• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farsijana Adeney-Risakotta

3. Peran dan Status Perempuan dalam Komunitas Agama

Pandangan terhadap hakikat perempuan pada tataran teologis memiliki pengaruh yang signifikan dalam menetapkan peran dan status perempuan pada konteks sosial yang lebih profan. Komunitas agama sebagai basis sosial agama memiliki kekhasan masing-masing.

Dalam tradisi Kristen, komunitas tersebut disatukan dalam institusi Gereja di mana berkumpul orang-orang beriman. Dalam Islam, komunitas beragama tersebut disebut ummah. Gereja dan ummah merupakan komunitas orang-orang beriman berkumpul. Pengertian asli dari kata “igreja” berasal dari kata

ekklesia dalam bahasa Yunani yang berasal dari kata ek berarti keluar dan kaleo

berarti memanggil. Arti ekkelesia adalah orang-orang yang dipanggil keluar untuk mengikuti jalan Allah melalui jalan keselamat an dalam Yesus Kristus. Kondisi awal dari ekklesia, yang biasanya disebut Gereja mula-mula, adalah orang-orang yang mengikuti Yesus Kristus; mere ka yang pernah mendengar tentang pelayanan Kristus; mereka yang pernah hidup bersama dengan Yesus sebagai murid-muridnya; mereka yang pernah meng aniaya pengikut Yesus karena menolak ajaran Kristus tetapi kemudian berubah menjadi pengikuti Yesus seperti Rasul Paulus. Di samping ekklesia, Rasul Paulus jugalah yang menggerakkan Gereja mula-mula yang dimulai dari rumah. Rumah dalam bahasa Yunani kuno disebut “oikos”, tempat berdiam keluarga. Mempercayai Allah dalam Kristus Tuhan berarti membentuk satu keluarga yang tinggal di dunia yang sama, yang diciptakan-Nya. Sejarah keimanan dalam Kristus

dimulai dari “oikos” sebelum akhirnya ke seluruh Asia dan seluruh dunia.31

TEOLOGI

Perempuan dan Transformasi dalam Tradisi Agama 177

bangsa, dijelaskan dalam kata asli Yunani, “oikumene” seperti dipakai dalam penulisan Kisah Para Rasul 17: 6; Matius 24: 14 (Adeney-Risakotta, 2012).

Hampir serupa dengan Gereja, dalam Islam, ummah dibentuk oleh Rasulullah bagi para pengikut setia yang menjadi sahabat beserta keluarganya, terutama pada peristiwa hijrah ke Madinah. Namun, Madinah bukan merupakan prototype ummah Islam yang eksklusif karena berkembang menjadi negara kota yang disebut Madinat al-Munawwarah yang inklusif dan demokratis dengan penduduk yang heterogen secara etnis seperti Arab dan Yahudi serta keragaman keyakinan seperti Kristen dan Yahudi.

Keterlibatan perempuan dalam ummah dan Gereja sangat eksplisit dinyatakan dalam kedua tradisi agama tersebut, baik pada masa pewahyuan maupun pada perkembangan sesudahnya. Pada aspek kesaksian kebenaran, Islam mencatat peran sentral perempuan. Khadijah, istri Rasulullah, merupakan orang pertama yang mempercayai peristiwa pewahyuan. Khadijah sebagai seorang saudagar sukses rela mengorbankan hartanya demi mendukung perjuangan Rasulullah dalam menyerukan ajaran Islam sebagai

penerus ajaran-ajaran para nabi sebelumnya,32 termasuk Musa pembawa

Taurat, Ibrahim penyeru kitab Zabur, Isa Al-Masih sebagai pengabar Injil. Keberpihakan Al-Qur’an terhadap perempuan dapat ditelusuri dari figur teladan seperti Ibu Musa yang tegar memegang imannya dari Fira’un yang menisbahkan dirinya sebagai Tuhan, Maryam, ibunda Isa Al-Masih, atau Yesus yang tabah menegakkan kebenaran, Ratu Bilqis yang diabadikan Al-Qur’an sebagai pemimpin yang membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Munculnya figur teladan perempuan merupakan bagian dari reformasi tradisi

keagamaan Arab lama yang merugikan perempuan.33 Bahkan, Al-Qur’an

mendedikasikan dua surat yang secara khusus diperuntukkan bagi perempuan, yaitu Surat an-Nisa’ yang berarti perempuan terhormat dan Surat Maryam yang menjelaskan keteladanan ibunda Isa Alaihissalam.

Dalam Kristianitas, perempuan berperan meneruskan pewahyuan A llah dan juga terlibat aktif membentuk Gereja mula-mula seperti dijelaskan dengan sangat mendalam oleh Lukas, baik sebagai penulis Kitab Para Rasul maupun Injil Lukas. Lukas menempatkan perempuan dengan pengalaman pribadi yang terlibat karena mengerti kebutuhan spiritualnya untuk mencari kabar keselamatan dalam Yesus Kristus. Misalnya, Lukas menjelaskan Lidya, seorang pedagang kain ungu dari Kota Tiatira yang belum pernah mengerti tentang kabar suka cita dari Yesus Kristus, tetapi mengundang rasul Paulus untuk mampir di rumahnya supaya bisa mendengarnya (Kisah Para Rasul 16: 14). Lydia digambarkan memberikan banyak kekayaannya untuk meluaskan pemberitaan sukacita tentang Kristus, penyelamat dunia. Sebagai penulis Injil, Lukas menjelaskan kedekatan perempuan di sekitar kehidupan Yesus sejak

188 Siti Ruhaini Dzuhayatin & Farsijana Adeney-Risakotta

TEOLOGI

Kesimpulan

Diskurus perempuan yang berkembang dalam tradisi agama sangat dipengaruhi oleh spektrum pemikiran teologi yang berkembang, dari mulai ke lompok ideologis tekstualis, konservatif hingga progresif. Di samping itu, ke lompok perempuan progresif juga dihadapkan pada gerakan feminis sekuler yang cenderung menafikan agama serta keberadaan keluarga. Menyadari berbagai kontestasi tersebut, kelompok perempuan agama berupaya untuk tetap menggunakan argumentasi yang dibangun melalui berbagai doktrin dan ajaran yang ada dalam tradisi agama besar ini yang selama berabad-abad terpendam dalam apa yang disebut oleh Syafi’i Maarif sebagai lumpur-lumpur peradaban.

Nilai-nilai yang melandasi fondasi peradaban manusia adalah nilai-nilai yang membebaskan yang bersumber dan telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya. Allah meneruskan pewahyuannya baik melalui tradisi Kristiani dan Islam untuk secara bersama membangun keadilan dan perdamaian di muka dunia. Permulaan dari pencapaian itu dimulai dengan menguakkan kembali tradisi Kristiani dan Islam yang memberikan tempat secara adil dan setara kepada perempuan. Pemberdayaan perempuan menuju kesetaraan gender bagi laki-laki dan perempuan melalui proses advokasi bukanlah bertujuan untuk menciptakan kemenangan perempuan atas laki-laki. Baik lelaki dan perempuan keduanya diciptakan oleh Allah untuk saling mengasihi untuk secara bersama mengubah ketidakadilan di dunia dan membawa perdamaian.

Pengalaman perempuan beragama di Indonesia dilakukan bersinggungan dengan kebijakan politik, ekonomi, dan sosial-budaya sungguh-sungguh dirahmati oleh Allah. Pemberdayaan hermeneutik pengalaman dalam melakukan advokasi terhadap hak-hak perempuan akan mendorong penguatan integritas sekaligus memperbarui pemahaman berimannya dalam mempraktikkan ajaran keadilan di dalam hidup sehari-hari. Keberlangsungan kesejarahan perjuangan saat ini yang mengalir keluar dari perspektif sejarah baik dari tradisi Kristiani dan Islam untuk berhadapan dengan kebutuh an zaman sedang memberikan sumbangan besar kepada Indonesia maupun dunia.

Catatan

1. Lihat, Nawal al-Sa’dawi & Hibah Rauf Izzat, Perempuan, Agama dan Moralitas:

Antara Nalar Feminis dan Islam Revivalis, terj. Ibnu Ruysdi (Erlangga, 2002);

Jeanne Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas: Studi tentang Pengaruh

Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, terj. Indriani Bone (Jakarta: Gunung

TEOLOGI

Perempuan dan Transformasi dalam Tradisi Agama 189

Percakapan Antar Agama: Aktualisasinya dalam Pembangunan, (Yogyakarta:

LKPSM NU DIY, 1992).

2. Lihat, Zaitunah Subhan, Perempuan dan Politik dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).

3. Lihat, Elizabeth Stanton, The Woman’s Bible: A Classic Feminist Perspective, (USA: Dover Publications, 2003).

4 . Muhammad Abdullah Khan Khufishgi, (ed.), “Maqalat-i Sar Sayyid”, (Articles of Sir Sayyid), Aligarh, India: National Printers, 1952.

5. Lihat Muhammad Imarah, Qasim Amin wa Tahrir al-Mar’ah, (Kairo: Kitab al-Hilal, 1980).

6 . Lihat Hamka Haq, Islam; Rahmah untuk Bangsa, (Jakarta: Rakyat Merdeka Books, 2009), hlm. 53–60.

7 . Oscar Cullman, The Early Church: Studies in Early Christian History and Theo logy, edited by A.J.B. Higgins, (Philadelphia: Westminster, 1966) hlm. 66.

8 . James Orr, “The Aposteles’s Creed”, International Standard Bible Encyclopedia.

http://www.biblestudytools.com/encyclopedias/isbe/apostles-creed-the.html. Akses

1 Oktober 2013.

9 . Irfan Abdul Hamid Fattah, al-Naşrâniyyah, Nasy’atuhâ al-Târikhiyyah wa Uşûl

‘Aqâ’idiha, (Aman: Dar Ummar, 2000 M/1420 H), hlm. 14.

10. Mahmud Hamdi Zaqzuq, al-‘Aqîdah al-Dîniyyah wa Ahammiyatuhâ fî Hayâh

al-Insân, (Kairo: Majallah al-Azhar al-Majalliyah, 2002), hlm. 22.

11. Lihat misalnya dalam Muhammad Sa’id Ramadhan Buthi, Fiqh Sîrah

al-Nabawiyyah ma’a Mujiz li Târîkh al-Khilâfah al-Rasyîdah, (Beirut: Dar alFikr

al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H). Lihat juga Ibrahim al-Abyari, Târîkh al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 1991 M/1411 H).

12. Lihat Lee Martin McDonald, Formation of the Bible: The Story of Church’s Canon, (USA: Hendrickson Publisher, 2012).

13. Fahd bin Abdirrahman bin Sulaiman al-Rumi, Jam’u al-Qur’ân fî ‘Ahd al- Khulafa’

al-Râsyidîn, (Riyadh: Markaz al-Tafsir li al-Dirasat al-Qur’aniyyah, 2003 M/1424

H), hlm. 11–31.

14. Lihat misalnya dalam Einar Thomassen (ed.) Canon and Canonicity: The Formation

and Use of Scripture, (Museum Tusculanum Press, 2010).

15. Perjalanan transmisi Hadits yang dimulai pada masa Nabi Muahammad saw. hingga masa penyusunannya secara sistematis memang mengalami perkembang an yang cukup kompleks. Lebih lengkapnya lihat Muhammad Muhammad Abu Zahw,

al-Hadits wa al-Muhadditsun aw ‘Inayah al-Ummah al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Riyadh: al-Maktabah al-Tawfiqiyyah, 1984 M/1404 H).

16. Lihat misalnya dalam Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Lihat juga Abdul Hayy al-Farmawi, Metode

Tafsir Maudhû’i dan Cara Penerapannya. terj. Rosihon Anwar, (Bandung: Pustaka

Setia, 2002), hlm. 23.

17. Lihat Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1989). Lihat juga Abd Moqsith Ghozali dkk. Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

18. Meskipun beberapa ulama masih mengategorikan Syi’ah dalam kelompok mazhab

mutakallimin (teolog). Lihat lebih lengkapnya dalam Manna’ Khalil al-Qaththan, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmiy, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996 M/1417 H).

190 Siti Ruhaini Dzuhayatin & Farsijana Adeney-Risakotta

TEOLOGI

al-Syuruq, 1991 M/1411 H). Lihat juga ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Msyriq, 1970).

19. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. Ke-XIX, 1999), hlm. 112.

20. Dalam uraian tafsirnya, mayoritas ulama Klasik, di antaranya al-Tabari, al- Zamakhsyari, al-Alusi al-Qurthubi, dan al-Suyuthi memandang bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, (Kairo: Dâr Hijr, Juz 6, 2001), hlm. 341. Abi Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, (Riyadh: Maktabah Abikan, Juz 2, 1998), hlm. 5. Syihab Dîn Sayyid Mahmud al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, Juz 4, T.t), hlm. 209. Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr al- Qurthubi, al-Jâmi’ li

Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Muassasah al-Risalah, Juz 6, 2006), hlm. 6. Jalal al-Din

al-Suyuthi, al-Durr al-Manśûr fî Tafsîr bi al-Ma’Śûr, (Kairo: Dar Hijr, Juz 4, 2003), hlm. 209. Hal ini didasarkan oleh hadits Nabi Muhammad saw. riwayat al-Bukhari bab al-Wuşât bi al-Nisâ’ (Wasiat-Wasiat untuk Para Wanita), no. hadits 4890. 21. Imad al-Din Abi Fida’ Ismail ibn Kasir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, (Mesir: Muassasah

Qurthubah, Juz 3, T.t.), hlm. 333.

22. Lihat misalnya dalam Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, Vol. 2, 2001), hlm. 314. Bandingkan dengan Muhammad Hasbi ash-Shiddieqiy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, Jilid 1, 1995), hlm. 752.

23. Hal ini terutama dikemukakan oleh fuqahâ’ . Lihat misalnya dalam Mansur al-Rifa’i ‘Abid, al-‘Ibâdât fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: al-Dar al-Saqafiyyah, 2001 M/1421 H), hlm. 56. Lihat juga fatwa salah satu ulama al-Azhar, Kairo Mesir, 'ah dalam rubrik Women Issues dalam www.ali-gomaa.com.

24. Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 130. Lihat juga dalam Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).

25. Lihat lebih lengkapnya dalam M. Alfatih Suryadilaga, “Keabsahan Perempuan sebagai Imam Shalat bagi Perempuan (Analisa Sanad dan Matan)” dalam M. Shodiq, Sunnah Nabi yang Tertindas, (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003).

26. Di samping dua penulis tentang argumentasi larangan dan kebolehan imam shalat perempuan bagi laki-laki dewasa, ada beberapa pemikir progresif dari Nahdlatul Ulama sepert Husein Muhammad dan Masdar Farid Mas’udi serta kalangan Muhammadiyah seperti Hamim Ilyas dan Wawan Gunawan sebagai penggagas draft “Fikih Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah”.

27. Lihat perbaikan draft “Fikih Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah” dalam Musyawarah Nasional ke-27 Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelang Muktamar ke-46 di Malang pada tanggal 1–4 April 2010.

28. Lihat M. Quraish Shihab, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama

Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004).

29. Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam Ahwal Syakhsiyyah fi Syari’ah

al-Islamiyyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1990 M/1410 H), h. 59–63.

30. Argumentasi mengenai kebolehan wanita menjadi wali bagi anaknya telah dibicarakan oleh sementara ulama yang merupakan pemahaman dari riwayat dari Nabi saw. dan QS Al-Baqarah [2]: 132 tentang ketidakbutuhan janda terhadap izin wali dalam pernikahan. Namun, mayoritas—jika bukan semuanya—beranggapan bahwa kebolehannya adalah khusus bagi perempuan yang telah dewasa dan

TEOLOGI

Perempuan dan Transformasi dalam Tradisi Agama 191

sebelumnya telah menikah (janda). Lihat Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy

wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 84. Lihat juga dalam Muhammad ibn

Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Nail al-Awtar, (Berut: Dar al-Fikr, 1986), h. 240. 31. Farsijana Adeney-Risakotta, “Pendidikan Teologi Ekumenis, Perspektif

Perempuan?” (hal. 81–105), Mendesain Ulang Pendidikan Teologi. Buku

Penghormatan untuk Pdt.E.Judowibowo Poerwowidagdo M.A., Ph.D., penyunting

Jozef M.N. Hehanussa dan Budyanto, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2012).

32. Muhammad al-Ghazali dkk., Al-Mar’ah fi al-Islam, (Kairo: Akhbar al-Yawm, T,t), hlm. 18.

33. Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Wo men’s

Rights in Islam, terj. ke bahasa Inggris oleh Mary Jo Lakeland, (New York: Basic

Press, 1991), h. 33 dan 118.

34. Posisi strategis para istri Nabi Muhammad tidak serta merta membuat mereka terlarut dalam tingginya kedudukan. Peran aktif mereka dalam perjuangan penyebaran agama Islam bersama sang pemimpin umat sangat kentara. Di antaranya dapat dilihat dalam Nabil Luqa Bibawi, Zawjat al-Rasul bayn al-Haqiqah

wa al-Iftira’, (Kairo, 2004).

35. Meskipun sebagian ahli hadits berargumen bahwa kata “muslimatin” adalah tambahan redaksi yang apabila kata tersebut dihadirkan, maka menurut kaidah ilmu Hadits, kualitas keabsahannya menjadi kurang (dha’if). Lihat misalnya hasil penelitian dari Nicky Alma Febriana Fauzi, 6 Hadits Dha’if tentang Keutamaan

Menuntut Ilmu dalam http://almafebriana123.blogspot.com, diakses 4 Oktober

2013.

36. Inilah yang kemudian menjadi alasan urgensinya memahami latar di mana wahyu turun (asbab al-nuzul). Latar yang dimaksud bisa jadi dalam lingkup spesifik (mikro), maupun lebih umum dalam bingkai kultur Arab pada saat itu. Fungsinya jelas, yaitu penggalian hukum yang aplikatif, fleksibel, dan bermaslahah sepanjang zaman. Namun meskipun penting, bagi kelompok tradisionalis-skriptualis, kajian ini kurang mendapat respons yang berarti. Dalam arti dengan menjadikannya sebagai salah satu pisau analisis dalam menggali hukum yang terdapat dalam teks. Karena hal ini bertentangan dengan manhaj dasar yang dipeganginya, yaitu bahwa hukum adalah sebagaimana yang tertera dalam teks dan menolak hasil (berupa produk hukum) yang “seakan” tidak persis seperti yang termaktub dalam teks, namun memiliki substansi yang sama (ma wara ’a al-nass).

37. Nalar berpikir dalam memahami teks-teks keagamaan diuraikan sistematis oleh Abid Al-Jabiri. Dalam uraiannya, setidaknya terdapat tiga epistemologi dalam Islam: Bayani (kecenderungan terhadap pemahaman secara literal/ skriptualis), Burhani (kecenderungan terhadap pemahaman rasional), dan Irfani (kecenderungan terhadap cara berpikir intuitif/rasa/dzauq). Hal ini menjadi salah satu pijakan bagi pengklasifikasian metode pemahaman Al-Qur’an dan Hadits pada diskusi-diskusi selanjutnya. Lihat M. Abid Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).

38. Lebih lengkapnya lihat Fatima Mernissi, The Harem Within, (Doubleday, 1994). Bandingkan dengan Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kyai atas

Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).

39. Gagasan tentang pembacaan teks (Al-Qur’an maupun sunnah) dengan mempertimbangkan makna lahir dan batin mengalami perkembangan cukup berarti. Lihat misalnya Pengantar M. Amin Abdullah dalam Syafa’atun Almirzanah (ed.), Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Islam, Reader, (Yogyakarta Lembaga

192 Siti Ruhaini Dzuhayatin & Farsijana Adeney-Risakotta

TEOLOGI

Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011). Lihat juga Yudian Wahyudi, “Hermeneutika Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah menurut Hasan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiri, dan Nurcholish Madjid” dalam Syafa’atu Almirzanah (ed.), Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an Hadits, Teori dan

Aplikasi, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Buku

1, 2012), h. 127.

40. Farsijana Adeney-Risakotta, Idem.

41. Lihat Frymer Frymer-Kensky, Tikva. Reading the Women of the Bible. New York: Schocken Books, 2002.

42. Farsijana, Adeney-Risakotta, Idem.

43. Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa apabila kita merujuk pada pemahaman yang mengelompokkan Syi’ah dalam lingkup pembahasan teologi (ilmu kalam), maka munculnya adalah pasca wafatnya Nabi Muhammad (pertengahan abad ke-7 M). Adapun Imam Syafi’i, sebagai pimpinan mazhab al-Syafi’iyyah, dilahirkan pada 767 M dan memiliki banyak pengikut hingga saat ini, terutama di Indonesia.

44. Statistik Nasional pada www.megagalerry.com.

45. Laporan Fathiyah Wardah, “Komnas Perempuan: 60 Persen Korban KDRT Hadapi Kriminalisasi” dalam www.voaindonesia.com. diakses pada 4 Oktober 2013. 46. Lihat dalam Susan Blackburn, Women and The State in Modern Indonesia,

(Cambridge: Cambride University Press, 2004), h. 8.

47. Khofifah Indar Parawansa, “Institution Building: An Effort to Improve Indonesian Women’s Role and Status” dalam Kathryn Robinson dan Sharon Bessel (ed.),

Women in Indonesia: Gender, Equity, and Development, (Singapore: Institute of

Southeast Asian Studies, 2002), h. 68. Lihat juga Susan, Blackburn Idem., h. 33. 48. Lihat dalam Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Kairo, Dar al-Ma’arif, T.T).

49. Memang kerentanan perempuan dalam perjuangan kesetaraan ini masih terus diuji dalam sejarah bangsa. Ideologi gender rezim militer Orde Baru yang mengokohkan relasi asimetris khas Jawa priayi menjadi tantangan tersendiri. Ideologi yang oleh Julia Suryakusuma sebagai Ibuisme menjadi dilema bagi kebanyakan perempuan dalam merentas kesenjangan gender. Julia Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Era” dalam Laurie J. Sears (ed.), Fantasizing The Femi nine in

Indonesia, (Duke University Press, 1996), hlm. 92. Lebih problematik lagi ketika

ideologi ini dimasukkan dalam organisasi perempuan, termasuk ‘Aisyiyah dan Muslimat sebagai organisasi perempuan Islam arus utama. Buku tuntunan keluarga sakinah pada ‘Aisyiyah dan buku tuntunan keluarga maslahah sa ngat mencerminkan ideologi rezim tersebut yang secara signifikan menga baikan peran politis dan ekonomis perempuan yang cukup signifikan di masa lalu.

50. Mary Ann Tolbert, Defining the Problem: The Bible and Feminist Hermeneutics, (Semeia 28, 1983), h. 117.

51. Farsijana Risakotta, “Menguak Teologi Feminis Asia”, (h. 13–32), Edisi, hlm 55 (Yogyakarta: Fakultas Teologi, Gema Duta Wacana, 1991).

52. Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk., Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender

dalam Islam, (Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002).

53. Proses demokratisasi memberi ruang diskursif isu perempuan dan pertautannya dengan feminisme. Analisis gender terhadap peran perempuan mampu mendekonstruksi keyakinan ibu rumah tangga sebagai peran kodrati menjadi peran yang dibentuk atau dikonstruksi secara sosial. Pengaruh dekons truksi ini sangat luas dan memacu studi-studi agama yang cenderung stagnan.

TEOLOGI

Perempuan dan Transformasi dalam Tradisi Agama 193

Pemaknaan atas peran perempuan secara kritis telah mengubah wajah perjuangan perempuan. Feminisme mampu mengubah struktur yang tidak adil dengan menyeimbangkan antara hak-hak kesetaraan (equality) dan hasil-hasil yang diperoleh dari perjuangannya (equity). Farsijana Adeney-Risakotta, “Prolog: Perempuan Merefleksikan Diri”, Perempuan dan Bencana. Pengalaman

Yogyakarta, penyunting Farsijana Adeney-Risakotta, Yogyakarta: Selendang Ungu

Press, 2007. Namun, feminisme yang turut berpengaruh terhadap upaya untuk mendekonstruksi realitas yang tidak adil bagi perempuan dilihat bermanfaat dan sekaligus disikapi dengan kehati-hatian karena hasil perjuangan sering bersifat egosentris. Lusi Margiani dan Agus Fahri Husein, Dinamika Gerakan Perempuan

di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Prakarsa, 2002). Lihat juga Susan Blackburn, Women and The State in Modern Indonesia, (Cambridge: Cambridge University

Press, 2004) h. 84 dan 138. Feminis mengadopsi hermeneutik kecurigaan Paul Ricour sebagai alat kerjanya membangun kemampuan berpikir kritis perempuan dalam meneliti proses ketidakadilan yang terjadi (bandingkan Ruether, Rosemary Radford: 1984). Akan tetapi, apabila analisis kritis dilakukan tanpa mengerti pengalaman spiritualitas perempuan yang mendalam dengan menjelaskannya pada tingkat empirik, cenderung akan memerangkap perempuan yang terjebak membangun struktur ketidakadilan yang baru. Sekali perempuan membangun kecurigaan, semua perspektifnya menuju ke aspek mencurigai. Sisi ketidakadilan yang diperjuangkan oleh feminisme sering menyebabkan pegiat feminis tampil keras dan penuh kemarahan. Beverly Wildung Harrison, “The Power of Anger in the Work of Love” (p. 3–21), Making the Connections, edited by Carol S. Robb, Boston: Beacon Press, 1985. Ketidakpercayaan kepada struktur sosial dan keluarga menjadi bumerang bagi perjuangan mereka. Posisi keseimbangan lebih dipilih oleh gerakan perempuan berbasis agama, dalam Kristen dan Islam di Indonesia, terutama karena menyadari bahwa perjuangan feminis juga perlu dikritisi.

Adeney-Risakotta juga berpandangan bahwa penggunaan hermeneutik anugerah

yang digagaskan oleh Tikva Frymer-Kensky [lihat Tikva Frymer Frymer-Kensky, “Introduction: Reading the Women of the Bible” (p. xiii–xxvii), Reading the Women

of the Bible, (New York: Schocken Books, 2002)] sebagai metodologi cenderung

menjauhkan perempuan dari upayanya untuk merumuskan penga laman imannya berdasarkan pergolakan konkret kehidupan manusia yang sebenarnya sehari-hari berjuang untuk membangun kesejahteraan dan perdamaian bagi keluarga, umat beragama, dan masyarakat luas di mana mereka dipanggil untuk mengabdikan pengetahuan, keterampilan, dan kebijakannya yang diberikan Allah (Adeney-Risakotta, 2012). Karena itu, melalui hermeneutik penga laman ziarah iman bolak- balik untuk memahami pergolakan hati, jiwa, dan akal budi seorang perempuan menjawab tantangan zamannya akan menolong menghadirkan keseimbangan dalam melakukan perubahan yang memelihara ketidakadilan dan ketiadaan damai sejahtera dengan sedapat mungkin menjaga maksud keutuhan penyelamatan yang diridhai Allah kepada semua umat manusia (Matius 22: 39–40). Perubahan yang dibangun berdasarkan kesadaran dan pilihan akan menyebabkan terjadi pembaharuan yang membawa kepada keadilan bukan hanya untuk perempuan tetapi juga bagi orang lain. Dengan cara ini perempuan terbebas dari perangkap lingkaran balas dendam yang akan mengingkari perjuangannya sendiri terhadap