• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan sebagai Sesama

Waleed El-Ansary

LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

Ekonomi Lingkungan Islam dan Tiga Dimensi Islam 329

hukum Allah.”2 Proyek Care International, yang dimulai pada 2001, rupanya

adalah pertama kalinya strategi lingkungan berbasis agama dilakukan di Tanzania.

Hal yang sama dilakukan pula di Nigeria dalam kampanye penanam an pohon setiap tahun yang diorganisasi oleh pemerintah dalam rangka mengecek pelanggaran batas wilayah padang pasir:

Pohon yang ditanam pemerintah saat kampanye mati tidak lama setelah kampanye berakhir. Kontrasnya, para penggiat lingkungan juga telah mengerjakan proyek penanaman pohon dengan menerapkan ajaran Islam tentang kelembutan terhadap lingkungan alam dan aturan yang mendukung kegiatan penghijauan. Komunitas yang terlibat meluruskan komitmen mereka untuk sukarela menjaga pepohonan. Menyadari dampak kisah-kisah sukses lingkungan berbasis Islam semacam itu, semakin banyak penggiat lingkungan yang tertarik mengeksplorasi kontribusi Islam dalam menyelesaikan

masalah ekologi tertentu di daerah tersebut.3

Melihat peran penting sarjana dan tokoh agama dalam melestarikan lingkungan di dunia Islam, Syekh Ali Jum‘ah, Mufti Besar Mesir, telah menetapkan Darul Ifta di Mesir sebagai kawasan netral karbon pada akhir

2010;4 komitmen ini dilakukan dalam konteks rencana aksi Muslim Seven

Year yang mencakup Madinah, kota tersuci nomor dua dalam dunia Islam

atau dikenal juga dengan sebutan “Kota Nabi”, menjadi model kota hijau.5

Karena jutaan Muslim mengunjungi kota ini setiap tahun untuk melakukan ibadah haji dan umrah, ini memberikan sinyal kuat kepada umat Muslim di

seluruh dunia.6

Dari perspektif ini, etika keagamaan adalah bagian hakiki solusi apa pun terhadap krisis lingkungan. Tentu saja sebagian besar masyarakat dunia mungkin hanya memperhatikan agama dari sisi ini. Tapi, “etika keagamaan tidak bisa sejalan dengan pandangan tatanan alam yang secara radikal menentang konsep dasar agama dan mengklaim untuk dirinya sendiri monopoli pengetahuan tentang tatanan alam, setidaknya pengetahuan apa pun yang signifikan dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai ‘ilmu

pengetahuan’.”7

Untuk menerapkan kategori-kategori pemikiran Islam, al-‘ilm atau pengetahuan harus mengiringi al-‘amal atau tindakan. Oleh karena itu, inti makalah ini disusun menurut Hadith terkenal Jibril yang telah digunakan sebagai model diskusi pokok-pokok ajaran Islam selama lebih dari 1000 tahun. Hadits ini membagi Islam ke dalam tiga dimensi: penyerahan diri atau “tindakan yang benar” (islam), iman atau “pemahaman yang benar” (iman),

LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

330 Waleed El-Ansary

dan kebaikan atau “niat yang benar” (ihsan), yang cocok dengan dimensi-dimensi legal/etis, intelektual, dan esoterik dari sebuah tradisi integral untuk mewujudkan sepenuhnya cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama,

termasuk lingkungan alam.8 Seperti yang akan kita lihat, ketiganya diperlukan

untuk keseimbangan sosio-ekonomis dan lingkungan dari perspektif Islam.

Perlunya Suatu Pendekatan Baru

Paradigma ekonomi lingkungan saat ini biasanya tidak konsisten dengan pa ling tidak dua atau terkadang tiga dari dimensi tersebut di atas, yang ber akibat pada ketidakseimbangan lingkungan dari sudut pandang Islam. Contohnya, teori ekonomi konvensional atau neoklasik, yang mendominasi sebagian besar wacana ekonomi lingkungan atau ekonomi sumber daya, didasarkan pada pemikiran berbasis kemanfaatan dan efisiensi tertentu. Hal-hal ini secara esensial mereduksi nilai (value) menjadi rasa (taste) serta mereduksi kebutuhan (need) menjadi keinginan (want), tanpa memperhitungkan hierarki kebutuhan spiritual dan lainnya seperti yang akan kita lihat. Pendekatan ini mengakui ex ante beberapa kelemahan teknis ketika dihadapkan dengan isu seperti eksternalitas, atau biaya ke publik yang tidak tercakup dalam analisis standar, yang memunculkan juga masalah-masalah seperti polusi akibat “kesalahan estimasi harga” (dan juga merupakan inti sebagian besar instrumen kebijakan lingkungan yang standar, seperti pajak

karbon atau seluruh konsep perizinan emisi yang bisa diperdagangkan).9

Meskipun demikian, teori ekonomi neoklasik mengklaim akan mengakomodasi rangkaian nilai atau rasa yang pada dasarnya rasional, atau konsisten secara internal, termasuk pilihan-pilihan yang “dengan sendirinya melibatkan unsur kebenaran, keadilan, atau keindahan, semudah konsumsi

barang dan jasa.”10 Pada kenyataannya, ada spektrum aplikasi teori neoklasik

dalam ekonomi lingkungan, dimulai dari ekonomi yang sangat antroposentris yang disebut ekonomi garda depan (frontier economics), yang melihat alam sebagai pasokan tak terbatas sumber-sumber daya fisik dan wadah penampung

tanpa batas bagi dampak samping dari konsumsi,11 sampai pada pendekatan

pelestarian lingkungan yang secara tradisional menjadi dasar sistem aturan lingkungan Amerika tentang sumber pokok yang mengizinkan atau mengatur masalah polusi, hingga ke manajemen sumber daya yang didasarkan pada pengintegrasian faktor-faktor sosial dan lainnya ke dalam kebijakan

lingkungan.12 Walaupun yang terakhir itu paling baik mewakili ekonomi

lingkungan neoklasik, namun belum mampu mengakomodasi nilai-nilai lingkungan berwawasan Islam seperti yang akan kita lihat. Satu masalah yang tersembunyi di sini adalah kecenderungan teori neoklasik yang terus-menerus

LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

Ekonomi Lingkungan Islam dan Tiga Dimensi Islam 331

pada hedonisme psikologis, atau “perhitung an kenikmatan-penderitaan” dari

filsuf Inggris Jeremy Bentham sebagai penentu benar dan salah.13 Dan ekologi

dalam (deep ecology), yang memperlakukan manusia setara namun juga tidak lebih penting dari spesies lain dalam ekosfer dan demikian juga yang terjadi pada ujung lain spektrum ekonomi garis depan, sering kali tidak konsisten dengan fondasi intelektual ajaran etis keagamaan yang terkait dengan isu lingkungan, termasuk keadaan manusia sebagai jembatan antara surga dan bumi.14

Klaim neoklasik untuk mengakomodasi aspek-aspek di atas termasuk nilai dan rasa lainnya yang konsisten secara internal menyiratkan bahwa pendekatan mana pun terhadap ekonomi lingkungan paling-paling hanya merupakan sebuah kasus khusus teori konvensional, yang membuat alternatif riil mana pun secara logis tidak mungkin. Oleh karena itu, langkah awal dalam menunjukkan perlunya pendekatan baru dari perspektif Islam adalah dengan menguji klaim dan asumsi neoklasik terhadap prinsip-prinsip hukum Islam. Abu Hamid Al-Ghazali (1058–1111 M), seorang ahli hukum dan teolog ternama Muslim abad ke-12 dengan pengetahuannya yang luar biasa mengenai tiga dimensi Islam, secara eksplisit menguraikan beragam tujuan hukum Islam (maqasid al-syariah) dalam hal hierarki kebutuhan rohani dan

lainnya (masalih).15 Maksud sesungguhnya dari tiap ketetapan Ilahi menurut

pendekatan ini adalah untuk melindungi satu atau lebih kebutuhan tersebut, sementara tujuan tertinggi Hukum Ilahi adalah kebaikan dan kesejahteraan

bersama semua makhluk ciptaan Allah (masalih al-khalqi kaffatan).16 Ini

melarang pengecualian spesies atau generasi apa pun dan mengharuskan melibatkan baik dimensi kesejahteraan “materi” maupun “nonmateri”. Hubungan erat antara “benar” dan “baik” dalam pandangan ini diindikasikan oleh fakta bahwa mashalih (tunggal: mashlahah) diambil dari akar kata shalaha,

yang berarti bahwa sesuatu telah menjadi “murni, tepat, dan benar.”17

Al-Ghazali dan ulama hukum lain mengklasifikasi masalih untuk masyarakat manusia ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama berkaitan de ngan kebutuhan fundamental (daruriyyat), yang meliputi menjaga agama (din), kehidupan (nafs), keturunan (nasl), akal (‘aql), dan harta (mal).18 Ka rena pengabaian salah satu dari faktor ini menyebabkan gangguan dan kekacauan, tidak ada satu pun aturan hukum yang valid yang boleh melanggar salah satunya. Tingkat kedua adalah kebutuhan komplementer (hajiyyat), yang jika tidak terpenuhi akan mengarah pada kesukaran dan kesusahan yang nyata walaupun tidak berujung pada kehancuran komunitas. Dan tingkat yang terakhir, manfaat suplementer (tahsiniyyat) melibatkan proses memperindah

kehidupan dan memperhalus serta menyempurnakan etika.19 Berdasarkan

LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

332 Waleed El-Ansary

konflik dengan kebutuhan atau keinginan lain yang lebih rendah. Oleh karena itu para ahli hukum merumuskan prinsip keseimbangan umum (qawaid

al-fiqhiyah) untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan masalah hukum

tertentu yang butuh penyeimbangan antara dua hal yang berlawanan, yaitu manfaat (masalih) dan kerugian (mafasid). Prinsip semacam itu menerangkan ilmu untuk menentukan prioritas (‘ilm al-awlawiyat) dan ilmu untuk mengukur manfaat dan kerugian (‘ilm al-muwazanat). Prinsip penting yang muncul dari hierarki ini meliputi: “mengurangi penderitaan orang miskin lebih diutamakan daripada mengurangi penderitaan orang kaya,” “tidak boleh ada kerusakan dan penderitaan karena kerusakan,” dan “menghindari bahaya/

kerusakan harus didahulukan dibandingkan mengambil manfaat.”20 Tentu

saja prinsip-prinsip umum semacam itu memerlukan kualifikasi berdasarkan konteks tertentu, tetapi mereka memiliki implikasi serius terhadap lingkung an dan menjadi kunci untuk memahami pengaturan substantif dan instrumen legal dalam hukum lingkungan Islam.

Walaupun pandangan ini tampak analogis dengan analisis cost-benefit yang standar, tetapi sangat berbeda, karena teori neoklasik sendiri bahkan menyangkal perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Pandangan ini “mereduksi seluruh keinginan ke dalam satu kategori umum yang disebut utilitas. Sejalan dengan reduksi ini, orang tidak perlu mengatakan ‘orang-orang ini perlu lebih banyak sepatu’: tetapi, cukup mengatakan, ‘orang-orang ini

perlu lebih banyak utilitas’.”21 (Dan walaupun bentuk lain dari utilitarianisme

tertentu tidak selalu membuat reduksi yang sama, mereka masih me nempatkan kebenaran di bawah kegunaan, yang karenanya mengecuali kan

kebutuhan-kebutuhan spiritual).22 Namun, akal sehat mengatakan bahwa “(mereka)

yang tidak cukup uang untuk makan tidak bisa menghentikan rasa laparnya

dengan mengenakan lebih banyak pakaian.”23 Oleh karena itu, pendekatan

ekonomi konvensional yang menekankan pada nilai untuk satu utilitas atau pendekatan monoutilitas secara implisit menisbahkan “kepada manusia ‘kemampuan-kemampuan yang sebenarnya tidak dimilikinya,’ kecuali kita

bisa minum kertas, makan waktu luang, dan mengenakan mesin uap.”24 Dari

perspektif Islam, pernyataan yang menyesatkan ini meliputi ke salahan post

hoc, ergo propter hoc.25 Implikasinya terhadap lingkungan sangat serius karena pemikiran ini merasionalkan tindakan mengorbankan kebu tuhan generasi masa depan, bahkan pula seluruh hak makhluk di bumi, hanya demi keinginan generasi sekarang. Tanpa pembedaan kualitatif antara keinginan masa sekarang dan kebutuhan di masa depan, mudah sekali kita melebih-lebihkan keuntungan untuk masa sekarang dan menyepelekan harga yang harus dibayar di masa datang, gagal memperhitungkan dengan benar eksternalitas negatif antargenerasi. Hal yang sama berlaku mutatis mutandis dalam

generasi-LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

Ekonomi Lingkungan Islam dan Tiga Dimensi Islam 333

generasi dengan mengandaikan bahwa “me ngurangi penderitaan orang miskin adalah lebih diutamakan dibandingkan me ngurangi penderitaan orang kaya.”

Namun, klaim neoklasik terhadap netralitas moral juga tidak benar karena alasan lain. Yaitu, teori tersebut berasumsi bahwa jumlah uang yang ingin dibayarkan oleh seseorang untuk mencegah polusi lingkungan sama dengan jumlah uang yang ingin diterima demi membiarkannya. Asumsi ini telah menjadi pokok bahasan yang mengundang ketertarikan besar dan penyelidikan empiris (oleh karena implikasi-implikasi kebijakan praktis dalam hubungannya dengan pengukuran kerusakan nonmoneter atau yang ditentukan pasar dalam konteks lingkungan), yang berakibat munculnya

sekum pulan bukti signifikan yang mementahkan asumsi tersebut.26

Untuk membantu menjelaskannya, bayangkan kita memiliki kewenangan untuk mencegah polusi, dan seseorang mencoba menyuap kita untuk membiarkannya. Walaupun kita mungkin tidak bersedia menerima sejumlah uang untuk membiarkan apa yang kita anggap sebagai perbuatan jahat secara etis, kita tetap punya batasan, karena keterbatasan kemampuan pribadi, tentang seberapa besar kita bersedia membayar untuk menghentikan hal serupa yang orang lain pun mampu untuk mencegahnya. Dua situasi tersebut berbeda dalam hal kejadian pertama adalah tindakan yang di dalamnya kita ikut melakukan kejahatan, sementara yang kedua adalah kejadian yang dilakukan oleh orang lain, yang mungkin kita tidak mampu menghentikannya. Netralitas mensyaratkan bahwa kesediaan untuk menerima (willingness to

accept/WTA) berbeda dari kesediaan untuk membayar (willingness to pay/

WTP), dalam kenyataan bahwa WTP bisa bervariasi.27 Tapi, teori neoklasik

menyejajarkan keduanya, karena gagal memenuhi kriteria pertama.28 Ini

mengecualikan nilai-nilai etis seseorang yang tidak bisa dibayar dengan harga berapa pun, karakteristik yang akan ditolak para pengikut Bentham, walaupun itu bisa mengakomodasi kecenderungan dari orang kikir atau hedonis (secara psikologis). Persisnya hal ini merupakan jenis perilaku yang buktinya banyak diberikan oleh contoh-contoh awal dari dunia Islam. Sementara banyak orang awam di negara Islam mungkin mengabaikan atau melanggar hukum lingkungan sekuler dan terbebas dari hukuman, sekali saja “hukum Tuhan” dijelaskan, mereka langsung tunduk karena mereka menganggap itu sebagai kewajiban yang absolut.

Analisis cost-benefit konvensional bahkan lebih problematik ketika kita mempertimbangkan risiko dan ketidakpastian. Risiko mencakup pengetahuan akan probabilitas hasil dan kondisi alam yang berbeda-beda, sementara ketidakpastian tidak. Contohnya, karena lingkungan merupakan sistem yang dinamis dan terbuka, kita tidak punya cara untuk mengetahui secara menyeluruh efek polusi yang merusak, yang berarti bahwa kita berada dalam

LINGKUNGAN

HIDUP

DAN

PERUBAHAN IKLIM

334 Waleed El-Ansary

suatu kondisi ketidakpastian bagaimana kita mengantisipasi bencana ekologis. Prospek-prospek kerusakan permanen atau serius memberikan pembenaran kuat untuk mengadopsi apa yang tampak sebagai prinsip pencegahan dalam hukum Islam bahwa “menghindari kerugian/bahaya lebih diutamakan

daripada mencari manfaat.”29 Akal sehat kita juga menganjurkan bahwa kita

bergerak dengan hati-hati dan menghindari risiko.

Tetapi, teori neoklasik menyatakan bahwa kita akan bersedia mene rima satu dolar untuk sebuah risiko kematian jika dengan uang 1 dolar itu kita juga bisa mencegah risiko tersebut, memperluas penyeimbangan WTA dan

WTP terhadap risiko dan ketidakpastian.30 Jadi teori neoklasik memandang

perbedaan-perbedaan kualitatif tersebut dalam terminologi yang sangat kuantitatif. Terlebih lagi, pendekatan ini menyiratkan bahwa “tidak ada perbedaan prinsipil antara membeli hak untuk membebankan kerugian secara sengaja dan membeli hak untuk tidak melakukan upaya pencegahan yang menghilangkan jumlah dan jenis kerugian yang setara secara tidak

sengaja.”31 Sementara itu, posisi demikian tidak dikenal dalam hukum yang

berlaku umum karena perjanjian untuk membiarkan membebankan kerugian (atau, dalam konteks modern, penjualan organ tubuh manusia in situ) tidak bisa tidak ditegakkan jika dihadapkan dengan kebijakan publik, se bagaimana halnya ganti rugi atau kontrak asuransi yang menutupi tindakan kriminal yang dilakukan kelompok sendiri (dan pada titik tertentu bahaya yang ditimbulkan oleh sikap ceroboh itu dapat dikenai hukuman atas tindak an kejahatan). Oleh karena itu, semua keberatan untuk mereduksi kualitas pada kuantitas dalam situasi-situasi yang pasti, berlaku pula pada pilihan lingkungan yang melibatkan risiko atau ketidakpastian a fortiori.

Dengan begitu, adalah suatu kesalahan ranah untuk mengaplikasikan analisis cost-benefit konvensional pada komunitas keagamaan yang mem buat pilihan-pilihan lingkungan berdasarkan signifikasi spiritual dan divergensi antara WTA dan WTP, yang berarti bahwa pendekatan ini ber laku untuk orang

yang kikir dan hedonis dalam ekstrem-ekstrem pre fe rensi individualistis.32

Lagi pula, analisis cost-benefit tidak bisa mengatasi perbe daan komunitas “campuran” antara, misalnya, orang-orang suci dan kelompok hedonis. Satu-satunya cara untuk mengatasi kebuntuan ini adalah dengan mengadopsi posisi filosofis substantif pada signifikasi spiritual alam untuk menentukan apakah WTA mesti sama dengan WTP, karenanya mengecualikan preferensi dari salah satu dari kelompok ini. Kita tidak bisa menghindari pertanyaan dan menekan perdebatan dengan mengklaim bahwa analisis cost-benefit mengakomodasi kedua rangkaian preferensi itu, seperti yang dinyatakan oleh ekonomi neoklasik. Oleh karena itu, penting bagi para ekonom meng akui bahwa teori neoklasik terbatas pada ranah preferensi tertentu dan tidak sekadar