• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen

Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrase (bahasa latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijakan itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu majelis arbitrase dapat menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan norma-norma lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan.Kesan tersebut sebenarnya keliru karena arbitrase atau majelis tersebut menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Menurut Undang- Undang Nomoor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah :

“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa”

Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), arbirase memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan industri keuangan baik yang bersifat Nasional maupun Internasional. Sedanngkan menurut peraturan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian (Pasal 1 AD BAMUI).

Menurut ketiga pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah :

1) Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa – sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.

2) Penyelesaia sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang perdagangan, industry, dan keuangan.

3) Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan menngikat (final dan binding).

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut sistem arbitrase sebagai salah satu kewenangan BPSK untuk meyelesaikan sengketa konsumen. Di dalam Pasal 1 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disebutkan Arbitrase adalah

proses penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Sesuai dengan ketentuan beracara di BPSK, prosedur penyelesaian melalui arbitrase adalah sebagai berikut :

1. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis.

2. Arbiter yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis.

Adapun bentuk Format Surat Pernyataan untuk memilih penyelesaian sengketa secara

“arbitrase” yang diberikan oleh salah satu Majelis BPSK Kota Medan ialah :

SURAT PERNYATAAN UNTUK MEMILIH PENYELESAIAN SENGEKETA

DENGAN CARA “ARBITRASE”71 Kami yang bertanda tangan dibawah ini :

(ialah Para pihak yang bersengketa baik Konsumen Maupun Pelaku Usaha )

I. Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Dalam Hal ini disebut sebagai Pihak I (Konsumen)

II. Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Dalam Hal ini disebut sebgai Pihak II (Pelaku Usaha)

71

Formulir Surat Pernyataan memilih penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, yang diberikan kepada penulis pada tanggal 06 Maret 2016

Antara Konsumen dengan Pelaku Usaha telah setuju dan sepakat untuk memilih Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara “ARBITRASE” dan untuk itu kami memilih Majelis

tersebut sebagai berikut : 1. Unsur Pemerintah : 2. Unsur Konsumen : 3. Unsur Pelaku Usaha :

Demikianlah Surat Pernyataan ini kami perbuat dengan sebenarnya. Kemudian

ditandangani oleh Para Pihak serta Para Majelis BPSK Kota Medan yang telaah dipilih sebagai majelis arbiter.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Jo. Pasal 32 ayat (1) Kepmen 350/MPP/KEP/12/2001, menyebutkan bahwa :

“ Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase oleh para pihak yang bersengketa, dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para

pihak .”

“Dalam penyelesaian sengketa kosnumen dengan cara arbitrase para pihak memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

yang berasal dari unsur pelaku usaha dan kosnumen sebagai anggota majelis ”

Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.72

Selanjutnya pada tahap persidangan prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Ketua mejelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai uapaya – upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.

72 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa

2. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Mejelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal – hal yang dipersengketakan.

Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka persidangan pertama majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.

Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib memuat putusan dan membentuk penetapan perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persingan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat yang diperlukan.

Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat – lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretaris BPSK. Namun pada beberapa BPSK tidak selalu menerapkan ketentuan ini, mengingat jam kerja seluruh BPSK di Indonesia tidaklah sama. Bilamana pada persidangan ke II

(kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.

Prosedur penyelesaian dengan menggunakan arbitrase bagaikan sebuah simalakama bagi kedua belah pihak. Terkadang pihak yang lemah disarankan untuk tidak memilih prosedur arbitrase ini dikarenakan proses yang harus ditempuh dalam hal upaya hukum akan menyulitkannya. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya peraturan arbitrase BPSK di Indonesia. Sehingga memerlukan campur tangan lembaga peradilan untuk memberi kepastian hukum, meskipun putusan BPSK bersifat final dan mengikat.

Bagi para pihak yang memiliki posisi kuat, mekanisme melalaui arbitrase ini menjadi pilihan.Kerena melalui prosedur ini BPSK dapat menjatuhkan hukum berupa kewajiban tertentu kepada pihak lawan yang harus dilaksanakan seperti halnya putusan pengadilan.Ketika pihaknya memeiliki kekuatan pada bukti – bukti formal dan fakta – fakta yang diujui leewat saksi-saksi, BPSK memiliki kemungkinan menjatuhkan putusan sesuai dengan harapannya.

Meskipun putusan arbitrase BPSK apabila tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen putusan BPSK bersifat final dan mengingat. Hal ini mengandung pengertian bahwa putusan BPSK harus dilaksanakan. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sesungguhnya hanya memperkenankan keberatan terhadap putusan BPSK dalam hal putusan BPSK memenuhi syarat pembatalan

sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. Setelah putusan arbitrase BSPK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.73

D. Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Menyelesaikan Sengketa