• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN TRAUMA KEPALA DAN SERVIKAL DI ERA PANDEMI COVID-19

dr. Yoyok Subagio, Sp.BS

Departemen Ilmu Bedah,

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

Trauma kepala adalah penyebab kematian dan kecacatan tersering pada orang berusia 1-40 tahun di Inggris. Setiap tahun, sekitar 1,4 juta orang datag dan di rawat di Instalasi Gawat darurat (IGD) di Inggris dan Wales dengan trauma kepala baru-baru ini. Dari total yang mengalami trauma kepala, 33% - 50% di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Setiap tahun, sekitar 200.000 orang dirawat di rumah sakit karena cedera kepala. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana angka kejadian trauma kepala menurut RISKESDAS (2018) sebesar 11.9% yang mengalami trauma kepala. Data tersebut melaporkan paling banyak yang mengalami trauma kepala adalah pengguna sepeda motor. Sedangkan pada kasus trauma leher atau lebih dikenal dengan trauma servikal, juga memiliki angka morbiditas dan mortalitas cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena tulang leher (servikal) merupakan bagian tulang belakang yang paling mudah dan sering bergerak, sehingga merupakan bagian yang paling rawan dari konstruksi tulang belakang. Dari seluruh trauma pada tulang belakang, 20,8% terjadi pada regio servikal. Trauma pada regio servikal juga memiliki risiko tertinggi terjadinya defisit neurologis akibat spinal cord injury (SCI). Menurut Derwenkus (2004), penyebab tersering dari trauma servikal adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%), selain itu, akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Cedera medula spinalis akibat trauma diperkirakan terjadi pada 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dan sekitar 8.000-10.000 penderita setiap tahun

Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

Secara definisi trauma leher (servikal) merupakan trauma yang terjadi akibat adanya trauma pada tulang servikal maupun medula spinalis yang menyebabkan lesi medula spinalis sehingga terjadi

44

gangguan neurologik, tergantung letak kerusakan saraf spinalis dan jaringan saraf yang rusak.

Tatalaksana trauma kepala dan servikal membutuhkan ketepatan dan kecepatan agar cidera sekunder bisa dihindari. Secara umum tatalaksana trauma kepala dan servikal mengacu kepada pedoman Advance Trauma Life Support (ATLS). Untuk trauma kepala juga dapat mengacu pada pedoman yang sudah dibuat oleh Brain

Trauma Foundation. Sedangkan pedoman tatalaksana yang lain adalah

dai National Institute Health and Care Execellence (NICE). Pada prinsipnya dari beberapa pedoman dan panduan tersebut memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma kepala dan servikal. Tetatpi untuk panduan tatalaksana trauma kepala dan servikal di era pandemi Covid-19 perlu ada tambahan khusus agar keselamatan pasien dan tenaga medis tetap terjaga dan tidak terjadi penyebaran virus corona. Untuk saat ini belum ada pedoman baku terkait penanganan pasien terkonfirmasi Covid-19 yang menagalami trauma kepala dan servikal. Akan tetapi dari beberapa rekomendasi nasional maupun internasional prinsipnya adalah adanya sistem yang saling mendukung, baik dari tenaga medis, manajemen rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dan juga pemangku kebijakan daerah maupun pusat. Sarana prasarana, tenaga medis, maupun sistem komunikasi dan ambulatory harus sejalan. Di era pandemi seperti saat ini, universal precaution buat tenaga medis juga harus selalu dikedepankan. Skrining pasien yg ketat dan juga fasilitas rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 yang memiliki trauma center khusus pasien Covid-19 menjadi hal yang penting dalam menangani pasien trauma kepala dan servikal.

Kendala yang terjadi saat ini adalah kebutuhan rumah sakit rujukan Covid-19 dengan fasilitas yang lengkap masih tinggi, sehingga banyak kendala di lapangan pasien yg terduga atau sudah konfirmasi Covid-19 sulit mendapatkan tempat rujukan. Tindakan yang harus dilakukan dalam situasi seperti itu adalah tetap memprioritaskan keselamatan pasien dan tenaga medis secara maksimal dan juga komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien maupun keluarga harus berjalan dengan baik.

Secara umum tatalaksana pasien trauma kepala dan servikal di era pandemi Covid-19 adalah tetap menggunakan pedoman yang sudah ada baik nasional maupun internasional dengan mengedepankan

universal precaution bagi tenaga medis. Universal precaution dalam hal

ini adalah menerapkan skrining pasien yang ketat dan protokol kesehatan yang sesuai dengan tempat atau instansi bekerja, sebagai contoh, menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) level 3 bagi tenaga medis yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang

45

Isolasi. Idealnya setiap pasien kita skrining dengan cara dilakukan anamnesa secara tepat, pemeriksaan fisik yang tepat serta pemeriksaan penunjang yang tepat sampai terbukti pasien tersebut bukan merupakan pasien terkonfirmasi Covid-19. Pada kasus trauma kepala dan servikal, tindakan skrining yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1). Laboratorium darah lengkap; 2). Foto Thorak; 3). CT scan Thorak; 4). Rapid Test Covid; 5). swab teggorok dan hidung untuk test Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Tetapi tidak semua fasilitas kesehatan memiliki sarana dan prasaran yang lengkap unruk melakukan skirining, terutama fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berada di beberapa pelosok penjuru daerah. Sehingga agar tenaga kesehatan tetap aman sebaiknya semua pasien yang datang dan membutuhkan pertolongan kita anggap sebagai pasien terduga Covid-19, sehingga kita lebih bisa berhati-hati dalam melakukan tindakan, bukan berarti disini kita berlebihan. Hal ini kita lakukan semata – mata hanya untuk keselamatan pasien dan juga tenaga medis. Hal ini tetntunya tidak terlepas dari komunikasi, informasi dan edukasi kita kepada pasien maupun keluarga.

Referensi:

1. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Spinal cord injury. In: Narayan RK, editor. Neurotrauma Vol II. Mc-Graw-Hill. New York. 1996; II;1041-112.2.

2. Derwenskus J, Zaidat O. Spinal Cord Injury and Related Disease. In: Suarez JI, editor. Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Pres, 2004; 433-48

3. Rowland JW, Hawryluk GWJ, Kwon B, Fehlings MG. Current status of acute spinal cord injury pathophysiology and emerging therapies: promise on the horizon. Neurosurg Focus. 2008;25(5): 1-17

4. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. (2018). Jakarta: Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 5. Hodgkinson, S., Pollit, V., Sharpin, C., Lecky, F., and the National

Institute forHealth and Care Excellence (NICE) Guideline Development Group. (2014).Early management of head injury: summary of updated NICE guidance.BMJ 348, g104

46

6. National Health Service (NHS) England. A&E Attendances and EmergencyAdmission Admissions 2019–20. March 2020.

https://www.england.nhs.uk/statistics/statistical-work- areas/ae-waiting-times-and-activity/ae-attendances-and-emergency-admissions-2019-20/ (Last accessed April 16,2020). 7. Marin, J., Weaver, M., Yealy, D., and Mannix, M. (2014). Trends in visits for traumatic brain injury to emergency departments in the United States.JAMA 311, 1917–1919

8. Greenberg, M, 2019. Handbook of Neurosurgery. Ed. 9th. Thieme, 2019. — 258 p. — ISBN 978-3-13-205791-3

Dokumen terkait