RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA BERGERAK
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
INDONESIA
SIKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
BETTY AYU R J NIM : 070200311
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERSETUJUAN SIKRIPSI
RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA BERGERAK
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
INDONESIA
NAMA : BETTY AYU R J NIM : 070200311
Medan, Maret 2011
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
NIP : 196603031983081001 Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, M.S
NIP : 196204211988031004 NIP : 195112311985031006
ABSTRAK
Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat di saat ini masih
menggunakan undang-undang yang bersal dari zaman kolonial, yang membuat
kabur dan terselubungnya sesuatu permasalahan, yang tidak lagi sesuai dengan
Negara yang merdeka, yang seharusnya sudah dirobah dan di modrenisasi agar
sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan
membangun. Dalam keadaan ini akibat kaburnya peraturan mengenai resiko
dalam kehidupan masyarakat mengakibatkan timbulnya masalah yang seharusnya
tidak terjadi. Dan tidak mustahil hal ini menyebabkan orang-orang kedalam
kehancuran, kepailitan dan yang sangat ditakutkan lagi membawa orang-orang
tidak percaya terhadap hukum. Pokok permasalahan yang diangkat penulis skripsi
ini adalah Apakah peraturan dari KUHPerdata merupakan suatu ketentuan yang
keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang
dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud
bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ?,
Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil
itu ?, Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau
dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?, Apakah perjanjian sewa beli itu
harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian
“sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ?
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode
melalui buku-buku, tulisan-tulisan , majalah-majalah, surat kabar serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. Dalam
mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara
langsung dengan narasumber yang yang berkompeten.
Pembahasan yang diangkat penulis adalah untuk menentukan apakah
masalah risiko jual beli benda bergerak dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Indonesia sudah tepat, karena ketidak adanya pengaturan mengenai risiko
yang khusus dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia.Kesimpulan
dalam pembahasan skripsi ini adalah Kekeliruan dari ketentuan pasal 1460 (pasal
1461, 1462 KUH Perdata) adalah dikarenakan pengutipan yang dengan begitu
saja pasal-pasal tersebut dari Code Civil Perancis dengan tidak menyadari bahwa
BW sudah mengambil sistim lain dari sistim perjanjian jual – beli yang dianut
Code Civil Perancis, dimana menurut Code Civil tersebut bahwa “hak milik telah
diperoleh sejak dicapainya kata sepakat tentang barang dan harga”, adanya bentuk
perjanjian dari Hukum Perjanjian yang tidak terdapat pasal undang-undang
peraturan soal risiko. Saran yang ingin saya berikan didalam skripsi ini adalah
Terhadap pemecahan masalah risiko di dalam perjanjian yang tidak ditemukan
pasal pengaturan risikonya, dapat menerapkan pasal 1237, 1444 KUH Perdata
kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki
sedangkan kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang untuk dimiliki
hanya dapat menerapkan pasal 1237 KUH Perdata, apabila perkataan “si
berpiutang” diganti dengan perkataan “si berhutang” dan didepannya
Perdata kepada perjanjian bertimbal balik. Begitupun kiranya dalam pembentukan
Hukum Perjanjian Nasional, agar dibedakan pasal undang-undang yang mengatur
akan masalah risiko dalam perjanjian sepihak antara menerima barang untuk
KATA PENGANTAR
Pertama dan segalanya, sembah dan puji syukur kepadamu Allahku. Besar
kuasaMu dan ajaib segala sentuhan tanganmu. Terima kasih Bapa, Tuhan Yesus
Kristus dan Allah Roh Kudus. Tak terhitung berkatMu dalam setiap perjalanan
hidupku. Biarlah dalam perjalanan hidupku aku semakin mendekatkan diri
padaMu.
Penulisan sikiripsi ini berjudul “RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL
BELI BENDA BERGERAK MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA INDONESIA” ini merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatra
Utara.
Penulis mengakui bahwa dalam penulisan ini masih memiliki kekurangan
dalam berbagai hal, terutama penyajian, tata bahasa maupun materi muatannya.
Oleh karena itu penulis menerima segala bentuk saran dan kritikan yang
membangun terciptanya perbaikan dihari – hari yang akan datang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada maha guru penulis yang telah memberikan ilmu yang sangat tak
terhitung dan akan berguna dalam hidup penulis. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak Prof. Dr Suhaidi, SH, M.H, Bapak Syafrudin, SH, DFM, dan Bapak
Muh. Husni, SH, M.H selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan
Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata.
4. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Azwar Mahyuzar, SH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan membimbing penulis dalam penyelesaian sikripsi
ini.
6. Ibu Maria Kaban, SH. M.Hum selaku Dosen Wali yang telah banyak
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan sikripsi ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan disusun tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Skiripsi ini lahir hanya karena Doa, Cinta, Dorongan,
perhatian dan segala bentuk kasih sayang dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada :
1. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Berlian Napitupulu,
SH, M.Hum dan Ibunda Mindo Sarma Sihombing yang telah banyak
membantu dalam hal materi dan doa. Dan tidak lupa kepada saudara-saudara
2. Kepada sahabat-sahabat saya Dea, Nova, Linda yang telah memberikan
dukungan selama ini sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis sadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna baik dari isi,
penulisan, dan juga materinya. Oleh karena itu penulis meminta maaf sebesar–
besarnya. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, Maret 2011 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah ... 1
B. Permasalahan... 6
C. Tujuan dan manfaat ... 7
D. Keaslian penulisan ... 8
E. Tinjauan kepustakaan... 9
F. Metode penulisan... 10
G. Sistematika penulisan... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI A. Perjanjian secara umum ... 14
B. Perjanjian jual beli ... 32
BAB III: KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI RISIKO A. Pengertian risiko secara umum ... 46
B. Risiko dalam perjanjian tukar menukar ... 55
C. Risiko dalam perjanjian sewa menyewa ... 56
D. Risiko dalam perjanjian jual beli ... 58
E. Risiko dalam perjanjian pinjam pakai ... 62
F. Risiko dalam perjanjian pinjam meminjam ... 68
BAB IV: RISIKO DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BENDA
BERGERAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG
HUKUM PERDATA INDONESIA ... 73
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 122
ABSTRAK
Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat di saat ini masih
menggunakan undang-undang yang bersal dari zaman kolonial, yang membuat
kabur dan terselubungnya sesuatu permasalahan, yang tidak lagi sesuai dengan
Negara yang merdeka, yang seharusnya sudah dirobah dan di modrenisasi agar
sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan
membangun. Dalam keadaan ini akibat kaburnya peraturan mengenai resiko
dalam kehidupan masyarakat mengakibatkan timbulnya masalah yang seharusnya
tidak terjadi. Dan tidak mustahil hal ini menyebabkan orang-orang kedalam
kehancuran, kepailitan dan yang sangat ditakutkan lagi membawa orang-orang
tidak percaya terhadap hukum. Pokok permasalahan yang diangkat penulis skripsi
ini adalah Apakah peraturan dari KUHPerdata merupakan suatu ketentuan yang
keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang
dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud
bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ?,
Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil
itu ?, Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau
dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?, Apakah perjanjian sewa beli itu
harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian
“sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ?
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode
melalui buku-buku, tulisan-tulisan , majalah-majalah, surat kabar serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. Dalam
mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan wawancara
langsung dengan narasumber yang yang berkompeten.
Pembahasan yang diangkat penulis adalah untuk menentukan apakah
masalah risiko jual beli benda bergerak dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata Indonesia sudah tepat, karena ketidak adanya pengaturan mengenai risiko
yang khusus dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia.Kesimpulan
dalam pembahasan skripsi ini adalah Kekeliruan dari ketentuan pasal 1460 (pasal
1461, 1462 KUH Perdata) adalah dikarenakan pengutipan yang dengan begitu
saja pasal-pasal tersebut dari Code Civil Perancis dengan tidak menyadari bahwa
BW sudah mengambil sistim lain dari sistim perjanjian jual – beli yang dianut
Code Civil Perancis, dimana menurut Code Civil tersebut bahwa “hak milik telah
diperoleh sejak dicapainya kata sepakat tentang barang dan harga”, adanya bentuk
perjanjian dari Hukum Perjanjian yang tidak terdapat pasal undang-undang
peraturan soal risiko. Saran yang ingin saya berikan didalam skripsi ini adalah
Terhadap pemecahan masalah risiko di dalam perjanjian yang tidak ditemukan
pasal pengaturan risikonya, dapat menerapkan pasal 1237, 1444 KUH Perdata
kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki
sedangkan kepada perjanjian sepihak untuk menerima barang untuk dimiliki
hanya dapat menerapkan pasal 1237 KUH Perdata, apabila perkataan “si
berpiutang” diganti dengan perkataan “si berhutang” dan didepannya
Perdata kepada perjanjian bertimbal balik. Begitupun kiranya dalam pembentukan
Hukum Perjanjian Nasional, agar dibedakan pasal undang-undang yang mengatur
akan masalah risiko dalam perjanjian sepihak antara menerima barang untuk
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
“Zoon –Politicon” demikian Aristoteles manamakan manusia itu , artinya
; manusia itu tidak diciptakan sebagai individu, otonom dan bebas, terpisah dari
individu lainnya, melainkan sebagai mahluk hidup yang hidup dengan
sesamanya.1
Prof . Hans Kelsen berpendapat, bahwa “ Zoon Poloticon “ itu berarti
“social and political being”.2
Sebagaimana diketahui, hanyalah manusia yang diakui mempunyai suatu
tingkat kebebasan untuk bertindak serta memiliki kehendak yang berfungsi
normal dan hanya manusialah yang dapat memiliki hak milik.
“ Social being “ artinya adalah manusia yang hidup
bersama-sama dengan manusia lainnya. “ political being“ artinya, manusia itu
dalam pergaulan hidupnya itu selalu mengadakan organisasi di dalamnya.
Hak milik itu oleh yang satu dapat di ahlikan atau dipindahkan kepihak
lain, sehingga pihak lain tadi memperoleh hak milik atau hak milik seseorang atas
suatu barang tetap melekat padanya sedang barang tersebut dikuasai oleh pihak
lain.
Dalam perbuatan-perbuatan seperti itu manusia yang satu dengan yang
lainnya mengadakan perjanjian-perjanjian yang akan meletakkan hak dan
kewajiban pada pundak masing-masing pihak , yang akan mereka penuhi setelah
1 Prof . Mr . Soediman Kartohadiprodjo Pengantar Tata Hukum di Indonesia 1 penerbit bersama PT. Pembangunan, Ghalia Indonesia,1979,hal 22.
perjanjian di tutup. Sehingga siapa yang berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri
secara membebankan pada diri sendiri.
Hugo Grotius dengan teorinya yang berdasarkan hukum azasi, bahwa
adalah suatu kewajiban moril dari pada manusia untuk melaksanakan apa yang
dijanjikan. Teori Hugo Grotius kemudian menjelma kedalam peraturan, bahwa
suatu janji yang di ucapkan dengan maksud untuk menciptakan suatu kewajiban
hukum bagi pihak yang menjanjikan untuk melaksanakannya.3
Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; “ tiap-tiap perikatan
adalah untuk menyerahklan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
Dalam hal perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
kepada orang lain, pada umumnya mengatakan, bahwa pihak yang berwajib
harus menjaga, jangan sampai barang yang akan diserahkan itu, sebelum
penyerahan hilang atau musnah. Tetapi kadang walau pihak berwajib telah
berusaha untuk menjaga dengan baik tidak mustahil perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan oleh sebab kejadian yang menimpa barang tersebut musnah atau
hilang. Bila hal yang demikian terjadi, siapakah yang menurut hukum yang harus
memikul kerugian tersebut ?
Persoalan seperti ini di dalam hukum yang dinamakan sebagai persoalan “
risiko “.
Persoalan risiko menurut ilmu hukum akhir-akhir ini menjadi sedemikian
penting terutama dalam hubungan keperdataan, persoalan resiko ini mengambil
bagian yang tidak kecil .
Risiko didalam pengertian ilmu hukum adalah kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian di luar kesalah salah satu pihak.
Dalam bagian umum pada buku III dari kitab undang-undang hukum
perdata, kita dapat menemukan satu pasal yang sengaja mengatur mengenai risiko
dan dala bagian khusus dapat ditemukan beberapa pasal. Tapi dalam praktek
pelaksanaanya sangat dirasakan tidak mencerminkan kepastian dan keadilan
sehingga menimbulkan ketidakpuasaan.
Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa macam bentuk perjanjian,
tetapi tidak semua bentuk perjanjian itu dapat ditemukan pasal pengaturan
mengenai risiko.
Adanya pengaturan soal risiko, hal ini bukan menjadi jaminan tercapainya
kepastian hukum, walaupun memang pada umumnya adanya peraturan akan lebih
menjamin atau membawa masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif
kearah kehidupan yang lebih harmonis, tetapi tidak semua peraturan selalu
demikian, kadang adakalanya peraturan menjadi ketidakadilan bagi manusia,
sebagaimana hal ini adakan di bahas dalam skripsi ini.
Pasal-pasal dalam KUHPerdata yang memberikan peraturan yang tidak
adil, antaranya pasal 1460, 1461, 1462. Ketiga pasal ini pada hakekatnya
memiliki pengertian yang sama bahwa sejak saat pembelian (saat di tutupnya
belum dilakukan penyerahan. Ketidakadilan pasal tersebut akan tampak bilamana
dikaitkan dengan sistem perjanjian jual beli menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yaitu hanya “obligator” saja, artinya perjanjian jual beli baru
meletakkan hak dan kewajiban secara timbal balik kepada penjual dan pembeli.
Jadi perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik. Sedangkan hak milik
berpindah dengan dilakukannya “levering” hal ini menunjukka n bahwa menurut
sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata levering merupakan suatu
perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik.
Bila kita melihat dinamika perekonomian dan masyarakat di abad modern
dan kompleks seperti sekarang ini, menuntut adanya suatu peraturan yang selaras
dengan zamannya.
Negara kita Indonesia yang merdeka dan berdaulat di abad ini masih tetap
memakai undang-undang yang berasal dari zaman colonial, yang membawa kabur
dan terselubungnya suatu permasallahan yang sudah tidak sesuai dengan suatu
negara yang merdeka , yang seharusnya sudah dirobah dan dimodernisasi agar
sesuai dengan zamannya sebagai suatu Negara yang sedang berkembang dan
membangun. Dalam keadaan seperti ini akibat kekaburan peraturan tentang
risiko, akhirnya dalam hidup masyarakat sehari-hari membawa masalah-masalah
atau menimbulkan permasalahan-permasalahan yang seharusnya tidak terjadi.
Dan tidak mustahil hal ini bisa membawa orang-orang kedalam kehancuran,
kepailitan dan sangat ditakutkan dan membawa orang tidak percaya kepada
Gerak pembangunan ditunjang beberapa sektor antara lain, ekonomi,
politik, social, hukum, seperti halnya kita sekarang.
Pembangunan yang secara material ekonomis belaka tidaklah cukup
apabila yang diingginkan dan di cita-citakan adalah suatu taraf kehidupan yang
baik, oleh sebab taraf kehidupan merupakan serta paham yang mengandung
berbagai segi dan hakekat. Secara sederhana maka di dalam proses pembangunan
terlebih dahulu perlu diidentifikasi dengan seksama apa yang tidak ada, apa yang
salah dan apa rusak atau salah, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun
lebih mengalami kemerosotan menurut kerangka pemikiran dan tindakan yang
sangat disimplifikasikan, maka hal tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan
atau perbaikan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsional.
Berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengadakan penelitian melalui penulisan hukum mengenai Risiko Dalam
Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia dan mencoba memberikan uraian-uraian
permasalahan dan uraian pemecahan jalan keluarnya dan yang diharapkan dapat
berguna untuk penambahan pengetahuan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
mengenai risiko di dalam perjanjian.
B. Permasalahan
Jual beli dilakukan dengan persetujuan oleh karena itu pada saat ini
umumnya perjanjian jual beli dilakukan dengan cara perjanjian baku dimana
akan disepakati oleh pihak pembeli. Dalam kondisi seperti ini maka pihak
pembeli akan berada dalam posisi yang lemah namun walaupun demikian wajib
bagi pembeli untuk memperhatikan klausula atau butir-butir perjanjian yang
tertuang dalam perjanjian tersebut yang disepakati. Pembeli harus benar-benar
mengamati di setiap point yang tercantum dalam kesepakan untuk menghindari
kerugian dan permasalahan yang muncul dibelakang hari nantinya. Setelah out
baru dilakukan kesepakatan dengan pihak penjual karena kesepakatan yang terjadi
akan mengikat para pihak sesuai dengan konsekuensi hukum yang telah
disepakati bersama.
Keadaan yang demikian telah memunculkan permasalahan yang akan coba
diangkat didalam skripsi ini yaitu:
1. Apakah peraturan dari pasal itu tidak merupakan suatu ketentuan yang keliru,
yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang
dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung
maksud bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan
pemilik ?
2. Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak
adil itu ?
3. Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau
dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ?
4. Apakah perjanjian sewa beli itu harus diklasifikasikan sebagai perjanjian
“jual-beli” atau perjanjian “sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke
C. Tujuan pembahasan
Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi
tugas dan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada universitas
sumatera utara yang bertujuan :
1 . Untuk mempelajari dan mengetahui tentang perihal peraturan system
pemindahan hak milik yang dianut dalam kitab undang-undang hukum
perdata dan mempengaruhinya terhadap masalah resiko mengenai barang
yang menjadi objek suatu perjanjian dalam pentautannya terhadap system
tersebut.
2 . Selanjutnya berkeinginan untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap
pasal-pasal yang keliru itu dan juga berkeinginan untuk memperoleh suatu
ketentuan mengenai bentuk perjanjian yang sesuai dengan bentuk perjanjian
yang tidak terdapat pengaturan soal resiko baik yang terdapat dalam kitab
undang-undang hukum perdata maupun dalam bentuk perjanjian
D. Keaslian Penulisan
Penulisan ini diselesaikan berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh
penulis sendiri dari berbagai sumber, selindari bacaan, juga berdasarkan hasil
wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis, penulisan tentang Risiko Dalam
Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Indonesia dengan studi kasus pada Toyota Auto 2000 belum pernah
diteliti sebelumnya dan ini merupakan penelitian yang pertama sekali dilakukan
E. Tinjauan Kepustakaan
Untuk mengantarkan kita kepada pemahaman yang benar mengenai
skripsi ini maka terlebih dahulu kita akan melihat tinjauan kepustakaan yang akan
mengantarkan kita kepada pengertian umum atau gambaran mengenai “Risiko
Dalam Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.”
Dari judul diatas dapat diambil pengertian baik secara etimologi maupun
berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia setiap kata demi kata mengandung
pengertian sebagai berikut :
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “risiko” memiliki arti :
akibat yang kurang menyenang (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan
atau tindakan.4
Kata “dalam” berarti kata depan untuk menandai tempat yang
mengandung isi.5
Kata “perjanjian” artinya suatu hubungan hukum dimana seseorang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain untuk memberikan sesuatu, melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
Kata “jual-beli” merupakan suatu perjanjian timbal balik dalam mana
pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu
barang, sedangkan pihak lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga
4 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.1996.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Balai Pustaka,Jakarta.,hlm.959
yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.6
Kata “ benda bergerak” menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata
benda bergerak adalah benda yang kerena sifatnya adalah benda yang dapat
berpindah sendiri atau dipindahkan.
F. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini mengunakan metode:
1. Metode studi keputsakaan (library research)
2. Metode penelitian lapangan (fieled research)
Dalam mengumpulkan data melalui studi keperdataan diperoleh melalui
buku-buku, tulisan-tulisan, majalah-majalah, surat kabar serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan isi skripsi ini. kemudian
bahan-bahan tersebut dipelajari dipahami dan dianlisa secara sistematis dan memilih
hal-hal yang menjadi dasar pemikiran yang tertuang dalam penulisan skripsi ini.
Dalam mengadakan penelitian lapangan dilakukan dengan cara melakukan
wawancara langsung dengan pihak yang terkaid di astra dan pihak pembeli serta
pihak lain yang terkait dengan isi skripsi ini guna melihat secara langsung system
dan penyelenggaraan jual beli tersebut serta masalah yang timbul dan proses
penyelesaiannya di perusahaan tersebut.
Melalui penggunaan kedua metode diatas maka data yang diperoleh diolah
dan disajikan sesuai dengan sistematika pembahasaan skripsi ini. berdasarkan hal
tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan
berguna bagi perkembangan hukum di Indonesia.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermuda pembaca dalam memahami isi skripsi ini , disini akan
diuraikan secara singkat gambaran isi yang akan dibahas dalam skripsi ini.
Untuk itu , maka dalam pembahasan ini dibuat sistematika atau gambaran
isi materi skripsi ini Dalam lima (5) bab dan setiap bab akan terbagi dalam sub
bab dengan uraian sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini merupakan pengantar bagi
pembaca untuk memberikan gambaran awal dari penulisam
skripsi ini sehingga perlu adanya penegasan dan pengertian judul,
alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan pembahasan,
metode pengumpulan data dan gambaran isi serta keseluruhan
dari skripsi ini .
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN Dalam bab
ini penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian yang
di mulai dengan definisi perjanjian,bagian-bagian perjanjian,
jenis-jenis perjanjian, sistem atau syarat dan azas perjanjian.
BAB III : KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI RISIKO
dalam bab ini penulis menguraikan gambaran mengenai
pengertian risiko,risiko dalam perjanjian sewa menyewa, jual beli,
akibat pengaturan risiko yang keliru dan tidak adanya pengaturan
mengenai risiko tersebut.
BAB IV : PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM
PERJANJIAN, KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM
PERJANJIAN JUAL – BELI dalam bab ini, penulis akan
menguraikan pokok dari permasalahan yakni analisa mengenai
resiko dalam perjanjian khususnya resiko dalam perjanjian jual
beli benda bergerak di Badan Usaha Toyota Auto 2000,
berdasarkan KUHPerdata, yang terdiri atas latar belakang
perjanjian pengikatan, ketentuan-ketentuan dan syarat dalam
perjanjian pengikatan jual beli, serta resiko yang timbul dalam
perjanjian jual beli benda bergerak.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN dalam bab terakhir ini, penulis
akan menguraikan segala kesimpulan dan memberi saran yang
diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang diharapkan
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. PERJANJIAN SECARA UMUM
A.1 PENGERTIAN PERJANJIAN
Sebelum kita membicarakan tentang pengertian perjanjian menurut ilmu
hukum, ada baiknya lebih dahulu bila kita mengetahui dimana perjanjian itu
diatur di dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari 1993 pasal dibagi
atas IV Buku, yang susunannya adalah sebagai berikut :
1. Buku kesatu berjudul : “Tentang Orang/”Van Personen”
2. Buku kedua berjudul : “Tentang Benda/”Van Zaken”
3. Buku ketiga berjudul : “Tentang Perikatan”/’’Van Verbintenissen”
4. Buku keempat berjudul : “Tentang Pembuktian” dan “Daluarsa”/”Van
Bewijsen Verjaring”
Buku ketiga diatas berjudul ‘Tentang Perikatan”/”Van Verbintenissen”.
Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perikatan
dapat terjadi karena :
- Undang-Undang
- Perjanjian
Di atas telah kita mengetahui dimana diaturnya perjanjian itu dalam
sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk itu apakah yang
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Apabila kita secara seksama menganalisa perumusan pasal 1313 tersebut
diatas ternyata rumusan tersebut kurang sempurna atau tidak lengkap. Sehingga
pengertiannya disatu pihak bisa luas dan dilain pihak bisa sempit.
Dikatakan bisa luas : Dari perumusan dari pasal 1313 diatas hanya
menyebutkan “perbuatan” saja. Tentu dalam benak
pikiran kita akan timbul pertanyaan, apakah ini
maksudnya hanya perbuatan hukum saja atau meliputi
semua perbuatan baik yang sudah dijanjikan terlebih
dahulu maupun tidak (perbuatan yang menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan). Misalnya, A dengan
mengenderai motor menabrak B yang menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan, ialah B akan menuntut
ganti rugi kepada A berdasarkan perbuatan melanggar
hukum di muka Pengadilan, pada hal tidak ada
persetujuan antara A dan B terlebih dahulu.
Dikatakan sempit : Karena definisi pasal 1313 hanya mengenai persetujuan
sepihak, sepihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak
lainnya tidak berprestasi.
Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro S.H mendefinisikan : Perjanjian adalah
mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.7
Prof. R. Surbekti S.H. mendepinisikan :
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atua
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.8
Dengan berpedoman kepada kedua depinisi sarjana di atas, maka dari itu
perkataan “perbuatan” dalam pasal 1313, harus ditambah dengan perkataan
“hukum”. Mengganti perkataan “satu” dengan perkataan “dua”. Kemudian
menambahkan perkataan “saling” didepan perkataan “mengikatkan dirinya”,
selanjutnya perkataan “terhadap satu orang lain atau lebih” dihilangkan dan
diganti dengan perkataan”untuk melaksanakan sesuatu hal” ………..
Dengan demikian pasal 1313 akan berbunyi sebagai berikut ;
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dari depinisi diatas jelaslah bagi kita bahwa perjanjian itu adalah suatu
perbuatan hukum yang mengikat para pihak agar supaya mereka melaksanakan
penyerahan sesuatu barang, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Dengan demikian perjanjian itu adalah merupakan tali pengikat bagi para
pihak-pihak untuk mana mereka dituntut memenuhi apa yang telah mereka
sepakati.
Adanya suatu perjanjian adalah karena suatu perbuatan hukum, perbuatan
hukum mana menimbulkan perhubungan antara dua orang atau lebih,
7 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Cet Ke VII Penerbit “Sumur-Bandung” Hal 17, tahun 1981.
perhubungan ini dinamakan “perikatan”. Jadi perjanjian menerbitkan suatu
perikatan antara orang-orang yang membuatnya.
Dengan demikian maka hubungan antara perjanjian dengan perikatan
adalah, bahwa perjanjian menerbitkan perikatan Perjanjian adalah sumber
perikatan disamping sumber-sumber lainnya.
Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Jadi perjanji-janjian itu suatu hal
yang kongkrit atau “peristiwa” karena kita dapat melihat atau membaca suatu
perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Lain halnya dengan
perikatan adalah suatu pengertian abstrak, kita tidak dapat “melihat” dengan mata
kepala kita suatu “perikatan”, kita hanya dapat membayangkan dalam alam
pikiran kita.9
Perjanjian terjadi dari tiga bagian, yaitu : Bagian-bagian Perjanjian
a. ESSENTIALIA, misalnya ; harga dan barang adalah essentialia dari perjanjian
jual beli
b. NATURALIA, misalnya ; jaminan kenikmatan tenteram dan aman serta tidak
adanya cacad-cacad tersembunyi dari penjual ke pada pembeli dalam
perjanjian jual beli.
c. AKSIDENTALIA ialah ; bagian-bagian yang ditambah kepada perjanjian oleh
para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang, misalnya ; dalam perjanjian
jual beli rumah kedua belah pihak menetapkan bahwa tidak turut
dijual-belikan wastafel yang melekat pada rumah.
a. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dengan cuma-cuma ialah perjanjian dimana satu pihak
memberi keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima kontra prestasi.
Pasal 1314 ayat 2. Misalnya, hibah. Perjanjian dengan beban ialah perjanjian
yang mewajibkan pihak masing-masing untuk memberikan sesuatu atau tak
berbuat sesuatu. Pasal 1314 ayat 3.
b. Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian sepihak ialah perjanjian yang hanya memberi kewajiban
kepada pihak yang satu dan hak kepada pihak yang lain.
Misalnya, perjanjian. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian yang
memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa.
c. Perjanjian Formil Dan Perjanjian Riil
Perjanjian formil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila diadakan
dengan tertulis. Misalnya, perjanjian perdamaian, perjanjian penghibaan
barang tak bergerak. Perjanjian riil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila
barang yang menjadi objek perjanjian telah diserahkan. Misalnya, perjanjian
penitipan barang.
Hukum Perjanjian menganut sistim terbuka dan azas konsensualitas.
Sistim terbuka mengandung azas kebebasan membuat perjanjian, lain
dengan sistim tertutup yang mengandung sifat memaksa dari
peraturan-peraturannya, sebagaimana halnya dengan Hukum Benda, yang
macam-macamnya hak atas benda itu adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang
mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa.
Sistim terbuka dari Hukum Perjanjian, memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan
bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan yang dinamakan “Hukum
pelengkap” (“optional law” Bah. Inggris) yang berarti pasal-pasal itu boleh
disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuatnya, mereka
diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal Hukum Perjanjian. 10 Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu
soal, maka diartikan bahwa mereka mengenai soal itu akan tunduk kepada
undang-undang.11
Memang biasanya orang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur
secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu dan
biasanya hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja. Misalnya kalau kita
mengadakan perjanjian jual beli, cukuplah apabila kita sudah setuju tentang harga
dan barangnya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus
memikul biaya penghantaran barang, tentang bagaimana kalau barnag musnah
dalan perjalanan, soal-soal itu lazimnya tidak dipikirkan dan tidak diperjanjikan.
10 Op. Cit 13
Dan apabila timbul perselisihan maka menyerah saja kepada hukum dan
undang-undang.
Sistim terbuka yang dianut Hukum Perjanjian kita simpulkan dari pasal
1338 ayat I yang berbunyi ; “Semua perjanjian yang diadakan secara sah, berlaku
bagi mereka yang mengadakannya sama seperti undang-undang”
Dari rumusan pasal diatas kita dapat mengetahui makna isi pasal itu
adalah, merupakan suatu pernyataan kepada khalayak ramai bahwa kita diberikan
kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi
apa saja dan perjanjian itu akan mengikat siapa yang membuatnya seperti suatu
undang-undang. Hal ini kita dapat melihat dari perkataan “semua”
Disamping pengertian – pengertian diatas dari sistim terbuka, juga
mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur
dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja
dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk.
12
12 Op Cit Hal 14
Misalnya, perjanjian “sewa-beli” dalam undang-undang Hukum Perjanjian, kita
tidak akan menemukannya, tetapi dalam praktek kita sering menemukan dan
mendengarkannya, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dengan
Asas-asas dalam suatu perjanjian
Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas yang berlaku, antara lain13
1. Azas Kebebasan Berkontrak
:
Azas kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di
dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak azasi manusia. Azas kebebasan berkontrak ini didasari
oleh pasal 1338 KUH perdata, yakni suatu perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Azas Konsensualisme
Azas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 133814
3. Azas Kepercayaan
KUH perdata.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata, desebutkan secara tegas bahwa adanya
kesepakatan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian dan pada pasal
1338, disebutkan “semua perjanjian”. Kata-kata dalam pasal 1338 dan 1320
ini menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan
keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Azas ini
sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian.
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara kedua belah pihak itubahwa satu sama lain akan
memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian
13 Prof.Miriam Darus Badrulzaman.2001.Kompilasi Hukum Perikatan Citra Aditya Bakti,Bandung. Hlm 83
hari. Tanpa kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para
pihak.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi
juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas-asas, moral, kebiasaan dan
kepatutan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
5. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kekayaan, jabatan, bangsa, dan lain-lain.
Masing-masing para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
ciptaan Tuhan.
6. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang diadakan. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari
asas persamaan. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun kreditur juga memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu
dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat
diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga
7. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu
sebagai undang-undang para pihak.
8. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugatkontraprestasi
dari debitur. Asas ini juga terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata15
9. Asas Kepatutan
.
Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan atau moral, sebagai
panggilan dari hati nuraninya.
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan disini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, asa ini patut
dipertahankan Karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan
juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
Syarat-syarat perjanjian
Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian,diatur pada pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “untuk sahnya persetujuan-persetujuan
diperlukan 4 syarat yakni :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Syarat-syarat diatas dapat dikelompokknan menjadi dua bagian yaitu
kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan
syarat obektif, karena mengenai objek dari perjanjian.
1. Syarat Subjektif
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
dengan diberlakukan keta sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa
kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak
tidak mendapat suatu unsure paksaan atau tekanan yang mengakibatkan
adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengartian sepakat di
lukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui para pihak. Sedangkan
dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUH
Perdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat
menimbulkan cacatpada kesepakatan tersebut. Yaitu kehilafan, pakasaan dan
penipuan.
b. cakap untuk membuat suatu perikatan
pasal 1329 : Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia
subjek hukum yang tidak cakap hukum pasal 1330 :
b.1 Orang-orang yang belum dewasa
Orang yg telah dianggap dewasa oleh hukum, atau berumur 18 tahun
berdasarkan hukum perkawinan (ini yg berlaku dalam hukum perdata)
atau dalam KUHPerdata berumur 21 tahun.
b.2 Dibawah pengampuan
b.3 Orang-orang perempuan, dalam hal ini ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Mengenai sub 3 pasal 1330 KUH Perdata ini tidak berlaku lagi sejak tahun
1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 mengatakan
kedudukan wanita yang telah memiliki suami diangkat ke derajat yang sama
dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan
pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya.
2. Syarat Objektif
a. Syarat tentang barang
suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu, sekurang-kurangnya
dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang
sekarang ada dan nanti aka nada secara ringkas, ketentuan mengenai
barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut :
2) Barang- barang yang di pergunakan untuk kepentingan umum antara
lain seperti pelabuhan, gedung-gedung umum, jalan raya dan
sebagainya tidaklah dapat di jadikan objek perjanjian
3) Dapat di tentukan jenisnya. (pasal 133316
4) Barang yang akan datang atau barang yang aka nada. (pasal 1334 KUH Perdata)
17
KUH Perdata)
b. Syarat tentang suatu sebab yang halal
berdasarkan pasal 1335 samapai dengan pasal 1337 KUH Perdata
menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab, dengan
sebab palsu atau larangan serta bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah, dan tidak memiliki
kekuatan hukum.
A.3 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN
a. Subjek Perjanjian
Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang teikat
dengan diadakannya suatu perjanjian. KUH Perdata membedakan 3 golongan
yang tersangkut pada perjanjian yaitu :
16
Pasal 1333 KUH Perdata : dinyatakan secara tegas “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
1. Para pihak yang mengadaka perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya.
3. Pihak ketiga
b. Objek Perjanjian
Objek perjanjian yang merupakan tujuan dari perjanjian yaitu adanya hak dan
kewajiban dari setiap pihak-pihak biasanya disebut prestasi, yang berupa:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu
Agar objek perjanjian itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat antara lain18
1. Lahir dari perjanjian maupun undang-undang
:
2. Prestasinya harus tertentu dan dapat ditentukan
3. Dapat dilaksanakan
4. Diperbolehkan, dalam arti tidak bertentangan denga undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
A.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suau bentuk tertentu,
perjanjian dapat dibuat secara lisan dan atau lisan, apabila dibuat secara tulisan,
apabila dibuat secara tulisan maka bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi
perselisihan dan juga menjadi syarat untuk adanya perjanjian itu, kerena beberapa
perjanjian tertentu, undang-undang mnentukan suatu bentuk tertentu dimana
apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian tidak sah, misalnya perjanjian
mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris (pasal 38 Kitab
Undang0Undang Hukum Dagang)
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut
1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok ke dua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli
2. Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak
3. Perjanajian atas beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadapprestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain dan antara kedua
prestasi itu ada hubungan menurut hukum
4. Perjanjian bernama/perjanjian khusus
Perjanjian khusus adalah perjanjiann yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi
nama oleh pembentukl undang-undang, berdasarkan tipe yang paling
banyak terjadi sehari-hari
5. Perjanjian tidak bernama
Di luar perjanjian bernama, ada juga perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat
terdapat dalam KUHPerdata sesuai dengan pasal 1319 KUHPerdata yang
menyatakan : “semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus maupun
yang tidak terkenal dengan nama tertentu, tunduk pada
peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab lainnya.” Jumlah perjanjian ini
tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan
pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian
pemasaran, perjanjian pengelolahan. Dasar hukum dari adanya perjanjian.
6. Perjanjian obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak
lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi
mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda tersebut dari penjual
kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsesual) dan
harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).
7. Perjanjian kebendaan
Perjanjian kebendaan dengan mana seseorang menyerahkan hak atas
sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige)
pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (lavering
transfer). Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam
hal perjanjian jual beli tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga
perjanjian jual beli sementara. Untuk perjanjian jual beli benda-benda
bergerak maka perjanjian obligator dan perjanjian kebendaannya jatuh
8. Perjanjian konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah
pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut KUHPerdata perjanjian ini seudah mempunyai kekuatan
mengikat (pasal 1338 KUHPerdata)
9. Perjanjian riil
Didalam KUHPerdata ada perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku
sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan
barang (pasal 1694 KUHPerdata), pinjam meminjam (pasal 1740
KUHPerdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.
10.Perjanjian liberatoir
Perjanjian diman apara pihak membebaskan diri kewajiban yang ada,
misalnya pembebasan utang pasal 1438 KUHPerdata19
11.Perjanjian pembuktian
Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang
berlaku diantara mereka.
12.Perjanjian utung-untungan
Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanian
asuransi pasal 1774 KUHPerdata
13.Perjanjian public
Perjanjian public yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat
hubungan atasan dengan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan
yang sama, misalnya perjanjian iaktan dinas.
14.Perjanjian campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsure
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar
(sewa-menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) juga pelayanan.
B. Perjanjian Jual Beli
B.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli
Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale.
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457 samapi dengan pasal 1540
KUHPerdata jual beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian timabal balik
dalam mana piahk yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik
atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (sipembeli) berjanji untuk
membayar harga yang terdiri dari atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut.
Terjadinya perjanjian jual beli dan peralihan hak.
Unsur-unsur pakok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga.
Dimana pertama-tama antara penjuan dan pembeli harus ada akata sepakat
tentang harga dann benda yang menjadi objek jual beli. Sesuai dengan asas “
sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga.
Begitu kedua belah pihak telah setuju dengan barang dan harg, maka lahirlah
perjanjian jual beli yang sah. Sifatnya konsensual dari perjanjian jual beli
tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahakn maupun
harganya belum dibayar.”20
Namun perlu diperhatikan, bahwa dengan persetujuan ini, sipembeli
belumlah menjadi pemilik (eigenaar), kerena persetujuan ini hanya bersifat
obligator. Untuk menjadi pemilik, harus diadakan penyerahan (lavering) lebih
dulu. Penyerahan inilah yang mengakibatkan terjandinya pemindahan kebendaan.
Penyerahan ini bergantung pada jenis bendanya, apakah bergerak, tidak bergerak
maupun benda tidak bertubuh. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 1459
KUHPerdata, yakni “hak milik atas barang yang di jual tidaklah berpindah kepada
si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 61221, 61322,
dan 61623
Bagi sipembeli untuk mendapatkan kepastian bahwa ia benar-benar akan
menjadi pemilik benda yang bersangkutan maka dapat di berikan semacam uang
panjar. Karena dalam pasal 1464 KUHPerdata menegaskan, bahwa dengan panjar ”
20 Prof.R>Subekti 1995.Aneka Perjanjian .Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2
21 Pasal 612 KUHPerdata : penyerahan kebendaan bergerak, terkecualai yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu atau atas naman pemilikk, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.
22 Pasal 613 KUHPerdata : penyerahan atas nama piutang-piutang dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hakl-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.
ini, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan persetujuan jual beli, baik dengan
memberikan uang itu di tangan penjual maupun dengan pengembalian uang itu
ketanggan pembeli. Biasanya uang yang diberikan itu diperhitungkan dengan
harga pembelian sebelumnya, sehinggan lebih merupakan suatu pemberian
perschoot pembayaran. Artinya dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam pasam
1475 KUHPredata.24
Penyerahan adalah pemindahan benda yang dijual kedalam kekuasaan
pembeli. Penyerahan ini harus memperhatikan jenis bendanya, apakah benda
bergerak atau benda tidak bergerak, karena apabila benda bergerak, penyerahan
nyata dan penyerahan juridis adalah satu tindakan, sedangkan untuk benda
bergerak, maka perlu diperhatikan pasal 612,613,616 KUHPerdata. Juga disini
berlaku ketentuan bahwa jual beli milik orang lain tidak sah.25
Macam-macam jual beli antara lain:
1. Jual beli dengan percobaan ; diatur dalam pasal 1463 KUHPerdata. Jual beli
percobaan berarti pembeli baru akan membeli kepastian jadi tidaknya jual
beli, setelah pembeli melakukan percobaan atau mencoba barang yang hendak
dibeli26
2. Jual beli dengan system panjar; diatur dalam pasal 1464 KUHPerdata. Jual
beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang dilakukan antara
penjual dengan pembeli. Dimana jual beli itu pihak pembelian menyerahkan
uang perschoot/panjar atas harga barang, sesuai dengan kesepakatan antara dalam jual beli dengan percobaan, dibuat dengan syrat tangguh,
dimana jadi atau tidaknya transaksi jual beli berdasarkan hasil percobaan itu
24 Achmad Ichsan.1969.Hukum Perdata IB.jakarta; Pembimbing Masa,Jakarta.hlm 102 25 Ibid
kedua belah pihak. Dalam sistem jual beli ini salah satu pihak tidak dapat
meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan
uang panjarnya.
3. Jual beli dengan contoh; dalam hal ini barang yang menjadi objek jual beli
sebelum dilakukan perjanjian jual beli. Diberikan contohnya terlebih dahulu.
Apabila pembeli telah melihat contoh dan sesuai dengan keinginan pembeli,
maka perjanjian jual beli pun dapat dilakukan, apabila pembeli merasa sesuai
dengan contoh barang yang dimaksud/ kalau barang yang diserahkan tidak
sesuai dengan contoh maka dapat dituntut pembatalan perjanjjian.
4. Jual beli dengan hak membeli kembali; dalam jual beli ini puhak penjual dapat
memperjanjikan pada pihak pembeli bahwa barang yang sudah sijualnya dapat
dibelinya kembali dari pembeli itu. Waktu yang diperjanjian untuk membeli
kembali barang yang sudah dijual itu tidak boleh lebih dari 5 tahun (pasal
1519 KUHperdata). Apabila setelah lampau waktu yang diperjanjikan, penjual
tidak membeli kembali, maka perjanjian untuk memeli kembali itu gugur.
Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, apabial objeknya barang
bergerak, maka hak untuk membeli kembali itu hanya ada pada
penjualanpertama, sedangkan untuk barang tidak bergerak, hak membeli
kembali itu tetap ada walaupun barang itu berada pada pihak lain.
5. Jual beli dengan cicilan/ angsuran; jual beli cicilan secara umum di atur dalam
pasal 1576 samapai denga pasal 1576x KUHPerdata balanda, tetapi tidak
dimuat dalam KUHPerdata Indonesia. Dalam jual beli dengan cicilan, hak
walaupun barang belum lunas dibayar, dimana pelunasan barang dilakukan
dengan cara mencicil. Begitu pembeli menerima barang, seketika itu juga ia
berhak menjual barang itu, walaupun harga belum lunas. Jual beli dengan
cicilan ini biasanya mengunakan uang panjar, yang ditentukan oleh penjual.
Sisanya dibayar dengan waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak.27
6. Sewa beli disebut juga dengan huurkoop.dalam hal ini pembayaran dilakukan
dengan cara berangsuran, namaun demikian sudah ada penyerahan hanya
dalam persetujuan ditegaskan bahwa dengan penyerahan ini hak milik belum
berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga di bayar lunas. Karena itu
sewa beli merupakan suatu pembelian dengan cara
Subjek dan objek jual beli
Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek
hukum dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual atau pembeli
dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atautelah menikah. Namun
secara yuridis ada beberapa orang yang yang tidak diperkenankan untuk
melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut ini28
a. Jual beli suami istri
:
Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah
karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi
percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin,
namun ketentuan ini ada pengecualiaannya, yakni:
27 Wan Sadjaruddin Baros.loc.cit
28 Salim SH.MS, 2003.HUkum Kontrak (TEori dan TeknikPenyusunan Kontrak)Sinar
1. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-bendakepada istri atau
kepada suaminya yang oleh pengadilan dipisahkan apa yang menjadi hak
suami dan apa yang menjadi hak istri menurut hukum.
2. Jika penyerahan dilakukan seorang suami atau istrinya, juga dari
pengembalian benda-bendasi istri yang telah di jual atau uang yang
menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
3. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi
sejumlah uang yang telah ia janjikan kepada suaminya sebagai harta
perkawinan.
b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Juru sita dan Notaris, Para pejabat
ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda
atau barang dalam sengketa. Apabila hal ini tetap dilakukan, maka jual beli ini
dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
c. Pegawai yang memangku jabatan umum
yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap
barang yang di lelang.
Objek Jual Beli
Yang dapat menjadi objek jual beli dalam jual beli adalah semua benda
bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan
timbangannya, sedangkan yang tidak diperkenankan untuk di perjual belikan
adalah29
29 ibid.hlm 51
a. Benda atau barang orang lain
b. Barang yang tidak dperkenankan oleh undan-undang. Seperti;obat terlarang
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan
d. Kesusilaan yang baik
B.3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Kewajiban Penjual
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu :
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
Kewajiban yang menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan
yang menurut hukum diperlukan untuk mengelihkan hak milik atas
barang yang diperjualbelikan itu dari pihak penjual kepada pembeli.
Oleh karena itu KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu :
barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh maka
penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk
masing-masing barang tersebut :
a. Penyerahan benda bergerak
Penyerahan benda bergerak cukup dengan penyerahan atas barang
tersebut, sesuai dengan pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut :
“penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh
dilakukan dengan penyerahan nyta akan kebendaan itu oleh atas
nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci dari bangunan dalam
b. Penyerahan kebendaan tidak bergerak
Bagi kebendaan tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam pasal
50630 dan pasal 508 KUHPerdata, kecuali mengenai hak ats tanah
yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang pokok
agrarian, penyerahan hak miliknya dilakukan dengan membuat
suatu akta otentik yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas
tanah tersebut dan selanjutnya mengumumkan dan mendaftarkan
sesuai dengan pasal 620 KUHperdata31 terhadap kebendaan berupa
tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, yang di jual
bersama-sama dengan tanah tersebut, berlakulah ketentuan yang
diatur dalalm UUPA, dimana jual beli dilakukan secara terang
(dihadapan pejabat pembuat akta tanah), dan tunai, (tanpa
diperlukan dua peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 584 KUHPerdata)32
Dengan demikian jelaslah jika dalam KUHPerdata penyerahan
benda tidak bergerak harus dilakukan dengan cara balik nama
penyerahan yuridis, namun dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun
1960 jo. Peraturan Pemerintahan No.24 Tahun 1997 tentang
pendaftaran tanah yang mengantikan PP No. 10 Tahun 1961, maka
30
Pasal 506 KUHPerdata : kebendaan tidak bergerak adalah : 1. Perkarangan dan yang di atasnya
2. Penggilingan, kecuali yang termaksud pasal 510 KUHPerdata 3. Pohon-pohon dan tanaman lading
4. Kayu tebangan selama belum di potong
segala hal yang berhubungan dengan jual beli, penyerahan dan
pengakutan hak atas tanah serta pendaftarannya diatur didalam dan
diselengarakan menurut PP No 24 tahun 1997, sedangkan untuk
kapal laut peraturan mengenai hak milik masih diatur dalam
Stb.1938-48
c. Penyerahan benda tidak bertubuh
Sesuai dengan pasal 613 KUHPerdata penyerahan akan piutang
atas nama dan benda tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan
sebuah akta autentik atauakta dibawah tangan dengan nama
hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain
Kewajiban pihak pembeli ialah:
a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah
dibuat
b. Memikul biaya yang timbl dalam jual beli, misalnya ongkos antar baiya
akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya
b.4 resiko dalam perjanjian jual beli
Dalam perundang-undangan masalah resiko dalam perjanjian jual beli diatur
sebagai berikut :
a. Benda atau barang yang sudah ditentukan
Barang yang sudah ditentukan dijual, maka resiko barang itu
saatpembelian menjadi tanggungan si pembeli walaupunbarang itu belum
dengan SEMA No 3 tahun 196333
(1). Bergantung pada letak dan tempat bendanya itu, dan
, sehingga ketentuan ini tidak dapat
diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:
(2). Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut34
b. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran .
Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran tetap menjadi
tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur.
Jadi sejakterjadinya penimbangan, penghitungan dan pengukuran atas
barang maka tanggungjawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli
(pasal 1461 KUHPerdata)
c. Barang yang di jual secara tumpukan
Jika barang yang di jual menurut tumpukan maka sejak terjadinya
kesepakatan tentang harga dan barang maka sejak saat itulah
barang-barang itu menjadi tanggung jawab si pembeli, walaupun belum
ditimbang, dihitung atau di ukur (pasal 1462 KUHPerdata)
Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligator saja,
yang berarti bahwa setelah kontrak tersebut dilakukan masih diperlukan tindakan
hukum lainnya, yakni penyerahan (lavering) yang dapat dilakukan setelah kontrak
jual beli dilakukan, mestinya resiko baru beralih pada saat seharusnya penyerahan
benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan.
33 Mahkamah Agung hendak menghindari kesalahan dalam penafsiran atau penerapan pasal 1460 KUHPerdata yang isinya antara lain menganjurkan kepada hakim di pengadilan-pengadilan untyk mengaggap pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi.
Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam pasal 1460 KUHPerdata diatasi
dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum 196335
yang memintakan para ahakim tidak memberlakukan pasal 1460 tersebut36
Dalam praktiknya, ketentuan umum tentang risiko tidak banyak berperan,
karena seperti yang banyak telihat pada prakteknya, masalah risiko telah banyak
diatur dalam perjanjian khusus, padahal prinsipnya ketentuan khusus didahulukan
terhadap ketentuan umum. Di luar itu, para pihak dalam perjanjian juga bebas
untuk mengatur sendiri masalah resiko, menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang bersifat menambah.
Orang boleh memperjanjikan, bahwa kerugian yang timbul sebagai akibat
dari kelalaiannya, dan juga kelalaian karyawannya, tidak ditanggung olehnya,
tetapi orang tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab kerugian yang
muncul dari kesengajaan, janji-janji dimana kreditur membebaskan diri dari
kewajiban menanggung risiko sebagai yang ditentukan dalam hukum yang
bersifat menambah, dinamakan klausula exonoratie. Klausula exonoratie banyak
terdapat pada perjanjian standar yang isinya dibuat oleh salah satu pihak dan
pihak lain ada pilihan untuk menerima atau menolak, klausula exonoratie ini juga
mengambil bentuk tanpa mengubah prinsip tanggung jawabnya, hanya karena
menetapkan maksimum ganti rugi yang akan dipikul apabila terjadi kerugian37
35 (“dengan tidak berlakunya lagi pasal ini (pasal 1460), maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggung jawaban atau risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau iya, ditentukan sampai mana”
.
Ketentuan pasal 1481 KUHPerdata menentukan bahwa kebendaan yang
dijual harus di serahkan, dalam keadaan seperti pada waktu penjualan dilakukan
ketentuan tersebut memberikan arti bahwa keadaan kebendaan pada saat
penyerahan dilakukan haruslah sesuai dengan saat kebendaan tersebut dijual.
Dengan keadaan yang demikian, berarti dapat dimintakan pertanggungjawaban
atas kewajiban penjual untuk memelihara dan merawat kebendaan hingga saat
penyerahan. Ini berarti meskipun jual beli telah berlaku secara sahpada saat
penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang di jual dan
harga pembelian kebendaan, selama kebendaan belum diserahkan, maka segala
hasil dan pendapatan yang diperoleh dari kebendaan tersebut masihlah menjadi
milik dari penjualdengan demikian tepatlah rumusan pasal 1481 ayat 2 yang
menyatakan “sejak waktu itu (waktu penyerahan) segala hal menjadi kepunyaan
pembeli”38
Berdasarkan pasal 1482 KUHPerdata yang merupakan pelaksanaan dari
ketentuan umum yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi :
“perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Dengan demikian maka jelaslah bahwa jual beli mengenai suatu
objekkebendaan tertentu adalah jual beli yang berhubungan dengan manfaat yang
akan ditarik dari kebendaan yang dibeli tersebut. Ini berarti secara objektif, jual
beli meliputi segala hal yang melekat pada kebendaan tersebut agar kebendaan