• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ibn Sabi‘în (‘Abd al-Haqq Ibn Sab‘în al-Andalusy)

Ibn Sabi‘în yang nama lengkapnya ‘Abd al-Haqq Ibn Sab‘în adalah seorang sufî terkemuka dari Andalusia (Spanyol). Ia lahir di Mursia pada tahun 1217 M. (614 H.). Selain mendapatkan bimbingan dari sejumlah gurunya dalam berbagai disiplin ilmu agama. Ia juga mendalami sendiri buku-buku yang diminatinya. Melalui ketekunannya ia telah berhasil menguasai berbagai aliran fîlsafat Yunani, Hermetisme, Persia, dan India. Di samping itu, ia juga menguasai pemikiran al-Farâbî, Ibn Sîna, Ibn Bajah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd dan golongan Ikhwân al-Shafâ’.

Ibn Sabi‘în menggunakan term al-Muhaqqiq untuk manusia sempurna. Ia adalah orang yang mendapatkan ilmu tahqîq,201 dan dalam dirinya terakumulasi segala kesempurnaan wujud dan alam keruhanian (‘irfâniyyah).202

Pengetahuan tentang tahqîq, menurutnya haruslah melalui Nabi, dan manusia tidak akan mengenali Nabi kecuali melalui Wâris (wali). Wâris tersebut adalah al-Muhaqqiq. Jadi, al-Muhaqqiq (manusia sempurna) adalah perantara (wâsithah) antara Tuhan dan

196 Orang yang telah mencapai tingkat ini adalah al-Suhrawardî sendiri. Lihat, Yûsuf Zaidân, Fîkr

al-Shûfî, hal. 107-108; Henry Corbin, Târîkh al-Falsafah al-Islâmîyah, terj. Nashîr Murûwah dan Hasan Qubaysî, (Beirût: Mansyûrah ’Uwaydah, 1966), jilid I, hal. 324.

197 Ensiklopedia Islam Indonesia, hal. 867. 198Ibid, hal. 109.

199 al-Jili, al-Insân al-Kâmil, juz II, ha.71-77 200 Ensiklopedia Islam Indonesia, hal. 378.

201Tahqîq adalah ilmu ma‘rifah dengan melalui intuitif yang khas, ia digambarkan sebagai ilmu yang tidak pernah didengar pada masanya dan tidak muncul ketika itu.

alam.203 Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-Jîlî, bahwa al-Insân al-Kâmil adalah perantara yang menghubungkan antara Tuhan dan alam.204Al-Muhaqqiq adalah pengatur alam (al-mudabbir al-‘âlam) dalam setiap zaman dan tempat dengan segala kekuatan dan aktivitasnya. Al-Jîlî menjelaskan bahwa al-Insân al-Kâmil bertugas mengatur dan memelihara alam dalam peredaran di seluruh alam wujud dari awal hingga akhirnya.205

Untuk mencapai maqâm kesempurnaan tersebut, menurut Ibn Sabi‘în, manusia harus melalui proses pendakian ruhani (al-taraqqî) yang diistilahkannya dengan al-safar. Sedangkan al-Jîlî menyebutnya dengan istilah al-Tajallîyah. Perbedaan di antara keduanya hanya terletak pada sistematika proses pendakian ruhani tersebut. Jika Ibn Sabi‘în tidak menyebutkan secara sistematis dari fase-fase yang harus dilalui dalam proses pendakian ruhani tersebut maka al-Jîlî menyebutkannya secara rinci.206

Proses pendakian ruhani itu menurut keduanya tidak keluar dari batas-batas syarî‘ah, karena secara lahir masih tetap melaksanakan tuntunan syarî‘ah. Syarî‘ah merupakan suatu keniscayaan yang harus dijalankan bagi orang Islam, sedangkan pendakian ruhani hanya dilaluinya secara bâthin.207

RESISTENSI & PEMBINAAN FITRAH

A. PENGERTIAN FITRAH

banyak argumentasi yang dikemukakan oleh para ahli yang menafsirkan ayat-ayat Allah SWT dan hadits Rasul mengenai makna fitrah. Para ahli mulai memformulasikan makna fitrah, tiap-tiap formulasi yang dihasilkannya melalui kajian argumentasi yang kuat. Pemaknaan tentang konsep fitrah pada dasarnya ingin membuktikan hakikat manusia yang dalam Islam tercermin dalam konsep fitrahnya. Konsep fitrah yang disodorkan Islam tentang hakikat manusia tentunya akan berbeda dengan konsep fitrah menurut Kristen yang menyatakan bahwa manusia lahir dengan seperangkat dosa warisan, yakni dosa asal yang diakibatkan perbuatan Adam. Kemudian di lain pihak kalangan pemikir barat yang menciptakan aliran behaviorisme dalam psikologinya memandang bahwa manusia terlahir tidak mempunyai kecenderungan baik maupun buruk (netral), yang kemudian teori ini terkenal dengan tabula rasa.

Islam mempunyai pandangan tersendiri tentang konsep manusia, hal ini terekam dalam ayat-Nya dan salah satu hadits yang kemudian menimbulkan beberapa penafsiran diantara para pemikir Islam.

Beberapa pemikir Islam mengemukakan teorinya tentang fitrah dari penafsiran ayat dan hadits, diantaranya :

Pertama, fitrah berarti kesucian (thuhur), menurut al-Auzai, fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani.

Kedua, fitrah berarti potensi ber-Islam. Pemaknaan ini dikemukakan oleh Abu Hurairah

203Ibid, hal. 269.

204al-Jîlî, op.cit., Juz ll. hal. 72. 205Ibid.

206Yûsuf Zaidân, al-Fîkr al-Shûfî, op.cit., hal. 120. 207Ibid, hal. 121.

bahwa fitrah berarti beragama Islam. Pendapat ini berpijak pada hadits Nabi SAW: “Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan

kepadaku dalam kitab-Nya bahwa Allah mwnciptakan Adam dan anak cucunya untuk

berpotensi menjadi orang-orang Islam” (H.R Iyadh Humar)

Ketiga, fitrah berarti mengakui ke-Esaaan Allah SWT (tauhid). Manusia yang lahir menurut Islam membawa potensi tauhid atau paling tidak manusia berkecenderungan untuk meng-esakan Allah serta berusaha treys menerus untuk mencari dan mencapai ketauhidan tersebut.

Al-Qur’an Surat al-A’raf : 72 memberikan informasi tentang fitrah manusia yang memiliki watak dan rasa tauhid walaupun masih dalam alam immateri (alam ruh).

َينِنِمْؤُم ْاوُن َك اَمَو اَنِتاَيآِب ْاوُبَّذَك َنيِلا َرِباَد اَنْع َطَقَو اَّنِّيم ٍةَ ْحَرِب ُهَعَم َنيِ َّلاَو ُهاَنْيَنَّ َأَف

Keempat, fitrah berarti kondisi selamat (al-Salamah) dan kontinuitas (al-istiqomah). Nabi SAW bersabda: ”Sesungguhnya Aku (Allah) meciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif. Maka setanlah yang menarik kepada keburukan” (H.R. Iyadh Humar)

Kelima, fitrah berarti perasaan yang tulus atau ikhlash. Pemaknaan tulus ini merupaka konsekuensi fitrah manusia yang berpotensi Islam (bertauhid). Pemaknaa tulus disini berdasarkan sabda Nabi SAW :

”Tiga perkara yang menjadikan keselamatan yaitu ikhlash berupa fitrah Allah yang diciptakan dari-Nya, sholat berupa agama dan taat berupa perisai” (H.R. Abu Hamid)

Keenam, fitrah berarti kecenderungan untuk menerima kebenaran. Secara fitri, manusia cenderung dan berusaha mencari serta menerima kebenaran walau hanya memalui hati kecilnya. Fitrah membuat manusia berkeinginan fitri secara kodrati cenrderung pada kebenaran hanif, sedangkan pelengkapnya adalah al-qolb (hati) sebagai pancara keinginan terhadap kebenaran, kebaikan dan kesucian. Maka dari sinilah tampak bahwa tujuan hidup manusia adalah dari, oleh dan untuk kebenaran mutlak. Kebenara mutlak hanyalah Allah SWT, karena Ia Dzat Yang Maha Al-Haq. Dengan demikian, Allah merupakan asal dan tujuan dari segala kenyataan.

Ketujuh, fitrah berarti potensi untuk beribadah dan makrifat kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk beribadah agar ia mengenal Allah. Pengenalan ini merupakan indicator pemanknaan fitrah. Hal ini disebabkan bahwa fitrah merupakan watak asli manusia sedangkan watak itu terlihat melalui aktifitas tertentu, yaitu ibadah. Dengan demikian ibadah meupakan aktualisasi diri dan ekspresi suci yang tertinggi, yang dapat menentukan eksistensinya. Firman Allah SWT :

َنوُعَجْرُت ِهْ َلِإَو ِنَرَطَف يِ َّلا ُدُبْعَأ َل ِل اَمَو

mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan yang

hanyakepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? (Q.S. 36 Yasin : 22)

Kedelapan, fitrah berarti ketetapan atau takdir asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalam konteks ini manusia berpotensi untuk menjadi orang yang baik atau buruk, bahagia atau celaka. Bahagia atau celakanya tergantung pilihan dan aktivitas manusia itu sendiri dalam mengaktualisasikan fitrahnya. Firman Allah SWT :

اَهاَّسَد نَم َباَخ ْدَقَو . اَه َّكَز نَم َحَلْفَأ ْدَق . اَهاَوْقَتَو اَهَروُجُف اَهَمَهْلَأَف . اَهاَّوَس اَمَو ٍسْفَنَو

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) Maka Allah mengilhamkan kepada

jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. 91 al-Syams: 7-10)

Kesembilan, fitrah sebagai tabiat atau watak asli manusia (human potensie). Watak atau tabiat menurut Ikhwanul Shofa adalah daya nafs kulliyah yang menggerakkan tubuh atau jasad manusia.

Dari pengertian ini, Ibnu Taymiyah membedakan antara fitrah dengan tabiat. Fitrah menurutnya merupakan potensi bawaan yang berlabel Islam dan berlaku untuk semua manusia. Sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang di tentukan atau ditulis oleh Allah melalui ilmu-Nya, atau dengan kata lain fitrah manusia pasti sama yaitu ber-Islam, tapi tabiatnya berbeda-beda. Fitrah lebih luas cakupannya dari pada tabiat. Fitrah hanya memiliki satu potensie sedangkan tabiat memiliki beberapa potensi.

Potensi alamiah tabiat manusia dapat diklasifikasikan mejadi dua bagian, yaitu : Pertama, potensi baik merupakan potensi asli tabiat manusia, sebab potensie ini bersumber dari fitrah. Statement tersebut dapat di buktikan dengan kisah Nabi Adam dan Hawa di surga. Mereka berdua pada prinsipnya memilki tabiat yang baik, yaitu enggan melanggar larangan Allah SWT, namun dengan godaan iblis, tabiat yang baik itu di masuki oleh tabiat buruk sehingga mereka berdua di keluarkan dari surga. Kedua, potensi tabiat yang buruk. Bentuk-bentuk potensi buruk ini merupakan kelemahan dari manusia. Tabiat ini sulit teraktualisasikan dari tabiat baiknya, sebab tabiat baik lebih dekat dengan fitrah. Semakin erat tingkat interaksi tabiat dengan fitrah maka semakin baik pula tingkat aktualisasinya.