• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data primer yang dikumpulkan dari 210 responden, peneliti mendapatkan 123 responden (58,6 %). Sehingga peneliti dapat melakukan analisis mengenai permasalahan penyakit anemia remaja

Anemia adalah kondisi dimana terjadi penurunan jumlah eritrosit dalam darah atau menurunnya hemoglobin darah di bawah jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh (Mahan dan Escott-Stump, 2008). Menurut Khaidir (2007), sebagian besar anemia disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah. anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang dan lainnya. Menurut Kurniawan (2002), tanda-tanda anemia meliputi lesu, lemah, letih, lelah, lunglai (5L), sering pusing dan mata berkunang-kunang, dan mudah pucat. Gejala umum anemia menurut Wiwik (2008) adalah lesu, cepat lelah, sakit kepala, berkunang-kunang, warna kulit dan mukosa pucat, dan gangguan haid.

Tabel 3.31 Distribusi Remaja Yang Mengalami Gejala Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung

Gejala Anemia Pada Remaja n %

Ya 11 8.9

Tidak 112 91.1

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.31, diketahui terdapat sebanyak 11 orang yang memiliki gejala anemia dari total 210 responden. Dilihat dari sudut pandang H.L. Blum Anemia Remaja disebabkan oleh empat faktor yaitu karakteristik responden, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan.

a. Perilaku

Perilaku yang berhubungan dengan kejadian anemia adalah perilaku makan yang tidak sesuai. Perilaku makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan perilaku yang berhubungan dengan tata karma makan, frekuensi makan, pola makan, kesukaan makan dan pemilihan makanan (Tan dalam Fadjria, 2008). Perilaku makan yang berkaitan dengan anemia di antaranya adalah perilaku konsumsi makanan yang mengandung zat besi, perilaku konsumsi buah yang mengandung vitamin C, perilaku konsumsi kopi/teh setelah makan, perilaku sarapan dan frekuensi makan.

Zat besi merupakan zat gizi yang esenial bagi tubuh. Zat besi berfungsi dalam pembentukan sel darah merah yaitu dalam sintesis hemoglobin. Kekurangan zat besi merupakan pencetus terjadinya anemia (Mahan dan Escott-Stump, 2008).

Tabel 3.32 Distribusi Konsumsi Makanan Yang Mengandung Zat Besi Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok

Betung Tahun 2016 Konsumsi Makanan Yang

Mengandung Zat Besi N %

Ya 98 79.7

Tidak 25 20.3

Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.32 diketahui sebanyak 20.3% remaja yang tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi.

Asupan zat besi menjadi salah satu faktor meningkatnya anemia pada remaja. Hal ini didukung oleh penelitian Arifin et al. (2013) diketahui adanya hubungan yang bermakna antara asupan Fe dengan kejadian anemia. Penelitian Pratiwi (2016) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan Fe dengan kejadian anemia. Asupan zat besi yang baik erat kaitannya dengan asupan vitamin C. Hal ini dikarenakan vitamin C berfungsi dalam absorpsi dan metabolisme zat besi. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nomhem meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C (Almatsier, 2006).

Tabel 3.33 Distribusi Konsumsi Buah Yang Menangandung Vitamin C Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas

Pondok Betung Tahun 2016 Konsumsi Buah Yang

Mengandung Vitamin C N %

Ya 50 40.7

Tidak 73 59.3

Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.33 diketahui sebanyak 59.3% remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung tidak mengkonsumsi buah yang mengandung vitamin C. Kurangnya asupan vitamin C merupakan faktor meningkatnya kejadian anemia. Hal ini didukung oleh penelitian Kirana (2011) yang menyatakan bahwa semakin banyak asupan vitamin C maka akan semakin tinggi pula kadar hemoglobin yang kemudian mengurangi kejadian anemia. Penelitian Pratiwi (2016)mengatakan bahwa seseorang yang

memiliki asupan vitamin C tidak baik maka berpeluang 1.585 kali untuk menderita anemia defisiensi besi.

Jika mengkonsumsi vitamin C mempercepat absorpsi dan metabolism zat besi, maka sebaliknya mengkonsumsi teh dan kopi akan menghambat penyerapan zat besi. Linder dalam Pratiwi (2016) menyatakan bahwa tanin yang terdapat dalam the dan dauh-daun sayuran tertentu dapat menurunkan absorpsi besi. Hal ini juga didukung oleh Guthrie dalam Pratiwi (2016) yang menyatakan bahwa konsumsi kopi atau teh satu jam sesudah makan akan menurunkan absorpsi besi sampai 40% untuk kopi dan 85% untuk teh, karena terdapat suatu zat polyphenol seperti tanin yang terdapat pada teh.

Tabel 3.34 Distribusi Konsumsi Teh/Kopi Sesudah atau Sebelum Makan Pada Remaja di Wilayah Kerja

Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016 Konsumsi Teh/Kopi

Sesudah atau Sebelum Makan

N %

Ya 59 48

Tidak 64 52

Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.34, diketahui terdapat sebanyak 48% remaja yang mengkonsumsi teh atau kopi pada saat sesudah atau sebelum makan. Mengkonsumsi teh atau kopi pada saat sebelum atau sesudah makan merupakan faktor meningkatnya kejadian anemia. Penelitian Suni et al. (2016) yang mengatakan bahwa semakin sering kebiasaan minum teh maka semakin rendah pula kadar hemoglobin yang kemudian meningkatkan resiko anemia pada orang yang memiliki kebiasaan minum teh sebanyak 0.025 kali. Selain itu, penelitian Satyaningsih (2007) menyatakan bahwa

remaja putri yang memiliki kebiasaan minum teh lebih dari satu gelas per hari memiliki resiko 2.023 kali menderita anemia.Selain perilaku konsumsi makanan yang mengandung zat besi serta konsumsi vitamin C dan zat penghambat absorpsi vitamin C, frekuensi makan juga merupakan salah satu faktor yang meningkatkan kejadian anemia.

Tabel 3.35 Distribusi Frekuensi Makan Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016

Frekuensi Makan N %

<3 kali 58 47.2

≥ 3 kali 59 48

Tidak Tentu 6 4.9

Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.35, diketahui terdapat sebanyak 47.2% remaja dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali sehari. Menurut Raptauli (2012), remaja dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali sehari memiliki peluang menederia anemia 1.729 kali dibandingkan dengan remaja dengan frekuensi makan lebih dari sama dengan 3 kali sehari.

Sarapan pagi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian anemia. Menurut Permaesih dan Herman (2005), kebiasaan sarapan pagi memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya anemia. Seseorang yang tidak sarapan pagi memiliki resiko 1.6 kali lebih besar mengalami anemia dibandingkan yang terbiasa sarapan pagi.

Tabel 3.36 Distribusi Kebiasaan Sarapan Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016

Kebiasaan Sarapan N %

Ya 73 59.3

Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel analisis, diketahui sebanyak 40.7% remaja putri di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung tidak terbiasa sarapan pagi. Tidak sarapan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian anemia. Dalam penelitian Tandirerung et al. (2013) dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan pagi dengan kejadian anemia. Kalsum dan Halim (2016) menyatakan bahwa remaja yang tidak punya kebiasaan sarapan pagi sebelum beraktivitas berpeluang dua kali lebih besar untuk terkena anemia dibanding yang punya kebiasaan sarapan pagi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku makan remaja di wialayah kerja Puskesmas Pondok Betung baik seperti yang tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 3.37 Gambaran Perilaku Makan Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung 2016

No Perilaku

Makan

N %

2 Baik 77 62,6

3 Total 123 100

Sumber: Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.37, diketahui bahwa responden yang berperilaku makan baik lebih banyak daripada responden yang berperilaku makan kurang bauk yaitu sebanyak 77 dari 210 responden (62,6%)

b. Karakteristik Responden

Faktor determinan selanjutnya selain perilaku adalah karakteristik responden yaitu status dan pola menstruasi. Status menstruasi, menurut depkes (1998) anemia pada remaja putri disebabkan karena masa remaja adalah masa pertumbuhan yang membutuhkan gizi lebih tinggi termasuk zat besi. selain itu pada usia remaja akan mengalami menstruasi(edelson & Meek 2005) pada saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam tubuh serta dapat menyebabkan pengeluaran zat besi yang terdapat dalam hemoglobin . remaja yang telah menstruasi memiliki risiko anemia. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arumsari (2008) yang menyatakan bahwa Menstruasi pada wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi zat besi.

Tabel 3.38 Distribusi Frekuensi Status Menstruasi Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016

Belum Menstruasi 25 20,3

Total 123 100

Sumber : Data Primer Mahasiswa Tahun 2016

Berdasarsarkan tabel 3.38 diatas diketahui dari 123 responden terdapat 98 responden (79%) yang telah mengalami menstruasi . Pola menstruasi remaja merupakan salah satu penyebab remaja mengalami anemia defisiensi besi(Sediaoetama.2003). Remaja dengan siklus menstruasi yang baik mengalami mesntruasi setiap 28 hari (Hamilton.1995). remaja yang mengalami siklus lebih atau kurang dari 28 hari dapat dikatakan memiiki siklus menstruasi tidak normal. Remaja yang mengalami pola menstruasi tidak normal memiliki potensi besar mengalami anemia (Depkes.RI.1998).menurut hestiana (2003) ketidak normalan pola menstruasi dapat dikeompokkan menjadi 3 yaitu berdasarkan frkuensi menstruasi, banyak darah yang keluar dan ama masa menstruasi.

Menurut Pratiwi (2015) remaja yang memiliki frekuensi menstruasi lebih dari 1 kali setiap bulan dan masa menstruasi lebih dari 7 hari, akan kehilangan zat besi diatas jumlah rata-rata sehingga memiliki risiko 49,5 kali lebih besar mengalami Anemia.

Tabel 3.39 Pola Menstruasi Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016

N o Pola Menstrua si N % 1 Normal 74 60,

2 2 Tidak Normal 49 39, 8 Total 12 3 10 0 Sumber : Data Primer Mahasiswa Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.39 diketahui Bahwa dari 123 remaja sebagai responden sebagian besar remaja memiiki pola menstruasi Normal yaitu sebanyak 74 remaja (60,2%) dengan spesifikasi sebagai berikut: seluruh Responden adalah remaja yang berusia 10-19 tahun dan seuruh responden telah mengalami menstruasi, sebagian besar responden mengalami menstruasi Normal yaitu memiliki frekuensi 1 kali dalam sebulan dengan lama menstruasi 3-7 hari.

c. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian anemia. Puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan masyarakat memiliki tanggung jawab berupa pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan kepada remaja putri atau wanita usia subur (WUS), penyediaan paket penyuluhan/kurikulum kesehatan dan gizi untuk remaja putri dan WUS, penyediaan tablet tambah darah (TTD), dan pelaksanaan penyuluhan kesehatan dan gizi serta konseling (Depkes, 2008).

Tabel 3.40 Distribusi Konsumsi Tablet Tambah Darah Pada Remaja di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung Tahun 2016

Konsumsi Tablet Tambah

Darah N %

Ya 9 7.3

Tidak 114 92.7

Sumber : Data Primer Mahasiswa Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.40, diketahui dari 123 remaja yang menjadi responden hanya 7.3% yang mengkonsumsi tablet tambah darah. Meski demikian, berdasarkan pernyataan Ahli Gizi Puskesmas Pondok Betung, program pemberian tablet tambah darah sudah berjalan begitu pula dengan penyuluhan-penyuluhan ke setiap sekolah yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung di Tahun 2016, namun karena ketidaktahuan remaja mengenai anemia kebanyakan dari remaja tidak mengkonsumsi tablet tambah darah sebelum diadakannya penyuluhan.

3. Diare

Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus. Terdapat beberapa pendapat tentang defenisi penyakit diare. Menurut WHO (2005), penyakit diare adalah gejala yang umum, di mana penderita diare buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah. Sedangkan menurut Depkes RI (2005) secara operasinoal diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 14 hari.

Tabel 3.41 Kasus Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung pada periode

September-November 2016

No Kasus Diare N %

1 Ya 34 16,2

2 Tidak 176 83,8

3 Total 210 100

Sumber : Data primer mahasiswa PBL Tahun 2016

Berdasarkan tabel 3.41, diketahui bahwa responden yang tidak mengalami diare dalam periode September-November 2016 lebih banyak daripada responden yang mengalami diare yaitu sebanyak 176 responden dari 210 responden (83,8 %).

Tabel 3.42 Anggota Keluarga yang Mengalami Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung

pada Periode September-November 2016

No Anggota Keluarga yang

Mengalami Diare N %

1 Balita 6 17,64

2 > 5 Tahun 28 82,63

3 Total 34 100

Sumber : Data primer mahasiswa Pengalaman Belajar Lapangan Tahun 2016.

Berdasarkan tabel 3.42, diketahui bahwa responden dalam periode September-November 2016 lebih banyak terjadi pada responden yang berusia diatas dari 5 tahun daripada responden yang masih balita yaitu sebanyak 28 responden dari total 34 responden yang mengalami diare (82,63 %).

Dilihat dari sudut pandang H.L Blum terjadinya penyakit disebabkan karena empat faktor, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan

demografi. Namun dari hasil observasi dan

wawancara mahasiswa ke masyarakat sekitar Pondok Betung dan Pihak Puskesmas Pondok Betung, faktor pelayanan kesehatan tidak menjadi faktor determinan dari diare dikarenakan kondisi demografi di Wilayah Kerja Puskesmas Pondok Betung akses pelayanan kesehatan masih bisa dijangkau. Selain itu masyarakat dalam menangani penyakit diare bisa mencari pengobatan di warung atau pengobatan tradisional.

a. Perilaku

Faktor perilaku yang berhubungan dengan kejadian diare adalah PHBS, Pemberian ASI Eksklusif, cuci tangan, hygine personal, dan penggunaan jamban. Berikut penjelasan dari faktor-faktor tersebut.

Pertama adalah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hubungan antara PHBS dengan kejadian diare di analisis dengan uji chi-square test yang diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS). Hasil perhitungan statistik yaitu pvalue (0,000) < p-value alpha/ α (0,05) sehingga H0 ditolak, artinya terdapat hubungan yang bermakna antara PHBS dengan kejadian diare pada sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Banjarbaru Utara.

Grafik 3.1 Presentase Rumah Tangga Berprilaku Hidup Bersih Sehat Puskesmas Pondok Betung Tahun 2015

Target Pondok Betung Pondok Karya Puskesmas 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 100% 80% 82% 81%

PERSENTASE RUMAH TANGGA BERPERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT

Dokumen terkait