• Tidak ada hasil yang ditemukan

7

Relasi Kristen-Islam yang Tidak Selalu Mulus

R

elasi lintas agama, khususnya Kristen-Islam di dalam sejarah

dunia tidak selamanya mulus. Kedua agama yang mempunyai akar yang sa ma ini (bersama agama Yahudi biasa disebut agama-agama Abrahamik), selalu saja berada dalam ketegangan, kalau bukan konflik. Sebaliknya, ketegangan Kristen/Islam dengan agama-agama non-Abrahamik (Hindu, Buddha, dan lain-lain) hampir tidak ada atau setidak-tidaknya tidak sering. Kita bisa menyebutkan sekian banyak contoh di dalam sejarah. Tetapi, yang sangat mencolok adalah Perang Salib yang sangat panjang di abad-abad Pertengahan, dan yang sampai sekarang masih menimbulkan trauma di kalangan peng anut dua agama besar itu. Itulah sebabnya, ketika terjadi serangan 11 September 2001 terhadap “Menara Kembar” di New York, serta-merta Presiden George W. Bush Jr .memakai istilah crusade, yang pada gilirannya menimbulkan iritasi di negara-negara Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya. Ucapan itu seakan-akan memba ngunkan kembali ingatan mengerikan selama peperangan tersebut. Dengan mengucapkan itu, Bush seolah-olah hendak mendeklarasikan sebuah peperangan baru di dalam jiwa Perang Salib itu. Tidak aneh kalau belakangan timbul reaksi berantai, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam.

Kata Bersama: Harapan Baru 93

Masuknya imigran-imigran Muslim dari Turki, Maroko, Tunisia, Pakistan, Aljazair, dan negara-negara Islam lainnya di Eropa, yang semula diundang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan “kotor” (Bld. “gast arbeider”), belakangan lalu dianggap dan/atau menimbulkan persoalan. Tentu ada juga yang datang secara spontan dari negara-negara yang dahulu merupakan koloni negeri-negeri Barat. Timbullah saling curiga di antara penduduk asli dan para pendatang tersebut. Bahkan, anggota Parlemen (Tweede Kamer) Geert Wilders di Negeri Belanda, melalui partainya, Partij van Vrijheid (PVV = Partai Kebebasan) menjadikan pembersihan Eropa dari imigran Islam sebagai program utamanya. Ia mempropagandakan niatnya itu ke mana-mana, sering secara vulgar. Ia bahkan memproduksi film Fitna guna membuktikan bahwa Islam tidak lebih baik dari Nazi Hitler dengan Mein

Kampf-nya. Karena sumber nilai dan tindak laku Islam adalah Al-Qur’an, maka

ia berencana menyobek kitab suci tersebut di dalam film itu. Pembunuhan Theo van Gogh di Negeri Belanda oleh seorang pemuda Muslim dari Maroko juga memperlihatkan bahwa apa yang disebut penghinaan terhadap Islam tidak bisa diterima begitu saja. Pemuda itu, konon tidak terlalu islami dalam kehidupan sehari-hari, tiba-tiba menjadi murka ketika Islam dihinakan. Melihat kecenderungan menaiknya rasa saling curiga ini, Kanselerin Merkel (Jerman) pernah mengatakan bahwa program integrasi bangsa telah gagal. Para imigran yang telah mencapai generasi ketiga dianggap telah gagal membaur dengan masyarakat Eropa. Di Prancis, negara dengan penduduk Muslim terbesar di Eropa, rasa saling curiga juga kian bertumbuh. Berbagai aturan dan UU yang misalnya melarang penonjolan simbol-simbol agama di tempat-tempat umum dengan segera dilihat sebagai “serangan” terhadap komunitas Muslim. Di Amerika Serikat, penolakan terhadap Islam juga terasa, apalagi sejak peristiwa 11 September 2001 itu, dan secara ekstrem diperagakan oleh orang-orang seper ti Pendeta Terry Jones di Florida yang menyerukan rencana pembakaran Al-Qur’an. Kendati jemaatnya kecil saja di antara sekian banyak gereja-gereja besar di negeri Paman Sam itu, ulahnya itu menggegerkan seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Ketika di Denmark beberapa tahun lalu karikatur Nabi Muhammad disiarkan di dalam surat-surat kabar, barang-barang produksi negeri itu diboikot di seluruh dunia Muslim. Kejadian pa ling mutakhir adalah aksi pembunuhan yang dilakukan oleh Anders Behring Breivik (32 tahun) di Norwegia terhadap 77 orang di Pulau Utoeyu dan Oslo. Ia yang mengaku penganut “Kristen fundamentalis” juga mau membersihkan Eropa dari Islam. Ia menyayangkan Partai Buruh yang sekarang berkuasa terlalu longgar mengizinkan kaum imigran, terutama Muslim, membanjiri Norwegia. Ia mengambil sikap anti terhadap kenyataan multikulturisme di

94 Andreas A. Yewangoe

Eropa. Ia mau kembali ke keadaan Eropa ketika Kristianitas merupakan satu-satunya agama yang dianut seluruh penduduk.

Alhasil, ketegangan-ketegangan baik yang nyata (terang-terangan) maupun laten di antara penganut kedua agama itu cukup terasa. Ketegangan yang tidak selalu tepat disifatkan sebagai antara “Barat” dan “Islam”, sedikit ba nyak juga mengandung unsur-unsur persaingan ekonomi dan politik, yang dalam tahun-tahun mendatang mungkin akan makin naik.

Surat Kiriman

Di tengah berbagai ketegangan ini, kita menyaksikan sepucuk surat kiriman, atau surat terbuka yang ditandatangani oleh 138 tokoh muslim dari seluruh dunia. Surat itu ditujukan kepada para pemimpin gereja-gereja Kristen dan Katolik sedunia dari berbagai denominasi. Surat itu tentu saja melegakan. Ia laksana air sejuk di tengah sikap saling curiga itu.

Sebenarnya, berbagai upaya pendekatan antara Kristen dan Muslim di aras dunia berupa antara lain dialog-dialog sudah pernah dilakukan pada era 1970-an, bahkan sebelumnya. Dari Indonesia misalnya, Menteri Agama di era rezim Orde Baru, Prof. Dr. Mukti Ali mengadakan dan menghadiri diskusi-diskusi seperti itu. Beliau dan rekannya dari pihak Kristen, Prof. Dr. Ihromi, pernah menghadiri dialog lintas agama di Broumana (Lebanon). Maka, pendekatan dialogis seperti ini bukan lagi sesuatu yang baru.

Namun, surat kiriman itu unik karena diprakarsai oleh Dewan Gereja-Gereja se-Dunia dan pihak Muslim, sedangkan dialog-dialog sebelumnya dilakukan oleh Dewan Gereja-Gereja se-Dunia yang bermarkas di Geneva. Keunikan lain adalah surat ini dikirim pascaperistiwa 11 September 2001.

Kata kunci Common Word (diterjemahkan sebagai Kata Bersama) yang terdapat di dalam surat itu merupakan kutipan dari Al-Qur’an:

“Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecua li Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. ’ Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS Ali

Imran [3]: 64).

Memang konteks ayat ini adalah pemberitaan mengenai keesaan Allah, kepercayaan yang sangat berbeda dengan kepercayaan dunia sekitarnya yang politeistis pada waktu itu. Belakangan, khususnya terhadap Kristianitas, ada

Kata Bersama: Harapan Baru 95

semacam kecurigaan berkaitan dengan ajaran Trinitas yang di sangka sebagai penyembahan terhadap Allah, Yesus Kristus, dan Maria. Tentu kita tidak bermaksud memasuki suatu diskusi teologis yang rumit dan tidak mudah di sini. Tetapi, setidak-tidaknya harus diakui bahwa inilah salah satu kendala di dalam relasi Kristen-Islam, di samping pemahaman Kristen mengenai ketuhanan Yesus dan peristiwa penyaliban serta kebangkitannya. Kalau kita berkutat pada perbedaan-perbedaan itu, sampai kapan pun kita tidak akan pernah bertemu.

Karena itu, menurut saya, tepatlah pendekatan surat ini yang melihat

Kata Bersama (Common Word) itu pada Kasih (Love): kasih kepada A llah

dan kasih kepada sesama. Baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Alkitab (sebagaimana diindikasikan oleh surat ini), terdapat sekian banyak ayat yang mengacu dan menekankan kasih kepada Allah dan sesama. Bahkan setiap ucapan di dalam Al-Qur’an dimulai dengan menyebutkan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang (al-Rahman dan al-Rahim). Maka menyembah kepada Allah adalah sesuatu yang mutlak (QS Al-Ahzab [33]: 4). Kasih kepada Allah di dalam Islam, dengan demikian, merupakan devosi total dan lengkap kepada Allah. Kasih itu bukan sekadar emosi yang parsial. Formula yang membawa berkat ini, demikian dikatakan dalam surat itu, pada dirinya adalah suatu seruan yang kudus.

Di dalam Alkitab, kitab suci umat Kristen, kasih kepada Allah adalah perintah yang pertama dan terbesar. Setiap saat diucapkan di dalam liturgia Yahudi:

“Dengarlah (Sema), hai orang Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu

esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul. 6: 4–5)

Tentu saja ini adalah Pengakuan Iman Yahudi, tetapi sejak pertama ketika gereja Kristen mengambil alih kitab suci Yahudi (Tenach) sebagai kitab sucinya sendiri, maka pengakuan iman ini pun menjadi pengakuan iman gereja juga. Di dalam Alkitab Perjanjian Baru, pengakuan ini diucapkan oleh Yesus Kristus. Yesus Kristus mengatakan:

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu.”

(Mat. 22: 34–40, Mrk. 12: 28–31)

Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Itulah pengakuan yang diikrarkan oleh gereja-gereja sepanjang masa dan di segala tempat, termasuk di Indonesia. Di dalam dokumen “Pemahaman Bersama Iman Kristen” (PBIK) yang diterima oleh gereja-gereja di Indonesia (khususnya yang tergabung di

100 Andreas A. Yewangoe

Catatan

1. PGI, Dokumen Keesaan Gereja, (Jakarta, 2010), h. 104.

Bagian I

R

elasi Muslim-Kristen telah terbentuk oleh pengalaman sejarah, teologi, dan politik mereka yang berbeda. Pada periode klasik dan modern, kaum Muslim dan Kristiani telah saling berinteraksi dalam berbagai bidang seperti teologi, tafsir, filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan politik. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman historis, keistimewaan teologis, dan perkembangan politik mereka sangat berbeda dan memunculkan sejarah yang berbeda pula. Pemikiran Yahudi, Kristen, dan Muslim pramodern memiliki ruang intelektual serupa, yang doktrin-doktrin utamanya berupa monoteisme Ibrahim diungkapkan dan dijelaskan dalam kosakata filosofis pemikiran Yunani, meskipun bentuk-bentuk wacana filosofis dan teologis non-Yunani mempunyai sejarahnya sendiri sebelum jatuhnya filsafat Yunani. Sebagaimana akan saya bahas di bawah ini, ruang kosmologi, sains, filsafat, dan bahkan spiritualitas yang serupa ini digantikan oleh petualangan-petualangan baru modernitas Eropa dan Pencerahan pada abad ke-17, yang membawa pada perbedaan lebih jauh di antara kedua tradisi tersebut. Meski pun literatur tentang polemik umat Muslim dan Kristen pada tiga abad pertama perkembangan Islam banyak ditemui, tema hubungan umat Muslim-Kristen masih belum

benar-Islam, Kristen, Pencerahan: