• Tidak ada hasil yang ditemukan

sagu. Tetapi, bihun sagu yang terbuat dari pati sagu memiliki keterbatasan, diantaranya tidak mengandung gluten dan kekurangan sifat-sifat fungsional yang diperlukan. HMT merupakan teknik yang baik untuk meningkatkan kualitas bihun

sagu yang terdapat di dalam sagu. Penelitian menunjukkan bahwa pati sagu yang telah mengalami proses HMT berubah profil pastanya dari tipe A menjadi tipe B. Kualitas bihun sagu yang dihasilkan juga meningkat. Bihun sagu yang dihasilkan dari pati yang dimodifikasi HMT memiliki elastisitas yang lebih tinggi dan kelengketan yang lebih rendah daripada pati sagu non HMT. HMT dapat meningkatkan waktu pemasakan dari bihun sagu.

Bihun sagu merupakan produk yang dihasilkan dari pati sagu. Bihun sagu adalah makanan yang dikonsumsi secara luas di Asia Tenggara. Bihun sagu dibuat dari pati sagu dengan kandungan amilosa sebesar 425 g/100 g (Juliano dan Sakurai, 1985; Tungtrakul, 1998). Penelitian menunjukkan bahwa karakteristik bihun sagu sangat berhubungan dengan swelling power dan tekstur gel pati yang terdapat di dalam bihun sagu (Bhattacharya, Zee, dan Corke, 1999; Yoenyongbuddhagal dan Noohorm, 2002). Tepung yang berasal dari pati sagu memiliki keterbatasan dalam kualitas gelnya, sehingga tidak dapat digunakan untuk pembuatan bihun sagu. Karena pati berperan penting dalam kualitas bihun sagu, dan sifat-sifat fungsional pati dapat ditingkatkan dengan modifikasi pati (Bemiller, 1997), substitusi tepung segar oleh pati termodifikasi dapat meningkatkan kualitas bihun sagu yang dihasilkan.

HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi (Donovan, Lorenz, dan Kulp, 1983; Stute,1992; Tester dan Debon, 2000; Lim, Chung, dan Chung, 2001), membatasi proses swelling pati dan meningkatkan stabilitas pasta pati (Hoover

dan Vasanthan, 1994a, b; Jacobs, Eerlingen, Clauwaert, dan Delcour, 1995; Hoover dan Manuel, 1996; Eerlingen, Jacobs, Block, dan Delcour, 1997),

mengubah struktur gel pati dan meningkatkan kekerasan gel pati HMT (Chung, Moon, dan Chun, 2000; Liu, Corke, dan Ramsden, 2000). Collado and Corke (1997). Sifat-sifat mekanikal gel pati tergantung pada perbandingan volume dan rigiditas granula pati tergelatinisasi (Biliarderis, 1998).

Aplikasi modifikasi pati sagu dengan metode HMT dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bihun sagu. Proses pembuatan bihun sagu dari pati adalah sebagai berikut: sebanyak 5 % pati dari total pati untuk adonan dicampur air dengan perbandingan 1:7 lalu dipanaskan sehingga tergelatinisasi. Gelatinisasi sebagian pati (pre-gelatinisasi) dengan porsi yang lebih besar dapat memudahkan

proses pematangan akhir lebih cepat. Adonan dengan tingkat pre-gelatinisasi 10 hingga 20 % dapat menghasilkan bihun yang baik. Pati yang tergelatinisasi tersebut digunakan sebagai binder adonan. Binder berfungsi sebagai perekat pati sehingga dapat membentuk adonan dengan baik. Binder dicampurkan dengan pati kering dan diadon hingga merata. Jika jumlah binder kurang dari jumlah yang seharusnya dapat berakibat kurangnya pengikatan adonan sehingga bihun rapuh dan mudah patah. Sedangkan, jika binder terlalu banyak, dapat menyebabkan adonan terlalu lengket. Adonan selanjutnya dicetak menjadi untaian bihun sagu dengan alat pencetak bihun atau ekstruder. Untaian bihun sagu direbus dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit, kemudian direndam dalam air dingin, dan ditiriskan. Bihun sagu dikeringkan pada suhu 40 oC di dalam convection dryer

(Kim et al., 1996; Collado et al.,2001; Susilawati, 2007).

Kondisi optimum modifikasi pati sagu dicapai dengan waktu modifikasi 4 jam dan melalui pencucian. Dengan karakteristik gelatinisasi yang mendekati tipe C dan kekuatan gel yang tinggi, pati yang termodifikasi pada kondisi optimum tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas bihun sagu. Substitusi pati sagu termodifikasi HMT pada produksi bihun bertujuan untuk memperbaiki kualitas adonan maupun kualitas bihun yang dihasilkan.

Pembuatan bihun sagu diawali dengan membuat binder (pengikat) adonan. Sebanyak 20% sagu dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1:2. Ke dalam suspensi ditambahkan STPP (sodium tripolifosfat) sebagai pembentuk tekstur. Suspensi dipanaskan sambil diaduk hingga tergelatinisasi yang ditandai dengan meningkatnya kekentalan maupun transparansi suspensi. Sagu yang digunakan sebagai binder adalah sagu alami karena pasta pati sagu termodifikasi HMT cenderung bersifat short atau sponable sehingga tidak mampu berperan sebagai pengikat adonan. Binder yang diperoleh dicampurkan dengan 80% bagian tepung yang sebelumnya telah dicampur dengan guar gum. Campuran diadon sehingga diperoleh adonan yang homogen. Adonan dimasukkan ke dalam multifunctional noodle machine yang bekerja dengan prinsip ekstrusi. Ulir tunggal yang berputar dalam mesin akan menekan dan mendorong adonan keluar melalui die dengan ukuran tertentu. Penggunaan pati termodifikasi pada produksi bihun mulai terlihat saat proses ekstrusi. Bihun yang diproduksi dari 100% pati alami bersifat sangat

lengket sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses ekstrusi. Keluarnya untaian bihun juga menjadi tidak seragam dan bihun hanya keluar melalui beberapa die. Lebih lanjut, untaian bihun yang keluar dari die yang berdekatan akan saling menyatu dan sulit untuk dipisahkan.

Adonan bihun yang dibuat dari campuran pati termodifikasi HMT 25% dan 50% bersifat tidak terlalu lengket sehingga lebih mudah diekstrusi. Untaian bihun selanjutnya dibentuk dan diletakkan di atas pelat-pelat berlubang. Penyusunan untaian bihun dari pati alami 100% sulit dilakukan karena untaian melekat satu sama lain. Sementara itu, penyusunan untaian bihun dari pati sagu HMT 50% mudah dilakukan untaian terpisah dengan baik. Untaian bihun yang diletakkan di atas pelat berlubang dikukus pada suhu 950C selama 2 menit. Kelengketan untaian bihun pati 0% HMT semakin meningkatsetelah pengukusan berlangsung, dimana penyatuan untaian bihun menjadi semakin kuat dan sulit dipisahkan. Untaian bihun yang telah dikukus dikeringkan denganm oven udara pada suhu 600C selama 35 menit untuk mencapai kadar air yang relatif aman untuk penyimpanan. Bihun sagu yang diperoleh dikemas dengan menggunakan kemasan plastik PP (Polyprophylene) untuk melindunginya selama penyimpanan.

Pengaruh penggunaan pati sagu termodifikasi HMT diketahui dengan melakukan karakterisasi terhadap bihun sagu yang diperoleh. Karakteristik yang diuji antara lain intensitas warna, waktu rehidrasi, berat rehidrasi, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), tekstur dengan texture analyzer dan penilaian organoleptik. Secara visual, perbedaan warna dan kecerahan bihun sagu dengan tingkat substitusi pati sagu termodifikasi HMT yang berbeda juga terlihat pada bihun yang telah direhidrasi (dimasak) kembali. Bihun sagu substitusi 50% pati sagu HMT terlihat mempunyai warna yang lebih gelap bila dibandingkan dengan bihun sagu tanpa substitusi dan substitusi sebanyak 25%. Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa bihun sagu dari bahan baku pati termodifikasi HMT mempunyai intensitas warna merah yang lebih tinggi namun mempunyai kecerahan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan bihun sagu dari bahan baku pati alami. Demikian juga halnya hasil rehidrasi bihun tersebut. Hasil rehidrasi bihun dari bahan baku pati sagu termodifikasi HMT memiliki

intensitas warna merah yang lebih tinggi namun memiliki tingkat kecerahan bila dibandingkan dengan bihun dari pati sagu alaminya (Purwani et al. 2006).

Penambahan pati sagu termodifikasi HMT diharapkan dapat menurunkan berat rehidrasi bihun, karena bihun dengan berat rehidrasi yang tinggi cenderung mengalami pembengkakan baik selama pemasakan maupun pasca pemasakan. Berat rehidrasi produk bihun sangat terkait dengan kemampuan penyerapan air selama proses rehidrasi berlangsung. Untaian bihun yang dapat mnyerap air lebih banyak akan mempunyai berat rehidrasi yang lebih tinggi dan sebaliknya untaian bihun yang kurang mampu menyerap air akan mempunyai berat rehidrasi yang lebih rendah.

Walaupun mempunyai kehilangan padatan terlarut yang relatif lebih tinggi, bihun yang dihasilkan dari pati sagu yang disubstitusi pati termodifikasi HMT mempunyai nilai KPAP yang lebih konsisten. Tingginya nilai KPAP pada bihun yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT sebanyak 50% sangat terkait dengan tingginya fraksi pati terlarut dan pati yang tidak mampu membentuk gel (tersuspensi) pada pati sagu termodifikasi HMT dengan pencucian yang digunakan sebagai pensubstitusi.

Kemampuan pati termodifikasi HMT dalam meningkatkan tekstur bihun kemungkinan terkait dengan kekuatan gel dan viskositas setback pati termodifikasi HMT. Pati termodifikasi HMT dengan perlakuan pencucian dan waktu 4 jam memiliki kekuatan gel dan viskositas setback yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati alaminya. Pati dengan kekuatan gel yang lebih tinggi kemungkinan akan membentuk tekstur bihun yang lebih kokoh dan meningkatkan mouthfeel pada saat bihun tersebut dikonsumsi. Peningkatan kekerasan bihun yang dibuat dari pati termodifikasi HMT telah dilaporkan oleh Purwani et al. (2006) dan Collado et al. (2001).

Adanya perbedaan tingkat kesukaan bihun sagu menunjukksn bahwa substitusi bihun sagu dengan pati termodifikasi HMT dapat meningkatkan penerimaan panelis. Peningkatan penerimaan panelis terhadap bihun sagu yang disubstitusi pati sagu termodifikasi HMT memberikan bukti bahwa pati sagu termodifikasi HMT dapat memperbaiki kualitas bihun sagu walaupun penilaian

yang dilakukan secara objektif hanya dapat menjelaskan adanya penurunan waktu rehidrasi dan peningkatan kekerasan bihun sagu.

Pati garut dapat dijadikan bahan untuk membuat pati resisten tipe III. Pembuatan pati resisten terdiri dari dua tahap yaitu gelatinisasi dan retrogradasi. Pada tahap awal pati yang disuspensikan digelatinisasi terlebih dahulu melalui pemanasan pada suhu tinggi. Tujuan gelatinisasi adalah pembengkakan granula pati melalui pemanasan menggunakan air berlebih sehingga amilosa keluar. Akan tetapi sebelum autoclaving, suspensi pati dipanaskan terlebih dahulu pada suhu ± 70 0C agar didapat pasta pati yang homogen. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mun dan Shin (2005) yang menggunakan pati jagung dimana pati jagung hanya disuspensikan kedalam air kemudian langsung diautoklaf. Hal ini mungkin disebabkan perbedaan ukuran granula pati pada pati garut dan pati jagung. Pati garut memiliki ukuran granula pati yang lebih besar, yaitu sebesar 30-70 µm (Suriani, 2008), dibandingkan ukuran granula pati jagung yang hanya sebesar 5-25 m (Belizt dan Grosch, 1999). Besarnya ukuran granula pati garut menyebabkan pengendapan pada saat pati garut disuspensikan kedalam air, sehingga ketika suspensi pati garut tersebut diautoklaf pati tidak membentuk gel tetapi membentuk kristal pati yang keras akibat tekanan yang tinggi saat autoclaving. Selanjutnya pati yang telah tergelatinisasi didinginkan sehingga terjadi retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al., 2006).

Pembuatan pati modifikasi ini menggunakan perlakuan 3 siklus

autoclaving dengan waktu gelatinisasi selama 15 menit. Menurut Pratiwi (2008b),

pati garut modifikasi perlakuan 3 siklus autoclaving dengan waktu gelatinisasi 15 menit memiliki daya cerna pati yang rendah serta kadar RS tipe III yang cukup tinggi.

Menurut Whiteley (1971), ada dua metode dasar pencampuran adonan

cookies, yaitu metode krim (creaming method) dan metode all-in. Pada metode krim, semua bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur terlebih dahulu lemak dan gula kemudian ditambah pewarna dan essens lalu ditambah susu diikuti penambahan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah

dilarutkan dalam air. Sedangkan metode pembuatan cookies dengan metode all-in, yaitu semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang.

Cookies yang dibuat berbahan baku PGT dan cookies berbahan baku terigu sebagai pembanding. Pembuatan cookies yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dengan pembentukan krim dari gula halus, margarin, susu skim, dan kuning telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan mixer kecepatan tinggi. Setelah krim berwarna pucat ± 10 menit kemudian ditambahkan garam dan bahan pengembang. Setelah itu, ditambahkan tepung atau pati garut termodifikasi secara perlahan-lahan sehingga terbentuk adonan cookies. Sebelum pembentukan adonan, waktu pencampuran harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Menurut Matz dan Matz (1978), pencampuran dan pengadukan dengan metode krim baik untuk cookies

yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan.

Adonan kemudian digiling menjadi lembaran dengan ketebalan ±8 mm, kemudian dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang lalu dipanggang dalam oven pada suhu 160-170 oC selama ±12 menit. Setelah matang didinginkan agar terjadi penguapan air.

Rendemen cookies dihitung berdasarkan perbandingan berat adonan dengan berat cookies setelah pemanggangan. Rendemen cookies PGT tidak berbeda jauh dengan cookies terigu. Lebih rendahnya berat cookies dibandingkan berat adonannya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya sisa adonan yang tidak dapat tercetak sehingga adonan tersebut tidak dipanggang dan terjadi penguapan air saat pemanggangan sehingga mengurangi berat cookies setelah pemanggangan.

Sifat gel pati termodifikasi HCl dan α-amilase adalah berbeda. Pati termodifikasi HCl memiliki gel yang bersifat rigit, sedangkan untuk pati termodifikasi α-amilase memiliki sifat gel yang elastis seperti pati tapioka murni. Perbedaan sifat gel tersebut dapat menentukan penggunaan keduanya dalam industri.

Pati biasanya digunakan sebagai bahan pengisi saus, sup, dan makanan bayi (Knight,1969; Scoch di dalam Inglett, 1970). Pati yang digunakan untuk bahan pengisi harus dapat meningkatkan total mpadatan pada produk, tapi tidak boleh meningkatkan viskositas.

Pada makanan bayi, pati berfungsi sebagai pengental. Sebagai bahan pengisi, pati harus mudah dicerna dan gel yang diinginkan adalah gel yang padat tapi tidak terlalu keras atau terlalu lunak, penampilan menarik dan tidak mengeras selama proses (Knight, 1969). Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka pati termodifikasi HCl dapat digunakan sebagai bahan pengisi makanan bayi.

Dilihat dari sifat gel yang dihasilkan, pati termodifikasi HCl dapat juga digunakan untuk pembuatan puddingdan permen jelly karena membutuhkan gel yang firm (Radley, 1976). Pada pembuatan kembang gula, pati digunakan untuk mempertahankan tekstur terutama pada jenis permen jelly. Sifat utama yang menentukan teksturyaitu sifat gel waktu pendinginan. Pati yang lebih cair sering dipakai karena cenderung membentuk gel yang kuat pada waktu pendinginan sehingga mempertahankan viskositas (wurzburg di dalam Furia).

Pada Salad dressing dari jenis mayoneis, pasta pati digunakan sebagai bahan pemantap emulsi minyak. Salad dressing adalah emulsi setengah padat dari minyak sayur, dan kuning telur dengan pasta pati dan ditambah bahan pengasam. Jenis pati merupakan faktor penting dalam menentukan mutu salad dressing. Sifat-sifat pasta harus dapat membentuk mayoneis yang baik. Pasta pati harus tahan terhadap asam, tidak boleh berbentuk gel atau sineresis, dan harus tahan terhadap gesekan (Wurzburg, di dalam Furia). Melihat sifat-sifat tersebut maka pati termodifikasi HCl juga dapat digunakan pada pembuatan salad dressing.

Sifat gel pati termodifikasi α-amilase yang elastis dapat digunakan sebagai bahan pengisi pudding, Ice cream horn dan sejenis mie yang elastis (Scoch, 1970). Pada industri kertas, pati dapat digunakan sebagai bahan perekat. Untuk memperoleh kertas yang baik, dibutuhkan perekat yang memiliki sifat alir yang baik. Dan untuk mendapatkan sifat alir yang baikmaka perekatnya harus memiliki berat molekul yang rendah agar lebih selektif sebagai perekat. Selain itu juga diperlukan sifat pati yang kecenderungan untuk beretrogradasi kecil, karena retrogradasi cenderung mengubah sifat-sifat alir dari campuran perekat sehingga

mempengaruhi proses pelapisan pada pembuatan kertas (Wurzburg di dalam Furia). Berdasarkan sifat-sifat ini maka pati termodifikasi α-amilase dapat digunakan pada pembuatan kertas karena pati tersebut memiliki kecenderungan retrogradasi yang kecil dengan berat molekul yang rendah pula.

Dengan modifikasi asam, viskositas panas yang lebih rendah lebih cepat diperoleh dibandingkan modifikasi dengan enzim α-amilase. Modifikasi HCl dan modifikasi α-amilase dapat menurunkan viskositas pati akibat terdegradasinya rantai molekul pati menjadi fragmen yang memiliki bobot molekul rendah. Makin lama proses modifikasi berlangsung, maka viskositas pati tersebut makin rendah. Penurunan viskositas ini disebabkan oleh rapuhnya granula pati sehingga tidak dapat menyerap air secara maksimum, sehingga pengembangan lebih rendah daripada pati tanpa modifikasi. Hidrolisis granula pati juga akan mempengaruhi suhu gelatinisasi pati, dimana semakin lama proses hidrolisis berlangsung maka suhu gelatinisasi pati semakin tinggi.

Pati garut dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuat pati resisten tipe III. Pembuatan pati resisten terdiri dari dua tahap, yaitu gelatinisasi dan retrogradasi. Pada tahap awal, pati yang disuspensikan digelatinisasi terlebih dahulu melalui pemanasan pada suhu tinggi. Tujuan gelatinisasi adalah pembengkakan granula pati melalui pemanasan menggunakan air berlebih sehingga amilosa keluar. Akan tetapi, sebelum autoclaving, suspensi pati dipanaskan terlebih dahulu pada suhu sekitar 700C agar didapat pasta pati yang homogen. Selanjutnya pati yang telah tergelatinisasi didinginkan sehingga terjadi retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Perlakuan panas dengan autoclaving dan penambahan air dapat menyebabkan ekspansi matrik pati dan gelatinisasi granula. Selama proses pendinginan setelah

autoclaving, sebagian fragmen yang terlarut akan menyatu kembali membentuk

lapisan kaku dan kuat pada permukaan granula. Perubahan saat modifikasi pati terjadi karena penyatuan kembali amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin dan pembentukan gel yang keras menyebabkan granula pati tahan terhadap panas dan resisten terhadap enzimolisis (Raja dan Shindu 2000).

Berdasarkan Mahadevamma dan Tarathanan (2003) kadar pati resisten dapat ditingkatkan melalui autoclaving-cooling berulang.. Hal ini diperkuat oleh Edmonton dan Saskatoon (1998) yang menyatakan bahwa kandungan pati resisten tipe III dapat ditingkatkan dengan memanaskan dan mendinginkan secara berulang pati yang telah tergelatinisasi. Sedangkan variasi perlakuan waktu gelatinisasi bertujuan untuk mengamati pengaruh lama gelatinisasi terhadap pati yang dihasilkan. Proses retrogradasi dilakukan pada suhu rendah karena dapat meningkatkan kadar pati resisten (Zabar et al. 2008).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait