bapak Ricardo Tapilatu untuk diskusi dan ilmunya kepada penulis.

7. WWF Indonesia Region Sahul Sorong, LPMAK Timika untuk bantuannya 8. Masyarakat di KKLD Abun Kabupaten Tambrauw Papua Barat untuk

bantuannya selama penelitian.

9. Semua teman-teman SPL 2010 untuk kekompakannya.

10. Pemerintah daerah Kabupaten Tambrauw dan masyarakat untuk bantuannya. 11. Pascasarjana Papua di Bogor untuk kebersamaannya dan doannya.

12. Semua permerhati penyu dan pecinta konservasi terimakasih atas inspirasinya.

Bogor, Desember 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serui, Propinsi Papua pada tanggal 6 Februari 1984 dari pasangan Bapak Oness Runtuboi dan Aplena Numberi. Penulis merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus SMA Negeri 2 di Serui dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 sampai 2008 penulis melaksanakan tugas sebagai relawan pada United Nation Development (UNDP) di Jayapura Papua. Pada bulan Desember 2008 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Universitas Negeri Papua di Manokwari dan saat ini penulis tercatat sebagai staf pengajar pada Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua.

(12)

DAFTAR ISI 2.1 Konservasi sumberdaya pesisir dan laut ………. 13

2.2 Konservasi populasi ……… 14

2.3 Pengelolaan kawasan konsevasi pesisir dan laut ………. 14

2.4 Deskripsi penyu belimbing ………. 15

2.4.1 Klasifikasi ……… 15

2.4.2 Karakteristik ……… 16

2.4.3 Siklus hidup ……… 17

2.5 Perilaku penyu belimbing ……… 18

2.5.1 Perilaku peneluran ……… 18

2.5.2 Perilaku migrasi ……… 19

2.5.3 Habitat ………. 21

2.6 Populasi penyu belimbing di Indonesia ……… 21

2.6.1 Kecenderungan populasi penyu belimbing …………. 22

2.6.2 NDF penyu belimbing ……… 23

2.7 Kerentanan populasi penyu belimbing ……… 25

2.7.1 Konsep kerentanan ……… 25

2.7.2 Kerentanan populasi ……… 27

2.7.3 Dinamika kerentanan ……… 28

2.7.4 Kuantifikasi kerentanan ……… 28

2.7.5 Indeks kerentanan populasi ……… 31

2.8 Faktor kerentanan populasi ………... 33

2.8.2 Sistem sosial antropogenik ……… 37

2.9 Tradeoffanalisis ……….. 39

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat ……… 41

(13)

3.2 Metode penelitian ……… 41

3.3 Metode pengumpulan data ……… 42

3.4 Metode penilaian status NDF ……….. 46

3.5 Metode tahapan kerentanan populasi ………... 46

3.6 Analisis data ……… 53

3.6.1 Indeks keterpaparan ……….. 53

3.6.2 Indeks kepekaan ……… 56

3.6.3 Indeks kapasitas adaptif ……….. 58

3.6.4 Penyusunan indeks kerentanan populasi ………….. 59

3.6.5 Pembobotan indeks kerentaann ………... 60

3.6.6 Standarisasi dan komposit indeks kerentanan……… 62

3.6.7 Penentuan tingkat kerentanan populasi ……… 64

3.7 Skenario pengelolaan tradeoffanalisis ……….. 65

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak geografis dan administrasi ………. 69

4.2 Fisiografi kawasan ……… 69

4.3 Tutupan lahan dalam KKLD Abun ……….. 70

4.4 Sebaran pusat pemukiman dalam KKLD ……… 71

4.5 Potensi keanekaragaman Hayati ……… 72

4.6 Sosial ekonomi masyarakat ………. 73

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan biofisik ……… 79

5.1.1 Karakteristik fisik lokasi ……… 79

5.1.2 Arah dan kecepatan angin ……… 81

5.2 Penilaian NDF ………. 81

5.2.1 Biologi distribusi, migrasi dan karakteristik ……… 81

5.2.2 Ekologi dan reporoduksi ……… 82

5.2.3 Migrasi ……… 83

5.2.4 Trend populasi di Jamursba Medi dan Wermon …… 87

5.2.5 Status konservasi penyu belimbing ……… 89

5.2.6 Ancaman populasi ……… 89

5.2.7 Perdagangan dan pemanfaatan ……… 93

5.2.8 Kontrol dan pengelolaan ……… 94

5.2.9 Penilaian NDF penyu belimbing ……… 96

5.3 Keadaan sosial antropogenik ……… 99

5.3.1 Analisis responden ………. 99

5.3.2 Responden pengambil telur ……… 100

5.3.3 Responden konsumen telur ……… 103

5.3.4 Responden penangkap penyu belimbing ……… 106

5.3.5 Responden konsumsi daging ………. 109

5.4 Indeks kerentanan populasi penyu belimbing ………. 111

5.4.1 Penentuan bobot parameter kerentanan ……… 111

5.4.2 Sistem lingkungan ………. 112

5.4.2.1 Suhu dan variasi suhu ……… 112

(14)

5.4.2.3 Kemiringan pantai ……….. 119

5.4.2.4 Monsun ……… 120

5.4.2.5 Laju predasi ……… 126

5.4.2.6 Karakteristik pasir ……….. 127

5.4.2.7 Kedalaman sarang ……….. 130

5.4.2.8 Sarang relokasi ……… 131

5.4.2.9 Perlindungan habitat ……… 132

5.4.3 Sistem sosial antropogenik ……… 133

5.4.3.1 Pengambilan dan konsumsi telur ……… 133

5.4.3.2 Tangkapan masyarakat dan konsumsi daging … 138 5.4.3.3 Tangkapan sampingan ……… 145

5.4.3.4 Persepsi masyarakat tentang konservasi ……… 147

5.4.3.5 Potensi konflik ……… 150

5.4.3.6 Peranan pemerintah ……… 152

5.4.4 Penilaian parameter kerentanan ……… 153

5.4.4.1 Indeks keterpaparan ……… 154

5.4.4.2 Indeks kepekaan ……… 158

5.4.4.3 Indeks kapasitas adaptif ……… 161

5.5 Alternatif Skenario keberlanjutan KKLD Abun dengan analisis tradeoff………. 168

5.5.1 Identifikasi stakehoder …..………. 168

5.5.2 Analisis skenario ……… 170

5.5.3 Analisis multi kriteria ……… 171

5.5.4 Identifikasi rentang bobot skenario ……… 174

6 KESIMPULAN DAN SARAN 177

DAFTAR PUSTAKA 181

LAMPIRAN 189

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengertian kerentanan ……… 26

2 Matriks hubungan tujuan dan metode pengumpulan data lingkungan ……… 43

3 Matriks hubungan tujuan dan metode pengumpulan data sosial antropogenik ……… 45

4 Identifikasi kategori kerentanan keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif terhadap faktor lingkungan dan antropogenik dalam menilai kerentanan ……….. 49

5 Contoh ranking dan skala ……… 50

6 Sistem skala dan ranking faktor kerentanan populasi penyu belimbing untuk lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori keterpaparan ……... 51

7 Sistem skala dan ranking kerentanan populasi penyu belimbing untuk faktor lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori kepekaan ……… 51

8 Sistem skala dan ranking faktor kerentanan populasi penyu belimbing untuk faktor lingkungan dan sosial antropogenik untuk kategori kapasitas adaptif ……… 52

9 Random consistensy (RC) ……… 61

10 Penentuan tingkat kerentanan ……… 65

11 Nama lokasi penelitian ……… 70

12 Persebaran luas wilayah menurut topografi wilayah daratan KKLD Abun ……… 71

13 Persebaran luas menurut tutupan lahan KKLD Abun ……… 72

14 Komposisi jenis dan keragaman relatif terumbu karang di KKLD Abun ... 72

15 Persentase tutupan terumbu karang ……… 73

16 Persebaran penduduk menurut kampung di KKLD Abun ……… 74

17 Komposisi penduduk menurut asal pada delapan kampung KKLD Abun……….. 75

18 Sumber dan penerimaan tunai rumah tangga di KKLD Abun ………... 77

19 Karakteristik habitat peneluran ……… 82

20 Persentase sukses penetasan telur penyu belimbing pada plot pengamatan di Jamursba Medi dan Wermon ……… 83

21 Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing ……… 90

22 Peraturan yang mengatur konservasi penyu laut di Indonesia ……… 95

23 Jumlah responden pengambil telur berdasarkan jumlah telur per satu periode musim peneluran ………. 100

(16)

24 Jumlah responden konsumsi telur berdasarkan jumlah sarang per satu

periode musim peneluran ……… 103

25 Jumlah responden penangkap penyu belimbing berdasarkan jumlah individu per satu periode musim peneluran ………... 106 26 Jumlah responden konsumsi daging berdasarkan kilogram per satu

periode musim peneluran ……… 109

27 Bobot kerentanan populasi ……… 110 28 Suhu pasir pada plot pengamatan di Pantai Jamursba Medi dan Wermon

2009/2010 Jamurba Medi (April-Oktober) dan Wermon

(November-Maret) ……… 113 29 Potensi rendaman pantai peneluran terhadap kenaikan muka laut ……… 117 30 Persentase kemiringan pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon … 119 31 Pemangsaan telur penyu belimbing oleh kepiting di pantai Jamursba

Medi dan Wermon ……… 126

32 Predasi sarang di Jamursba Medi dan Wermon ……… 127 33 Kedalaman sarang di Pantai Jamusba Medi dan Wermon

(KAS=kedalaman sarang dari atas telur ke permukan pasir) dan (KDS= kedalaman dari dasar sarang kepermukaan) ……….. 131 34 Estimasi pemanfaatan telur di Pantai Jamursba Medi dan Wermon ……. 136 35 Estimasi pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing oleh masyarakat di

pesisir utara Kepala Burung ……… 142 36 Nilai ranking masing-masing variabel penyusun kerentanan ……… 154 37 Alternatif Skenario untuk pengelolaan penyu belimbing dan

keberlanjutan KKLD Abun ……… 170

38 Nilai skenario pengelolaan populasi penyu belimbing di KKLD Abun … 172 39 Nilai skor dari tiap variabel terhadap skenario pengelolaan ……… 172 40 Preferensi individu dan kelompok stakeholder ………... 173

41 Nilai skor dan bobot untuk tiap skenario ……… 174

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003) ………… 9

2 Kerangka analisis kerentanan populasi penyu belimbing di pantai Jamursba Medi dan Warmon KKLD Abun……… 11

3 Jenis dan distribusi genetik penyu belimbing di perairan dunia …… 16

4 Siklus hidup penyu belimbing ……… 18

5 Perilaku peneluran sampai kembali ke laut ……… 19

6 Lintasan jalur migrasi dari 6 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi, Indonesia. Pola migrasi menunjukkan pergerakan setelah bertelur menuju Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi. Pada waktu tertentu melakukan transit kemudian bergerak menuju posisi terakhir (Benson et al. 2007).……… 20

7 Lintasan jalur migrasi dari 3 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi dengan pola migrasi menuju kearah Barat Indonesia. Beberapa kali melakukan transit di perairan NTB, Kalimantan hingga Sumatra lalu melakukan migrasi menuju tempat terakhir ( Benson et al. 2007).………. 20

8 Kecendurungan penurunan populasi peneluran penyu belimbing di Terenngganu Malaysia (Chan 2006), Mexico (Sarti et al. 1996) dan Jamursba Medi Papua Indonesia ……… 23

9 NDF pengetahuan berbasis analisis resiko terhadap penyu belimbing ……… 24 10 PAD kabupaten Berau dari pengusahaan telur penyu …………... 38

11 Sistem sosial antropogenik terhadap penyu belimbing………. 39

12 Lokasi pengambilan data lingkungan ……… 42

13 Lokasi pengambilan data sosial antropogenik ………. 44

14 Model indeks kerentanan dan kategori relevan kerentanan untuk menilai kerentanan populasi Penyu Belimbing terhadap faktor lingkungan dan sosial antropogenik (Adopsi Fuentes et al. 2010)

19 Batimetri pesisir Indonesia khususnya utara Kepala Burung menunjukkan kisaran kedalaman 1000 meter sampai 4000 ………. 80

20 Pola migrasi dari 126 tersaji kemungkinan singgah (Benson et al. 2011) ………... 86

21 Populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi 1984-2011 (Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep) ……… 88

22 Populasi penyu belimbing di Pantai Wermon 1984-2011 (Hitipeuw

(18)

et al. 2007 dan Tapilatu et al. In prep) ……… 88

23 Estimasi penangkapan penyu belimbing di Perairan Kepulaun Kei Maluku Tenggara (Lawalata et al. 2004) ……… 93

24 Penilaian non detrimental finding status pemanfaatan penyu

belimbingdi Tambrauw Papua Barat ………

98

25 Hasil analisis responden di pesisir KKLD Abun ……… 99 26 Laju pengambilan telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia … 101 27 Laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia …… 105 28 Laju penangkapan berdasarkan tingkat pendidikan dan usia ……… 107 29 Laju konsumsi daging berdasarkan tingkat pendidikan dan usia … 110 30 Variasi suhu pasir di plot pengamatan Pantai Baturumah (21April–2

Oktober 2011 ), Wembrak (22 April –1 Oktober 2011), Warmamedi (23 April-3Oktober 2011) dan Wermon (11 November 2010-31 Maret 2011)……….

114

31 Variasi suhu pasir di pantai Jamursba Medi dan Wermon per bulan tahun 2010………

113

32 Trend kenaikan muka laut di pesisir Utara Kepala Burung Papua

(1993-2011) ……… 116 33 Trend kenaikan muka laut di pesisir Utara Kepala Burung Papua

berdasarkan data altimetri (1993-2011) ……….. 117 34 Potensi rendaman akibat kenaikan muka laut di pantai peneluran di

Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan skenario IPPC (0.18,

0.35, 0.59 dan 0.79 m/tahun) ……… 118 35 Nilai indeks monsun Asia (2011-2012) ……… 121 36 Nilai indeks monsun Australia (2011-2012) ……… 122 37 Hubungan antara monsun dan musim peneluran penyu belimbing … 123 38 Daerah sebaran penyu belimbing pada periode migrasi dimana titik

merah : perilaku mencari makan, titik hitan : perilaku transit pada perairan di California (A), Laut Cina Selatan (B) dan Indonesia (C)

(Benson et al. 2010) ……… 125

39 Persentase partikel pasir di Jamursba Medi dan Wermon ………… 128 40 Persen komulatif median ukuran pasir ditiap pantai peneluran

……….

129

41 Sebaran tekstur pasir di Jamursba Medi dan Wermon ……… 130 42 Estimasi jumlah pengambilan telur penyu belimbing

(Sarang/KK/Kampung/Musim) di pesisir KKLD Abun ………

134

43 Estimasi jumlah konsumsi telur penyu belimbing

(butir/KK/Kampung/Musim) ……… 135 44 Estimasi kerentanan populasi berdasarkan pengambilan dan

konsumsi telur ………

137

45 Estimasi jumlah tangkapan penyu belimbing (Ekor/KK/Kampung/Musim) di pesisir KKLD Abun ………

(19)

46 Estimasi konsumsi daging (Kg/KK/Kampung/Musim) ……… 139 47 Estimasi kerentanan populasi individu dewasa berdasarkan

penangkapan dan konsumsi daging……… 141 48 Estimasi kerentanan populasi akibat pemanfaatan masyarakat pesisir

Abun……… 143

49 Sistem ekologi sosial penyu belimbing di Abun ……… 144 50 Peta tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna di perairan

Indonesia. (Zainudin et al. 2006) ……… 149

51 Potensi konflik sumberdaya penyu belimbing di Jamursba Medi dan

Wermon …..……… 151 52 Proporsi nilai variabel pada indeks keterpaparan ……… 156 53 Jumlah tangkapan penyu belimbing oleh masyarakat (Laporan

monitoring WWF Indonesia Region Kei 200λ) ………

157

54 Proporsi nilai variabel pada indeks kepekaan ……… 158 55 Proporsi nilai variabel pada indeks kapasitas adaptif ……… 163 56 Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba

Medi dan Wermon ………..

164

57 Indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan

Wermon ……… 165

58 Trend penurunan jumlah sarang penyu belimbing di Pantai

Jamursba Medi dan Wermon (Tapilatu et al. in prep) ……… 166

59 Distribusi musim peneluran di Jamurba Medi (Unimodal) dan

Wermon (Bimodal) (Tapilatu et al. in prep) ……… 166

60 Jumlah penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer

dan austral summer di Pantai Jamursba Medi dan Wermon

(Tapilatu et al. in prep) ………

167

61 Pengaruh dan peran stakeholder terhadap pengelolaan populasi

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

H alaman

1 Alat penelitian ……… 189

2 Kuesioner penelitian ………... 190

3 Instrumen preferensi stakeholder ……… 199

4 Hasil kuesioner responden ……….. 201

5 Komponen penilaian non detrimental finding……….. 203

6 Rekapitulasi nilai non detrimental finding……….. 207

7 Faktor lingkungan ……….. 208

8 Faktor sosial antropogenik ………. 211

9 Sistem pembobotan variabel kerentanan ……… 216

10 Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi …. 219 11 Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Wermon ………. 220

12 Indeks kerentanan populasi ………. 221

13 Peta estimasi tangkapan penyu belimbing ……….. 222

14 Alat tangkap dan jenis kapal perikanan ukuran 4-5 GT di Sorong ……… 222

15 Kapal perikanan di Sorong ………. 223

16 Jenis alat tangkap ……… 223

17 Pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing ……….. 224

18 Laju predasi sarang penyu belimbing ……… 225

(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Dari enam jenis penyu, lima jenis diantaranya yaitu penyu belimbing (Dermochelys

coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eremochelys imbricate),

penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) telah

diketahui berbiak di Indonesia, sementara jenis yang lain (Salm & Halim 1984; Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007). Jenis keenam, penyu pipih (Natator

epresus) diketahui hanya berbiak di Australia, tetapi telah teramati mencari makan

di perairan Indonesia (Kitchener 1996 in Hitipeuw et al. 2007). Dari kelima jenis

penyu tersebut yang mengarah pada kepunahan adalah penyu belimbing.

Penyu belimbing memiliki peran penting dalam sistem ekologi rantai makanan, karena berfungsi sebagai predator utama ubur ubur dari kelas shyphozoa terutama ordo rhizostomae. Ubur ubur merupakan organisme lunak, bertentakel dan merupakan predator dari juvenil ikan. Apabila populasi ubur ubur meningkat maka semakin banyak juvenil ikan yang dimangsa, sehingga mempengaruhi produksi perikanan. Pada kondisi ini peran dari penyu belimbing dibutuhkan sebagai penyeimbang populasi ubur ubur. Fakta ini menegaskan bahwa penyu belimbing merupakan spesies kunci ataupun spesies indikator. Selain sebagai spesies indikator, penyu belimbing juga merupakan penciri kealamian habitat. Hal ini disebabkan karena penyu belimbing menyukai habitat alamiah untuk melakukan proses persarangan, perkawinan dan makan. Apabila terjadi degradasi habitat maka penyu belimbing tidak lagi dijumpai di habitat tersebut.

Populasi penyu belimbing secara global mengalami penurunan mencapai 97% dalam periode 22 tahun terakhir. Laporan Conservation International (CI) pada simposium tahunan ke 24 di Costa Rica menyatakan penurunan populasi dari 115.000 ekor betina dewasa menjadi 2.300 ekor sejak tahun 1982. Lima spesies penyu lainnya juga beresiko punah, walaupun dengan rentang waktu relatif lama dibandingkan dengan penyu belimbing sebagaimana dalam CITES (Convention

on International Trade of Endangered Species) dengan status Appendix 1 yang

(22)

Penyu belimbing diperkirakan hanya terdapat 2.300 ekor penyu betina dewasa yang tersisa di kawasan Pasifik Utara dan kawasan Pasifik Barat. Kawasan Pasifik Utara meliputi pantai Meksiko, Nikaragua, Costa Rica dan Kawasan Pasifik Barat meliputi pantai di Kepulauan Solomon,Vanuatu, Malaysia, Papua NNG dan Papua (Hitipeuw et al 2007). Di Indonesia tepatnya di pesisir

utara Kepala Burung Papua diketahui menjadi tempat peneluran dengan stok populasi terbesar yang memberikan kontribusi terhadap populasi di Pasifik Barat (Dutton et al. 2007). Mengacu pada fakta ini, maka pantai peneluran Jamursba

Medi dan Wermon Papua perlu dipertahankan sehingga keberlangsungan populasi tetap ada (Hitipeuw et al. 2007).

Pantai Jamursba Medi dan Wermon adalah lokasi peneluran yang terletak di Kepala Burung Papua dan menjadi lokasi peneluran yang selalu dikunjungi oleh penyu belimbing. Saat ini kedua pantai ini merupakan penyumbang stok populasi terbanyak untuk populasi penyu belimbing di Pasifik Barat selain PNG dan Kepulauan Salomon. Uniknya kedua pantai ini memiliki musim peneluran yang berbeda, Tapilatu et al. (2002) menyatakan bahwa pantai Jamursba Medi memiliki

musim peneluran pada bulan April sampai Agustus ditandai dengan musim monsun timur atau musim teduh, sementara Pantai Wermon biasanya musim dari bulan Desember sampai Februari ditandai dengan musim ombak atau monsun barat. Perbedaan musim peneluran ini tidak menyebabkan perbedaan spesies penyu yang bertelur tetapi spesies penyu belimbing yang sama berpeluang bertelur di kedua pantai tersebut. Kondisi kedua pantai dengan ciri karakterik habitat bertelur yang cenderung sama menjadi alasan adanya spesies yang sama bertelur dipantai berbeda dengan musim berbeda.

Kondisi lingkungan laut dan pantai adalah faktor penentu keberlanjutan hidup dan populasi penyu. Ackerman (1997); Wallace et al. (2004) menyatakan

(23)

skala besar (Hitipeuw et al. 2007).Semua indikasi faktor lingkungan dan sosial

antropogenik secara langsung dan tidak langsung memberi tekanan kematian individu dewasa dan penurunan populasi penyu belimbing.

Solusi dalam meminimalkan dampak faktor lingkungan dan sosial antropogenik adalah pengelolaan secara efektif dan terpadu. Pengelolaan secara terpadu meliputi tiga pilar utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial kelembagaan. Pengelolaan dari aspek ekologi mengacu pada pendekatan spesies dan habitat. Pendekatan habitat meliputi perlindungan habitat peneluran, habitat makan dan habitat migrasi. Sementara pendekatan spesies adalah perlindungan penyu agar tidak dimanfaatkan baik telur maupun induk dewasa. Pengelolaan dari aspek ekonomi merujuk pada penyadaran masyarakat dari kebiasaan memanfaatkan sumberdaya penyu secara berlebihan dengan memberikan alternatif pemanfaatan sumberdaya lain. Pendekatan sosial kelembagaan diarahkan untuk mengefektifkan peranan semua stakehoder untuk berpatisipasi dalam pengelolaan.

Pendekatan pengelolaan yang telah dilakukan adalah penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun untuk mengefektifkan perlindungan terhadap penyu belimbing tidak hanya di pantai peneluran tetapi juga di pesisir laut. Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun ditetapkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Sorong No.142 tahun 2005 dengan luasan 26.795,53 Ha. Penetapan KKLD Abun bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati di kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua dengan melindungi penyu belimbing yang melakukan peneluran dipantai Jamursba Medi dan Warmon.

1.2 Perumusan Masalah

Tiwari et al. (2005) menyatakan bahwa kemungkinan penurunan populasi

penyu belimbing disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Lebih lanjut, Wallace et al. (2009) menyatakan bahwa faktor

lingkungan dan antropogenik mempengaruhi keberadaan penyu belimbing di alam, tetapi sampai saat ini belum dapat dijelaskan faktor perbedaan dan interaksi secara geografi yang berimplikasi adanya variasi siklus hidup dan dinamika populasi yang terdistribusi dalam skala global.

(24)

lingkungan terhadap individu dewasa dan juvenil terkait pola migrasi dan ketersediaan pakan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap telur penyu belimbing adalah adanya perubahan suhu pasir sebagai akibat dari perubahan suhu global, kelembaban udara pasir, intensitas curah hujan, kenaikan muka air laut dan perubahan monsun. Adanya pengaruh lingkungan ini ditandai dengan penurunan sukses penetasan pada sarang alami di Pantai Jamusba Medi dan Wermon. Pada tahun 2006 sukses penetasan di Jamursba Medi untuk tiga pantai adalah Wembrak 44,7%, Batu Rumah 31,4% dan Warmamedi 41,6% dimana keseluruhan dari sukses penetasan di Jamursba Medi 35,2%. Nilai ini kemudian mengalami penurunan mencapai 25% dan 47% (Tapilatu et al. 2007 & Tiwari et al. 2005).

Kondisi ini semakin diperparah dengan dampak perubahan iklim global sebagaimana dijelaskan Ackerman (1997), bahwa perubahan suhu global akan mempengaruhi seksualitas tukik penyu belimbing. Ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perubahan suhu maka produksi seks tukik penyu belimbing betina dan jantan tidak seimbang karena toleransi suhu sarang penyu belimbing berkisar antara 28 - 29 ºC dimana suhu diatas 29 0C akan menghasilkan banyak tukik penyu betina dan suhu dibawah 28 0C akan menghasilkan banyak tukik penyu jantan.

Pengaruh faktor sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing ditandai dengan jumlah populasi induk betina yang bertelur semakin berkurang akibat perburuan penyu belimbing oleh masyarakat Kei. Lawalata et al. (2004)

menyatakan rata-rata tangkapan penyu belimbing sekitar 29 ekor pada musim 2004/2005. Kasus lainnya adalah tingginya tingkat pemburuan terhadap induk penyu dan pengambilan telur penyu di Taman Nasional Meru Betini Sukamadu Jember. Industri perikanan juga menjadi salah satu ancaman penurunan populasi akibat tingginya tangkapan sampingan. Sebagai contoh perikanan rawai tuna dalam satu trip mendapatkan by catch khususnya penyu belimbing sebanyak 3

ekor (Zainudin et al. 2007).

(25)

kematian 500 ekor penyu belimbing karena terjaring dalam pukat harimau (trawl)

dan jaring lingkar (drifnet) oleh kapal perikanan Jepang (Chan and Liew 1996).

Penyebab lain adalah pengambilan telur penyu belimbing dalam jumlah banyak dengan frekuensi pengambilan telur oleh masyarakat lokal, adanya degradasi habitat sebagai akibat pengalihan fungsi kawasan peneluran penyu belimbing menjadi tempat wisata dan tingginya polusi dan sampah sebagai akibat dari aktivitas wisata (Chan and Liew 1996). Kondisi serupa dinyatakan oleh Mast el

al. (2006) in Hitipeuw et al. (2007) bahwa penurunan populasi penyu belimbing

di kawasan Pasifik seperti Malaysia, Meksiko, Costa Rica dan Indonesia disebabkan faktor kompleks tetapi perikanan skala besar dan perburuan masyarakat menjadi faktor utama penurunan populasi penyu belimbing (Chan and Liew 1996).

Kondisi lingkungan dan kegiatan manusia diprediksi memberi tekanan tinggi terhadap rentannya suatu populasi untuk tetap bertahan di alam. Faktor dan kondisi ini berpeluang terjadi di Jamursba Medi dan Warmon apabila setiap aktivitas antropogenik tidak bisa dikontrol secara efektif. Sebagaimana diketahui bahwa pantai Jamursba Medi dan Warmon termasuk dalam Kawasan Konservasi Laut Daeran Abun yang seharusnya dilindungi dan dikontrol oleh pihak teknis dan pemerintah, tetapi kondisi yang terjadi adalah tidak adanya pengawasan dan kontrol menyebabkan penurunan kondisi ekologi. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pengawasan dari pemerintah dan pihak swasta menyebabkan banyak permasalahan tidak terselesaikan. Beberapa permasalahan antropogenik yang sudah teridentifikasi didalam KKLD Abun adalah

(26)

 Izin lainnya adalah PT Akram yang merupakan perusahaan emas yang masih proses tahap eksplorasi, tetapi beresiko menyebabkan penurunan habitat peneluran.

 Jarak Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun yang relatif dekat dengan kabupaten Sorong sebagai pusat perikanan beresiko terhadap tingginya tangkapan sampingan (bycatch) dari perikanan tradisional maupun perikanan

dalam skala besar.

 Pemekaran wilayah dan daerah administrasi kabupaten Tambrauw memicu pertumbuhan jumlah penduduk dan pembukaan lahan yang nantinya berpotensi menyebabkan penurunan sistem ekologis di daerah pesisir.

 Pembangunan jalan trans Papua Barat yang memanfaatkan pesisir KKLD Abun menyebabkan adanya fragmentasi habitat yang diprediksi mempengaruhi kealamian dan fisik pantai peneluran.

 Pemanfaatan masyarakat terhadap sumberdaya penyu seperti konsumsi daging dan telur penyu belimbing di pesisir KKLD Abun.

Isu dan fakta ini tentunya memberikan resiko dan kerentanan yang cukup berat terhadap populasi penyu belimbing. Dengan semakin banyaknya aktivitas manusia yang merugikan lingkungan pesisir maka akan berdampak pada penurunan dan kerentanan populasi penyu belimbing apalagi habitat peneluran berada didalam KKLD Abun. Potensi dampak yang timbul oleh ancaman ini sangat tergantung pada tingkat bahaya serta tingkat kerentanan pada wilayah tersebut dan sangat terkait dengan kondisi pemanfaatan wilayah pesisir, fisiografi, morfologi, demografi dan sosial ekonomi, termasuk kemampuan manusia untuk beradaptasi terhadap bahaya tersebut. Berkaitan dengan pengaruh faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik dalam kawasan, terdapat sejumlah pertanyaan yang menjadi perumusan masalah kajian ini, yaitu:

1. Seberapa besar faktor lingkungan dan sosial antropogenik akan memberikan dampak yang mengancam populasi penyu belimbing?

2. Seberapa besar bahaya yang ditimbulkan, bagaimana kerentanan dan risiko yang dihadapi penyu belimbing?

(27)

Penelitian ini menjadi penting dilakukan seiring dengan meningkatnya efektivitas lingkungan dalam merespon kerentanan populasi penyu belimbing sebagai indikasi KKLD Abun. Diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi ilmiah tentang kerentanan populasi sehingga menjadi rekomendasi dalam perencanaan pengelolaan pesisir dan laut dengan mengedepankan konservasi baik spesies penyu belimbing dan habitat peneluran.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing berdasarkan penilaian non detrimental finding,

2. Mengestimasi nilai indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun, 3. Merekomendasikan skenario berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Laut

Daerah Abun.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian diharapkan sebagai instrumen dalam pengelolaan konservasi melalui pendekatan spesies maupun habitat dalam mempertahankan populasi penyu belimbing di Papua maupun di Pasifik Barat.

1.5 Ruang Lingkup

Populasi penyu belimbing yang bertelur di semenanjung Kepala Burung Papua, secara agregasi merupakan stok populasi terbesar di Pasifik Barat dan telah menjadi perhatian konservasi pada beberapa waktu terakhir. Status populasi penyu belimbing dinyatakan secara global mengalami penurunan pada pantai peneluran Jamursba Medi semenjak tahun 1980 sampai 2004 (Tapilatu et al. 2012),

meskipun ada penemuan daerah bersarang lainnya dengan persentasi bertelur yang tinggi di pantai Wermon. Akan tetapi populasi peneluran di pantai ini dalam 6 tahun terakhir (setelah 2004) mengindikasikan adanya penurunan baik jumlah sarang dan jumlah induk betina mencapai 80% (Hitipeuw et al. 2007).

(28)

juga menetapkan Apendix I bagi penyu belimbing yang artinya dilarang melakukan penangkapan atau diperjualbelikan

Status penyu belimbing ini menggambarkan bahwa populasi di alam saat ini rentan terhadap kepunahan. Status ini mengharuskan untuk dilakukan penelitian kerentanan populasi sehingga diketahui seberapa rentan populasi penyu belimbing pada kondisi sekarang dan masa mendatang. Kajian penelitian kerentanan populasi perlu dilakukan pembatasan, mengingat bahwa kerentanan memiliki ruang lingkup pengertian yang relatif luas, sehingga perlu dilakukan pelingkupan. Dalam aspek kerentanan populasi penyu belimbing dibedakan berdasakan fungsi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dengan menggunakan variabel ekologi, sosial dan ekonomi. Pada masing masing kerentanan ini memiliki atribut yang berbeda dalam melihat kerentanan populasi penyu belimbing.

Penelitian kerentanan populasi penyu belimbing diarahkan pada kerentanan karena faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Faktor lingkungan diartikan faktor alam atau proses alami yang mempengaruhi populasi penyu belimbing. Variabel lingkungan yang dikaji adalah pengaruh suhu pasir, perubahan morfologi pantai, kenaikan muka air laut, monsun, karakteristik pasir, kedalaman sarang dan predasi terhadap populasi penyu belimbing. Sementara faktor sosial antropogenik adalah semua interaksi dan aktivitas manusia baik personal maupun kelompok yang berpengaruh terhadap populasi penyu belimbing. Variabel tersebut meliputi perburuan induk penyu, pengambilan telur penyu, konsumsi telur dan daging, aktivitas perikanan dan pencemaran dalam Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun.

Kajian kerentanan yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang akan digunakan. Konsep untuk kerentanan populasi sendiri belum terdeskripsi dengan jelas, tetapi untuk beberapa pendekatan dalam memprediksi pengaruh suhu pasir, kenaikan muka air laut dan pengaruh manusia terhadap populasi penyu telah dilakukan Fuentes et al. (2010). Konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam

mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity).

(29)

dalam kategori keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif,yang masing masing variabel dideterminasi dengan pendekatan vulnerability scoping diagram atau

diagram pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam

dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan status populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik. Seberapa besar pengaruhnya sangat ditentukan oleh tingkat keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif dari populasi penyu belimbing tersebut. Berdasarkan konsep kerentanan tersebut diatas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian analisis kerentanan populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi dan Pantai Warmon sebagai indikator Keberlanjutan Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun seperti pada Gambar 1.

.

1.6 Kerangka Pikir

Tingginya perubahan lingkungan berkontribusi terhadap ekosistem pesisir termasuk biota yang terjadi secara bersamaan dalam skala global, regional dan lokal seperti tergambar pada Gambar 1. Penyu belimbing merupakan salah satu

(30)

biota yang juga mendapat tekanan dari perubahan lingkungan dan sosial antropogenik. Pantai peneluran Jamursba Medi dan Warmon adalah pantai peneluran yang masih menyimpan stok penyu belimbing di kawasan Pasifik Barat (Hitipeuw et al. 2007). Dalam 10 tahun terakhir terjadi penurunan populasi penyu

belimbing secara drastis yang diduga disebabkan oleh perubahan faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Kedua faktor ini memberikan pengaruh negatif terhadap populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik yang beresiko mengalami kepunahan. Berdasarkan fakta ini maka diperlukan kajian untuk mengetahui status populasi dan seberapa populasi tersebut di pantai Jamusrba Medi dan Wermon

Dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan non

detriment finding yang diperkenalkan oleh CITES dan kerentanan (vurnerability indeks) (Gambar 2). Metode Non Detrimental Finding yang diperkenalkan oleh

CITES dan IUCN bertujuan mengetahui status populasi penyu belimbing secara ekologis dengan menganalisis keterancaman secara ekologi dan kelestariannya di alam. Metode ini mengacu pada lima faktor penting yaitu faktor ekologi yang meliputi biologi, distribusi, migrasi dan karakteristik spesies, faktor trend populasi dan status konservasi, faktor ancaman populasi, faktor perdagangan dan pemanfaatan serta kontrol regulasi. Kelima faktor ini kemudian dijabarkan kedalam 25 unsur utama penyusun penilaian non detrimental finding. Hasil

keluaran dari penilaian ini adalah mengetahui status pemanfaatan populasi penyu belimbing saat ini dan menentukan arahan kebijakan pengelolaan konservasi baik konservasi habitat maupun spesies.

Kajian kerentanan populasi penyu belimbing mengacu pada pendekatan kerentanan berdasarkan konsep Fussel and Klein (2006) dan Tunner et al. (2003)

(31)

menghasilkan skenario terbaik sebagai implementasi keberlanjutan KKLD Abun. Adapun kerangka pikir dalam melakukan penelitian ini seperti pada Gambar 2.

Variabel n

Populasi Penyu Belimbing

Pantai Jamursba Medi dan Warmon

Stress &

Variabel n Sistem sosial

antropogenik

Gambar 2. Kerangka analisis kerentanan populasi penyu belimbing di pantai Jamursba Medi dan Wermon KKLD Abun.

StatusPopulasidi

JamursbaMedi & Wermon

Ancaman

Proses

(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Konservasi adalah upaya manusia untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya alam. Definisi lain dari konservasi adalah suatu upaya atau tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya menyatakan undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi baik ruang maupun sumberdaya alamnya sebagaimana ditegaskan dalam tujuan undang-undang yaitu (1) untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistem untuk menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dalam peningkatan mutu kehidupan manusia. Inti dari pengertian konservasi menurut UU No.5 tahun 1990 adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatakan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Konservasi sumberdaya pesisir merupakan implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya pesisir terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam pada lingkungan pesisir diatur melalui zona-zona yang ditetapkan untuk mengakomodir aktivitas yang bersifat konservatif maupun destruktif untuk menjamin pelestarian sumberdaya pesisir (Supriharyono 2009). Konservasi sumberdaya pesisir dan laut merupakan metode dalam melindungi sumberdaya baik ekosistem maupun spesies. Perlindungan ekosistem dititikberatkan pada tiga ekosistem utama pesisir seperti ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Selain ekosistem, konservasi diarahkan untuk melindungi biota dengan nilai khusus dan berperan dalam sistem ekologis seperti rantai makanan dan jaring makanan, memiliki jumlah populasi yang terbatas dan terancam punah seperti kelompok mamalia laut yaitu paus, lumba-lumba, dugong, kelompok reptil yaitu penyu, kelompok aves seperti burung laut dan hewan lainnya.

(33)

Upaya konservasi bertujuan melindungi spesies dengan jumlah individu sedikit dan beresiko terancam punah. Upaya konservasi tersebut diarahkan pada peningkatan individu baru dalam memberi kontribusi populasi spesies di alam. Populasi baru dari spesies langka dan terancam punah dapat dibentuk di alam dengan menggunakan individu hasil penangkaran maupun yang berasal dari alam. Untuk mengetahui status populasi konservasi suatu spesies langka perlu dilakukan upaya sensus lapangan dan secara kontinue memantau peningkatan ataupun penurunan dari spesies tersebut. Untuk memperkirakan ukuran populasi, diterapkan metode sensus dengan mendata semua individu yang ada.

2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Lautan

(34)

1. Keaktifan dan peran masyarakat lokal di kawasan konservasi,

2. Perlindungan dan kontrol di daerah zona inti dengan pembangunan lampu suar, pemasangan pelampung serta peningkatan pengawasan dan penegakan hukum,

3. Pengelolaan yang berpusat pada satu instansi dimana pemberian wewenang kepada satu pengelola dengan mengakomodir semua kepentingan,

4. Peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan konservasi,

5. Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir,

6. Pengembangan program penelitian dan monitoring serta sistem informasi bagi pengelolaan kawasan konservasi.

Mengacu pada enam program strategis tersebut dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi, re-evaluasi atau kondisi kawasan konservasi harus dilakukan dengan pertimbangkan (1) tujuan, alasan pengelolaan dan arah pengembangan kawasan konservasi dimasa mendatang; (2) identifikasi sistem penunjang dan kelengkapannya; (3) prosedur berdasarkan identifikasi kemungkinan penambahan kawasan untuk memenuhi tujuan nasional; (4) rencana aksi untuk mencapai tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati laut.

Pengembangan program konservasi membutuhkan pola inovatif, dimana pola tersebut merupakan cara pemanfaatan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan untuk kemanjuan pengembangan jangka pendek maupun jangka panjang. Mengubah kawasan konservasi dengan alasan desakan kebutuhan ekonomi harus dicegah karena kawasan konservasi menjamin kelestarian plasma nutfa bagi kepentingan generasi kedepan (Dahuri 2000).

2.4 Deskripsi Penyu Belimbing 2.4.1 Klasifikasi

Penyu belimbing adalah satu dari tujuh spesies penyu laut yang masih hidup di dunia seperti pada Gambar 3. Penyu ini merupakan mono spesies yang disebut leatherback turtle atau dengan nama lokal penyu raksasa, penyu kantong,

(35)

Gambar 3, memiliki laju migrasi yang luas, areal makan dan kawin yang jauh dan berbeda dari areal peneluran. Secara biologi penyu belimbing termasuk dalam famili dermochelidae dan hanya terdapat satu jenis spesies dari famili ini. Berikut ini sistimatika penamaan dari penyu belimbing menurut Pritchart (1761) :

Filum : Vertebrata Kelas : Reptilia Sub Kelas : Anapsida Ordo : Testudinata Sub Ordo : Thecophoriidae Famili : Dermochelidae Genus : Dermochelys

Spesies : Dermocheys coriacea

2.4.2 Karakteristik

Morfologi penyu belimbing dijelaskan oleh Pritchart (1761) yaitu bentuk kepala besar, bulat, tanpa adanya sisik seperti halnya penyu yang lain. Karapas penyu belimbing adalah sisik yang ditutup oleh lapisan kulit yang kasar dan berkaret serta tidak menjadi satu dengan tulang belakang atau tulang rusuk. Pada bagian karapas juga ditemukan sejumlah kepingan-kepingan kecil berbentuk segi banyak dan bentuk deretan iga atau alur memanjang (longitudinal ridge) sebanyak

7 buah sedangkan pada karapas (plastron) sebanyak 5 buah alur (Pritchard 1971).

Warna karapas penyu belimbing dewasa kehitam hitaman atau coklat tua. Pada bagian atas karapas terdapat bercak putih dan bercak hitam pada bagian Gambar 3. Jenis penyu belimbing dan distribusi genetiknya di perairan

(36)

bawah. Bentuk morfologi penyu jantan dan betina hampir sama, kecuali bentuk ekor pada penyu jantan lebih besar dan lebih panjang, serta pada plastron terdapat sedikit cekungan kedalam. Berat tubuh mencapai 1.0 ton dengan panjang tubuh 215 cm (Pritchard 1971).

2.4.3 Siklus Hidup

Sejak ditetaskan tukik penyu (juvenile) mulai melakukan perjalanan di laut

hingga sepanjang umurnya ± 50 tahun. Setelah dewasa, penyu selalu berada di perairan laut (benthic feeding zone) hingga bertemu pasangannya dan kawin.

Setelah tiba saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang dan bertelur. Dalam interval waktu ± 6 bulan, penyu betina akan bertelur kembali di pantai yang sama dengan frekuensi peneluran 4 - 5 kali per musim. Selanjutnya penyu akan kembali ke laut hingga musim kawin tiba. Periode ini diketahui periode pertumbuhan penyu hingga dewasa pada masa pengembaraan ini sebagai „waktu yang hilang‟ (Carr 1980 in Ackerman 1997).

Siklus hidup penyu ini divisualisasilan seperti pada Gambar 4.

Pertumbuhan anak penyu atau tukik menuju usia dewasa memiliki survival

rate yang rendah. Menurut Ehrenfeld (1974) in Ackerman (1997) hanya 1 dari

99% tukik penyu yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Selama siklus hidup penyu memerlukan ketahanan hidup yang tinggi terhadap pemangsaan predator, keterbatasan makanan, serangan hama penyakit serta polusi air laut, perubahan lingkungan serta dieksploitasi manusia. Siklus hidup penyu belimbing memiliki kesamaan dengan jenis penyu laut lainnya, yakni: pertumbuhan yang lambat untuk sampai usia kedewasaan dan mampu mencapai umur yang panjang. Waktu yang diperlukan untuk satu generasi dapat diukur dari usia kedewasaan ditambah setengah kali umur produktif (Pianka 1974 in Ackerman 1997).

2.5 Perilaku Penyu 2.5.1 Perilaku Peneluran

(37)

Perilaku penyu pada tiap tahapan berbeda seperti perilaku bertelur dan perilaku kawin. Perilaku bertelur penyu terdiri dari dua tipe yaitu; tipe gaya

alternating (pergerakan langkah penyu secara bergantian) dijumpai pada famili

chelonidae, sedangkan tipe gaya simultenous (pergerakan langkah penyu secara

bersamaan atau serentak) dijumpai pada spesies penyu pada famili dermochelidae seperti pada Gambar 5. Penyu sering meninggalkan jejak asimetris (berlawanan) dan sejajar pasir pantai. Ketika penyu dari laut akan berhenti sejenak ditepi air dan dibasahi dengan ombak sebelum mulai naik ke pantai. Penyu bergerak secara perlahan mencapai beberapa meter, kemudian berhenti sejenak untuk beristirahat, bernafas dan mendeteksi dengan cermat kondisi disekitarnya (Gambar 5). Selama proses ini penyu sangat rentan akan aktivitas di pantai seperti penerangan, pergerakan bayangan dan berbagai gangguan yang dapat menyebabkan perubahan arah atau mengakibatkan penyu meninggalkan aktivitas proses bertelur (Pritchard 1971).

Penyu memilih lokasi bersarang sebelum melakukan pengalian lubang sarang dengan cara membersihkan permukaan pasir dengan gaya alternating dan

simultenous. Setelah itu penyu bergerak menuju daerah yang sudah dibersihkan.

Lapisan kering dibawah dan dibagian belakang secara langsung dibersihkan dengan flipper. Aksi pembuatan lubang sarang menyebabkan pergerakan tubuh

(38)

penyu maju kedepan, hal ini dilakukan untuk pembuatan lubang badan (body pit)

yang belum diketahui posisinya secara pasti. Dalam kondisi yang sangat kering penyu betina membuat lubang badan yang lebih dalam. Hal ini bertujuan untuk menempatkan tubuh penyu pada posisi yang lebih kuat yang akan membantu proses pembuatan lubang sarang.

2.5.2 Perilaku Migrasi

Penyu belimbing memiliki laju migrasi paling tinggi dan unik karena perbedaan daerah makan dan memijah dari daerah peneluran. Pengetahuan dan informasi mengenai migrasi diperoleh dari individu betina yang telah dipasangkan alat pendeteksi (transmiter) ketika bertelur di pantai. Tujuan dari pemansangan

alat tersebut adalah untuk mengetahui pergerakan penyu belimbing pada periode bertelur sampai migrasi ke daerah makan dan daerah kawin (Chan 1989 in Benson

et al 2007). Penyu belimbing diketahui setelah bertelur akan bermigrasi sejauh 30

sampai 40 km lepas pantai, berhenti sejenak menyelam secara teratur ke laut dalam kemudian beberapa hari lagi kembali lagi ke pantai untuk bertelur. Selama periode ini jarak yang ditempuh sekitar 140 km tergantung pada kondisi oseanografi (Chan and Liew 1996).

Penyu belimbing diketahui memiliki pergerakan relatif luas dibandingkan dengan reptil lainnya, ini dibuktikan dengan luas jelajah melintasi Samudera Pasifik maupun Atlantik (Benson et al. 2007). Studi telemetri yang dilakukan

terhadap 9 ekor penyu belimbing setelah bertelur di Jamursba Medi menunjukkan pergerakan menuju perairan tropis seperti perairan Philipina, Malaysia, perairan Jepang, hingga menyeberangi equatorial Pasifik ke perairan hangat di Amerika Utara (Benson et al. 2007). Penyu belimbing yang bertelur di Amerika Tengah

dan Meksiko diketahui bermigrasi kearah selatan menuju perairan hangat atau tropis Pasifik Selatan (Eckert and Sarti 1997 in Benson et al 2007). Penyu

Belimbing akan bermigrasi melewati samudera Pasifik tiba di perairan dekat Oregon Amerika pada bulan Agustus, saat tingginya agregasi ubur ubur di lokasi tersebut (Shenker 1984 in Benson et al 2007). Berdasarkan fakta ini bisa

(39)

Gambar 6 dan 7. Ini menunjukkan bahwa tujuan migrasi berhubungan dengan ketersediaan sumber pakan dan proses perkawinan (Benson et al. 2007).

Gambar ini menjelaskan bahwa pola dan jalur migrasi penyu belimbing dari

Hubungan lain yang tergambar dari pola migrasi penyu belimbing adalah keterkaitan stok genetik populasi. Populasi penyu belimbing di Pasifik Barat akan melakukan migrasi untuk proses makan menuju Timur Laut Pasifik. Kondisi ini

Gambar 6. Lintasan jalur migrasi dari 6 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi, Indonesia. Pola migrasi menunjukkan pergerakan setelah bertelur menuju Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi. Pada waktu tertentu melakukan transit kemudian bergerak menuju posisi terakhir (Benson et al.

2007).

Gambar 7. Lintasan jalur migrasi dari 3 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi dengan pola migrasi menuju kearah Barat Indonesia. Beberapa kali melakukan transit di perairan NTB, Kalimantan hingga Sumatra lalu melakukan migrasi menuju tempat terakhir ( Benson et al.

(40)

menegaskan adanya konklusif mengenai struktur stok genetik ditiap populasi baik Pasifik Barat maupun Pasifik Timur (Dutton et al. 2000). Populasi penyu

belimbing Indonesia dan PNG merupakan satu populasi yang dibentuk berdasarkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat. Populasi Indonesia akan bermigrasi ke laut Cina Selatan dan selanjutnya ke Teluk Monterabay California untuk melakukan makan dan kawin (Benson et al. 2007). Kedua sub stok ini

memiliki persamaan genetik sehingga membentuk metapopulasi, tetapi memiliki areal makan yang berbeda. Populasi penyu belimbing PNG dan penyu belimbing Atlantik memiliki kesamaan daerah makan yaitu perairan Atlantik (Ferraroli et al.

2004; Hays et al. 2004; Eckert 2006 in Benson et al 2007). Sementara populasi

Kepulauan Salomon memiliki areal makan di Selatan Australia.

2.5.3 Habitat

Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan sub tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan dan hanya muncul ke daratan pada saat bertelur. Di Indonesia distribusi penyu belimbing cukup luas dan ditemukan di perairan Bengkulu, perairan Kepulauan Natuna, perairan Sukamadu, dan Kepala Burung Papua.

2.6 Populasi di Indonesia

Penyu secara taksonomi, dikenal tujuh jenis penyu didunia, enam

diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas),

penyu pipih (Natator depressus), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu

sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan

penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi

perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya empat jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun, beberapa peneliti

mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi

Indonesia sehingga termasuk dalam spesies Indonesia (Limpus et al. 1992;

Charuchinda et al. 2002 in Benson et al 2007). Penelitian yang dilakukan NOAA

(2007) in Benson et al. 2007 menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang

(41)

berbeda dengan kelompok Pasifik Timur serta kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa

penyu belimbing yang berkembangbiak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua Indonesia) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya di belahan selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan

Chile.

2.6.1 Kecenderungan Populasi

Populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik diketahui mengalami penurunan signifikan yang terindikasi dibeberapa pantai peneluran di Pasifik. Berdasarkan skala spasial pembagian populasi penyu belimbing di Pasifik terbagi berdasarkan beberapa daerah peneluran diantaranya Pasifik Barat, Pasifik Timur, Pasifik Tenggara, Pasifik Utara dan Pasifik Selatan yang terdiri dari wilayah berikut :

 Daerah Pasifik Barat meliputi Papua Barat Indonesia, PNG, Kepulauan Salomon, Malaysia, China selatan, dan Australia

 Daerah Pasifik Timur meliputi Mexico, Costarica, Caribean, Oregon dan Washington Amerika Serikat.

Trend populasi secara global mengalami penurunan signifikan di kawasan Pasifik Barat. Hitipeuw et al (2007) menyatakan bahwa penurunan populasi di

Pasifik Barat terindikasi berdasarkan penurunan jumlah induk betina dan rendahnya sukses penetasan pada sarang alami di pantai peneluran Jamusrba Medi dan Wermon yang merupakan pantai terbesar di Pasifik Barat. Penurunan drastis juga terlihat pada lokasi berbeda yaitu pantai Terengganu Malaysia dalam kondisi temporal yang berbeda. Terengganu Malaysia mengalami penurunan populasi sekitar 80% dari tahun 1965 sampai 1995 (Chan and Liew 1996) dan saat ini stok populasi di Malaysia dinyatakan habis sebagai akibat tingginya eksploitasi telur dan perburuan induk penyu secara intensif (Chan 2006 in Hitipeuw et al. 2007).

(42)

1993 mengalami penurunan sampai 50%, yang disebabkan aktivitas perikanan akibat penggunaan jaring lingkar (drifnet) dan jaring gillnet (Eckert 2001).

2.6.2 Penilaian Non Detrimental Finding (NDF)

Non detrimental finding adalah metode atau pendekatan yang

dikembangkan oleh IUCN atau CITES untuk menganalisis dan menilai resiko suatu populasi spesies di alam dengan jumlah populasi terbatas dan diperdagangkan secara bebas. Penilaian non detrimental finding disusun dari

unsur ekologi, sosial kelembagaan dan ekonomi. Gambaran lain dari metode ini adalah apakah ada kerugian yang ditimbulkan ketika populasi penyu belimbing ini punah atau hilang dari alam. Kewenangan untuk menganalisis kondisi ini adalah otoritas ilmiah seperti LIPI, IUCN dan CITES. Pendekatan NDF berbasis spesies terdiri dari enam komponen penyusun utama yaitu

 Status populasi

 Distribusi populasi

 Kecendurungan populasi

Gambar 8. Kecenderungan penurunan populasi peneluran penyu belimbing di Terengganu Malaysia (Chan 2006), Mexico (Sarti et al. 1996) dan

(43)

 Aktivitas perdagangan spesies

 Pengaruh faktor ekologi dan biologi

 Informasi pengelolaan yang mempengaruhi populasi spesies

Metode NDF berbasis analisis resiko yang memiliki beberapa tahapan penting yaitu

 Menganalisa resiko yang terjadi pada populasi penyu belimbing,

 Menganalisa dampak terhadap populasi penyu belimbing,

 Adanya probabilitas resiko dari dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pemanfaatan,

 Melakukan pengelolaan terhadap resiko yang terjadi dengan pendekatan mitigasi,

 Menentukan keterbukaan dengan menjumlahkan resiko dan dampak,

 Melakukan pemantauan dan pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan terhadap resiko dan dampak terhadap populasi penyu belimbing.

Analisis metode NDF dilakukan dengan menggunakan ranking yang telah ditetapkan secara internasional oleh IUCN dan CITES. Setiap komponen yang akan diranking disebut dengan komponen ceklis. Sistem perankingan dilakukan berdasarkan kepakaran dalam menilai objek yang diteliti. Sistem ranking yang diterapkan memiliki kisaran 1 sampai 5 dimana semakin kecil nilai ranking maka menunjukkan rendahnya kerusakan terhadap populasi tersebut, selanjutnya

Vurnerability of the spesies

Volume in trade

Gambar 9. NDF berbasis analisis resiko penyu belimbing (CITES 2008)

Moderate risk High risk

Gambar

Gambar 3, memiliki laju migrasi yang luas, areal makan dan kawin yang jauh dan
Gambar 5. Perilaku peneluran penyu belimbing sampai kembali ke laut
Gambar 6 dan 7. Ini menunjukkan bahwa tujuan migrasi berhubungan dengan
Gambar 8. Kecenderungan penurunan populasi peneluran penyu belimbing di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 1 menunjukan deskripsi nilai kemampuan pemecahan masalah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada materi bioteknologi siswa kelas XII SMA Negeri 9

Jikalau kegiatan membaca pada tingkat pertama ini peneliti menyelesaikan bacaan sejak dari bab awal sampai bab akhir untuk setiap buku sebagai sumber data, maka peneliti

Khusus mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan (pasal 20); (9) atas dasar kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya perdamaian,

Register Akta Catatan Sipil adalah daftar yang membuat data outentik mengenai peristiwa penting meliputi kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak

Upaya yang diberikan Trans Luxury Hotel Kota Bandung sampai saat ini bagi tenaga kerja yang tidak terdaftar dalam program BPJS yaitu dengan adanya penyesuaian lingkungan kerja

Makalah mengenai dye laser  ini disusun agar mahasiswa dapat memahami lebih dalam mengenai salah satu jenis laser atau cara kerja laser pada umumnya....

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan karir, berarti semakin sering karyawan

a. SLR merupakan cara untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan menafsirkan semua penelitian yang tersedia dengan pertanyaan penelitian tertentu, atau bidang topik,