• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

2.8 Faktor dalam Kerentanan Populasi Penyu Belimbing

2.8.1 Sistem Lingkungan

2.8.1.1Kenaikan Muka Air Laut

Kenaikan muka air laut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Dua proses utama penyebab kenaikan muka laut secara global menyebabkan peningkatan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air dan pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Pada beberapa lokasi karena adanya proses subsiden menyebabkan penambahan kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009 in Tahir 2010). Kajian kenaikan muka air laut dan dampaknya terhadap pesisir menjadi perhatian banyak kalangan peneliti. Secara global kenaikan muka air laut sekitar 2.5 mm per tahun sedangkan dalam skala lokal pada beberapa lokasi tertentu mencapai maksimum 30 mm per tahun.

Dampak dari kenakan muka air laut terhadap pantai peneluran tergantung pada dua hal yaitu (1) laju kenaikan muka air laut per tahun (2) karakteristik daratan pantai peneluran seperti topografi, bentuk lahan pantai, penghalang pantai (Nallathiga 2006). Wilayah dengan potensi dampak kenaikan muka air laut biasanya pada wilayah pesisir dengan elevasi yang relatif rendah (Yamamo et al. 2007). Potensi perendaman pada pantai peneluran berdampak pada keberhasilan penetasan sarang di daerah batas pasang terendah. Fish et al. (2005, 2008) in

Fuentes et al. (2010) menyatakan bahwa dampak kenaikan muka laut pada pantai timur Amerika Serikat menyebabkan kegagalan sukses penetasan yang berimbas pada penurunan jumlah tukik. Kondisi ini memaksa induk penyu untuk beradaptasi dengan melakukan perubahan bahkan pergeseran tempat bersarang karena habitat pantai tidak lagi tersedia (Hamman et al. 2007). Selain pergeseran lokasi untuk bersarang, kenaikan muka air laut menyebabkan tingginya potensial air laut yang terserap oleh pasir didalam sarang yang mempengaruhi kelembaban

dan suhu pasir dalam sarang telur penyu tersebut. Dari kondisi ini maka dua kemungkinan yang bisa diprediksi yaitu kegagalan penetasan dan keberhasilan penetasan akibat perubahan suhu dan kelembaban pasir dalam sarang selama masa inkubasi (Hamman et al. 2007).

2.8.1.2Suhu Pasir

Suhu menjadi parameter penting dalam keberhasilan penetasan telur penyu belimbing. Selama masa inkubasi kisaran suhu yang mendukung keberhasilan penetasan adalah 28 - 29 ºC. Ketika suhu sarang di bawah 28 ºC menghasilkan tukik jantan sementara suhu sarang yang terbuka diatas 29 ºC menghasilkan tukik betina (Fuentes et al. 2010, Ackerman 1997). Pada kondisi lain ketika sarang terpapar dengan suhu sampai 33 0C menyebabkan kegagalan penetasan bahkan kematian tukik dalam sarang (Devenport 1997 in Hamman et al. 2007). Kisaran suhu transisi (TRT) adalah rentang suhu dimana produksi ratio jantan bergeser ke jenis betina karena adanya peningkatan suhu, sementara proporsi ratio jantan hanya terjadi pada kecuraman kurva TRT (Mrosovsky & Pieau 1991 in Fuentes et al. 2010).

Resiko lain dari perubahan suhu pasir adalah (1) ratio seks betina dari tukik penyu lebih dominan dibandingkan ratio seks jantan karena adanya peningkatan suhu (2) adanya peningkatan skala insiden dan kelainan morfologi pada tukik yang dihasilkan (3) tingkat kematian tukik yang tinggi. Mengacu pada ancaman tersebut maka pengaruh suhu terhadap populasi penyu harus dengan meminimalkan dampak dengan upaya relokasi sarang yang diatur sedemikian rupa sehingga sukses penetasan berhasil dan ratio seks jantan dan betina yang dihasilkan seimbang (Fuentes et al. 2010).

2.8.1.3Kemiringan Pantai

Pantai menjadi kawasan terpenting bagi penyu untuk melakukan peneluran sampai pada proses penetasan telur penyu menjadi anakan tukik. Ketika terjadi perubahan pantai maka akan mempengaruhi pola peneluran penyu misalnya pantai berbentuk bukit-bukit maka akan menyulitkan induk penyu untuk melakukan peneluran. Berbeda ketika pantai tersebut relatif curam maka sarang-sarang yang berada dalam pasir berpeluang terabrasi oleh gelombang besar. Kaitannya dengan kenaikan muka laut adalah semakin landai sudut suatu pantai maka potensi

perendaman pantai akan semakin besar atau area daratan yang ditutupi oleh air laut semakin besar.

2.8.1.4Monsun

Monsun adalah fenomena angin yang dipicu oleh kondisi dinamik atmosfer yang dikendalikan oleh matahari, komposisi darat laut, topografi, resolusi bumi dan matahari sebagai benda langit. Indikasi monsun dapat dikenali dengan pola OLR (ongoing longwafe radiation) atau presispitasi dan penentuan indeks monsun dapat dihitung dengan laju angin zonal di wilayah masing masing. Kondisi musim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomen iklim global seperti Elnino, Lanina, fenomena iklim regional seperti sirkulasi monsun Asia dan Australia. Monsun dapat dianggap sebagai angin laut berskala besar dengan periode musiman. Sirkulasi musiman monsun relatif berbeda yaitu aliran masuk siklonal kontinental dalam musim panas dan aliran keluar antisiklonal kontinental dalam musim dingin. Ini menunjukkan adanya arahan gaya gradien tekanan permukaan dari samudra dalam musim panas atau dari kontinen ke samudra dalam musim dingin.

Perubahan nyata dari sirkulasi musiman monsun adalah perubahan arah arus permukaan dan frekuensi curah hujan. Pola arus sangat erat kaitannya dengan pergerakan penyu belimbing untuk melakukan aktivitas migrasi, aktivitas mencari makan dan aktivitas peneluran. Pola arus juga memberikan pengaruh terhadap daya renang penyu untuk mencapai daerah tujuan peneluran sehingga mempengaruhi pola dan musim peneluran. Sebagai contoh perbedaan musim peneluran antara pantai Jamursba Medi dan Warmon meskipun memiliki jarak yang berdekatan (30 km). Musim peneluran di Jamursba Medi biasanya ditandai dengan musim monsun timur dimana arus permukaan dari arah timur mengarah kearah barat sehingga menyebabkan penyu belimbing akan bermigrasi dan bertelur di pantai Warmamedi yang terletak di sebelah barat pantai Jamursba Medi. Adanya perubahan pola angin selama musim peneluran menyebabkan perubahan puncak peneluran setiap adanya perubahan musim angin.

Musim peneluran di Warmon ditandai dengan musim monsun barat (Asia) atau musim ombak yang terjadi pada bulan November sampai bulan Februari. Kondisi ini menyebabkan penyu belimbing akan memilih bertelur disebelah barat

pantai Wermon bahkan beberapa penyu yang melakukan peneluran di pantai Jamursba Medi meskipun bukan musim peneluran di pantai ini. Hal ini membuktikan bahwa musim angin dan arus mempengaruhi pergerakan penyu belimbing selama musim peneluran.

2.8.1.5Tekstur Pasir

Ekosistem pantai berpasir adalah habitat pesisir daratan dipengaruhi aktivitas daratan dan laut. Ekosistem pantai berpasir dipengaruhi proses biotik dan abiotik yang ditandai dengan adanya pertukaran energi dan bahan materi seperti pasir dan tanah tetapi juga pertukaran dalam bentuk aktivitas organisme termasuk penyu yang memanfaatkan ekosistem ini untuk melakukan proses peneluran dan penetasan (Karavas et al. 2005). Penyu memiliki insting yang peka dalam memilih daerah peneluran salah satunya adalah karakteristik pasir pantai. Karakteristik pasir yang disukai oleh penyu adalah pasir dengan tekstur dari sedang sampai halus, berwarna abu abu kehitaman.

Montimer (1982) in Karavas et al. (2004) menyatakan bahwa substrat pasir berperan penting selama masa inkubasi untuk kesuksesan penetasan dimana substrat pasir harus menfasilitasi difusi gas dan memiliki kelembaban yang relatif baik sehingga tidak menyebabkan kerusakan konstruksi ruang sarang. Ditegaskan Montimer (1990) in Karavas et al. (2004) ketika melakukan studi di pantai Ascesion Selatan Atlantik menyatakan bahwa keberhasilan penetasan relatif rendah karena pasir relatif berbutir kasar. Oleh sebab itu karakteristik pasir menjadi indikator penting dalam kesuksesan suatu proses baik peneluran maupun penetasan.

2.8.1.6Laju Predasi

Periode inkubasi telur penyu dalam sarang dipengaruhi predator dari hewan invertebrata dan vertebrata (Dodd 1988). Ancaman terbesar terhadap populasi penyu belimbing adalah predasi telur dibarengi dengan perusakan sarang penyu. Predasi terhadap telur dan rusaknya sarang penyu biasanya dilakukan oleh beberapa hewan seperti kepiting, babi hutan, biawak, anjing dan elang yang memangsa tukik penyu.

Evaluasi tahun 2001 terhadap sarang penyu di Bill Baggs Cape Florida State Park (CFSP) di Selatan Biscayne, Florida menunjukkan terjadi kegagalan

penetasan akibat predasi oleh colepteran yang teridikasi dengan lubang-lubang kecil pada kulit telur penyu. Dodd (1988) in Ellen et al. 2004 menyatakan bahwa predator utama yang bersifat destruktif di pantai Biscayne Florida adalah racoon, kepiting hantu, armandillo (Dasypus novemcinctus), rubah (Vulpes), anjing domestik (Canis familiaris), babi liar (Suscrofa), sigung (Spilagale putorius) dan beberapa larva serangga yang juga memangsa telur.

Penelitian tahun 2003-2004 menunjukkan sarang yang dirusak oleh babi hutan dan anjing mencapai 4.9% dan 3.9% (Hitipeuw et al. 2002). Starbird and Suarez (1994) menduga bahwa sekitar 40% sarang di Warmon dirusak oleh babi hutan. Sedangkan Jamursba Medi pada bulan Juni sampai Juli 2005 sekitar 29 sarang di pantai Warmamedi dirusak oleh predator babi sebesar 29.3% dan Wembrak hanya satu sarang yang dirusak (Tapilatu et al. 2007). Berdasarkan penjelasan ini maka dipastikan laju predasi terhadap telur penyu menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi populasi tukik penyu yang dihasilkan.