• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh sehingga kebutuhan besi untuk eritropoiesis tidak cukup, ditandai de-ngan gambaran eritrosit hipokrom-mikrositer, kadar besi serum dan saturasi transferin menurun, kapasitas ikat besi total tinggi, dan cadangan besi besi dalam sumsum tulang dan tempat lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali (NAAC, 2005).

2.3.1 Tahapan defisiensi besi

Defisiensi besi berkembang secara bertahap dan biasanya diawali dengan adanya kesetimbangan besi yang negatif, yaitu saat asupan besi tidak dapat meme-nuhi kebutuhan harian zat besi. Kesetimbangan negatif ini pada awalnya akan menipiskan jumlah simpanan besi namun kadar Hb masih tetap normal.

Gambaran jumlah cadangan besi pada tiap tahap perkembangan defisiensi besi dapat dilihat pada Gambar 2.4. Pada tahap awal, mulai terjadi kekurangan zat besi yang bersifat laten; zat besi yang hilang melebihi dari asupan zat besi, sehingga mulai menipiskan cadangan besi di sumsum tulang dan kadar feritin serum pun menurun namun Hct dan Hb masih normal. Selanjutnya besi serum mulai menurun dan dan bertambahnya absorpsi besi ditandai dengan kapasitas pengikatan besi meningkat, tetapi hanya terjadi sedikit sedikit penurunan pada Hct dan Hb. Hilangnya zat besi yang berlanjut terus dan pengambilan besi cadangan tak dapat memenuhi kebutuhan untuk pembentukan eritrosit, maka jumlah eritrosit yang diproduksi menjadi lebih sedikit. Selanjutnya pada akhirnya sintesis hemoglobin menjadi terganggu dan gejala

anemia menjadi lebih jelas; sumsum tulang berusaha mengkompensasi kurangnya zat besi dengan mempercepat pembelahan sel sehingga menghasilkan eritrosit dengan ukuran yang sangat kecil (mikrositik), yang menjadi ciri khas ADB. Pada akhirnya besi jaringan pun mulai hilang yaitu yang berada di hati, kulit maupun otot. Sejalan dengan terus berlanjutnya defisiensi besi maka gejala anemia pun mulai dirasakan semakin memburuk (Berkow, 1997; Wahyuni, 2004; www.virginia.edu, 2006).

Gambar 2.4 Tahapan Defisiensi Besi (www.virginia.edu)

Normal

Penipisan Fe

Anemia defisiensi besi awal Anemia defisiensi besi tahap akhir Anemia defisiensi besi jaringan

sumsum tulang sel darah merah jaringan

2.3.2 Faktor penyebab anemia defisiensi besi

Penyebab anemia defisiensi besi yang paling umum adalah karena pola makan yang tidak memadai terutama kurangnya asupan zat besi yang berasal dari makanan terutama pada masa pertumbuhan yang cepat seperti pada anak-anak, bayi, pubertas, kehamilan (FAO/WHO, 2002), masalah malabsorpsi zat besi serta adanya kehilangan

darah secara kronis yaitu terutama perdarahan akibat luka peptikum, karsinoma kolon ataupun lambung, konsumsi obat-obatan yang mengiritasi lambung (aspirin, anti-inflamasi non-steroid, steroid, antikanker seperti fluorourasil, mitramisin, dan daktinomisin), adanya infeksi parasit, serta perdarahan pada saluran kemih (terutama pada pria dewasa dan wanita pascamenopause) maupun kondisi menstruasi yang berat (terutama pada wanita usia 15 - 45 tahun) (Ivey, 1986; Gennaro, 2000).

Individu yang mengalami gagal ginjal terutama yang harus didialisis, beresiko tinggi mengalami ADB. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal memproduksi eritropoietin dalam jumlah yang cukup untuk dapat membentuk sel darah merah. Baik zat besi maupun eritropoietin dapat hilang saat dialisis. Oleh karena itu penderita dialisis harus diberi tambahan zat besi dan eritropoietin sintetis untuk mencegah defisiensi besi (NIH/ODS, 2005).

2.3.3 Gejala klinik anemia defisiensi besi

Gejala yang menyertai defisiensi besi tergantung pada kecepatan perkembangan anemia. Pada kasus perdarahan kronik dan lambat, tubuh beradaptasi terhadap peningkatan anemia yang lambat dan penderita dapat mentoleransi kadar Hb yang sangat rendah (Gasche, et.al., 2004; Provan, 2007). Berbagai gejala anemia dihasilkan akibat menurunnya kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah yaitu seperti mudah lelah, lemah, lesu, muka pucat, kuku mudah pecah, kurang selera makan, nafas pendek, hingga menurunkan ketahanan serta kinerja fisik, sehingga menurunkan kapasitas kerja selain juga dapat dapat mempengaruhi fungsi kognitif

seperti konsentrasi belajar rendah dan memperlambat daya tangkap pada anak-anak usia sekolah, remaja putri dan sebagainya (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al., 2000; AHFS, 2002). Defisiensi besi selanjutnya dapat menyebabkan kekurangan energi dan depresi sistem kekebalan sehingga meningkatkan resiko terhadap infeksi dan penyakit (Timmcke, 2005). Pada kehamilan, ADB berkaitan dengan meningkatnya resiko kelahiran prematur, mengganggu pertumbuhan janin dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan rendah, dan kematian ibu hamil saat melahirkan. (Suartika, 1999; Zavaleta, et.al., 2000).

Defisiensi besi kemungkinan juga akan menimbulkan gejala yang khas yaitu pika/geofagia (memakan bahan non-nutrisi seperti sampah dan tanah liat), glositis, dan pecah-pecah pada pinggir mulut (kheilosis) dan di kuku jari sehingga tampak seperti sendok (koilonisia); hal ini terutama terjadi pada defisiensi besi kronik (Berkow, 1997). Pada anemia yang parah, dapat terjadi takikardia dan gagal jantung.

Namun terkadang tidak ada keluhan yang dirasakan bila penderita mengalami anemia defisiensi besi ringan yang akan baru diketahui mengalami anemia bila dibuktikan melalui tes darah yang menunjukkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) cukup rendah (< 12 g/dL pada wanita; < 13 g/dL pada pria). Gejala biasanya baru tampak jika anemia berada pada tingkat moderat ataupun parah (Mukhopadhyay, 2002).

2.3.4 Diagnosis anemia defisiensi besi

Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan darah serta sumsum tulang bila perlu. Untuk memudahkan keseragaman

diagnosis anemia defisiensi besi, WHO menetapkan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kriteria Hematologi untuk Diagnosa Anemia Defisiensi Besi

Parameter Hematologi ADB Normal

Hemoglobin Pria dewasa

wanita dewasa (tak hamil) wanita dewasa (hamil)

< 13 g/dL < 12 g/dL < 11 g/dL 15 g/dL 13 -14 g/dL 12 g/dL Feritin serum < 12 μg/L 12 – 200 μg/L Besi Serum < 50 μg% 80 -160 μg%

TIBC (Total Iron Binding Capacity) > 400 μg% 250 – 400 μg%

Saturasi transferin < 15 % 30 – 35 %

MCHC (mean corpuscular haemoglobin

concentration)

< 31 % 32 -35 %

Feritin serum yang rendah merupakan indikator defisiensi besi terbaik oleh karena merupakan parameter pertama yang mengalami penurunan dan lagipula kadar feritin serum mencerminkan status cadangan besi (GPAC, 2004; PSC, 2005).

Rendahnya serum feritin menunjukkan serangan awal defisiensi besi, namun tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi tersebut karena variabilitasnya sangat tinggi. Kadar feritin serum kurang dari 15 μg/L menunjukkan bahwa cadangan besi benar-benar telah deplesi. Jika kadar feritin serum di atas 20 μg/L hingga 30

μg/L menunjukkan bahwa masih ada zat besi di tempat penyimpanan tetapi

kemungkinan tidak akan memadai untuk memenuhi kebutuhan progenitor proliferasi eritrosit (Gasche, 2004; Harper, 2007)

Dalam beberapa kasus, tes monitoring terapi besi dengan dosis dewasa 180 mg Fe/hari dapat diberikan. Peningkatan Hb 10 - 20 g/L dalam 2 – 4 minggu merupakan kriteria diagnostik untuk defisiensi besi (GPAC, 2004).

Jika defisiensi besi telah dipastikan, maka perlu dilakukan penelusuran klinis secara lengkap termasuk adanya kemungkinan sejarah perdarahan gastrointestinal atau adanya malabsorpsi (misal pada penyakit seliak) untuk memastikan penyebab defisiensi besi yang sesungguhnya untuk kemudian diobati.

2.3.5 Manajemen anemia defisiensi besi

Manajemen ADB yang efektif tergantung pada manajemen yang efektif terhadap penyebab mendasar ADB dan terapi dengan zat besi (Provan, 2007). Prinsip terapi anemia adalah berusaha mengatasi penyebab anemia untuk mencegah kehi-langan zat besi lebih lanjut. Sedangkan sebagai tujuan dari terapi ADB adalah untuk mengkoreksi kurangnya massa hemoglobin dan mengembalikan simpanan besi yaitu dengan memberikan sediaan besi kepada semua penderita ADB (Mukhopadhyay, 2002). Respon pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk di dalamnya adalah beratnya defisiensi yang terjadi, adanya penyakit lain yang menyertai, kemampuan penderita untuk menerima dan mengabsorpsi sediaan besi. Terapi yang efektif diikuti oleh meningkatnya produksi sel darah merah (Wibowo, 2006).

Suplementasi besi dipilih jika dengan makanan saja tidak dapat mengembalikan kadar besi ke nilai normal dan ini menjadi penting jika penderita telah mengalami gejala klinik dari ADB. Dalam hal ini terapi penggantian besi secara oral merupakan

cara utama yang dipilih untuk terapi ADB. Jika penderita tidak memberikan respon terapi yang memadai, tidak dapat mentoleransi sediaan besi oral, adanya masalah malabsorpsi, ataupun karena adanya perdarahan yang berlangsung terus-menerus dengan pemberian sediaan besi oral, maka pemberian melalui rute parenteral dapat dipertimbangkan. Rute intravena merupakan yang lebih disukai karena rute intramuskular memberikan sifat absorpsi yang tak dapat diprediksi serta kemungkinan timbulnya komplikasi lokal (Little, 2002).

Dokumen terkait