• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan Program

Dalam dokumen RPJMN Kehutanan 2015 2019 (Halaman 99-126)

Berdasarkan strategi yang yang telah dirumuskan dan kondisi yang diinginkan ke depan, maka perlu dilakukan sinkronisasi regulasi kehutanan, perindustrian, perdagangan, dan keuangan karena hambatan bagi pengembangan kehutanan juga berasal dari sektor lain. Selain itu, dapat disusun arahan program yang perlu diwujudkan dalam periode 2015 -2019, yaitu menyangkut:

1. Pemantapan kawasan hutan

Keberadaan kawasan hutan yang diakui oleh berbagai pihak dengan batas- batas yang jelas akan merupakan enabling condition utama dalam pengelolaan hutan ke depan. Dengan demikian, kepastian hukum bagi para pengelola kawasan hutan dimaksud dalam jangka panjang akan terjamin. Pada tahap

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 95

awal, perlu ditetapkan beberapa provinsi, termasuk kabupaten/kota di dalamnya, sebagai provinsi percontohan. Selanjutnya dilakukan proses pengukuhan sesuai dengan prosedur yang berlaku dengan penguatan kelembagaan PTB dan BPKH. Selain itu beberapa kabupaten/kota di provinsi lainnya juga dapat ditetapkan sebagai kabupaten/kota percontohan pemantapan kawasan hutan.

2. Penguatan kapasitas pengelolaan hutan

Penguatan kapasitas pengelolaan diprioritaskan terhadap 120 unit KPH dan KP Hutan milik di kabupaten/kota percontohan untuk menerapkan PHL berbasis ekosistem dalam upaya optimalisasi fungsi ekosistem/lingkungan, ekonomi serta sosial/budaya dari hutan yang dikelola. Selanjutnya juga terhadap masing-masing KPH sesuai dengan kapasitasnya, diarahkan untuk menyusun dan membangun baseline data dan database yang dapat digunakan lebih lanjut untuk kepentingan penyusunan rencana pengelolaan dan bisnis.

Selain terhadap KPH, penguatan kapasitas juga dilakukan terhadap unit-unit pengelolaan dan pengusahaan hutan dalam upaya menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan; jumlah dan luasan hutan yang terbakar; jumlah DAS kritis serta peningkatan sertifikasi pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman yang aktif.

3. Peningkatan produktivitas hutan alam dan tanaman

Menerapkan multisistem silvikultur, termasuk SILIN dalam pengelolaan/ pengusahaan hutan alam produksi yang dimulai dari wilayah kabupaten/ kota dan provinsi percontohan. Mendorong upaya peningkatan produksi kayu dari hutan tanaman untuk berbagai penggunaan di sektor industri kehutanan serta mendukung upaya peningkatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jernang, gaharu, kemedangan, damar, sagu, gondorukem, kopal, madu, terpentin, sutera, kayu putih, bambu, dan arang.

4. Peningkatan kinerja industri kehutanan

Peningkatan kinerja ini mencakup industri berbasis bahan baku kayu, non kayu, dan jasa ekosistem/lingkungan. Dalam 5 tahun ke depan, penggunaan bahan baku kayu untuk kepentingan industri, termasuk gergajian dan kayu lapis diarahkan pada hasil hutan tanaman. Dalam upaya mendorong perumbuhan industri kehutanan berbasis hasil hutan non kayu, diarahkan pada pembangunan industri pengolahan skala kecil dan sedang sehingga terjadi peningkatan produksi, misalnya minyak tengkawang, minyak kayu putih, terpentin dan gaharu. Untuk jasa ekosistem/lingkungan diarahkan untuk dapat memanfaatkan secara optimal potensi yang ada, seperti, stok karbon (2,96 gigaton), massa air (1.300 juta m3) dan panas bumi yang dapat menghasilkan listrik setara 1.134 mega watt.

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 96

5. Pertumbuhan ekonomi kehutanan

Ekonomi kehutanan dapat ditumbuhkan dengan mendorong peningkatan investasi swasta dan publik untuk pengelolaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman serta industri kehutanan, baik yang berbasis bahan baku kayu, non kayu maupun pariwisata alam dan jasa lingkungan. Investasi publik/pemerintah yang ditanamkan dapat besifat langsung pada skala tertentu atau bersifat pendorong bagi tumbuhnya investasi swasta. Hal ini akan sangat terkait dengan upaya perbaikan di bidang regulasi kewenangan dan perizinan.

6.6 Kerangka Regulasi

Untuk mencapai sasaran melalui kebijakan prioritas dan strategi yang telah ditetapkan, kerangka regulasi bidang kehutanan perlu ditetapkan untuk:

1. Memastikan dasar hukum yang kuat bagi penetapan kawasan hutan tetap dan mekanisme penegakan hukumnya, termasuk upaya untuk mengukuhkan posisi kawasan hutan tetap dalam tata ruang kabupaten, khususnya dalam kaitannya dengan hutan adat dan ruang kelola masyarakat. Dalam konteks ini, basis peta yang menjadi acuan pembangunan kehutanan oleh seluruh aktor pembangunan, termasuk aktor dari sektor lain terkait, perlu ditetapkan dengan skala digital yang memadai.

2. Memastikan kerangka hukum bagi eksistensi KPH sebagai lembaga yang memiliki kewenangan manajerial otonom yang bertindak untuk dan atas nama pemerintah, termasuk dalam menyalurkan investasi pemerintah dan menggalang kemitraan dengan para pihak.

3. Memastikan kerangka hukum untuk pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, panas bumi, air dan jasa lingkungan untuk mengoptimalkan pemanfaatannya dari kawasan hutan, khususnya di dalam hutan konservasi dan hutan lindung.

4. Menguatkan kerangka hukum yang transparan dan akuntabel dalam pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, termasuk sumberdaya genetik, baik dari dalam kawasan hutan maupun dari luar kawasan hutan.

5. Menguatkan kerangka hukum untuk menata kiprah sektor riil dalam pembangunan ekonomi kehutanan, baik di hulu maupun hilir.

6. Menata kerangka hukum untuk pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan hutan lindung guna menggalang partisipasi para pihak dan pendanaan publik maupun privat.

6.7 Kerangka Pendanaan

Arahan untuk kerangka pendanaan difokuskan pada penguatan pengelolaan hutan di tingkat tapak melalui investasi pemerintah, didukung dengan pendanaan yang memadai bagi upaya konservasi, perlindungan hutan dan penegakan hukum kehutanan. Upaya untuk menggalang dana amanat bagi konservasi dan perlindungan hutan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati perlu diinisiasi sebagai bagian atau terpisah dari dana amanat perubahan iklim. Sebagai acuan

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 97

pendanaan optimal untuk seluruh kawasan konservasi di Indonesia membutuhkan biaya US$ 135,31 juta (lk. US$ 5 per Ha) per tahun, tidak termasuk biaya pembangunan/perbaikan infrastruktur (McQuistan et al. 2006). Berdasarkan konsultasi dengan beberapa pakar, penguatan pengelolaan di tingkat KPHP, KPHL dan sebagian KPHK hingga siap infrastruktur, perangkat pengelolaan lestari dan SDM diperkirakan membutuhkan biaya 6 milyar dengan kisaran waktu pencapaian yang beragam mulai 1 hingga 5 tahun.

Dana investasi publik guna menyediakan kondisi pemungkin, khususnya untuk mendongkrak industri kehutanan, diperkirakan mencapai Rp. 27,85 Trilyun selama kurun waktu 5 tahun, tidak termasuk gaji pegawai (Kementerian Kehutanan 2011) dengan asumsi seluruh kondisi pemungkin pembangunan industri kehutanan akan diselesaikan pada periode tersebut. Acuan pendanaan tersebut tidak termasuk perlindungan dari kebakaran hutan dan aktivitas illegal, penegakan hukum kehutanan, pemberantasan korupsi di bidang kehutanan, pengelolaan spesies dilindungi di luar kawasan konservasi, serta riset, pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan.

6.8 Kerangka Transformasi

Tranformasi pembangunan kehutanan menuju tata kepemerintahan yang baik membutuhkan perubahan fundamental sejak paradigma hingga implementasinya. Proses transformasi harus dimulai dengan tritunggal perubahan pembangun kehutanan, yaitu:

1. Deregulasi

Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan saat ini, dirasakan banyak peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan tidak dapat diterapkan secara optimal di lapangan dan bahkan menjadi penghambat atau kendala bagi berkembangnya profesionalisme pengelolaan hutan. Beberapa peraturan yang disusun terlalu teknis menyulitkan penerapannya karena terlalu kaku dan tidak memperhatikan ketersediaan sumberdaya yang ada di lapangan. Di sisi lain, beberapa peraturan perundang-undangan lainnya disusun terlalu umum sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda dalam penerapannya di daerah yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelaahan kembali secara lebih mendalam terhadap regulasi dalam berbagai bidang kehutanan serta penghapusan dan penggantiannya dengan regulasi baru yang sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan kehutanan berkelanjutan. Regulasi mengenai revisi penataan ruang tidak dibenarkan untuk secara mudah menggoyahkan posisi kemantapan kawasan yang menjadi arena usaha jangka panjang, melampaui batas waktu revisi penataan ruang wilayah. Secara prinsip pembenahan regulasi kehutanan diarahkan untuk memberikan kewenangan otonom dalam pengelolaan hutan kepada KPH, baik KPHK, KPHL dan KPHP, sebagai unit organisasi pemerintah terkecil, regulasi penegakan hukum khususnya dengan menjabarkan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pengendalian

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 98

Kerusakan Hutan, serta pembenahan administrasi kehutanan oleh negara, termasuk penyederhanaan sistem perijinan dan penguatan kapital sosial dalam pengelolaan hutan.

2. Debirokratisasi

Prosedur, terutama dalam bidang perizinan kehutanan yang saat ini berlaku dirasakan terlalu berbelit sehingga memakan waktu lama dan tidak memberikan kemudahan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sektor kehutanan dan sektor lain yang terkait, termasuk pembangunan daerah. Di samping itu, keterbukaan informasi mengenai kehutanan, seperti peta kawasan dan potensi sumberdaya hutan masih sangat terbatas dan relatif tertutup sehingga sulit untuk diakses. Bidang-bidang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kehutanan juga belum secara jelas ditawarkan kepada para investor. Oleh karena itu, dalam 5 tahun ke depan perlu dilakukan penyesuaian terhadap prosedur perizinan, khususnya dalam penggunaan, pemanfaatan dan tukar menukar kawasan hutan serta pengembangan usaha pemanfaatan hasil hutan (alam, tanaman dan bukan kayu), di samping pengembangan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam.

3. Reorganisasi

Berkaitan dengan perlunya deregulasi dan debirokratisasi di sektor kehutanan, maka perlu dipertimbangkan secara cermat pentingnya reorganisasi kehutanan, baik di tingkat pusat (kementerian), Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lapangan, dan penyesuaian organisasi pemerintah daerah (SKPD) yang mengurusi kehutanan serta hubungannya dengan organisasi KPH di tingkat tapak. Selain itu organisasi kehutanan juga harus menggambarkan fungsi penegakan hukum dalam hubungannya dengan lembaga penegakan hukum lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk norma/nilai baru sehingga timbul keserasian, baik di tingkat kementerian, termasuk UPT di daerah, organisasi kehutanan tingkat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten, serta KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak, baik KPHK, KPHL maupun KPHP. Organisasi baru kehutanan harus mencerminkan pemisahan yang tegas antara kewenangan penetapan regulasi dan pengambilan kebijakan, termasuk hubungannya dengan kebijakan sektor lain, kewenangan administrasi negara, kewenangan fasilitasi dan bantuan teknis, kewenangan pengelolaan hutan serta kewenangan penegakan hukum.

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 99

DAFTAR PUSTAKA

Amacher GS, Brazee R, Witvliet M. 2001. Royalty systems, government revenues, and forest condition: an application from Malaysia. Land Economics 77:300-313. Anonim. 1967. Undang-undang Republik Indonesia No 5/1967 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara tahun 1967 no 8). Jakarta. Anonim. 1994. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang

Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta.

Anonim. 1999. Undang-undang Republik Indonesia No 41/1999 tentang Kehutanan. Jakarta.

Anonim. 2002. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jakarta. Anonim. 2003a. Dibalik Kerusakan Hutan Indonesia. Intip hutan Mei 2003. Bogor:

Forest Watch Indonesia.

Anonim. 2003b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta.

Anonim. 2004. Industri Pengolahan Kayu: Evolusi Terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan dan Pembinaan Industri Pengolahan Kayu. Kertas Kerja No. 8. Jakarta: Joint Secretariat ICW and Greenomics Indonesia.

Anonim. 2007. Visi 2030 dan Roadmap 2010 Industri Nasional Rekomendasi KADIN Indonesia. Jakarta: KADIN.

Anonim. 2009a. Anggaran dan Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto. Jakarta:Kementerian Kehutanan. .

Anonim. 2009b. Bina Produksi Kehutanan. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Anonim. 2009c. Peraturan Menteri Kehutanan No P.5/Menhut-II/2009 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Kepada 33 Gubernur Pemerintah Provinsi Selaku Wakil Pemerintah. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Anonim. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Anonim. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No 49/Menhut-II/2011, tentang RKTN (Rencana Kehutanan Tingkat Nasional) tahun 2011-2030. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Anonim. 2012a. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta: Kementerian Kehutanan. Anonim. 2012b. Tantangan Pembangunan KPH dalam Aspek Organisasi dan Tenurial.

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 100

Bahruni. 2008. Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan: Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bahruni, Siswoyo, Trison S, Darusman D. 2006. Valuasi Sumberdaya Hutan di Kawasan Eks PT. Industries Et Forest Asiatique Bagian Barat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan WARSI

Bahruni. 2011. Analisis Kerangka Insentif Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari sebagai Pilihan Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim Berbasis Kehutanan. Jakarta: Kementerian Kehutanan RI dan ITTO .

Christanty L, Atje R. 2004. Policy and regulatory developments in the forestry sector since 1967. CSIS Working Paper Series. Jakarta, Indonesia: CSIS

Daly HE. 1992. Steady State Economics: Concept, Questions, Policies. Bristol (UK) Schumacher Lectures On Re-Visioning Society: Linking Economics, Ecology and

Spiritual Values. [Terhubung berkala]

http:\\www.schumacher.org.uk/transcript/schumac92_Bri_steadystate economics_HermanEDaly.pdf [13 Juli 2004].

Darusman D. 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. Bogor: IPB Press.

[Dit. WP3KH] Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan.

Ekawati S, Kartodiarjo H, Hardjanto, Prabowo HD, Nurrohmat DR. 2011. Proses Pembuatan Kebijakan Pembagian Kewenangan antar Tingkat Pemerintahan dalam Pengelolaan Hutan Lindung dan Implementasinya di Tingkat Kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 8(2) Agustus 2011:132-151

Epistema Institute. 2011. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial: Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia tentang Prinsip, Prasyarat dan Langkah Mereformasi Kebijakan Penguasaan Tanah dan Kawasan Hutan di Indonesia. Jakarta: Epistema Institute.

Faculty of Forestry IPB, I’Agence Franςaise de Développment, Burung Indonesia. 2009. Business Development of Ecosystem Restoration Concessions. Bogor: Faculty of Forestry IPB.

Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Sistem Nilai Hutan Produksi Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Departemen Kehutanan RI.

Fakultas Kehutanan IPB. 2013. Menuju Kehutanan Indonesia Baru: Paradigma dan Strategi Pembaruan. Policy Paper. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 101

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Trade restrictions

affecting international trade in non-wood forest products.

http://www.fao.org/docrep/018/v9631e/v9631e.pdf

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2001. Production and trade opportunities for Non-Wood Forest Products, particularly food products for niche markets. United Nations Food and Agriculture Organization (http://www.fao.org/organicag/doc/UNCTAD2001.htm)

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2003. Trade and Sustainable Forest Management – Impacts and Interactions, Analytic Study of the Global Project GCP/INT/775/JPN: Impact Assessment of Forest Products Trade in the Promotion of Sustainable Forest Management 2003. Rome: FAO [FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun

2000 – 2009. Bogor: Forest Watch Indonesia

Gray JA. 1997. Underpricing and overexploitation of tropical forests: forest pricing in the management, conservation and preservation of tropical forests. Journal of Sustainable Forestry 4:75-97.

Gray JW. 1983. Forest revenue systems in developing countries: their role in income generation and forest management strategies. FAO forestry paper 43. Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Hernowo B. 2011. Forest Management Unit Development As National Priority. Jakarta: Ministry of National development.

Hyde WF, Sedjo RA. 1992. Managing tropical forests: Reflections on the rent distribution discussion. Land Economics 68(3): 343–350.

Justianto A. 2006. Apakah Pembangunan Kehutanan telah Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Miskin di Sekitar Hutan. Buletin Planologi No. 1.

Kementerian Kehutanan. 2011. Permenhut RI No P.49/Mnehut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

Kementerian Kehutanan. 2011. Roadmap Pembangunan Kehutanan berbasis Hutan Tanaman dan Taman Nasional. Jakarta: Kementerian Kehutanan

McQuistan CI, Fahmi Z, Leisher C, Halim A, Adi SW. 2006. Pendanaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan The Nature Conservancy.

Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands International-IP.

Noerdjito M, Maryanto I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Cet-2. Bogor: Puslit Biologi LIPI.

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 102

Panayotou T, Ashton PS. 1992. Not by Timber Alone : Economics and Ecology for Sustaining Tropical Forest. Washington DC: Island Press.

Peters CM, Gentry AH, Mendelsohn RO. 1989. Valuation of an Amazonian rainforest. Nature 339: 655–656.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta: Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta: Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Jakarta: Republik Indonesia. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Republik Indonesia.

Schippmann U, Leaman DJ, Cunningham AB. 2003. Impact of cultivation and gathering of medicinal plants on biodiversity: global trends and issues. In Biodiversity and the Ecosystem Approach in Agriculture, Forestry, and Fisheries. Roma: FAO. Setiadi T. 2006. Prospek Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu. Buletin Planologi No 1. Simangunsong BCH. 2004. The Economic Performance of Indonesia’s Forest Sector in

the Period 1980-2002. GTZ-SMCP paper.

Soeriaatmadja RE. 1997. Dampak Kebakaran Hutan serta Daya Tanggap Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya. Prosiding Simposium: “Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan”. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta.

Tacconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Verbist B, Pasya G. 2004. Perspektif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Agriita 26(1). Wafom SZE. 2007. Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Pendapatan Daerah di Era

Desentralisasi: Studi Kasus di Kab. Sorong Selatan Papua Barat. Fak. Kehutanan Univ Manokwari.

Wahyunto, Ritung S, Suparto H, Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon diSumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change,Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor: WetlandsInternational-Indonesia Programme dan Wildlife.

[WCED] World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 103

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 104

Lampiran 3.1 Proyek Kerjasama Luar Negeri (KLN) Lingkup Kementerian Kehutanan 2011

No. Proyek Durasi Lokasi Anggaran

1. Cooperation to Support Forest Governance and

MultistakeholdersForestry Programme

Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan, Ditjen Bina Usaha Kehutanan

11 Okt 2007

– 11 Okt 2011

Jakarta UK £ 5.000.000

2. The Project for Support on Forest Resources Management through Leveraging Satelite Image Information

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan SDH, Ditjen Planologi

2008-2011 Yogayakarta, Kalsel

US $ 720.000

3. Coral Reef Rehabilitation and Management Programme Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA 2006-2011 Sulsel, Sultra, dan Papua US $ 2.900.000

4. Private Sektor, The Mitsui Sumitomo Insurance Co.Ltd. The Project of Rehabilitation and Regeneration in Paliyan Wildlife Sanctuary 1 April 2005 s/d 31 Maret 2011 Yogyakarta JP ¥ 63.000.000 5. Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) Direktorat Pengelolaan DAS, Ditjen RLPS 2009 – 2014 NTT, NTB, Lampung, Yogyakarta, Sulteng, Sumut US $ 7.000.000

6. Bali Eco-Friendship De’Longhi Forest Project

BPDAS Unda Anyar, Ditjen RLPS Oktober 2008 s/d Maret 2012 Desa Pampatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karang Asem, Propinsi Bali JP ¥ 9.991.250

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 105

Lampiran 3.1 (lanjutan)

No. Proyek Durasi Lokasi Anggaran

7. The Korea-Indonesia Joint Project for Adaptation and Mitigation of Climate Change in Forestry through A/R CDM and REDD+

Badan Litbang Kehutanan

Sept 2008 s/d 2012

NTB US $ 3.905.953

8. Forest and Climate Change (Technical Cooperation Module) GIZ-Jerman

2009-2012 Kaltim EU € 6.000.000

9. Forest and Climate Change (Financial Cooperation Module) KfW-Jerman

2010-2016 Kaltim EU € 20.000.000

10. Indonesia Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) AusAID

Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan SDH, Ditjen Planologi

2008 – 2012 Kalteng, Kalbar dan Jambi

AUS $ 40.000.000

11. Strategy for Strengthening Biodiversity Conservation through Appropiate National Park Management and Human Resource Development Pusdiklat Kehutanan, Badan P2SDM 1 Okt 2009 – 31 Mei 2012 TN Gunung Halimun Salak, Bogor, Jabar ID Rp 10.649.267.588

12. Improving Added Value and Small Medium Enterprises Capacity in the Utilization of Plantation Timber for Furniture Production in Jepara Region Puslit PPH, Balitbang Kehutanan

Juli 2009 – Juli 2014

Bogor (Jabar) dan Jepara (Jateng)

AUS $ 200.058

13. Indonesia UN-REDD National Joint Programme UNDP Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planologi

October 2009 – May 2011(20 bln) Jakarta, Gorontalo, Sulut dan Sulteng US $ 5.644.250

14. Merang REDD Pilot Project (MRPP) BMU-GTZ Jerman Januari 2009 sampai dengan Des 2011 Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel EU € 1.445.250

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 106

Lampiran 3.1 (lanjutan)

No. Proyek Durasi Lokasi Anggaran

15. Tropical Forest Research in Indonesia, Stichting Tropenbos International of the

Netherlands (TBI) Puslit Konservasi, Badan Litbang Kehutanan Desember 2007- Nopember 2012 Pulau Kalimantan dan Bogor (jawa Barat) EU € 1.218.963

16. Facilitating the Implementation of National Forestry Strategic Plan JICA Pusat KLN, Sekretariat Jenderal Desember 2009- Nopember 2012 Jakarta ID Rp 4.913.451.620

17. Project on Capacity Building for Restoration of Ecosystem in Restoration Areas JICA Direktorat Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA Maret 2010 s/d Maret 2015 (5 tahun) Jakarta, TN Sembilang, TN Gunung Gede Pangrango, TN Gunung Halimun Salak, TN Ciremai, TN Merapi dan TN Bromo Tengger Semeru - 18. Program of Community Development of Fire Control in Peat Land Area

JICA

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan-Ditjen PHKA

Juli 2010 s/d Juli 2015

Kab. Kubu Raya dan Kab. Bengkayang- Propinsi

Kalbar serta Kab. Siak-

Propinsi Riau

-

19. Intergrated Citarum Water Resources Management Project

Asian Development Bank (ADB)

Direktorat Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung, PHKA

2010-2013 Propinsi Jawa Barat

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 107

Lampiran 3.1 (lanjutan)

No. Proyek Durasi Lokasi Anggaran

20. Revitalization Ecosystem of Bromo Tengger Semeru National Park

Sumitomo Corporation BKSDA Yogayakarta

2006-2011 Propinsi Jatim dan DI

Yogyakarta

JP ¥ 18.437.279

21. Follow up Research on Rehabilitation of Degraded Forest and Land

KOMATSU

Puslit Konservasi, Litbang Kehutanan

2009-2011 Kaltim US $ 130.000

22. Collaborative Research and Development Activities of the Nyamplung, Jatropha and Nipah Palm

PT. Waterland Indonesia Puslit PPH, Litbang Kehutanan

Dalam dokumen RPJMN Kehutanan 2015 2019 (Halaman 99-126)

Dokumen terkait