Departemen Ilmu Bedah,
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (umbai cacing/usus buntu). Umumnya apendisitis disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetusnya ada beberapa di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran (lumen) apendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker.
Faktor kebiasaan makan makanan rendah serat dan konstipasi/susah buang air besar (BAB) menunjukkan peran terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan lumen usus yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal usus. Untuk menentukan dan mendiagnosis Apendisitis akut, diantaranya adalah dari anamnesa (wawancara dengan pasien), pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi:
Anamnesa
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, nyeri ulu hati atau sekitar pusar, sampai perubahan kebiasaan BAB. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Adanya distensi dari appendiks yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam,Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya
38
pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang.
Pemeriksaan fisik.
Pada apendisitis akut, dengan perabaan (palpasi) didaerah perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan apendiks semakin bertambah bila pemeriksaan colok dubur menimbulkan rasa nyeri juga. Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik.
Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ). Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. Dunphy sign: nyeri ketika batuk
Pemeriksaan Laboratorium.
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akut. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000 - 18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis. Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
39
Pemeriksaan radiologi.
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71-97 %), terutama untuk wanita dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93-98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran peradangan apendiks.
Penatalaksanaan
Pada masa pandemi Covid-19 saat ini, maka penatalaksanaan appendicitis akut sama dengan penatalaksanaan tindakan yang lainnya, harus memenuhi protokol kesehatan dari Pemerintah dan WHO. Karena Pasien confirmed Covid-19 selain mengalami demam dan atau gejala pernapasan, juga ada manifestasi gastrointestinal dengan diare (2-10,1%), mual / muntah (1-10%) dan sakit perut (2,2-5,8%). Seperti diketahui, SARS COV 2 berikatan dengan reseptor ACE2, dimana sel-sel epitel di saluran pencernaan memiliki proporsi sangat tinggi dari reseptor ACE2 (30%, versus 1% di paru-paru). Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1. Gunakan APD yang adekuat sesuai dengan status pasien.
2. Pastikan status Covid-19 pasien : Suspek, Probable, confirmed ? 3. Mengetahui status kamar operasi dan peruntukannya.
4. Mengetahui kelemahan dan kekuatan tim operasi 5. Memahami semua prosedur
6. Dokumentasikan
Persyaratan Kamar operasi dan APD tim operasi untuk pasien suspek atau confirmed Covid-19:
1. Transport dari ruang perawatan langsung ke kamar operasi melalui rute tersendiri. Pasien memakai topi dan masker bedah disposible
2. Transfer di kamar operasi, pasien diterima oleh perawat OK ,sign in. Catatan medis tidak dibawa masuk ke kamar operasi.
3. Ruang operasi tekanan (relatif) negatif, artinya antara kamar operasi dan koridor disediakan anteroom yang bertekanan lebih negatif dibanding OK dan koridor, sehingga mikroorganisme dari kedua area ini akan terhisap keluar melalui anteroom
40
4. Agar temperatur dan kelembaban kamar operasi tetap terjaga, udara yang keluar dari anteroom diresirkulasi melalui sistem yang dilengkapi HEPA filter.
5. Peralatan di dalam OK dibatasi seperlunya. Semuanya disiapkan sebelum pasien masuk OK. Jika memungkinkan, memakai bahan/alat disposible
6. Semua tim memakai APD level 3 di anteroom 7. Pakaian steril dan handscoen steril sekali pakai
8. Setelah pasien masuk, pintu kamar operasi harus selalu tertutup.
9. Semua permukaan yang mungkin terkontaminasi harus didesinfeksi dengan cairan berbasis chlorin, H2O2, alkohol. Atau dengan UV selama 60 menit.
10. Stabilisasi pasien post operasi dilakukan di dalam OK, karena tidak ada recovery room. Setelah kondisi pasien stabil, langsung pindah ke ruangan isolasi.
Panduan Pelayanan Bedah Digestif Selama Masa Pandemi COVID-19: Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI)
Rekomedasi 1
Semua layanan bedah pencernaan harus di assesment dan diklasifikasikan sesuai dengan urgensi prosedur / perawatan. Prosedur ELEKTIF harus ditunda / dijadwal ulang mungkin sampai pandemi dapat dikendalikan.
Rekomendasi 2
Semua pasien bedah harus diskrining Infeksi COVID-19 dengan metode terbaik yang tersedia pada fasilitas kesehatan. Jika tidak memungkinkan untuk menyingkirkan infeksi COVID-19, sebaiknya menggunakan standar perlindungan tertinggi APD (Melakukan operasi seolah ada infeksi).
Rekomendasi 3
Sehubungan dengan prosedur “open” versus prosedur laparoskopi, dengan tidak adanya data yang meyakinkan, pendekatan teraman mungkin adalah salah satu yang paling biasa dikerjakan bagi ahli bedah dan mengurangi waktu operasi. Jika merekomendasikan standar tidak bisa dipenuhi, yang terbaik adalah tidak melakukan prosedur laparoskopi.
41
Rekomendasi 4
Secara umum, perawatan non-bedah lebih disukai untuk kasus kanker saluran pencernaan yang tidak mendesak/urgent. Operasi ini dapat dilakukan saat epidemi bisa terkontrol, dengan mempertimbangkan pengembalian bertahap ke yang adaptasi baru. Risiko dan manfaat untuk kemoterapi harus diukur berdasarkan jenis kanker, profil, usia pasien, komorbiditas dan status kinerja. Bertujuan untuk mengurangi kunjungan pasien ke rumah sakit dengan mempertimbangkan regimen oral dan kurang toksik. Kemoterapi dapat digunakan sebagai jembatan untuk tindakan operasi.
Referensi
CDC and ICAN. Best Practices for Environmental Cleaning in Healthcare Facilities in Resource-Limited Settings. Atlanta, GA: US Department
of Health and Human Services, CDC; Cape Town, South Africa: Infection Control Africa Network; 2019. Available at:
https://www.cdc.gov/hai/prevent/resource-limited/environmentalcleaning.html and http://www.icanetwork.co.za/icanguideline2019/.
List N: Products with Emerging Viral Pathogens AND Human Coronavirus claims for use against SARS-CoV-2 www.epa.gov/pesticide-registration/list-n-disinfectants-use-against-sars-cov-2
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wp-content/uploads/2016/10/APPEDISITIS-AKUT.pdf
Zhang JJ, Dong X, Cao YY, et al. Clinical characteristics of 140 patients infected with SARS-CoV-2 in Wuhan, China. Allergy. 2020.
CDC: Infection Control Guidance for Healthcare Professionals about Covid-19, 2020
Coccolini et al: Surgery in Covid-19 patients, operational directives. World J Emergency Surg, 2020 15:25
Panduan Pelayanan Bedah Digestif Selama Masa Pandemi COVID-19: Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), J Indon Med Assoc, Volum: 70, Nomor: 6, Juni 2020
43