• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muhyiddîn Ibn ‘Arabî, lahir di Mursia, Pantai Timur Andalusia, pada tahun 560 H./1165 M., ketika usianya menginjak delapan tahun ia pidah ke Seville hingga berumur

176 al-Ghazâlî, Mi’râj al-Sâlikîn, op.cit., hal. 29. 177 al-Ghazâlî, Ma‘ârij al-Quds, op.cit, hal. 56.

178 al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, hal. 252-256; Al-Ghazâlî, Ihyâ', Juz III, hal. 78; al-Ghazâlî, Mîzân al-‘Amal, hal. 201-206.

179 Muhammad Yasîr Syaraf, Harakat al-Tashawwuf al-Islâmî, (Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyyah, 1986), hal. 217-218.

20 tahun. Di Seville ia belajar ilmu Hadîs, Fîqh, ilmu Kalam dan beberapa aliran fîlsafat kepada para Ilmuwan Andalus seperti Abû Bakar Ibn Khalaf. Tempat-temapat yang pernah ia singgahi: Cordova, Ghornathoh, Maroko, Tunis, Mesir Hijâz, Baghdâd dan akhirnya ia meninggal di Damaskus pada tahun 638 H./1240 M. Dunia Sufî ia masuki setelah ia pindah ke Tunis pada tahun 1194 M.

Manusia sempurna menurut Ibn ‘Arabî adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Tuhan secara sempurna tergambar pada diri manusia sempurna, karena ia telah mampu menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang.180 Kemampuannya menyerap semua nama dan sifat Tuhan tersebut, dikarenakan manusia itu mencakup realitas alam dan totalitas alam (majmû’ al-‘âlam), dan karena itu pula manusia disebut sebagai miniatur alam (mukhtashar al-‘âlam). Bila manusia disebutnya sebagai “alam kecil” atau microcosmos, maka alam selain manusia disebutnya sebagai “alam besar” atau macrocosmos.181

Ibn ‘Arabî membagi alam menjadi empat bagian: (1) ‘âlam al-A‘lâ (alam baqa’), (2)

‘âlam al-Istihalah (alam fanâ’), (3) ‘âlam al-Ta‘mîr (alam baqa’ dan fanâ’) dan (4) ‘âlam al-Nasab. Keempat alam tersebut terakumulasi dalam al-’âlam al-Akbar dan ’âlam

al-Shaghîr.182

Dalam doktrin Ibn ‘Arabî, manusia sempurna bukan hanya sebab bagi adanya alam, tetapi juga sebagai pemelihara dan pelestari alam.183 Dalam hal ini manusia sempurna memiliki kedudukan sebagai khalîfah. Segala sesuatu dalam alam ini tunduk kepada manusia, karena manusia merupakan perpaduan antara realitas wujud, termasuk realitas alam baik yang tinggi maupun yang rendah.

Mengenai sosok manusia sempurna partikular, Ibn ‘Arabî mengklasifikasikan manusia itu pada dua bagian: Manusia Sempurna dan Manusia Binatang. Pembagian tersebut didasarkan pada tingkatan derajat manusia dalam mencapai kesempurnaan spiritualnya. Dalil naqli yang dijadikan sebagai justifîkasi dari klasifikasi manusia tersebut adalah firman Allah yang menyatakan:

اَم ةَرْو ُص يَأ ِف ،كَلَدَعَف كاَّوَسَف كَقَلَخ يِ َّلا ،مْيِرَكْلا كِّبَرِب كَّرَغ اَم ناَسْنِ ْلإا اَهُّيَأي

كَبَّكَر ءا َش

“Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu berbuat durhaka terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan

kejadianmu dan menjadikanmu seimbang. Dalam bentuk apa yang Ia kehendaki, Dia

menyusunmu”.184

180Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabî, hal. 127.

181Ibid, hal. 129; lihat juga, al-Nasysyâr, op.cit., Juz V, hal. 175.

182Ibn ‘Arabî, Al-Futûhât al-Makkiyah, (Kairo: Al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitâb, 1972), vol.2, hal. 331.

183Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, ed. Abû al-‘Alâ al-‘Afîfî, (Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1980), vol. l, hal.50.

Pengklasifikasian tersebut juga dapat dianalogikan pada kesempatan yang lain, di mana ia membagi manusia, antara ‘abd al-Rab (hamba Tuhan) dengan ‘abd al-Nazhar

(hamba nalar).185

‘Abd al-Rabb (hamba Tuhan) adalah manusia yang jiwa dan qalb (hati)-nya suci, bebas dari hawa nafsu dan ikatan badaniyah dan mampu menyingkap segala realitas sesuatu. Kategori manusia ini disebut oleh Ibn ‘Arabî sebagai manusia dalam formasi ukhrawi ( al-Nasy’ah al-Ukhrawiyah), ia ma‘rifah kepada Tuhannya melalui intuitif (dzawq), bukan dengan akalnya, bahkan akal ia tempatkan pada wilayah kekuasaan ma‘rifah-nya. Dalam arti akal tunduk pada kebaikan-kebaikan yang menguasai jiwanya. Sedangkan ‘Abd al-Nazhar

adalah manusia yang terikat oleh nafsu dan condong kepada dimensi materialnya, ia tidak mengetahui realitas-realitas segala sesuatu, karena masih ada hijâb yang menghalanginya. Ia berada dalam formasi duniawi.186

Untuk mencapai maqâm manusia sempurna, menurut Ibn ‘Arabî, adalah melalui

takhalluq, yakni menerima atau mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri manusia yang berbentuk potensional menjadi aktual. Takhalluq ini -menurutnya- telah dicontohkan dengan sempurna oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah yang berbunyi:

ميظع قلخ لىعل كناو

“Sesungguhnya engkau mempunyai akhlaq yang agung”.187

Takhalluq adalah jalan menuju Tuhan yang melahirkan akhlaq yang mulia. Takhalluq,

menurut Ibn ‘Arabî, identik dengan tasawuf. Ia menyatakan bahwa “Berakhlaq dengan akhlaq Allah adalah tasawuf”.188

Konsep al-Insân al-Kâmil yang dibentangkan oleh Ibn ‘Arabî di atas sampai pada suatu kesimpulan bahwa hanya ada satu wujud hakikat yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri; ia hanya ada sejauh bisa menampakkan wujud Tuhan.

Alam adalah lokus penampakan diri Tuhan. Al-Insân al-Kâmil (manusia sempurna) merupakan lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Karena ia mampu menyerap semua nama dan sifat Tuhan. Kemampuannya tersebut disebabkan Tuhan telah menciptakannya menurut shûrah-Nya yang ada dalam bentuk potensialitas. Manusia sempurna mengubah gambar Tuhan dalam potensialitas menjadi gambar Tuhan dalam aktualitas.

Uraian-uraian tentang pandangan al-Insân al-Kâmil yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî di atas, dalam beberapa hal terdapat kesamaan dengan konsep al-Insân al-Kâmil yang dipaparkan oleh al-Jîlî. Di antara kesamaan-kesamaan tersebut adalah sebagai berikut;

Pertama, Manusia sempurna adalah cermin bagi Tuhan, Ibn ‘Arabî menyebutnya

shûrah.189Kedua, manusia sempurna adalah akumulasi dari segala hakikat wujud. Hakikat

185 Toshihiko Izutsu, Sufîsm and Taoism, (Los Angeles: University of California Press, 1983), hal. 255. 186 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, vol.I, hal. 185; Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabî, hal. 135-136. 187 QS. al-Qalam (68): 4.

188 Ibn ‘Arabî, al-Futûhat, vol. 2, hal. 267.

wujud tersebut terdiri dari hakikat wujud ‘ulyâ (tinggi) dan suflâ (rendah).190 Ketiga, Kedudukan manusia sempurna -menurut keduanya- sebagai khalîfah Tuhan di bumi.191

Keempat, keduanya sepakat, bahwa sosok manusia sempurna yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad saw; Kedudukannya sebagai al-Insân Kâmil yang universal, ia adalah wujud yang pertama ada dan kekal selama-lamanya, dan ia akan ber-tajallî dalam berbagai bentuk sepanjang zaman.192

Adapun pendapat Ibn ‘Arabî yang dikritik oleh al-Jîlî adalah tentang kedudukan sebagian malaikat yang melebihi manusia sempurna. Ia katakan: “Menurut Syaikh (Ibn ‘Arabî), Allah menjadikan malaikat Muhimmah dan Muhakkimah kedudukannya berada di antara Allah dan alam, sementara martabatnya berada di tengah-tengah antara Tuhan dan manusia sempurna. Akan tetapi menurut pendapatku manusia sempurna itu berada di atas para malaikat tersebut”.193