BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN dalam bab terakhir ini, penulis
PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM PERJANJIAN, KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM PERJANJIAN JUAL – BELI
1. Apakah Peraturan Dari Pasal Itu Tidak Merupakan Suatu Ketentuan Yang Keliru, Yang Tidak Sesuai Dengan Sistim Jual Beli Dan
Pemindahan Hak Milik Yang Dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yang Mengandung Maksud Bukankah Musnahnya Barang Tersebut Si Pembeli Belum Merupakan Pemilik ?
Untuk agar lebih terarah dan terperincinya pembahasan pemecahan ini, kami akan memberikan sistematika pemecahannya.
- Keterikatan untuk melaksanakan perjanjian
Sistematika Pemecahan
- Saat lahirnya perjanjian jual beli dan sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Tanggapan Instansi Peradilan Terhadap Pasal-Pasal Yang Dimaksudkan. - Dengan memanfaatkan Sistim Terbuka Yang Dianut Hukum Perjanjian.
- Kebiasaan yang hidup dan tumbuh menjadi suatu hukum kebiasaan yang berlaku umum.
Berjanji untuk sesuatu adalah berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu.
Keterikatan Untuk Melaksanakan Perjanjian
Bila kita tanyakan, apakah yang menyebabkan seseorang terikat pada janjinya ?
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, menyatakan, dalam masyarakat adalah suatu syarat penting untuk tata tertib didalamnya, bahwa orang dapat dipercaya, apabila ia berjanji sesuatu. Maka pada pokoknya hukum mewajibkan seseorang yang berjanji itu, untuk melaksanakan janji. Untuk kepentingan orang itu adalah baik, apabila ia menepati janji, sebab kalau tidak, dikemudian hari ia akan disingkiri oleh kawan bergaul hidup dalam masyarakat, dengan akibat bahwa ia sukar akan mendapat janji pula dari orang lain guna memenuhi kepentingannya. 50
Dr. Sunarjati Hartono, SH mengatakan, keadilanlah yang menghendaki agar orang menepati janjinya. Karena setiap perjanjian senantiasa mengganggu keseimbangan, keseimbangan ini selalu harus dikembalikan (restored) oleh pelaksanaan perjanjian tersebut, agar supaya setiap orang menerima apa yang menjadi haknya. 51
Memang adalah benar didalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis antara sesama individu dengan individu maupun antara individu dengan masyarakat (ke dewi tunggalan antara individu dan kesatuan pergaulan hidup), harus mematuhi, mentaati norma-norma yang ada terdapat
50 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-azas Hukum Perjanjian Cet Kesembilan Penerbit “Sumur-Bandung” 1981.
dalam pergaulan hidup masyarakat. Dan pantaslah apabila seseorang yang melakukan perbuatan melanggar norma-norma itu, akan menerima sanksi dari masyarakat sekitarnya. Misalnya, disingkirkan oleh kawan bergaul hidup dalam masyarakat. Oleh sebab itu suatu perbuatan yang melanggar norma-norma adalah merupakan noda hitam baginya.
Selanjutnya Dr. Sunarjati Hartono, SH mengatakan, didalam hukum Romawi pada awal mulanya tidak terdapat suatu Hukum Perjanjian. Akan tetapi jika seorang telah menyalahi sumpahnya akan memenuhi janjinya, maka ia akan dihukum oleh Pendeta-pendeta Romawi, menurut ajaran agama Romawi. Dan karena seseorang yang menyalahi sumpahnya merupakan bahaya bagi masyarakatnya (karena menimbulkan marah dari dewa-dewa), ia dikorbankan kepada dewa-dewa. 52
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi pelbagai kewajiban seorang yang berjanji itu kepada lain orang sebagai pelaksanaan perjanjian, ke-I untuk menyerahkan suatu barang, ke-2 untuk berbuat sesuatu, ke-3 untuk tidak berbuat sesuatu demikian menurut pasal 1234.
Untuk hal ke-I, bila seorang A berkewajiban menyerahkan suatu barang kepada lain orang dalam hal ini ada dua kemungkinan yaitu ;
1. Memindahkan hak milik barang tersebut 2. Tidak memindahkan hak milik barang tersebut
Dalam kemungkinan pertama adalah misal, jual beli, tukar-menukar, hibah.
52 Dr. Sunarjati Hartono, SH. Ibib. Hal 26
Dalam kemungkinan kedua adalah misal, pinjam pakai, sewa-menyewa, penitipan barang.
Memindahkan hak milik menurut hukum harus dilakukan dengan aturan (prosedur) yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa “levering” adalah suatu cara untuk memindahkan dan memperoleh hak milik. Pasal ini menyebut beberapa cara untuk memperoleh hak milik tetapi dalam zaman sekarang inti dari antara sekian macam cara itu, maka levering adalah yang terpenting, yang paling banyak terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Pada hakekatnya dengan “levering” itu dimaksudkan adalah pemindahan hak milik atas suatu benda dari satu tangan ke tangan orang lain, sehingga berakibat bahwa orang yang menerima hak itu menjadi pemilik dari benda tersebut.
Dalam pemakaian levering dibagi menjadi dua bentuk yaitu; feitelijke levering dan juridische levering.
1. Feitelijke levering ialah tindakan penyerahan kekuasaan secara nyata terhadap sesuatu benda ke tangan orang lain sehingga orang lain tadi secara nyata menguasai benda itu.
2. Juridische levering ialah tindakan dimana seorang menyerahkan hak eigendomnya terhadap sesuatu benda kepada seseorang lain yang oleh orang yang bersangkutan diterima.
Sedangkan levering itu sesuai dengan macamnya barang dibedakan atas tiga macam :
1. Penyerahan barang bergerak 2. Penyerahan barang tak bergerak 3. Penyerahan barang tak bertubuh.
Di dalam barang tak bergerak, feitelijke levering lazimnya jatuh bersamaan dengan juridische levering. Jadi dengan menyerahkan secara nyata barnag tersebut, orang yang menerimanya telah menjadi eigenar, bahkan tak perlu melakukan penyerahan, bila sebelumnya barang itu dikuasai oleh orang yang akan menerimanya. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut : “Penyerahan akan barang bergerak, selainnya barang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata barang tersebut oleh atau atas nama pemilik, atau hanya dengan menyerahkan kunci-kunci dari bangunan dimana barang itu adanya” Ayat I
“Pun penyerahan tak perlu dilakukan bilamana barang yang harus diserahkan, dengan alas hak lain, orang yang akan menerimanya telah menguasai barang itu”.
Untuk barang tetap atau tak bergerak, dengan feitelij levering hak milik belum berpindah, hak milik baru akan berpindah dengan juridische levering, yaitu dengan penulisan yang dinamakan “balik nama” (“overschrijving”) dimuka Pegawai Kadaster atau pegawai penyimpan hipotik demikian isi ketentuan pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620.
Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 613 yang berbunyi : “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan
membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
“Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis disetujui dan diakuinya”.
“Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”
Dari apa yang diuraikan diatas kita dapat melihat bahwa perbuatan “levering” adalah perbuatan juridis untuk memindahkan hak milik dari suatu barang.
Saat Lahirnya Perjanjian Jual – Beli dan Sistim Jual-Beli Yang Dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jual – beli suatu perjanjian timbal balik, dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk berwajib membayar harga yang telah mereka sepakati. Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga.
Sesuai dengan azas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga, meskipun harganya belum dibayar ataupun barang belum diserahkan (pasal 1458).
Tetapi apakah makna kedua ketentuan diatas itu mengandung arti bahwa hak milik atas barang tersebut telah berpindah kepada si pembeli.
Terhadap pertanyaan ini baiklah kita melihat apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH sebagai berikut : Hukum B.W. mengatakan dalam pasal 1457 dan 1458, bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dimana satu pihak mengikatkan diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk berwajib membayar harga (prijs) dimufakati antara mereka berdua. Dan selanjutnya pasal 1475 B.W. mengatakan bahwa penyerahan (levering) ini adalah penyerahan (overdracht) barang oleh penjual ke arah kekuasaan dari pihak pembeli.
Pasal-pasal ini adalah tiruan dari pasal-pasal 1493, 1494 BW Negri Belanda. Dan disana para ahli hukum tidak semufakat dalam penafsiran pasal-pasal ini.
Ada yang berpendapat, bahwa perkataan “penyerahan” kini hanya berarti penyerahan belaka dari tangan si penjual ke tangan si pembeli (perjanjian jual beli sudah memindahkan hak milik) diantaranya Hofmann, dan ada yang berpendapat bahwa perkataan “penyerahan” kini meliputi juga penyerahan hak milik, diantaranya Kamphuisen dan Van Brakel. Tetapi Hofmann akhirnya berpendapat, bahwa si penjual juga berwajib untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diserahkan itu. Hanya saja kewajiban ini tidak diambil dari pasal 1493 dan 1511, melainkan dari bagian lain dari hukum dengan mengingat tujuan yang sesungguhnya dari jual beli.
Pasal 584 BW, menyebutkan beberapa cara untuk memindahkan hak milik, diantaranya juga disebut penyerahan sebagai akibat dari suatu eprsetujuan atau perbuatna hukum yang bermaksud memindahkan hak milik atas suatu barang dari tangan seorang ke tangan seorang lain.
Berhubung dengan pasal ini maka penetapan pengertian dari jual beli dalam pasal 1457 BW, yang menyebutkan sebagai unsur dari jual beli hanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang adalah berarti, bahwa dengan adanya persetujuan jual beli ini, barang yang bersangkutan belum pindah hak miliknya kepada si pembeli.
Pemindahan hak milik baru akan terjadi apabila barangnya sudah diserahkan ke tangan si pembeli. 53
Dalam hal ini, oleh para ahli hukum Belanda dikatakan bahwa perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoir” (mengikat), tidak mempunyai “zakelijke werking”, artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.
Jadi selama penyerahan itu belum terjadi maka hak milik atas barang itu tetap berada ditangannya si penjual. Ini ditegaskan lagi dalam pasal 1459 BW.
54
Mengenai apa yang kita lihat dengan ulasan yang diberikan Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro diatas, adalah tepat sekali. Dimana bahwa perjanjian jual beli itu hanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barangnya adalah mengandung arti : bahwa adanya perjanjian jual-beli, hak milik atas barang yang bersangkutan belum berpindah kepada si pembeli.
53 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Loc cit hal 18. 54 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Ibid hal 18.
Penafsiran beliau terhadap pasal 1457 dan 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selaras dengan azas “konsensualitas” dan sistim perjanjian jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selaras dengan azas “konsensualitas” dan sistim perjanjian jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat “obligatoir” saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak; pihak penjual dan pihak pembeli yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak utnuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan di sebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dalam tahap ini lazim disebut dengan istilah “obligatoir overeenkomst”. Dengan lain perkataan, hanya dengan ditutupnya perjanjian jual beli menurut sistim yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belum memindahkan hak milik, dan hak milik baru akan berpindah dengan dilakukannya “levering”. Tahap ini lazim disebut dengan istilah “zakelijke overeenkomst”, yaitu suatu perjanjian dimana kedua belah pihak menyatakan kehendaknya untuk memberikan hak (hak milik; “eigendom”) atas benda yang diserahkan kepada pihak yang memperoleh benda tersebut.
Terhadap sifat jual beli hanya “obligatoir” saja untuk lebih jelasnya kita dapat melihat pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi; “Hak milik atas kebendaan yang dijual tidak akan berpindah kepada si pembeli selamanya belum dilakukan penyerahan”.
Apa yang dapat kita lihat dari ketentuan pasal 1459 diatas tersebut ? Si pembeli bukanlah merupakan seorang pemilik terhadap barang yang dibelinya selama penyerahan akan barang itu oleh penjual belum dilakukan. Jadi pembeli baru akan merupakan pemilik terhadap barang yang dibelinya setelah pihak dari penjual atau si penjual melakukan penyerahan.
Bila kita telaah isi ketentuan pasal 1459 tersebut diatas, adalah sebenarnya merupakan suatu pernyataan kepada kita bahwa di satu pihak sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya bersifat “obligatoir”, dan di pihak lain bahwa hak milik itu dapat berpindah hanya dengan penyerahan (levering).
Dengan uraian-uraian diatas, akhirnya kami berkesimpulan bahwa : 1. Lahirnya atau ditutupnya perjanjian jual beli bukanlah berarti hak milik atas
barang yang menjadi objek perjanjian telah berpindah. Tetapi laharnya atau ditutupnya perjanjian jual-beli baru hanya meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak secara bertimbal balik (“obligatoir”)
2. Hak milik baru berpindah setelah adanya penyerahan (“levering”)
Manakala setelahnya kita mengetahui azas “konsensualisme” yang dianut Hukum Perjanjian, sudah barang tentu azas tersebut menjiwai seluruh perjanjian-perjanjian di dalamnya, walaupun ada satu dua perjanjian-perjanjian kecualinya.
Azas tersebut yang antara lain menjiwai perjanjian jual-beli. Sehingga dengan demikian tercapai “kesepakatan” mengenai hal-hal yang pokok dalam jual beli maka perjanjian telah dilahirkan. Tetapi ternyata hal ini bukan mengandung arti hak milik atas barang tersebut telah berpindah dari penjual ke pembeli, hal ini
karena sistim jual-beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya obligatoir saja. Maka untuk pemindahan hak milik itu diperlukan suatu perbuatan yuridis yaitu “levering”
Selanjutnya untuk pemecahan masalah-masalah yang timbul akibat pengaturan soal risiko dalam perjanjian jual beli, baiklah kita melihat kembali pasal-pasal yang bersangkutan.
Pasal 1460 berbunyi ; “Apabila barang yang dijual itu merupakan suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu semenjak perjanjian jual beli ditutup adalah atas tanggungan si pembeli, walaupun penyerahan akan barang belum dilakukan dan berhaklah si penjual menuntut harganya”.
Semenjak perjanjian jual beli ditutup dan bila barang yang menjadi objek perjanjian jual beli merupakan suatu barnag yang sudah ditentukan, maka kerugian dengan musnahnya barang adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh pembeli walaupun barangnya belum diserahkan. Demikian menurut isi ketentuan pasal tersebut, sehingga menurut hemat kami isi ketentuan itu mengandung arti, bahwa hak milik atas benda tersebut telah berpindah kepada pembeli sejak perjanjian jual beli dilahirkan. Betapa tidak, oleh karena sejak detik itu benda itu telah menjadi tanggungan pembeli.
Bukankah seorang pemilik akan bertanggung jawab atas barangnya?
Bagaimana tanggapan kita terhadap isi ketentuan pasal 1460 ini bila kita identikan dengan system jual-beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sebagaimana dengan apa yang kami telah uraikan pada halaman yang sudah lalu. Pada halaman itu kami telah utarakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam jual-beli hanya bersifat obligatoir saja, yaitu perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak. Meletakkan kewajiban kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang itu dan memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran sedang dipihak lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga dan memberikan hak kepadanya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang itu. Sedangkan hak milik baru berpindah dengan dilakukannya “Levering”. Jadi tegasnya ditutupnya perjanjian jual beli bukan berarti hak milik atas benda itu telah berpindah kepada pembeli atau pembeli telah menjadi pemilik, tetapi ditutupnya perjanjian jaul beli itu baru hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan pembeli baru akan merupakan pemilik terhadap kebendaan itu dengan dilakukannya penyerahan oleh penjual dan oleh pembeli diterima.
Dalam keadaan ini perjanjian jual beli baru berdaya langsung terhadap kedudukan barangya.55 Sehingga sebelum penyerahan dilakukan penjual masih tetap pemilik
kebendaan itu. Oleh karena itu apabila si penjual jatuh pailit atau dilakukan penyitaan terhadap harta benda si penjual (pailisemen dapat dianggap sebagai suatu “penyitaan umum”) maka barang tersebut diatas disita sebagai miliknya si penjual atau masih termasuk dalam harta kekayaan (“boedel”) sipenjual. 56
55 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro SH, Ibid. 56 Prof. R. Subekti SH, Loc Cit, hal. 58
Maka karena itu isi ketentuan pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut merupakan suatu kekeliruan yang tidak sesuai dengan system jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Perdata.
Kita telah mengetahui bahwa isi ketentuan pasal tersebut diatas merupakan suatu keganjilan atau kekeliruan. Berikutnya bagaimana dengan isi ketentuan pasal 1461 dan pasal 1462?
Pasal 1461 berbunyi : “Apabila barang-barang tidak merupakan barang yang dijual menurut tumpukan melainkan barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran maka barang-barang itu atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur”.
Bila barang yang diperjual belikan menurut berat, jumlah atau ukuran maka kerugian dengan musnahnya barang itu adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh si penjual hingga barang-barang itu ditimbang, dihitung atau diukur artinya hak milik atas barang-barang itu belum berpindah kepada pembeli sejak dilahirkannya perjanjian. Batasan ketentuan ini jika kita identikan dengan system jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tepat dan sesuai sekali. Namun sebaliknya akan terlihat suatu ketentuan yang ganjil atau keliru yaitu bahwa jika setelah barang itu ditimbang, dihitung atau diukur maka kerugian akan musnahnya barang-barang itu, merupakan beban yang harus dipikul oleh pembeli. Akhirnya kesimpulan kita terhadap isi ketentuan pasal 1461 ini sama dengan isi ketentuan pasal 1460 yaitu suatu ketentuan pasal yang keliru.,
Memang kita mengakui bahwa isi ketentuan pasal 1461, tidak sejelas atau setegas isi ketentuan pasal 1460 yang dengan tengas mengatakan “Walaupun
penyerahan barang belum dilakukan”. Tetapi hal ini bukan berarti dengan tidak secara tegas pasal 1461 menyebutkan demikian lantas dimaksud dan arti kedua ketentuan tersebut langsung berbeda, adalah tidak tepat. Karena pengertian dua kata yang sama tidak selalu harus berasal dari bunyi kata yang sama pula.
Kesamaan ketentuan pasal 1461 dengan pasal 1460 kami dapat simpulkan dari arti perkataan “diatas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur” dan hal ini berarti atas tanggungan si pembeli setelah barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur.
Analisa kami terhadap ketentuan ini mentautkan pada pengertian levering itu sendiri yaitu merupakan suatu perbuatan juridis untuk memindahkan hak milik. Penjelasan ; Kalau penulis membeli barang seperti apa yang disebutkan oleh pasal 1461, kemudian setelah barang ditimbang, dihitung atau diukur, lantas tidak berapa lama kemudian barang-barang tersebut musnah atau hancur waktu barang diangkut menuju rumah penulis mobil terjatuh kedalam jurang hingga barang-barang tersebut rusak atau tidak dapat dipakai lagi. Bukankah ini sama artinya dengan penerayahan belum dilakukan sehingga penulis pun belum merupakan seorang pemilik kebendaan itu.
Pasal 1462 berbunyi : “Apabila barang-barang merupakan barang-barang yang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”.
Semenjak perjanjian jual beli ditutup bila barang yang diperjual belikan menurut tumpukan, maka kemusnahan barang-barang itu adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh si pembeli, walaupun barang-barang tersebut
belum ditimbang, dihitung atau diukur, mengandung arti bahwa hak milik atas barang-barang itu telah berpindah kepada pembeli sejak perjanjian jual beli dilahirkan.
Asumsi kami terhadap isi ketentuan pasal terakhir ini dengan melihat akan pencerminan ketentuan dua pasal yang pertama, menurut kami, ketentuan dari pasal 1462 ini pun tiada berbeda dengan dua pasal yang pertama tadi, dalam arti bahwa ketentuan pasal inipun jika ditautkan dengan system jual-beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan ketentuan yang menyimpang dari system jual beli yang hanya obligatoir saja dan system pemindahan hak milik yang harus dengan suatu perbuatan juridis yaitu “Levering”. Sehingga ketentuan pasal 1462 adalah pula merupakan suatu ketentuan yang keliru.
Akhirnya, kami berkesimpulan bahwa, isi ketentuan pasal 1460 pun demikian dengan isi ketentuan pasal 1461 dan pasal 1462, ketiganya merupakan ketentuan pasal yang menyimpang dari system jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga ketentuan pasal undang-undang tersebut menimbulkan keganjilan dan ketidak adilan. Oleh karena itu sudah sepantasnya pasal-pasal itu dikesampingkan atau disingkirkan jauh-jauh.
Kita mengakui benar bahwa, seluruh masyarakat tidak mengetahui akan isi ketentuan-ketentuan pasal itu, baik dari masyarakat kelas bawah, menengah, dan bahkan dari masyarakat kelas atas sekalipun masih banyak tidak mengetahuinya. Tanggapan Instansi Peradilan Terahadap Pasal-pasal yang dimaksud
Dan contoh nyata yang penulis lihat sendiri, pada waktu mengadakan Tanya jawab dengan Sales Manager PT. Astra Motor Sales. Yang bertempat kedudukan di Jalan Asia Afrika No. 125 Bandung, Beliau mengatakan sungguh Bapak tiada menduga bahwa ada pasal ketentuan undang-undang yang peraturannya seperti ini, dengan menunjuk kepasal tersebut.