• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN dalam bab terakhir ini, penulis

PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM PERJANJIAN, KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM PERJANJIAN JUAL – BELI

1) Perjanjian Sepihak

2. Perjanjian bertimbal balik

1) Perjanjian Sepihak

BAB II : Tentang perikatan – perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan.

BAGIAN KESATU : Ketentuan – ketentuan umum. Dituangkan dalam pasal 1319 yang berbunyi :

“Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.

Menurut ketentuan pasal ini bahwa semua perjanjian yang terdapat dalam undang-undang keperdataan kita maupun yang terdapat diluarnya kesemuanya itu tunduk kepada peraturan umum dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dengan beralaskan ketentuan ini, maka kita dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan umum dari Bab I dan Bab II terhadap bentuk perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam Buku III, baik itu perjanjian sepihak maupun perjanjian bertimbal balik, dan perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang keperdataan. Dalam arti sejauh ketentuan tersebut dapat

diterapkan, hingga tidak bertentangan dengan tujuan dari hukum itu sendiri. Jadi bila mana ketentuan tersebut menimbulkan penyimpangan dari tujuan hukum, menurut hemat kami ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan.

Di dalam bagian umum dari Hukum Perjanjian, seperti yang telah kita ketahui, ada suatu pasal undang-undang yang mengatur soal risiko dalam perjanjian. Adapun pasal itu yaitu pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1237 berbunyi : “Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk menyerahkan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak terbitnya perikatan adalah menjadi tanggungan si debitur”.

Dari isi ketentuan pasal 1237 tersebut kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksudkannya adalah bahwa, sejak dari saat telah ditutupnya perjanjian hingga si berpiutang menguasai kebendaan tersebut, siberhutang tiada tahu-menahu lagi.

Jadi bila seandainya kebendaan tersebut ditimpa suatu peristiwa hingga mengakibatkan benda tersebut musnah atau hancur di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan tersebut dipikul oleh siberpiutang.

Kita akan melihat apakah ketentuan dari pasal 1237 itu dapat diterapkan terhadap bentuk perjanjian sepihak dan perjanjian bertimbal balik.

Prof. R. Subekti, SH mengatakan suatu “perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu”, adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak.68

68 Prof. R. Subekti, SH, Loc cit hal 56

perjanjian dimana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak memikirkannya bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu.

Selanjutnya beliau katakan. Bagaimanapun pasal 1237 itu hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak.69

Memang benar apa yang dikatakan Prof. R. Subekti itu bahwa suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. Karena bukankah perjanjian sepihak itu, suatu perjanjian yang hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan prestasi sebagai imbalan. Demikian juga halnya dengan ketentuan pasal 1237 tersebut. Karena ketentuan pasal tersebut hanya menyebtuka nsuatu perikatan untuk memberikan suatu barang dengan tidak adanya hak menuntut suatu contra prestasi dari lawannya sebagai imbangan dari kewajiban pihak pertama, seperti halnya jual beli dan tukar menukar.

Apakah dengan demikian hal ini telah berarti pasal tersebut bila diterapkan perjanjian sepihak, telah dapat memenuhi akan keadilan ? Dan apa masih ada lagi ketentuan pasal yang lainnya yang berhubungan dengan pengaturan soal risiko dalam perjanjian sepihak ?

Mengenai apakah dengan demikian, hal ini telah berarti pasal tersebut bila diterapkan terhadap perjanjian sepihak dapat memenuhi keadilan ?

69 Prof. R. Subekti, SH. Op Cit hal 57.

Menurut ketentuan pasal 1237 tersebut, bahwa semenjak perikatan diterbitkan, adalah atas tanggungan siberpiutang dari ketentuan ini kita dapat simpulkan, bahwa isi ketentuan ini sama maknanya dengan isi ketentuan pasal 1460, kami maksudkan sama dalam hal “walaupun barangnya belum diserahkan, asal saja perjanjian sudah ditutup maka bila barang tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka kerugian yang timbul akibat kemusnahan kebendaan itu dipikul oleh si berpiutang”. Sedang bilamana hal ini kita kaitkan dengan sistim pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah sebenarnya suatu ketentuan yang menyimpang juga, dimana menurut sistim yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak milik baru akan berpindah dengan dilakukannya suatu perbuatan yuridis yaitu “levering”. Jadi dengan begitu ketentuan pasal 1237 itupun menurut hemat kami tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian sepihak.

Memang benar kita mengakui bahwa, perjanjian sepihak itu hanya ada prestasi dari satu pihak saja, tetapi apakah dengan begitu, kita lantas pasrah saja terhadap kenyataan itu ?

Kita berbicara mengenai hukum, demikian dalam sistim pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak milik baru berpindah dengan perbuatna levering. Jadi adalah konsekwen kiranya bila dalam ketentuan soal risiko dalam perjanjian sepihak kitapun harus mengkaitkan dengan sistim pemindahan hak milik. Janganlah kita lantas berpikir bahwa dalam perjanjian sepihak itu karena tiada kita rugi bila kebendaan tersebut musnah atau hancur. Ya ! Kalau kebetulan kebendaan itu bagi kita tidak ebrguna dan berfungsi.

Bagaimana bila sebaliknya justru dengan kebendaan itulah nanti kehidupan ekonomi kita baru dapat berjalan baik. Bukankah ini suatu pukulan yang cukup berat ? Oleh karena itu ketentuan soal risiko didalam perjanjian sepihak harus ditautkan juga dengan sistim pemindahan hak milik.

“Apabila si debitur lalai untuk menyerahkan kebendaan itu, adalah semenjak saat kelalaian itu kebendaan menjadi tanggungannya”. Ayat 2

Maksudnya : Bilamana hari yang ditentukan dalam perjanjian untuk menyerahkan kebendaan itu telah lewat, juga masih belum diserahkan, maka jika kebendaan tersebut musnah akibat suatu peristiwa tak disengaja maka kerugian yang timbul dipikulkan oleh kreditur.

Dengan menghubungkan ayat 1 dengan ayat 2 nya maka pertanggungjawaban ditanggung pihak mana batasannya :

a. Semenjak perikatan dilahirkan hingga hari penyerahan kebendaan tersebut, musnahnya barang ditanggung kreditur.

b. Lewatnya hari yang ditentukan maka kemusnahan barang ditanggung oleh debitur. Hal ini telah logis.

Dengan meniti uraian diatas maka untuk penerapan pasal 1237 kita harus terlebih dahulu melihat bentuk perjanjian sepihaknya.

Ketentuan pasal yang lainnya yang berhubungan dengan pengaturan soal risiko dalam perjanjian sepihak.

Di dalam bab IV : Tentang hapusnya perikatan. Oleh pasal 1381 menyebutnya salah satu penyebab hapusnya perikatan adalah, karena musnahnya

barang yang terutang. Selanjutnya ketentuan ini diatur dalam bagian ketujuhnya dalam pasal 1444.

Pasal 1444 menyebutkan. “Apabila barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perjanjiannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si debitur dan sebelum ia lalai untuk menyerahkannya.” Ayat 1.

“Bahkan meskipun si debitur lalai menyerahkan barangnya sedang ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perjanjian hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama didalam penguasaan si kreditur setelah diserahkan kepadanya”.

Dari isi pasal 1444 itu kita dapat menarik inti kesimpulan bahwa, bila musnahnya suatu kebendaan atau tak dapatnya lagi kebendaan itu diperdagangkan oleh karena suatu peristiwa yang sama sekali diluar salahnya debitur maka kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan itu dipikul oleh si kreditur, asal saja tiada kelalaian dipihak debitur untuk menyerahkannya.

Kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan itu dipikul oleh kreditur, kami simpulkan dari perkataan “hapuslah perjanjian”. Karena dengan perkataan ini berarti para pihak kembali kepada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum perjanjian diadakan, yang jadi dalam hal yang satu dengan lainnya tidak dapat saling menuntut. Bahkan ayat 2 nya menambahkan, walaupun kelalaian ada pada pihaknya debitur pun tiada debitur dapat dimintakan

pertanggungjawabannya, asal saja barang tersebut toh juga akan musnah bila telah ada dalam kekuasaan si kreditur.

Isi ketentuan pasal 1444 tersebut secara dengan menyimpulnya bahwa adalah didalam bentuk perjanjian itu selalu ditentukan suatu waktu tertentu kapan si debitur harus menyerahkan barang tersebut. Jadi dengan ketentuan waktu ini ada suatu keseimbangan kepentingan terhadap benda tersebut antara kreditur dengan debitur hal ini cukup jelas terlihat dari ketentuannya yang menyatakan “sebelum ia lalai untuk menyerahkannya.” Jadi ada dua alternatifnya yaitu :

a. Bila si debitur lalai untuk menyerahkannya dalam waktu yang ditentukan, musnah, tak dapat lagi diperdagangkan kebendaan tersebut adalah atas tanggungan si debitur.

b. Bila si debitur tidak lalai untuk menyerahkannya dalam waktu yang sudah ditentukan, musnah tak lagi dapat kebendaan itu diperdagangkan adalah atas tanggungannya kreditur.

Dengan meniti uraian-uraian dua ketentuan pasal diatas maka cara untuk menentukan pasal ketentuan soal risiko yang mana harus diterapkan, harus terlebih dahulu menyimak bentuk-bentuk perjanjian sepihak itu dan seterusnya mengelompoknya. Sebagai bahan perbandingannya, kami akan ambil, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian penghibaan.

Perjanjian penitipan barang adalah terjadi apabila seorang menerima barang dari orang lain dengan kewajiban untuk menyimpang barang itu dan kemudian hari mengembalikan barang itu sewujud seperti semula. Pasal 1694.

Perjanjian pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana suatu pihak memberikan kepada pihak lain suatu barang bergerak atau tidak bergerak untuk dipakai dengan percuma, sedang pihak lain berwajib mengembalikan barang itu, setelah memakainya, atau setelah lampau suatu waktu tenggang waktu tertentu. Pasal 1740

Perjanjian penghibaan adalah suatu perjanjian, dalam mana satu pihak, berdasar atas kemurahan hati berjanji dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali sedang pihak kedua menerima baik penghibaan itu.

Ketiga bentuk perjanjian sepihak diatas dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok :

1. Untuk bentuk perjanjian penitipan barang dan pinjam pakai adalah perjanjian untuk menerima barang bukan untuk dimiliki tetapi kemudian dikembalikan kepada pemilik.

2. Untuk perjanjian penghibaan adalah perjanjian untuk menerima barang untuk dimiliki.

Jika ada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki, maka menurut hemat kami pasal 1237, 1444, dapat diterapkan, tapi sebaliknya bila ada perjanjian sepihak untuk dimiliki, maka selama barang tersebut belum diserahkan secara yuridis tetap atas tanggungan si debitur.

Sedang pasal yang bisa diterapkan menurut hemat kami bisa menerapkan ketentuan pasal 1237 dengan syarat perkataan “si berpiutang” ganti dengan

perkataan “si berhutang” dan di depan perkataan si berhutang ditambahkan perkataan hingga penyerahan dilakukan”. Ayat 2 nya dihilangkan.

Begitupun kiranya dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional, harus membedakan bentuk perjanjian sepihak antara menerima barang untuk dimiliki dan menerima barang bukan untuk dimiliki, agar secara tegas ditetapkan ketentuan pasal yang mengatur soal risikonya.

2) Perjanjian Timbal – Balik

Dalam penyelesaian suatu perkara yang menyangkut persoalan risiko dalam perjanjian bertimbal balik, jika kita menerapkan pasal-pasal yang sudah kita bicarakan diatas tadi tentu pasal-pasal itu tidak tepat dan sesuai. Untuk itu kita pun harus melihat perbandingan ketentuan-ketentuan pasal – pasal soal risiko di dalam perjanjian bertimbal balik.

Adapun pasal-pasal yang kami buat bahan perbandingan adalah : 1. Pasal 1545 ---mengenai risiko di dalam tukar menukar

2. Pasal 1553 ---mengenai risiko di dalam sewa – menyewa.

Pasal 1545 : Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk tukar menukar suatu barang tertentu yang telah disepakati untuk ditukar, musnah dengan tidak dikehendaki pemiliknya, adalah perjanjian menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya, dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-menukar.

Pasal 1553 : Apabila dalam suatu tenggang waktu sewa berjalan, barang yang disewakan musnah sama sekali karena suatu peristiwa yang dengan tidak dikehendaki atau disengaja maka perjanjian gugur demi hukum.

Dari isi kedua ketentuan pasal diatas kita melihat bahwa dalam halnya, tukar – menukar, barang yang menjadi objek perjanjian tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak, maka kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan tersebut dipikul oleh masing-masing pihak, sehingga dari pihak siapa yang telah memenuhi prestasi ia dapat menuntut kembali kebendaan yang telah diberikannya.

Dalam halnya sewa – menyewa barang yang menjadi objek perjanjian sewa – menyewa musnah diluar kesalahan salah satu pihak maka masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya dalam arti, bahwa pihak yang menyewakan tiada ia dapat menuntut ganti kerugian kepada si penyewa, demikian pun halnya dengan penyewa ia tidak dapat menuntut kembali uang sewa yang telah diserahkannya. Lain lagi dengan ketentuan yang diatur

dalam pasal 1460, dalam ketentuan ini hanya satu pihak saja yang memikul risiko yaitu pihak pembeli, malah ketentuan ini menetapkan walaupun kebendaan itu belum diserahkan si pembeli tetap menjadi pihak kewajibannya memikul risiko.

Dengan penilaian kepada masing-masing ketentuan yang telah kami utarakan, maka dengan pengidentikan kedalam kepatutan yang kita rasakan dan keadilan yang kita inginkan serta tujuan dari sewa – menyewa, jual beli dan tukar-menukar, kemudian dengan sistim pemindahan hak milik, bila perjanjian itu memang bermaksud hendak memindahkan hak milik disatu pihak dan mendapatkan hak milik di lain pihak, maka menurut hemat kami adalah, sesuai dan sudah tepat ketentuan pasla yang mengatur soal risiko dalam tukar menukar diterapkan terhadap perjanjian yang bertimbal balik, baik perjanjian bertimbal balik yang terdapat dalam Hukum Perjanjian yang tidak ada atau tidak adil pengaturan soal risikonya maupun perjanjian bertimbal balik yang timbul dari praktek.

Prof. R. Subekti, SH, mengatakan, melihat peraturan tentang risiko, yang saling bertentangan ini, kita bertanya manakah yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu perjanjian bertimbal balik pada umumnya dan manakah yang merupakan kekecualian. Pertanyaan ini harus dijawab, bahwa apa yang ditetapkan untuk perjanjian tukar – menukar itu harus dipandang sebagai azas berlaku umumnya dalam perjanjian yang bertimbal balik, karena peraturan yang diletakkan dalam pasal 1545 itu memang yang setepatnya dan seadilnya.70

70 Prof. R. Subekti, SH Op Cit hal 57-58

Beliau mengatakan lagi, peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar-menukar ini

sudah tepat sekali untuk suatu perjanjian bertimbal balik, karena dalam perjanjian yang demikian itu seorang menjanjikan prestasi demi untuk mendapatkan suatu kontra prestasi.71

Selayaknya dan seadilnya, bahwa apabila dalam suatu perjanjian bertimbal balik salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan sendirinya pihak yang lainnya juga dibebaskan dari kewajibannya. Memang, seorang hanya menyanggupi untuk memberikan suatu barang atau melakukan suatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau bahwa pihak lainnya akan melakukan suatu perbuatan juga. Kalau ia tak menerima barnag yang diharapkan, janganlah ia disuruh memberikan barangnya sendiri kepada lain orang yang tidak dapat menempati janjinya. Dan memang pada azasnya setiap pemilik menanggung segala risiko atas barang miliknya.

Berdasarkan dari apa yang telah diutarakan diatas maka pasal 1545 dapat diterapkan terhadap pengaturan soal risiko dalam perjanjian bertimbal balik dan hendaknya dalam pembentukan hukum perjanjian nasional isi ketentuan pasal itu dapat dicontoh dan ditetapkan menjadi suatu pasal pengaturan dalam soal risiko bagi perjanjian bertimbal – balik.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menganut sistim terbuka dengan sistim ini kita diperbolehkan untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

71 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 50

Disampingnya itu sistim terbuka mengandung suatu pengertian ; bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian-perjanjian yang terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk. Misalnya undang-undang hanya mengatur perjanjian-perjanjian jual - beli dan sewa – menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan “sewa – beli”, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dan sewa – menyewa. 72

Di Negara asal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di Nederland semenjak tahun 1936 sudah dimasukkan dalam B.W. dan di Inggris telah diatur dalam suatu undang-undang tersendiri.

Di Inggris perjanjian sewa beli ini diatur dalam suatu undang-undang yang bernama “Hire purchase Act 1965”, yang diadakan disamping “Sale of Goods Act”. Dalam “Hire-Purchase-Act 1965” tersebut diatas ia dikonstruksikan sebagai suatu “perjanjian sewa – menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya”. Maksudnya dari kedua belah pihak adalah ditujukan pada perolehan hak milik atas suatu barang disatu pihak dan perolehan sejumlah uang sebagai imbalannya (harga) di lain pihak.73

Di Negara kita perjanjian sewa beli ini belum ditempatkan dalam suatu undang-undang. Jadi dalam pemakaiannya hanya didasarkan kepada kebiasaan saja dan bahkan telah pernah diperkarakan dimuka Pengadilan Negeri Surabaya (duduk soal perkaranya tersebut telah kami berikan dalam punt 2 bab II dari skripsi ini).

72 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 14.

73 Prof. R. Subekti, SH. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional Cet-Pertama Penerbit Alumni hal 45 tahun 1976.

Terdesak oleh kebutuhan di dalam masyarakat kita sehingga bentuk perjanjian sewa – beli menjadi sebuah bentuk perjanjian yang mendapat tempat di masyarakat. Namun sangat disayangkan bentuk perjanjian ini belum mempunyai peraturan sehingga agak menyulitkan instansi peradilan dalam penyelesaian bila sampai menimbulkan suatu perkara, yang tidak mustahil bisa menimbulkan ketidakadilan dalam putusannya.

Dan yang akan lebih kita takuti, oleh karena banyaknya yang berminat mengadakan perjanjian seperti ini, dari pihak penjual tidak akan segan-segan untuk berbuat sewenang-wenang ketentuan-ketentuannya, yang tentu lebih menjurus untuk mencari untung yang sebesar-besarnya dipihaknya tanpa menghiraukan pihak lawannya, tentu juga bila timbul perselisihan agar pihaknya yang dimenangkan.

Kita telah melihat putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang penulis telah uraikan pada bab yang lalu.

Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kita rasakan kurang adil, hal ini dikarenakan tinjauan kita dari segi hukum, dan memang harus demikian, sebab permasalahan tersebut, permasalahan hukum.

Pada putusan tersebut Pengadilan Tinggi dalam putusannya mempertimbangkan ; bahwa perjanjian sewa – beli adalah suatu jenis jual – beli, sehingga mengetrapkan pasal 1460.

Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi, bahwa menurut isi perjanjian sewa – beli risiko atas

hilangnya barang karena keadaan memaksa dipikul oleh penyewa – beli adalah mengenai suatu kenyataan.

Dengan menarik kesimpulan dari putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka kita dapat mengatakan, keduanya instansi peradilan itu mengklasifikasikan perjanjian sewa beli sebagia perjanjian jual beli.

Menurut hemat penulis dengan meninjau latar belakang timbulnya perjanjian sewa – beli dan menganalisanya dari segi hukum, kita akan mempunyai pandangan pendapat yang berlainan dengan putusan kedua instansi Peradilan tersebut.

Sewa – beli pada mulanya timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan ke luar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan. Atau hasrat untuk membeli barang, tetapi calon-calon pembeli itu tidak mampu membayar harga sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima bahwa harga barang itu dicicil atau diangsur tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh si pembeli. Sebagai jalan keluar lalu ditemukan suatu macam perjanjian dimana selama harga belum dibayar lunas itu, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. Harga sewa yang dibayar sebenarnya adalah angsuran atas harga barang. Dengan dijadikannya “penyewa” (dengan kontrak yang juga berjudul “sewa – menyewa “), si pembeli itu terancam oleh hukum pidana “penggelapan”. Dengan perjanjian seperti itu kedua belah pihak tertolong, artinya si pembeli dapat mengangsur harga yang ia tidak mampu membayar sekaligus dan seketika dapat menikmati barangnya, sedangkan di sebelah lain si

penjual merasa aman karena barangnya tidak akan dihilangkan oleh si pembeli selama harga belum dibayar lunas. Adapun penyerahan hak milik (secara yuridis) baru akan dilakukan pada waktu sudah dibayar angsuran yang terakhir, penyerahan mana dapat dilakukan suatu pernyataan saja karena barangnya sudah berada dalam kekuasaan dalam kedudukannya sebagai penyewa. 74

Dengan uraian diatas kita dapat memahami bahwa dalam perjanjian sewa – beli, si penyewa beli selama angsuran harga belum dibayar lunas;

- Ia tiada lain hanya sebagai seorang penyewa terhadap barang yang dikuasainya.

- Karenanya tiada ia diperbolehkan menjual barang tersebut.

- Bila ia menjual barang tersebut ia akan dapat dituntut dengan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan.

Setelahnya angsuran harga telah dibayar lunas barulah : - Ia menjadi seorang pemilik terhadap barang tersebut.