• Tidak ada hasil yang ditemukan

RPJMN Kehutanan 2015 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan " RPJMN Kehutanan 2015 2019"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

FINAL

REPORT

BACKGROUND STUDY

RPJMN KEHUTANAN 2015-2019

Disusun oleh:

Wandojo Siswanto

Haryanto R. Putro

Sudarsono Soedomo

Bahruni Said

Mohammad Naiem

Tibertius Agus Prayitno

Mahawan Karuniasa

Kerjasama

THE JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY

(JICA)

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

BAPPENAS

(2)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Ruang Lingkup ... 4

2 METODOLOGI 2.1 Kerangka Pikir Studi ... 6

2.2 Metode Studi ... 8

2.2.1 Metode Pengumpulan Data ... 8

2.2.2 Analisis dan Sintesis Data ... 9

3 PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN 3.1 Kebijakan ... 10

3.1.1 Undang-Undang No.5 Tahun 1967 dan Peraturan Pelaksanaannya . 10 3.1.2 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pelaksanaannya . 11 3.1.3 Undang-Undang No.41 Tahun 1999 dan Peraturan Pelaksanaannya 14 3.1.4 Instrumen Kunci ... 15

3.2 Pelaksanaan... 16

3.2.1 Tata Kelola ... 16

3.2.2 Birokrasi... 20

3.2.3 Penganggaran ... 24

3.3 Hasil Pembangunan Kehutanan ... 29

3.3.1 Kinerja Aspek Kawasan dan Kondisi Hutan ... 29

3.3.2 Kinerja Aspek Ekosistem Hutan ... 33

3.3.3 Kinerja Aspek Sosial Kehutanan ... 39

3.3.4 Kinerja Aspek Ekonomi Kehutanan ... 44

3.4 Permasalahan Pembangunan ... 51

3.4.1 Aspek Legal ... 51

3.4.2 Kelembagaan dan Tata Kelola ... 55

3.4.3 Desentralisasi Kehutanan ... 55

3.4.4 Peran Serta Masyarakat ... 56

3.4.5 Akar Masalah Pembangunan ... 56

4 KETERKAITAN DENGAN SEKTOR LAIN 4.1 Bidang Perencanaan ... 60

4.2 Bidang Pengelolaan ... 67

4.3 Upaya Penyelesaian yang sedang Dilaksanakan ... 70

(3)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report iii 5 KERANGKA PEMBANGUNAN KEHUTANAN

5.1 Kondisi yang Diinginkan ... 74

5.2 Kebijakan ... 78

5.2.1 Kebijakan Tata Ruang dan Kawasan Hutan ... 78

5.2.2 Kebijakan Ekonomi ... 79

5.2.3 Kebijakan Akses Masyarakat untuk Pengelolaan Hutan ... 81

5.2.4 Kebijakan Konservasi, Rehabilitasi dan Lingkungan ... 81

5.2.5 Kelembagaan dan Sumberdaya Manusia ... 82

5.3 Kondisi Pemungkin ... 83

6 ARAHAN RPJMN 2015-2019 KEHUTANAN 6.1 Paradigma Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan ... 86

6.2 Kebijakan Pembangunan Kehutanan ... 88

6.2.1 Kebijakan Umum ... 88

6.2.2 Kebijakan prioritas ... 88

6.3 Sasaran Pembangunan Kehutanan ... 90

6.4 Strategi Pembangunan Kehutanan ... 93

6.5 Arahan Program ... 94

6.6 Kerangka Regulasi ... 96

6.7 Kerangka Pendanaan ... 96

6.8 Kerangka Transformasi ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 103

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Index tata kelola hutan, lahan dan Redd+ komponen kerangka hukum dan kebijakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah ... 19

Tabel 3.2 Penilaian kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah menurut isu dalam tata kelola hutan, lahan dan Redd+ ... 20

Tabel 3.3 Perubahan Unsur Pokok Organisasi Kementerian Kehutanan Tahun 2001 – 2013 ... 23

Tabel 3.4 Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2007 -2011 ... 26

Tabel 3.5 PNBP Kehutanan dari Kompensasi Penggunaan Kawasan Hutan untuk Tambang dan Non Tambang Tahun 2009 – 2011 ... 27

Tabel 3.6 Anggaran Kementerian Kehutanan Tahun 2007 – 2011 ... 28

Tabel 3.7 Mitra Proyek Kerjasama Luar Negeri Lingkup Kementerian Kehutanan Tahun 2011 ... 29

Tabel 3.8 Luas Kawasan Hutan berdasarkan Penutupan Hutan dan Non Hutan di setiap Provinsi di Indonesia ... 30

(4)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report iv

Tabel 3.10 Luas dan penyebaran lahan kritis sampai tahun 2011 ... 34

Tabel 3.11 Distribusi luas kawasan hutan menurut jenis hak pemanfaatan, 2012 ... 40

Tabel 3.12 Kasus konflik antara unit IUPHHK-HT dengan masyarakat 2012 ... 41

Tabel 3.13 Penanaman Hutan Rakyat/Kebun Rakyat Lima Tahun Terakhir ... 43

Tabel 3.14 Perkembangan ekspor hasil hutan non kayu 2007-2009 ... 46

Tabel 3.15 Besar dan tren kontribusi ekonomi kehutanan terhadap ekonomi wilayah provinsi tahun 2007-2011 ... 48

Tabel 3.16 Nilai lahan hutan rata-rata seluruh provinsi, menurut harga berlaku dan konstan tahun 2007-2011 ... 48

Tabel 3.17 Komparasi model pengelolaan restorasi ekosistem hutan alam yang single dan multiple product dengan model IUPHHK konvensional ... 49

Tabel 3.18 Jumlah Unit Manajemen IUPHHK HA dan Persentase UM Aktif ... 51

Tabel 4.1 Perkembangan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Pertanian/Perkebunan Tahap SK Pelepasan Tahun 2007-2011 ... 68

Tabel 4.2 Perkembangan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Eksploitasi Tambang dan Non Tambang Tahun 2007-2011 ... 69

Tabel 4.3 Tarif Dana Reboisasi per Meter Kubik Kayu Bulat (dalam Dolar Amerika Serikat) ... 73

Tabel 5.1 Valuasi nilai ekonomi ekologis ekosistem hutan ... 78

Tabel 5.2 Kondisi tutupan hutan di setiap fungsi hutan menurut hasil interpretasi citra landsat liputan 2011 ... 82

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka konsep studi ... 8

Gambar 3.1 Tata kelola hutan, lahan dan Redd+ (a) pemerintah pusat dan provinsi contoh, (b) pemerintah kabupaten contoh ... 19

Gambar 3.2 Laju Deforestasi Indonesia Tahun 1990-2011 ... 33

Gambar 3.3 Persentase luas masing-masing kategori Kawasan Konservasi di Indonesia ... 34

Gambar 3.4 Kondisi penutupan lahan di 48 Taman Nasional di Indonesia ... 35

Gambar 3.5 Perkembangan produksi kayu bulat dan pulp Indonesia... 44

Gambar 3.6 Perkembangan produksi kayu olahan (kiri) dan jumlah unit industri (kanan) ... 45

Gambar 3.7 Perkembangan kontribusi ekonomi kehutanan terhadap PDB total ... 47

(5)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 3.1 Proyek Kerjasama Luar Negeri (KLN) Lingkup Kementerian

Kehutanan 2011 ... 104 Lampiran 3.2 Pengukuran riap hutan setiap provinsi eneumerasi tahun

1990-1996 dan re-enumerasi 1990-1996-1999 ... 108 Lampiran 3.3 Lahan kritis menurut provinsi tahun 2007 dan 2011 ... 111 Lampiran 3.4 Besar dan trend kontribusi ekonomi kehutanan terhadap ekonomi

(6)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan hutan di Indonesia sejak masa kemerdekaan secara umum diatur dalam UUD 1945 yang dalam pasal 33 ayat (2) menyatakan: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Kemudian dalam ayat (3) dinyatakan bahwa: bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Salah satu kekayaan alam yang sudah dimanfaatkan sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda adalah hutan dan hasil hutan. Pengaturan lebih lanjut terhadap hutan ini sebagaimana dinyatakan dalam ayat (5) yaitu dengan Undang-undang, yakni melalui UU No. 5 tahun 1967 yang diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UUNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu, pengaturan tentang hutan juga diatur dalam beberapa Undang-undang lain, yaitu:UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada mandat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mendefinisikan kehutanan sebagai sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.Undang-undang tersebut juga memberikan mandat penguasaan hutan oleh Negara yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Dalam konteks ini, pembangunan kehutanan diselenggarakan melalui empat dimensi pengurusan hutan, yaitu: (1) perencanaan kehutanan; (2) pengelolaan hutan; (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, serta penyuluhan; dan (4) pengawasan dan pengendalian.

b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan.

(7)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan, serta bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Salah satu misi pembangunan nasional sebagaimana dinyatakan pada Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 adalah mewujudkan Indonesia asri dan lestari. Misi tersebut dapat dijabarkan sebagai upaya untuk memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang memiliki ciri sebagai berikut:

1. Menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan. Fokus pada upaya ini dilaksanakan melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi.

2. Meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan.

3. Memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan.

4. Meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.

(8)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 3

pembagian manfaat yang adil. Keseluruhan prinsip di atas membutuhkan kondisi pemungkin yang diwujudkan melalui kepastian tata ruang dan kebijakan yang berorientasi pada penguatan modal sosial (social capital) dan sumberdaya manusia yang mumpuni dan profesional (human capital). Peran pemerintah yang bersih dan berwibawa, yang diwujudkan melalui adopsi prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat lain yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan dapat diuraikan dari beberapa perspektif sebagai berikut:

1. Hutan sebagai modal dasar pembangunan nasional: barang dan jasa, 2. Hutan sebagai bagian tata lingkungan hidup: jasa,

3. Kawasan hutan sebagai penyedia lahan publik cadangan bagi pembangunan sektor lain.

Dalam implementasi pembangunan kehutanan selama ini berbagai perubahan kebijakan dan kelembagaan kehutanan telah banyak dilakukan, namun kinerja pembangunan kehutanan dinilai masih jauh dari harapan publik, bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Berbagai akar masalah telah dikemukakan pada berbagai hasil lokakarya, publikasi dan dokumen resmi, namun kinerja pembangunan kehutanan tetap saja mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan adanya masalah fundamental dalam struktur tata kuasa dan tata kelola pembangunan kehutanan, serta lemahnya kapasitas pemerintah dalam penyelenggaraan kehutanan di Indonesia. Beberapa akar masalah yang berkaitan dengan pembangunan kehutanan antara lain: rendahnya kemantapan kawasan hutan akibat lemahnya kebijakan penanganan konflik tenurial dan lemahnya kapasitas penegakan hukum bidang kehutanan; lemahnya kapasitas institusi pengelola hutan di tingkat tapak, serta keruwetan birokrasi pengelolaan hutan di tingkat tapak. Keseluruhan akar masalah tersebut bersumber pada kegagalan kebijakan dan kelembagaan pembangunan kehutanan di Indonesia.

(9)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 4 1.2 Tujuan

Secara umum, Background Study RPJMN 2015 – 2019 bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai situasi kehutanan Indonesia terkini dengan berbagai aspek permasalahan dan alternatif penyelesaian masalah dalam pembangunan kehutanan. Tujuan khusus studi ini adalah untuk menyusun arahan pembangunan sektor kehutanan pada RPJMN 2015 – 2019 yang meliputi arahan prinsip, kebijakan, strategi, dan transformasi perubahan pembangunan sektor kehutanan.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup Background Study RPJMN 2015 – 2019 meliputi: (1) tinjauan perkembangan pembangunan kehutanan beserta kawasan hutan dan kondisi hutannya, (2) identifikasi akar permasalahan pembangunan, (3) penyusunan alternatif solusi permasalahan pembangunan, termasuk perubahan-perubahan fundamental yang diperlukan, dan (4) arahan pembangunan untuk sektor kehutanan pada RPJMN 2015–2019.

Tinjauan perkembangan pembangunan kehutanan beserta kawasan hutan dan kondisi hutannya berisi perkembangan berbagai aspek pembangunan kehutanan pada periode dekade 1980 sampai dengan dekade 2000. Aspek pembangunan kehutanan yang ditinjau yaitu visi, misi, strategi, kebijakan, dan program pembangunan. Selain itu juga ditinjau aspek landasan hukum, kelembagaan, tata kelola, dan prasyarat keberhasilan pembangunan kehutanan. Dinamika kawasan dan ekosistem hutan sebagai modal alam yang sangat berharga dan capaian kinerja pembangunan kehutanan juga merupakan aspek penting yang akan dikaji.

Ruang lingkup identifikasi akar permasalahan pembangunan kehutanan dalam Background Study ini dikelompokkan ke dalam aspek landasan hukum, kelembagaan, tata kelola, desentralisasi kehutanan, peran serta masyarakat, dan kondisi hutan, yang kemudian disintesis menjadi substansi atau akar permasalahan pembangunan kehutanan. Selanjutnya setelah mengetahui permasalahan-permasalahan di berbagai aspek pembangunan kehutanan, dilakukan analisis permasalahan pembangunan kehutanan untuk menemukan akar permasalahan berdasarkan capaian kinerja pembangunan kehutanan selama beberapa periode. Analisis permasalahan pembangunan kehutanan dilakukan secara komprehensif sesuai dengan dinamika aspek-aspek pembangunan kehutanan selama beberapa periode analisis yang relevan.

(10)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 5

(11)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 6

BAB 2

METODOLOGI

2.1 Kerangka Pikir Studi

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sebagai sebuah sistem, kehutanan memiliki unsur-unsur penyelenggaraan yang saling berkaitan, sehingga untuk melihat permasalahan pembangunan kehutanan, perlu melihat pembangunan kehutanan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur yang saling berkaitan. Untuk mencapai tujuan Background Study RPJMN 2015 – 2019, yaitu menyediakan latar belakang serta dasar akademik untuk menyusun arahan pembangunan sektor kehutanan pada RPJMN 2015 – 2019 yang meliputi arahan prinsip, kebijakan, strategi, dan transformasi perubahan pembangunan sektor kehutanan, perlu diketahui unsur atau komponen pembangunan kehutanan secara menyeluruh serta bagaimana sistem pembangunan kehutanan tersebut bekerja untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

Pelaksanaan pembangunan kehutanan adalah upaya merealisasikan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan melalui perencanaan pembangunan kehutanan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Mengacu pada sistem perencanaan pembangunan nasional, RPJPN kemudian dijadikan pijakan untuk menyusun rencana jangka menengah (5 tahunan) yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan rencana tahunan yang dituangkan dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pada tingkat sektor kehutanan, dokumen rencana jangka menengah disinergikan dan diadopsi ke dalam Rencana Strategis (Renstra), sedangkan rencana tahunan disinergikan dan diadopsi menjadi Rencana Kerja (Renja) Kementerian Kehutanan. RPJMN akan menjadi landasan bagi Kementerian Keuangan untuk menetapkan pagu indikatif anggaran, sedangkan RKP akan dijadikan dasar untuk menyusun Rencana Anggaran dan Belanja Negara dan ditetapkan menjadi APBN pada tahun berjalan sebagai dasar implementasi pembangunan nasional.

RPJMN tahun 2015 – 2019 adalah perencanaan pembangunan jangka menengah periode ke III dalampelaksanaan RPJPN tahun 2005 – 2025. Sasaran pembangunan kehutanan yang akan dituangkan dalam RPJMN 2015 – 2019 dirumuskan berdasarkan capaian kinerja pelaksanaan pembangunan sampai dengan tahun anggaran 2014 dan kajian atas akar permasalahan pembangunan kehutanan yang terjadi selama pelaksanaan pembangunan nasional berlangsung. Berdasarkan sasaran yang ditetapkan tersebutdan kajian akan dirumuskan arah kebijakan, strategi dan program pembangunan.

(12)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 7

menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan dan aspirasi para pelaku pembangunan. Permasalahan pembangunan kehutanan tercermin dari kesenjangan yang terjadi antara realisasi pembangunan dengan sasaran pembangunan yang tertuang dalam perencanaan pembangunan, serta diindikasikan dengan berbagai masalah aktual yang terjadi di lapangan. Permasalahan pembangunan kehutanan juga berupa kesenjangan antara capaian kinerja pembangunan kehutanan dengan rasionalitas pembangunan kehutanan, baik dalam makna legal yang berarti bahwa sasaran pembangunan tidak sesuai guna mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 atau dalam makna substantif yang berarti bahwa paradigma dan kerangka konseptual yang diadopsi dalam penyelenggaraan kehutanan belum mampu memecahkan akar permasalahan pembangunan kehutanan. Kesenjangan tersebut akan berakibat pada akumulasi permasalahan yang pemecahannya membutuhkan perubahan fundamental berbagai aspek pembangunan kehutanan, termasuk bahkan penyempurnaan Undang-Undang Kehutanan dan organisasi kehutanan.

Mempertimbangkan adanya akumulasi permasalahan yang telah terjadi diperlukan analisis dan sintesis yang mendalam terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan sejak UU Pokok Kehutanan (UU No. 5 Tahun 1967) ditetapkan hingga sekarang. Namun, dalamBackground Study RPJMN 2015 – 2019 ini analisis dan sintesis akan difokuskan pada kejadian atau kasus penting yang terjadi sejak tahun 1967 dan berdampak sangat signifikan pada kegagalan atau buruknya kinerja pembangunan kehutanan pada saat ini. Kerangka pemikiran keseluruhan kajian ini disajikan pada Gambar 2.1.

(13)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 8 LEGAL BASIS

PEMBANGUNAN KEHUTANAN

DOKUMENTASI HASIL IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

KEHUTANAN

KINERJA PEMBANGUNAN KEHUTANAN SAAT INI KAPASITAS PEMBANGUNAN

KEHUTANAN SAAT INI

AKAR PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

ANCAMAN DAN PELUANG PEMBANGUNAN KEHUTANAN

SAAT INI

ALTERNATIF SOLUSI PEMBANGUNAN KEHUTANAN

ARAHAN RPJMN 2015-2019 FOCUSING

ALTERNATIF SOLUSI 2015-2019 ARAHAN RENSTRA

KEHUTANAN 2015-2019

PRASYARAT BAGI TRANSFORMASI PEMBANGUNAN KEHUTANAN

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Studi

2.2 Metode Studi

2.2.1 Metode Pengumpulan Data

Data dan informasi dikumpulkan melalui desk study (penelaahan data sekunder), pengamatan lapangan, wawancaradan focused group discussion (FGD).

a. Penelaahan Data Sekunder

Kegiatan diawali dengan mengumpulkan data dan informasi yang didapatkan dalam laporan yang telah diterbitkan terkait dengan studi. Laporan dan informasi tertulis tersebut berasal dari berbagai sumber, diantaranyakementerian/lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga non-pemerintah lainnya.

(14)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 9

kehutanan selama ini dapat dianalisis dan disintesiskan dari laporan serta informasi yang didapatkan. Dengan memahami kondisi awal (saat ini) akan dapat diperkirakan prioritas yang perlu ditetapkan untuk pengumpulan data dan informasi lebih lanjut sebagai bahan analisis dan sintesis dalam merumuskan arahan pembangunan kehutanan.

b. Pengamatan Lapangan

Peninjauan lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Lokasi difokuskan pada daerah yang masih memiliki hutan relatif luas, sedang dan minimal serta dengan permasalahan kehutanan (lahan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, konflik satwa dan manusia) yang kompleks. Selain itu, juga perlu dilakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait dengan pembangunan kehutanan di daerah, seperti pemerintah daerah, UPT Kehutanan, KPH, dan masyarakat. Komunikasi ini dilakukan melalui FGD (sesuai butir c di bawah) dan wawancara dengan beberapa pihak terkait.

c. Pertemuan dan Diskusi Kelompok

Pertemuan dan diskusi dilakukan di tingkat nasional dengan berbagai pihak, baik kementerian/lembaga, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lembaga non pemerintah untuk mendapatkan informasi pembangunan kehutanan serta gambaran bagaimana harmonisasi dapat dilakukan dengan sektor dan sub sektor terkait lainnya.

2.2.2 Analisis dan Sintesis Data

(15)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 10

BAB 3

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

3.1 Kebijakan

Pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia telah dimulai sejak VOC (Kompeni) menyadari bahwa beberapa jenis kayu dapat diperdagangkan dengan Eropa. Sejalan dengan itu, mulai dilakukan pengaturan terhadap hutan khususnya di Pulau Jawa. Kemudian setelah VOC dibubarkan, pengaturan terhadap hutan yang sudah ditata di Pulau Jawa diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang kemudian memperkenalkan istilah kehutanan yaitu Boswezen. Pengaturan selanjutnya didasarkan atas Bos ordonantie untuk pemanfaatan hutan serta aturan lain untuk perlindungan binatang liar (Dierenbescherming ordonantie), perburuan binatang liar (Jacht ordonantie java en madoera) dan perlindungan alam liar (Natuurbescherming ordonantie). Sejak kemerdekaan sampai hadirnya pemerintahan orde baru, praktis tidak ada kebijakan yang secara spesifik mengatur mengenai kehutanan hingga terbitnya Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

3.1.1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 dan Peraturan Pelaksanaannya

Keadaan perekonomian negara yang sangat buruk di akhir masa orde lama mendorong perlunya Pemerintah Pusat untuk memiliki kekuasaan yang lebih luas agar dapat menggerakkan semua sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi andalan adalah hutan, sehingga diterbitkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang mencerminkan sifat sentralistik.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari UU No.5/1967 adalah sebagai berikut:

1. PP No. 62 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan dan Iuran Hasil Hutan;

Peraturan Pemerintah ini dilandaskan pada kondisi Pemerintah yang mengalami tekanan keuangan negara sangat berat memerlukan jalan keluar segera dengan menguasai berbagai sumber dana yang ada.

2. PP No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan PP No. 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan;

Sejak diterbitkannya PP 21/1970 tersebut, pemerintah mulai memberikan HPH yang jumlahnya tumbuh sangat cepat.

(16)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 11

mendorong pemerintah untuk mengamandemen PP 21/1970 dengan menghilangkan pasal yang bersangkutan. Hingga tahun 1989, pemerintah telah menerbitkan izin HPH bagi 542 perusahaan yang meliputi areal seluas 56 juta hektar (Christanty dan Atje, 2004).

Terlihat kemudian bahwa pemusatan kekuasaan politik berimbas kepada pemusatan sumber-sumber ekonomi, termasuk penguasaan hutan alam. 3. PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan

pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah; PP ini menggantikan PP 64/1957;

Gugatan terhadap urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistik di jaman orde baru dijawab dengan terbitnya PP 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah.

4. PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.

Dalam aspek kebijakan, UU No. 5 Tahun 1967 telah mendorong pengurusan hutan terfokus pada aspek ekonomi, dan berakibat tidak hanya fungsi lingkungan dan fungsi sosialyang terdegradasi, tetapi juga telah berdampak pada penurunan fungsi ekonomi hutan.

3.1.2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pelaksanaannya

Hingga diterbitkannya UU No. 5 tahun 1967, pengelolaan kawasan konservasi dan konservasi jenis dilindungi tetap mengacu pada UU peninggalan Belanda yaitu dierenbescherming ordonantie (jacht ordonantie java en madoera, wildreservaat) dan natuurbescherming ordonantie (natuurmonumenten dan natuurreservaat). Kondisi ini dan terbitnya strategi konservasi dunia pada tahun 1980 telah melatarbelakangi penerbitan UU N0. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH). Secara umum UU ini mengatur mengenai pengelolaan kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam (diatur melalui PP No. 68/1998 yang diubah dengan PP No. 28/2011) serta perlindungan jenis (diatur melalui PP No. 7/1999). Ruang lingkup pengaturan pada UUKH ini mencakup tidak hanya konservasi di wilayah daratan, tetapi juga konservasi di wilayah perairan. Khusus untuk bidang kehutanan, UU No. 41 tahun 1999 menegaskan cakupan bidang konservasi yang termasuk lingkup kerja kehutanan sebagai kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam. Khusus untuk pengembangan pariwisata alam di kawasan konservasi, pemanfaatannya diatur lebih lanjut melalui PP No. 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

(17)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 12

tahun 1992) yang bersifat mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCED on Biodiversity. Indonesia telah menyusun strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati (IBSAP), namun hingga saat ini belum dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk menguatkan konservasi kehati, berbagai aspek yang terkait dengan lingkungan hidup diatur melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya pada aspek pengendalian kerusakan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari UU No.5/1990 adalah sebagai berikut:

1. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional,Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; Salah satu tujuan penunjukan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam adalah untuk pengembangan kegiatan pariwisata alam. Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan sebagai kawasan konservasi, maka pemerintah menerbitkan PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. PP ini mengatur pengusahaan pariwisata alam yang berupa usaha sarana pariwisata alam di a) zona pemanfaatan taman nasional; b) taman hutan raya; dan c) taman wisata alam serta hak dan kewajiban pemegang izin sesuai dengan jenis usaha yang terdapat dalam izin usahanya.

2. PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka pemerintah menerbitkan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. PP ini mengatur pengelolaan, kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) sesuai dengan fungsinya, yaitu: a) sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; b) sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; dan c) Untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam PP ini juga mulai diatur penggabungan pengelolaan kawasan cagar alam dan/atau suaka margasatwa sebagai satu kawasan pengelolaan untuk kepentingan keutuhan kawasan dengan satu rencana pengelolaan.

(18)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 13 3. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa;

Ketiadaan peraturan pelaksanaan terkait pengawetan jenis tumbuhan dan

satwa telah mendorong ke arah pengertian bahwa semua jenis tumbuhan

dan satwa yang hidup di dalam KSA dan KPA adalah totally protected. Oleh

karena itu, pemerintah menerbitkan PP tentang Pengawetan Jenis

Tumbuhan dan Satwa.

Berdasarkan PP ini, upaya pengawetan dilakukan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui: a) penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi; b) pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya; dan c) pemeliharaan dan pengembangbiakan. Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria: a) mempunyai populasi yang kecil; b) adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; dan c) daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya

dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: a) di dalam habitatnya (in-situ);

dan di luar habitatnya (ex-situ). Selain itu, juga dilakukan pengaturan

terhadap pengiriman dan pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa dilindungi yang harus seizin menteri. Selanjutnya, diatur mengenai jenis satwa yang apabila keluar dari habitatnya dapat membahayakan manusia serta pengawasan dan pengendalian dalam upaya pengawetannya.

4. PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; Melalui PP No. 18 Tahun 1994 telah diatur pengusahaan pariwisata alam di kawasan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

Namun

mengingat

potensi suaka margasatwa untuk dimanfaatkan juga

lokasi pariwisata alam, maka pemerintah memperluas pengaturan pengusahaan pariwisata alam, termasuk jenis usaha di kawasan suaka margasatwa, melalui penerbitan PP No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Berdasarkan PP ini, pengusahaan pariwisata dapat dilakukan di dalam kawasan: a) suaka margasatwa; b) taman nasional; c) taman hutan raya;

dan d) taman

wisata

alam. Di dalam kawasan suaka margasatwa hanya

(19)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 14 5. PP 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam;

Pengelolaan kawasan konservasi pada saat ini telah berkembang sejalan dengan semakin terbukanya informasi. Peraturan perundang-undangan yang telah ada, dianggap belum dapat mengakomodasikan kebutuhan di masyarakat yang menyangkut perubahan lingkungan strategis, baik di

tingkat nasional maupun internasional. Untuk

meningkatkanpengelolaankawasansuaka alam dan kawasan pelestarian alam, maka perlu membagi kawasan dalam zona atau blok wilayah kerja pengelolaan kawasan sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara maksimal yang belum diatur dalam PP No. 68 Tahun 1998.

Hal yang membedakan dengan PP sebelumnya adalah pengaturan mengenai

penataan kawasan yang meliputi: a) penyusunan zonasi dalam kawasan

taman nasional atau blok pengelolaan dalam kawasan selain taman nasional; dan b) penataan wilayah kerja. Selain itu, juga dilakukan pengaturan

menyangkut penetakan koridor hidupan liar (wildlife corridor) dengan

kawasan konservasi lain yang berdekatan, serta upaya pemulihan ekosistem melalui mekanisme alam, rehabilitasi, dan restorasi.

3.1.3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pelaksanaannya

Sejalan dengan maraknya pemikiran tentang desentralisasi pemerintahan, maka

penyusunan RUU tentang Kehutanan memperhatikan aspirasi masyarakat mengenai pentingnya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.

Beberapa Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU 41/1999 adalah sebagai berikut:

(20)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 15

2. PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan;

PP ini menggantikan PP 33/1970 tentang perencanaan hutan yang dianggap belum secara lengkap mengatur perencanaan kehutanan. PP 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan ini mengatur tentang perencanaan kehutanan yang meliputi kegiatan inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Berdasarkan PP ini, wilayah pengelolaan dibagi menjadi wilayah pengelolaan hutan tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Oleh karena itu dimandatkan untuk membentuk KPH pada semua fungsi hutan, sehingga akan membagi habis kawasan hutan ke dalam wilayah-wilayah pengelolaan.

3. PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan;jo PP 3 tahun 2008

Dalam upaya percepatan pembentukan wilayah pengelolaan, diterbitkan PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Namun demikian, Isu yang sangat menonjol dari PP ini adalah pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), baik untuk hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi. Regim perizinan masih menjadi instrumen utama pemanfaatan hutan, baik untuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kayu, maupun pemanfaatan nonkayu. Isu lain yang menonjol adalah timbulnya dualisme pendekatan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang satu berbasis ekosistem melalui pengelolaan di tingkat KPH, di sisi lain melalui sistem perizinan yang berbasis komoditi.

4. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

PP 38 Tahun 2007 mengacu pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kehutanan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dapat dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (Pasal 2 ayat (4)). Urusan pemerintah di bidang kehutanan merupakan urusan pilihan yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (Pasal 4). Menurut ketentuan tersebut, kehutanan menjadi urusan pilihan bagi pemerintah kabupaten/kota.

3.1.4 Instrumen Kunci

(21)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 16

pengaturan administratif. Insentif-disinsentif meliputi subsidi dan pungutan. Penyediaan dimaksud mencakup pendidikan, latihan dan penyuluhan, bantuan bibit, penyediaan data dan informasi. Penegakan hukum lebih banyak sanksi administrasi.

Terjadinya tumpang tindih peraturan, frekuensi pergantian peraturan yang tinggi, serta bersifat terlalu teknis dan kaku (tidak menghargai inisiatif profesional unit manajemen) menyebabkan tidak adanya kepastian hukum. Sebagai contoh adalah tanggung jawab pengelolaan hutan lindung, serta tumpang tindih penggunaan lahan atau ruang antara kehutanan, pertambangan dan perkebunan. Keadaan ini menimbulkan kebingungan pelaksana di lapangan, terkait dengan perencanaan, pengelolaan hutan jangka panjang, maupun inovasi teknologi.

Insentif-disinsentif, beberapa bentuk insentif langsung dan tidak langsung adalah kredit DR melalui Bank atau sekarang melalui BLU, KBR, pembangunan hutan tanaman di areal yang masih berhutan, kredit konservasi tanah dan air, serta penurunan limit diameter pohon ditebang pada sistem TPTI. Kebijakan ini memberikan hasil pembangunan kehutanan semu, kegagalan pencapaian tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya hutan, penurunan nilai ekonomi kehutanan dan kontribusinya terhadap ekonomi wilayah/nasional. Disinsentif tidak banyak digunakan secara terencana; namun beberapa regulasi seperti diuraikan di atas telah menjadi disinsentif untuk pemanfaatan hutan maupun investasi.

Provision (penyediaan) harusnya mampu memberikan dorongan pencapaian pembangunan kehutanan; namun sering mengalami kegagalan. Sebagai contoh penyediaan pada program RHL (bantuan bibit, KBR) tidak menurunkan jumlah lahan atau DAS kritis, karena ukuran kinerjanya lebih berorientasi terlaksananya kegiatan dan penyerapan anggaran; tidak disertai ukuran terbangunnya hutan. Penegakan hukum yang dilaksanakan selama ini belum menjadi instrumen yang diselenggarakan secara efektif. Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran umumnya diterapkan berupa sanksi administratif dan denda, sangat jarang masuk ranah pidana dan perdata. Banyaknya aturan yang menjadikan perilaku transaksional, antara pemegang izin dan pihak-pihak yang terkait dengan pengawasan ataupun pembinaan pengusahaan/pemanfaatan hasil hutan.

3.2 Pelaksanaan

3.2.1 Tata Kelola

(22)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 17

Berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kewenangan Kementerian Kehutanan dalam pengurusan hutan meliputi (1) perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) litbang dan diklatluh, (4) pengawasan, (5) penyerahan kewenangan, (6) penanganan keberadaan masyarakat hukum adat, dan (7) penanganan peran serta masyarakat. Berkurangnya penutupan hutan, menurunnya kontribusi ekonomi dan rendahnya peran masyarakat dalam pengurusan hutan menjadi indikator kegagalan tata kelola kehutanan. Tata kelola pengurusan hutan yang baik seharusnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi sektor kehutanan, terjaganya penutupan hutan, dan semakin sejahteranya masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan yang matapencahariannya bergantung pada sumberdaya hutan.

Pengelolaan kawasan hutan produksi diserahkan kepada pemegang izin yang mencakup IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan IUPHHK-RE (meskipun yang diberikan bukan izin pengelolaan tetapi izin pemanfaatan). Menurut UU 41/1999 pengelolaan hutan harusnya dilakukan oleh unit pengelola pada KPH. KPH ini mencakup seluruh fungsi hutan. Namun sampai saat ini kewenangan pengelolaan KPH ini belum dijalankan.

Berkaitan dengan hutan dan kawasan konservasi, pengelolaannya didasarkan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kegiatan mencakup perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari. Dalam hal pengurusan kawasan konservasi yang terdiri dari dua kelompok besar yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA), diatur di dalam PP 28 tahun 2011, yang mengatur tentang a) penetapan KSA dan KPA; b) penyelenggaraan KSA dan KPA; c) kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA; d) daerah penyangga; e) pendanaan; dan f) pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Penyelenggaraan atau pengelolaan KSA dan KPA dilakukan oleh pemerintah, kecuali taman hutan raya dilakukan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota). Penyelenggaraan KSA dan KPA yaitu oleh UPT berupa Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Balai Taman Nasional. Kegiatan pengelolaan mencakup a) perencanaan; b) perlindungan; c) pengawetan; d) pemanfaatan; dan e) evaluasi kesesuaian fungsi. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, baik secara insitu maupun exsitu, merupakan tanggungjawab pemerintah yang secara operasional dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Pengawetan jenis secara eksitu dapat dilakukan oleh lembaga konservasi yang sah.

(23)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 18

dilakukan oleh pihak swasta melalui izin pariwisata alam (IPPA). Demikian juga diperlukan izin pemanfaatan air dan energi air untuk keperluan non komersial, dan izin pengusahaan pemanfaatan air dan energi air untuk tujuan komersial. Pengelolaan hutan lindung bertujuan untuk menjamin terselenggaranya perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Berdasarkan PP 38 Tahun 2007 pengelolaan hutan lindung menjadi kewenangan Kabupaten. Desentralisasi pengelolaan hutan lindung meliputi kegiatan inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan, pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam apendiks CITES serta pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten (Ekawati et al., 2011).

(24)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 19 Sumber : UNDP. 2012. Index tata kelola hutan, lahan dan REDD+ Indonesia. UNDP,

UNRedd Programme

Gambar 3.1 Tata kelola hutan, lahan dan REDD+ (a) pemerintah pusat dan provinsi contoh, (b) pemerintah kabupaten contoh.

Tabel 3.1 Index tata kelola hutan, lahan dan REDD+ komponen kerangka hukum dan kebijakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Isu Tata Kelola Pusat Provinsi Kabupaten Rata-rata

Isu 1: Perencanaan Tata Ruang dan Hutan 2,83 2,45 2,39 2,56

Isu 2: Pengaturan Hak 3,38 2,42 2,38 2,73

Isu 3: Pengorganisasian Hutan 2,88 1,78 1,62 2,09

Isu 4: Pengelolaan Hutan 3,00 2,65 2,55 2,73

Isu 5: Pengendalian dan Penegakan Hukum 2,54 2,21 2,10 2,28

Isu 6: Infrastruktur REDD+ 2,17 1,43 NA 1,53

(25)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 20

Tabel 3.2 Penilaian kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah menurut isu dalam tata kelola hutan,lahan dan REDD+

Isu Tata Kelola Pusat Provinsi Kabupaten Rata-rata

Isu 1: Perencanaan Tata Ruang dan Hutan 2,83 2,22 2,11 2,38

Isu 2: Pengaturan Hak 3,38 2,38 2,13 2,63

Isu 3: Pengorganisasian Hutan 2,88 2,24 1,50 2,20

Isu 4: Pengelolaan Hutan 3,00 2,70 2,32 2,67

Isu 5: Pengendalian dan Penegakan Hukum 2,54 2,57 2,52 2,54

Isu 6: Infrastruktur REDD+ 2,17 1,71 NA 1,62

Sumber: UNDP. 2012. Index tata kelola hutan, lahan dan REDD+ Indonesia. UNDP, Un Redd Programme

3.2.2 Birokrasi

(26)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 21

Dalam dokumen Grand Design Reformasi Birokrasi, pemerintah menyajikan beberapa fakta kondisi birokrasi, yang menjadi bagian dari permasalahan multi dimensi bangsa. Seperti dalam perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan. Dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari data International Finance Corporation pada tahun 2009. Berdasarkan data tersebut, Indonesia menempati peringkat doing business ke-122 dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global. Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Meskipun pada tahun 2008 mengalami peningkatan

menjadi -0,29, skor tersebut masih menunjukkan kapasitas

kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Kondisi ini

mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan

(27)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 22

instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%. Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini.

Pada masa reformasi saat ini yang masih banyak menyisakan permasalahan birokrasi, diperlukan reformasi birokrasi untuk mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam rangka memberikan landasan reformasi birokrasi di berbagai Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah, pemerintah menetapkan Peraturan Presiden No 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Pelaksanaan Grand Design Reformasi Birokrasi akan dituangkan melalui Road Map Reformasi Birokrasi yang ditetapkan setiap 5 tahun sekali oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pada periode RPJMN 2010 – 2014, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah menetapkan Peraturan Menteri No. 20 tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014. Untuk memberikan pedoman dalam reformasi birokrasi, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga menetapkan Peraturan Menteri No. 20 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Manajemen Perubahan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010 – 2014 dan Pedoman Pelaksanaan Manajemen Perubahan, Kementerian Kehutanan pada tahun 2012 menyusun Rencana Manajemen Perubahan Kementerian Kehutanan. Rencana Manajemen Perubahan dimaksudkan untuk mengarahkan agar setiap rangkaian proses reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Kehutanan mencapai kinerja yang diharapkan. Secara umum, ruang lingkup Manajemen Perubahan meliputi (1) Rencana Manajemen Perubahan, (2) Pengelolaan Perubahan, dan (3) Penguatan Hasil Perubahan. Sedangkan fokus pengelolaan perubahan adalah 8 area perubahan, yaitu organisasi, tata laksana, peraturan perundangan, sumberdaya manusia, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta monitoring, evaluasi dan pelaporan. Fokus area pengelolaan perubahan ini didasarkan pada permasalahan yang tertuang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025, yang mengidentifikasi 6 area permasalahan birokrasi, yaitu (1) organisasi, (2) peraturan perundangan, (3) SDM Aparatur, (4) kewenangan, (5) pelayanan publik, dan (6) pola pikir dan budaya kerja. Area permasalahan ini memberikan kontribusi terhadap capaian kinerja pemerintahan, pembangunan nasional dan daerah yang belum sesuai harapan.

(28)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 23

tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan. Peraturan Menteri ini merupakan perubahan dari peraturan-peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan, Keputusan Menteri Kehutanan No. 410/Kpts-II/2003, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/2001 tentang perihal yang sama yaitu Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan terkait Organisasi dan Tata Kerja sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 002/Kpts-II/2000, yang dikeluarkan pada saat Kementerian Kehutanan dalam bentuk Kementerian Kehutanan dan Perkebunan, yang tentu saja juga merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya.

Perubahan organisasi dan tata kerja yang terjadi pada era reformasi, merupakan perwujudan dari tuntutan reformasi birokrasi menghadapi permasalahan multidimensi. Keputusan Menteri Kehutanan No. 123/Kpts-II/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan adalah perubahan dari peraturan terkait sebelumnya, disamping itu peraturan ini juga mengalami perubahan-perubahan berikutnya, dengan perubahan terakhir yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P33/Menhut-II/2012, namun perubahan unsur-unsur pokok organisasi hanya terjadi sampai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/Menhut-II/2010. Perubahan unsur-unsur pokok organisasi pada dekade terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.3. dibawah ini.

(29)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 24

PHKA : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam RLPS : Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

BPK : Bina Produksi Kehutanan

PDASPS : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial

BUK : Bina Usaha Kehutanan

Melalui perubahan-perubahan yang dilakukan dalam Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan diharapkan akan mendukung reformasi birokrasi yang sedang dilakukan dan kemudian mencapai kinerja birokrasi yang diharapkan. Birokrasi kehutanan sangat tidak efisien dan sebagian besar berada di pusat. Hampir setiap kegiatan pengusahaan hutan membutuhkan persetujuan pemerintah yang berimplikasi kepada biaya transaksi. Contohnya, persetujuan pemerintah atas RKT tidak menggugurkan kewajiban unit usaha untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dari setiap dokumen kelengkapan RKT tersebut. Selain itu, perizinan yang berkaitan dengan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan lain juga memerlukan izin menteri kehutanan. Informasi dari pelaku usaha hutan alam menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh petugas kehutanan menjadi 177 HOK per tahun. Artinya, secara kasar hampir setiap dua hari sekali unit usaha mendapatkan kunjungan satu orang pengawas.

3.2.3 Penganggaran

(30)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 25

Pada tahun 2007, PNBP Kehutanan yang bersumber dari sumberdaya alam menghasilkan penerimaan sejumlah Rp 2,111,880,004,109 dengan pendapatan terbesar berasal dari Dana Reboisasi (DR), sejumlah Rp 1,368,198,554,446 dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), sejumlah Rp 669,725,714,249. Selain itu, terdapat PNBP dari sumber lainnya, yaitu sejumlah Rp 3,361,632,666 sehingga total PNBP Kehutanan menjadi sejumlah Rp 2,115,241,636,775. Secara total PNBP Kehutanan menunjukan peningkatan dan pada tahun 2011, total PNBP adalah Rp 3,493,572,376,877 terkumpul diantaranya dari DR sejumlah Rp 1,822,918,775,943; PSDH sejumlah Rp 868,554,342,252; serta PNBP lainnya, sejumlah Rp 213,073,743,906. Secara lebih terinci, PNBP Lingkup Kementerian Kehutanan dari tahun 2007 sampai tahun 2011 disajikan dalam Tabel 3.4.

Selain PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya hutan, Kementerian Kehutanan sejak tahun 2009 juga menerima pendapatan yang bersumber dari kompensasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan sektor lain. Penerimaan ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan upaya pembangunan kehutanan di lokasi lain. PNBP yang bersumber dari kompensasi penggunaan kawasan hutan, dibagi menurut kepentingannya, yaitu untuk kepentingan pertambangan dan non pertambangan karena kegiatan inilah yang memberikan kompensasi terbesar.

(31)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 26

Tabel 3.4 Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Departemen Kehutanan Tahun 2007 -2011

Jenis Penerimaan Tahun Penerimaan (Rp)

2007 2008 2009 2010 2011

A. PNBP SDA

1. Pend. Iuran Tetap 56,250,000 - - - -

2. DR 1,368,198,554,446 1,643,048,314,592 1,455,054,128,972 1,721,398,229,079 1,822,918,775,943

3. PSDH 669,725,714,249 618,457,477,431 674,358,139,368 797,324,738,602 868,554,342,252

4. IHPH 67,507,414,133 68,192,839,900 74,179,913,501 271,527,597,764 119,261,871,703

5. PKH - - 169,536,525,729 175,842,649,137 432,550,358,517

6. DPH 373,768,194 - 648,803,380 7,951,828,648 78,111,000

7. DPEH 1,957,560,694 - 418,686,800 135,238,800 4,254,460,392

8. IASL/ TA 1,114,588,760 - 7,878,354,120 6,174,098,608 6,212,120,435

9. Pungutan masuk objek

Wisata Alam 2,946,153,633 - 6,653,144,380 19,453,445,176 26,668,592,729

Jumlah SDA 2,111,880,004,109 2,329,698,631,923 2,388,727,696,250 2,999,807,825,814 3,280,498,632,971 B. PNBP Lainnya 3,361,632,666 15,993,886,306 8,853,729,750 179,177,646,107 213,073,743,906

Total 2,115,241,636,775 2,345,692,518,229 2,397,581,426,000 3,178,985,471,921 3,493,572,376,877

(32)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 27

Tabel 3.5 PNBP Kehutanan dari Kompensasi Penggunaan Kawasan Hutan untuk Tambang dan Non Tambang Tahun 2009 - 2011

No. Tahun Penerimaan

Sumber Penerimaan

Keterangan Tambang Non Tambang

1. 2009 168,050,893,896 1,746,440,968 Kalsel (Tambang):

96,822,763,556 Jambi (Non Tambang): 610,696,219

2. 2010 173,777,353,230 2,081,892,719 Kalsel (Tambang):

75,161,204,522 Jambi (Non Tambang): 886,450,839

3. 2011 429,875,944,773 2,674,680,384 Kaltim (Tambang): 2

50,056,724,301 Jambi (Non Tambang): 1,020,769,160

4. S/d sem I

2012

771,704,191,899 6,503,014,071 Kaltim (Non

Tambang): 342,867,120,036 Jambi (Non Tambang): 2,517,916,218.00 Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2011

(33)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 28

Tabel 3.6 Anggaran Kementerian Kehutanan Tahun 2007 – 2011 No. Tahun

1. 2007 8,505,449,939,960 5,490,264,729,879 64.55 Setjen:

2,196,019,888,000

RLPS:

4,585,007,521,000

2. 2008 3,858,950,582,000 3,177,606,303,305 82.34 Setjen:

2,098,068,141,000

PHKA:

717,248,540,000

3. 2009 2,802,814,468,000 2,419,238,273,599 86.31 RLPS:

925,557,266,000 PHKA:

730,827,391,000

4. 2010 4,026,192,522,000 3,291,165,495,963 81.74 RLPS:

1,424,643,336,000

PHKA:

1,209,211,873,000

5. 2011 5,590,694,455,000 4,520,571,007,205 80.86 RLPS:

2,970,289,798,000

PHKA:

1,284,702,318,000

Sumber: Statistik Kehutanan Indonesia 2011

Selain dibiayai oleh APBN (rupiah murni) dan PNBP, kegiatan pembangunan kehutanan juga dilaksanakan dengan membangun kemitraan atau kerjasama, baik secara bilateral, maupun multilateral dengan negara sahabat maupun badan-badan internasional. Menurut data Biro Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, pada periode tahun 2007 – 2011, tercatat 25 kegiatan kerjasama internasional telah dan sedang dilaksanakan di bawah koordinasi masing-masing Unit Eselon I. Kegiatan atau Proyek kerjasama luar negeri yang tercatat sampai dengan Tahun 2011 di lingkup Kementerian Kehutanan, termasuk jenis kegiatan, rentang waktu, lokasi dan jumlah anggarannya dapat dilihat dalam Lampiran 3.1

(34)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 29

walaupun hanya membangun kerjasama untuk satu proyek, nilainya lebih besar daripada ITTO, yaitu sebesar Rp 73,343,400,000. Rincian mitra kerjasama luar negeri lingkup Kementerian Kehutanan menurut lembaga donor, asal negara dan jumlah anggarannya disajikan dalam Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Mitra Proyek Kerjasama Luar Negeri Lingkup Kementerian Kehutanan Tahun 2011

7. Department for International Development (DfID)

11. Asian Development Bank (ADB)

Multi-lateral 1 33.288.750.000,-

12. TOYOTA BOSHOKU

3.3.1 Kinerja Aspek Kawasan dan Kondisi Hutan

Bersumber dari RKTN 2011-2030, luas kawasan hutan daratan adalah 130,68 juta ha yang terbagi kedalam:

1. Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam: 26.80 juta ha; 2. Hutan Lindung: 28,82 juta ha;

3. Hutan Produksi Terbatas: 24,46 juta ha; 4. Hutan Produksi Tetap: 32, 60 juta ha;

(35)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 30

Luas kawasan hutan pada RKTN tersebut masih merupakan klaim dari Kementerian Kehutanan. Dua keputusan Mahkamah Konstitusi (Keputusan MK No. 45/PUU-IX/2011 menyangkut status kawasan hutan negara sah jika sudah ditetapkan, yang masih ditunjuk belum sah jika belum ditetapkan, dan 35/PUU-X/2012 menyebutkan bahwa status hutan adat tidak lagi berada di dalam kawasan hutan negara) yang menyangkut kawasan hutan akan mengubah luas kawasan hutan yang diklaim secara sepihak tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus segera diimplementasikan.

Terlepas dari efektivitasnya, dapat dikatakan bahwa seluruh kawasan hutan konservasi telah disertai dengan kehadiran pengelola di lapangan. Sebaliknya, juga dapat dikatakan bahwa seluruh kawasan hutan lindung belum dilengkapi dengan pengelola yang berada di tingkat lapangan. Sementara itu, untuk hutan produksi, kehadiran pengelola di lapangan baru mencakup 34,2 juta ha, sehingga masih terdapat sekitar 25,6 juta ha yang tidak ada pengelolanya (tidak dibebani hak), atau disebut sebagai kawasan hutan “open access”. Luasnya kawasan

hutan “open access” ini menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas hasil hutan dan meningkatkan tingkat perambahan dan penebangan illegal.

Luas kawasan hutan yang masih bervegetasi hutan (baik berupa hutan alam dan tanaman) ada sekitar 77.382.240 ha (70%), sedangkan sisanya sekitar 33.445.092 ha (30%) berupa areal yang tidak berhutan, seperti tanah kosong, alang-alang, dan semak/belukar. Secara detail, rincian luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan dan bukan hutan disajikan pada Tabel 3.8.

(36)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 31

No Provinsi

Luas Kawasan Hutan (Ha) Berhutan Non Hutan

Total

Luas % Luas %

22 KALIMANTAN SELATAN 896.271 59 622.195 41 1.518.466 23 KALIMANTAN TIMUR 11.036.958 78 3.081.721 22 14.118.679 24 SULAWESI UTARA 346.678 49 363.111 51 709.789 25 SULAWESI TENGGARA 1.420.010 60 946.743 40 2.366.753 26 SULAWESI BARAT 842.821 88 111.762 12 954.583 27 SULAWESI TENGAH 2.954.554 61 1.912.008 39 4.866.562 28 SULAWESI SELATAN 1.175.808 58 864.876 42 2.040.684

29 GORONTALO 666.197 82 146.864 18 813.061

30 MALUKU 1.807.527 70 762.509 30 2.570.036

31 MALUKU UTARA 1.596.041 84 300.888 16 1.896.929

32 PAPUA 19.971.333 84 3.886.106 16 23.857.439

33 IRIAN JAYA BARAT 6.492.501 92 538.222 8 7.030.724 JUMLAH/RATA-RATA 77.382.240 70 33.445.092 30 110.827.332

Potensi kayu yang diperoleh dari kawasan hutan produksi dihitung berdasarkan asumsi siklus tebang 35 tahun sesuai dengan potensi per ha hutan alam di setiap Provinsi, serta daur 10 tahun untuk hutan tanaman yang telah ada, dan periode 25 tahun untuk areal non hutan yang akan dibangun menjadi hutan tanaman dengan produksi 150 m3 per ha. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh potensi kayu berdiri (diameter 20 cm ke atas) yang dapat dihasilkan sebesar 293.712.077 m3 per tahun. Adapun distribusinya menurut Provinsi dan keadaan awal hutan seperti tercantum dalam Tabel 3.9, dan secara rinci pada Lampiran 3.2.

(37)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 32

Tabel 3.9 Potensi tegakan per provinsi hasil pengukuran di TSP dan PSP

No 1 2 3 4 5 6 7

Provinsi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Bali NTB

NTT Maluku Papua Indonesia

Jumlah Klaster 355 13 549 151 105 52 70 1295

Enumerasi TSP-PSP 1990-1996

N Awal N/ha 20 Cm Up 115.63 - 92.28 128.84 90.53 163.75 150.01 107.86

50 Cm Up 17.38 - 17.9 26.7 10.7 24.86 19.26 14.77

V Awal m3/ha 20 Cm Up 131.96 - 132.98 137.23 66.1 136.02 88.27 124.14

50 Cm UP 67.86 - 7937 71.74 32.21 82.85 55.76 69.92

Re - Enumerasi PSP 1996-2009

N Awal N/ha

20 Cm Up 82.54 51.62 80.36 91.7 64.97 95.01 103.14 82.56

50 Cm Up 12.37 9.38 14.74 17.45 10.86 25.49 20.29 14.7

60 Cm Up 6.25 6.85 8.66 9.52 5.9 10.86 11.6 8.1

V Awal m3/ha

20 Cm Up 93.52 83.34 109.83 122.77 54.75 173.32 124.6 105.48

50 Cm Up 44.2 49.8 63.27 70.07 33.07 118.27 72.83 58.98

(38)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 33 Sumber : Statistik kehutanan 2012

Gambar 3.2. Laju Deforestasi Indonesia Tahun 1990 – 2011

Lemahnya kemampuan Kementerian Kehutanan dalam mengelola hutan konservasi juga menimbulkan berbagai masalah dalam areal hutan konservasi. Sebagai contoh, perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan konservasi masih tinggi. Kegiatan illegal ini terutama terjadi di daerah yang padat penduduknya, seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Konflik tenurial dan perambahan terjadi hampir di seluruh taman nasional, antara lain di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Halimun Salak, Bromo Tengger Semeru, Kerinci Seblat dan Tesso Nilo.

3.3.2 Kinerja Aspek Ekosistem Hutan

Secara umum luas lahan kritis di luar kawasan hutan lebih besar daripada luas lahan kritis di dalam kawasan hutan. Pada tahun 2000, luas lahan sangat kritis dan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15.106.234,00 ha, sedangkan luas lahan kritis untuk kategori yang sama di dalam kawasan hutan mencapai 8.136.647,00 ha. Luas lahan kritis cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2004, luas lahan sangat kritis mencapai 13.497.449,42 ha, sedangkan luas lahan yang tergolong kritis mencapai 20.077.185,43 ha. Selama empat tahun terjadi peningkatan lahan kritis sebesar kurang lebih 10 juta ha.

(39)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 34

Tabel 3.10 Luas dan penyebaran lahan kritis sampai tahun 2011

No Provinsi

1 Sumatera 8,314,101 2,450,917 10,765,018 7,804,143 2,334,853 10,138,995

2 Jawa 1,003,567 1,389,932 2,393,499 1,161,959 191,814 1,353,772

3

Bali, NTB,

NTT 2,523,125 3,581,464 6,104,589 1,119,249 61,350 1,181,599

4 Kalimantan 5,306,762 6,683,474 11,990,236 7,364,764 1,547,364 8,912,128

5 Sulawesi 1,709,982 2,500,389 4,210,371 2,254,213 516,663 2,770,876

6 Maluku 747,675 1,162,970 1,910,645 938,190 435,241 1,373,430

7 Papua 3,701,022 3,275,170 6,976,192 1,382,074 181,977 1,564,042

Total 23,306,233 6,890,568 30,196,801 22,025,581 5,269,280 27,294,842

Sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, kawasan konservasi dikelompokkan menurut fungsinya, yaitu: Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam) dan Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), serta satu kategori menurut UU No. 41 Tahun 1999, yaitu Taman Buru. Persentase luasan masing-masing kategori kawasan konservasi disajikan pada Gambar 3.3. Berdasarkan data jumlah unit kawasan konservasi, terdapat 50 taman nasional yang luasannya mencapai 65 % dari luas total kawasan konservasi.

(40)

Background Study RPJMN Kehutanan 2015 – 2019: Final Report 35

Berdasarkan kondisi ini, taman nasional memegang peranan yang sangat penting dalam konservasi sumberdaya alam hayati di Indonesia. Namun demikian, kinerja pengelolaan taman nasional dilihat perspektif kondisi penutupan lahan kurang menggembirakan. Kompilasi data penutupan lahan di 48 taman nasional disajikan pada Gambar 3.4.

Berdasarkan dokumen RKTN 2011-2030 juga diskenariokan bahwa 20% atau sekitar 14,28 juta hektar kawasan hutan dari ketiga arahan pemanfaatan di dalam hutan lindung dan hutan produksi dialokasikan untuk mengakomodasi kebutuhan pembangunan hutan rakyat, kepentingan sektor non kehutanan serta penyediaan lahan permukiman. Skenario ini merupakan bagian dari resolusi konflik tenurial yang selama ini terjadi. Total kawasan yang dialokasikan untuk mendukung hal tersebut diatas sampai dengan tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 18,34 juta ha. Berdasarkan hal skenario ini diproyeksikan bahwa pada tahun 2030 kawasan hutan Indonesia tinggal 112,34 juta hektar atau 85% dari luas kawasan saat ini. Berdasarkan skenario ini juga diketahui akan terjadi pengurangan luas hutan lindung dan hutan produksi, sedangkan sebagian besar hutan produksi yang dapat dikonversi diarahkan untuk diubah fungsinya menjadi hutan produksi tetap.

Gambar 3.4 Kondisi penutupan lahan di 48 Taman Nasional di Indonesia Dalam konservasi sumberdaya alam hayati, pendekatan UU 5 Tahun 1990 menterjemahkannya menjadi alokasi kawasan konservasi (KPA dan KSA) untuk perlindungan ekosistem atau spesies unik dan terancam kepunahan. Pada tingkat konservasi spesies, Indonesia telah menetapkan perlindungan hukum melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Noerdjito dan Maryanto (2001) dalam buku ”Jenis-Jenis yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia” mencantumkan daftar panjang dari flora dan fauna Indonesia yang dilindungi hukum berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan sejak jaman

Gambar

Tabel 3.1 Index tata kelola hutan, lahan dan Redd+ komponen kerangka
Gambar 2.1.  Kerangka Konsep Studi
Tabel 3.1 Index tata kelola hutan, lahan dan REDD+ komponen kerangka hukum dan kebijakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
Tabel 3.2 Penilaian kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah menurut isu dalam tata kelola hutan,lahan dan REDD+
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 67 udang-undang Kehutanan.. kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Dalam kenyataannya di lapangan bahwa pemerintah untuk menetapkan kawasan hutan tidak melalui tahapan-

Terbentuknya/ penetapan 10% dari kawasan hutan produksi menjadi areal kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), tersedianya calon areal pemanfaatan hasil hutan di 25

Korupsi dalam penetapan zonasi kawasan hutan dalam rencana tata ruang di antaranya: (1) menciptakan ketidakpastian terhadap zonasi kawasan hutan dengan

pelaksanaan penetapan perencanaan teknis operasional program kegiatan perencanaan hutan, inventarisasi penatagunaan kawasan hutan, sistem informasi monitoring dan

Dinas Kehutanan untuk rehabilitasi yaitu ada dua cara yakni rehabilitasi diluar kawasan hutan dan rehabilitasi didalam kawasan hutan. Yang diluar kawasan hutan berada

prinsip pengelolaan hutan merupakan upaya penetapan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi

Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan.. berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang

Perkembangan Jenis Gangguan dan Kerusakan Hutan Kawasan Konservasi di Wilayah Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2010 s/d 2015 .... Perkembangan Jenis Gangguan dan Kerusakan