DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentag Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Kepmen 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas Dan wewenang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)
Perma Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum terhadap Putusan
BPSK
Perma Nomor1 Tahun 1995 Tentang Hak Uji Materil
Buku dan Internet
Adinugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara
Serta Kendala Implementasinya, kencana, Jakarta, 2008.
Chrisyanti, Celina Trisiwi. Hukum perlindungan konsumen, sinar grafika, Jakarta,2014.
Fuady, Munir.Arbitrase nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000.
Hidayanti, Fitri. Efektivitas Penerapan Arbitrase Dalam Menyelesaian Sengketa Perbankan,
FH USU, 2014.
Irawan, Candra.Aspek hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan
(alterntive dispute resolution) di Indonesia, CV.Mandar Maju, Bandung, 2010
Rahmawati Intan Nur, & Rukiyah Lubis.Win-win Solution Sengketa Konsumen, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2014.
Sofie, Yusuf .Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori dan Praktek
Tunggal, Hadi Setia.Himpunan UUD tentang Arbitrase dan alternative penyelesaian
sengketa, harfindo, Jakarta 2002.
Usman, Khotibul. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,Jakarta , PT. Suka Buku., 2013.
Usman, Rahmadi.Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bakhti, Bandung, 2013.
Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia &
Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 2011.
http://fh.unsoed.ac.id/files/fileku/dokumen/permasalahandankendalapenyelesaiansengketakon
sumenmelaluiBPSK/html1/=1.
http://mhunja.blogspot.co.id/2012/03/arbitrase-pengertian.keunggulan-dan.html/m=1
http://repositori.usu.ac.id/bistream/html=123456
Wawancara
Wawancara dengan Ketua BPSK kota Medan atas nama H. M. Dharma Bakhti, SE.,SH.,Msi.
Wawancara dengan majelis dari unsur konsumen di BPSK kota Medan atas nama Siti Aisyah
Dana,SH
Wawancara dengan pelaku usaha (PT. PLN(Persero) Wil.Sumut atas nama Putri sebagai
kuasa hukumnya.
Wawancara dengan konsumen atas nama Yusuf konsumen Adira Finance.
BAB III
ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU CARA PENYELESAIAN SENGEKETA KONSUMEN
A. Pengertian Umum Tentang Sengketa Konsumen
Dalam kosakata Inggris terdapat dua istilah mengenai sengketa, yakni “conflict ”
dan “dispute” yang kedua – duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat di bedakan.
Kosakata “conflict” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Konflict”,
sedangkan kosakata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosakata “Sengketa”.
Sebuah konflik yakni sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa apabila
pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinan.
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak
yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik
secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian maupun
kepada pihak lain. Sengketa atau konflik hakikatnya merupakan bentuk akuntabilitas
dari suatu perbedaan dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara kedua belah
pihak.39
Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan
berubah yang menjadi sengketa apabila tidak dapat terselesaikan. Konflik dapat
diartikan sebagai “pertentangan” diantara para pihak untuk menyelesaikan masalah
yang kalau tidak diselesaikan dengan baik, dapat mengganggu hubungan diantara
mereka. Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahanya dengan baik,
maka sengketa tidak akan terjadi. Akan tetapi, jika terjadi sebaliknya, para pihak
tersebut dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya.Dengan
demikian, sengketalah yang timbul.40
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara yang pada dasarnya
keberadaan cara penyelesaian sengketa yang setua keberadaan manusia itu sendiri.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang di berikan oleh Tuhan kepada manusia,
membawa manusia itu kedalam bermacam – macam konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, maupun dengan dirinya sendiri. Namun karena kodrat manusia
juga, manusia selalu berusaha mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk
selalu mencapai posisi keseimbangan dan agar tetap dapat bertahan hidup. Sejarah
menunjukan bahwa peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam
lingkungannya, kebutuhannnya, serta nilai – nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula konflik dan cara – cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas manusia
masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia dengan
individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu lain dari
kelompok yang berbeda akan ditransformasi menjadi konflik kelompok dan
penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia yang
berkembang semakin kompleks mambawa serta perubahan posisi menjadi individu – individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan – kepentingan yang tidak dapat begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik; cara
penyelesaiannya; serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itupun ikut
mengalami perkembangan.41
Salah satu bukti bahwasanya hal-hal yang disebutkan diatas mengalami
perkembangan, ialah sekarang telah dikenal dengan adanya sengketa
konsumen.Sengketa konsumen berarti sengketa atau konflik yang timbul antara para
konsumen. Sengketa konsumen ini merupakan salah satu bentuk dari perkembangan
hukum perdata. Sebagaimana yang kita ketahui hukum bersifat dinamis dan universal
atau dengan kata lain mengikuti zaman yang terus berkembang. Sepanjang ada
perubahan atau adanya kebutuhan terhadap peraturan baru disebabkan hal – hal tertentu yang membutuhkan ada peraturan tersebut, maka peraturan dan segala aturan pun
terbentuk.Agar tetap tercapainya tujuan dari suatu NKRI yang disebutkan dalam
pembukaan UUD 1945.Sehingga sengketa konsumen merupakan bentuk dari
perkembangan yang telah disebutkan diatas, dan terdapat pula aturan didalamya untuk
mencapai tujuan negara.
Sebelum membahas mengenai apa itu Sengketa Konsumen secara luas, terlebih
dahulu kita harus pamahami apa itu Sengketa dan apapula Konsumen itu. untuk
pemahaman mengenai Sengketa sudah disebutkan dihalaman sebelumnya kemudian
untuk pemahaman menganai apa tu konsumen, dapat diterangkan sebagai berikut :
Pengertian konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) dalam Pasal 1 ayat (2) yakni :
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia
dalam masayarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Unsur-unsur definisi konsumen :42
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setip orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan / atau jasa.Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan
keraguan, apakah hanya orang individu yang lazim disebut natuurlijke persoon
atau termasuk juga badan hukum (recht persoon). Hal ini berbeda dengan
pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang
secara eksplisit membedakan kedua pengertian person diatas, dengan
menyebutkan kata – kata : “ orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang
perseorangan.Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan
makna lebih luas dari badan hukum.
UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan kata “konsumen”.Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha”yang bermakna
lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur
(penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminology lainyang lazim
diberikan. Bahkan, untuk kasus – kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu
ditayangkan.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).Istilah “pemakai” dalam dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus
menunjukan, barang dan/jasa yang dipakai tidak semerta-merta hasil dari
itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha
tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).
Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang
memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulangtahunnya.Isi
paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari pasar
swalayan.
Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga ? Jika ia
menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat
baginya? hal ini patut dipertanyakan. Jika menggunakan prinsip privity of
contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak
pasar swalayan karena si pembeli parsel ialah orang lain. Dengan demikian,
UUPK sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan
konsumen.
Konsumen memang tidak sadar pembeli (buyer) atau (koper) tetapi semua
orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau
barang.Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer
transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan
kenikmatan dalam menggunakannya.
Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode.Dewasa ini, sudah lazim
terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan
produk kepada konsumen.Istilahnya product knowledge. Untuk itu , dibagikan
sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjual belikan. Orang yang
mengkonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen.Oleh karena itu, wajib
Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang
mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity contract) dengan produsen
atau penjual adalah pendefenisian konsumen yang paling sederhana di Amerika
Serikat cara pandang seperti itu telah ditinggalkan, walaupun baru dilakukan
pada awal abad ke-20. Konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu
barang dan/atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung asalkan ia
memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk .
c. Barang dan/atau Jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa sebagai pengganti terminology
tersebut digunakan kata produk.Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau
jasa.Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.Dalam dunia
perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis
layanan perbankan.
UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun
tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah –
istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.”
Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjjukan, jasa itu harus
ditawarkan kepada masyarakat.Artinya, harus lebih dari satu orang.Jika demikian
halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup
Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari suatu transaksi konsumen.Artinya, seseorang yang karena kebutuhan
mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat dikatakan
perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen.Si pembeli tidak dapat
dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.
d. Yang Tersedia Didalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di
pasaran.Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak
mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.Misalnya, perusahaan
pengembangan (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi
terlebih dulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, jenis–jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures traiding, keberadaan barang yang diperjual belikan bukan
sesuatu yang diutamakan .
e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga orang
lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakan dalam definisi itu mencoba
untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar
ditunjuk untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu
diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk
makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan
penguraian unsur tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan
memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditunjukan untuk siapa dan
yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya.Misalnya, berkaitan dengan
kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen
akhir.Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen
diberbagai negara.Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk
mempersempit ruang lingkup pengertian kosumen, walaupun dalam
kenyataannya, sulit meneteapkan batasan – batsan seperti itu.
Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yaitu :43
1. Penyebutan sengketa konsumen sebagaibagian dari sebutan institusi administrasi
negara yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal
ini Badan Penyelesain Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 1 Butir 11 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen) Jo. Bab XI Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK).;
2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian
sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada bab iini digunakan
penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu : Pasal 45 ayat (2) dan Pasal
48 Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK);
Kosakata sengketa (conflict;dispute) mestinya tidak hanya bersifat merusak
(destructive) dan merugikan (harmful), melainkan membangun (contructive),
menarik/menantang, serta dinamis sebagai katalisator perubahan.
43 Yusuf Shofie.,Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK Teori & Praktek Penegakan
Ada beberapa kunci untuk memahami pengertian “sengketa konsumen” dalam
kerangka undang – undang perlindungan konsumen(UUPK) dengan menggunakan metode penafsiran. Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut Undang – Undang Pelindungan Konsumen (UUPK) berikut dikutipkan batasan keduanya:
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain , maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk d perdagangkan” (Pasal 1 butir 2 Undang–
Undang Perlindungan Konsumen)
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau yang melakukan kegiatan dalam wilayah Negara
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” (Pasal 1
butir 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen)
Konsumen dipastikan setiap orang atau individu pemakai barang dan/atau jasa
untuk keperluan sendiri, keluarga atau pihak lain. John F. Kennedy (mantan Presiden
Amerika Serikat), mengatakan bahwa secara definisi konsumen adalah kita semua;
mereka adalah kelompok ekonomis dalam perekonomian yang mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh hamper setiap keputusan masalah-masalah ekonomi yang bersifat
perdata dan publik. Kata Kennedy mereka satu – satunya kelompok penting dalam perekonimian yang secara efektif tidak terorganisir serta pandangan – pandangan mereka sering tidak di dengar.
Perlindungan yang di berikan Undang – Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya pada konsumen secara individu, melainkan juga di perluas pada makhluk
Perlindungan Konsumen ini tidak di perluas individu pihak ketiga yang di rugikan
atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang dan
atau jasa.
Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau (BPSK) pada Pasal 1 butir
11 Undang – Undang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa yang di maksud dengan
“sengketa konsumen” yaitu : sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku Usaha
disitu, yaitu :
1. Setiap orang atau individu;
2. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum;
Selengkapnya pasal tersebut berbunyi :
“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen ”
Jadi, sengketa sesama pelaku usaha bukanlah sengketa konsumen karenanya
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak dapatlah digunakan
pelaku usaha.
Konflik atau sengketa antata konsumen dan pelaku usaha pada umumnya didasarkan
kepada kepada hal – hal yang tidak dikehendaki bahkan tidak diduga oleh konsumen sebelumnya. Dari berbagai macam penyebab timbulnya sengketa, secara terperinci sengketa
konsumen terkait lima hal, yaitu sebagai berikut : 44
1. Barang yang tidak standart adalah barang yang tidak memenuhi ketentuan spesifikasi
tekhnis, di bakukan, termasuk tata cara dan metode yang di susun berdasarkan
consensus semua pihak yang terkait dengan memerhatikan syarat – syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini dan akan
datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar – besarnya. Standart nasional Indonesia selanjutnya di sebut SNI adalah standart yang di tetapkan oleh BSN (Badan
Standarisasi Nasional) yang berlaku secara nasional. SNI wajib adalah
memberlakukan SNI secara wajib di seluruh Indonesia yang di tetapkan oleh Mentri
teknis terkait.
2. Informasi yang Mengelabui
Ada perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha yang memberikan informasi atas barang atau jasa yang ditawarkan untuk
diperdangangkan dengan tidak lengkap, tidak benar, tidak wajar , dan tidak jujur.
3. Cara Menjual yang Merugikan
Ada juga perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbutan yang dilarang bagi pelaku
usaha dalam hal cara menjual barang atau jasa (obral, undian, lelang, dan cara
paksaaan) dengan mengelabui atau menyesatkan konsumen. Contonya, sebuah tooko
menyebarkan brosur yang menyatakan bahwa produk yang dijual didiskon 30%, tapi
ternyata harga barang tersebut telah dinaikan sebelumnya sebesar 30 %.
4. Cidera Janji (Wanprestasi)
Ada perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam
perjanjian yang telah disepakati dan atau ditandatangani. Untuk menentukan apakah
perbuatan pelaku usaha yang merugikan konsumen baik dilihat dari sisi kerugian
terlebih dahulu harus dilihat, diuji, dan dikaji apakah perbuatan pelaku usaha terrsebut
dapat menjadi Objek Sengketa Konsumen di BPSK. 45
Untuk menentukan apakah perbuatan pelaku usaha dapat dijadikan Objek Sengketa
Konsumen menurut Undanng-Undang Nomor 8 Tahun 1999, terlebih dahulu perlu
dipahami oleh semua pihak, khususnya anggota BPSK, bahwa Undang-undang No. 8
Tahun 1999 merupakan payung terhadap undang-undang sektor lainnya sepanjang
muatan materi undang-undang tersebut juga bertujuan untuk melindungi konsumen
seperti Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. Menurut
Undang-undang tentang pangan tersebut, pelaku usaha dilarang memperdagangkan pangan
yang tercemar, dalam hal ini kadaluwarsa. Pelaku Usaha tersebut melanggar
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, juga melanggar Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Dalam hal ini, keberadaan, sifat, dan fungsi
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 merupakan pengikat terhadap undang-undang
sector lainnya yang bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan efektifitas
pelaksanaan sektor lainnya.
5. Klausula Baku
Ada juga perlindungan konsumen dilihat dari sisi perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha untuk mencantumkan Kalausula Baku dalam setiap perjanjian atau dokumen
yang merugikan konsumen.Sebagai contoh, dalam karcis parker tertera kalimat yang
berbunyi “Jika Kendaraan rusak atau hilang, pengelola parkir tidak bertanggung jawab.”46
Seharusnya jika terjadi kerusakan atau kehilangan di wilayah parkir Pelaku Usaha
maka, Pelaku Usaha tersebutlah harusnya bertanggung jawab sepenuhnya atas
kerugian yang dialami konsumen.Setidaknya Pelaku Usaha menyediakan pelayanan
yang tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen dan dapat dikatakan pula bahwa
kerusakan dan/atau sampai terjadinya kehilangan tersebut adalah merupakan
Tanggung Jawab dari Pelaku Usaha atas usaha yang dikelolanya.
Dari beberapa uraian diatas mengenai Sengketa Konsumen, kesimpulannya tidak yang
menyebutkan secara jelas apa itu sebenarnya sengketa konsumen. Batasan – batasan mengenai apa itu sengketa dan apa itu konsumen. Berebeda – beda pemaparannya menurut ahli dan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perllindungan
Konsumen itu sendiri.
B. Bentuk Penyelesaian Sengketa Konsumen
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaaian Sengketa Konsumen menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan
1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri.
2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK
dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrase.
b. Penyelesaain sengketa konsumen melalui proses litigasi.47
Ad.a Penyelesaiansengketa konsumen diluar pengadilan
1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa.
Mengenai penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, yang dilakukan atau
ditempuh dengan jalur atau secara damai oleh para pihak yang bersengketapun
dilakukan pula pada proses penyelesaian sengketa secara arbitrase. Sehingga terdapat
kesamaan bahwa bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan ,
47
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
ialah dengan cara damai yang berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak untuk
memperoleh penyelesaian sengketa tersebut. Adapun isi pasal dari Penyelesaian
sengeketa diluar pengadilan yang dilakukan secara damai menurut Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
adalah:
(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian
antara para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu akta perdamaian
yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk
memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
Sedangkan Penyelesaian sengketa konsumen secara damai oleh para pihak yang
bersengketa, disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu :
“ penyelesaian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa .”
Dalam ayat (1) UUPK tersebut, menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen yang dilakukan diluar pengadilan ialah mengusahakan perdamaian antara
para pihak yang bersengketa.Meskipun majelis arbiter dan tempat untuk
menyelesaikan sengketa secara arbitrase tersebut telah ditentukan, tetapi upaya
damailah yang tetap diusahakan terlebih dahulu kepada kedua belah pihak.
Sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 Ayat (2) UUPK tersebut, tidak menutup
kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang
penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut
dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian
damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2)
UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai,
merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para
pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa
mereka melalui BPSK atau badan peradilan.48
2) Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara
cepat, mudah, dan murah.Cepat karena Undang-Undang menentukan dalam tenggang
waktu 21 hari kerja, BPSK wajib memberikan putusannya.49 Mudah karena prosedur
administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak
pada biaya perkara yang terjangkau.
Setiap Konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat
mengadukan masalahnya ke BPSK, baik secara langsung maupun diwakili oleh
kuasanya dan maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh
kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang
bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa, atau
warga negara asing. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan maupun
tulisan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di
kota/kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau
48
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta
Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 99
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen.50Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini
didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/jasa tersebut
terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis
yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah
merugikan konsumen itu.51
Namun pada kenyataannya, setiap pelaku usaha yang memproduksi barang
dan/atau jasanya yang telah merugikan konsumen, semata-mata haruslah ada kerugian
baik materi ataupun immateri terlebih dahulu baru kemudian pelaku usaha tersebut
berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau jasanya. Dengan kata lain harus ada
kerugian terlebih dahulu lalu ada upaya perbaikan dari pelaku usaha atas kesalahnnya.
Maka timbulah pertanyaan, apakah harus konsumen merasa dirugikan terlebih dahulu
baru ada bentuk perubahan atau kehati-hatian dari Pelaku Usaha atas Produk baranng
dan/atau Jasanya? Sehingga jaminanlah sebagai bentuk salah satu tanggung jawabnya
Pelaku Usaha tersebut, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 UUPK tersebut,
berupa tulisan :
“tidak akan terulang kembali perbuatan yang merugikan konsumen.”
Pada prinsipnya penyelesaian sengketa kosumen diusahakan dapat dilakukan
secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win
solution). Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa di luar pengadilan
mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dari yang paling
kecil kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks.
Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan diluar pengadilan diharapkan
50
sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa konsumen yang tak hanya
menyelesaikan sengketa saja, tetapi dapat tetap menciptakan keharmonisan hubungan
antara para pihak yang bersengketa. Serta apa-apa yang dijadikan putusan
penyelesaian di luar pengadilan tersebut adalah putusan yang akurat dan memang
dapat dilaksanakan oleh para pihak tersebut dengan baik .52
Faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar
pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu :53
a) Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib
dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela;
b) Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak yang ketiga;
c) Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal;
d) Apakah para pihaak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri
yang tampil;
e) Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria
lain;
f) Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak;
Selanjutnya, dikemukakan bahwa tidak semua model penyelesaian sengketa
diluar pengadilan/alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu
penyelesaian sengketa altenatif yang baik setidak – tidaknyaharuslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
a) Haruslah efesien dari segi waktu;
b) Haruslah hemat biaya;
52
c) Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh;
d) Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa;
e) Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur;
f) Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di masyarakat
dan para pihak yang bersengketa;
g) Putusannya harus final dan mengikat;
h) Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi;
i) Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas di mana
[image:24.595.73.534.357.754.2]penyelesaian sengketa dilaksanakan.
Table 1 : Sisi Baik dan Sisi Lemah dari Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
No
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
Sisi Baik Sisi Lemah
1. Badan Pengadilan - Menerapkan Norma publik
- Ada precedent
- Deterrence effect
- Keseragaman
- Independensi
- Putusan mengikat
- Keterbukaan
- Dapat dieksekusi
- Melembaga
- Pendanaan secara publik
- Mahal
- Memakai lawyer sehingga
mereka tidak terkontrol
- Keputusan tidak terduga
- Tidak ahli substansi
- Menunda-nunda
- Banyak butuh waktu
- Masalah diredefinisidan
dipersempit
- Ganti-rugi terbatas
- Tidak ada kompromi
- Polarisasi cenderung
bermusuhan
2. Arbitrase - Privacy forum dikontrol para
pihak
- Dapat dieksekusi
- Tidak ada Norma Publik
- Tidak ada precedent
- Cepat
- Ahli
- Gantirugi tailor make
- Dapat dipilih norma yang
sesuai
- Kurang berkualitas
- Dibebani oleh legalisasi
yang semakin banyak
3. Mediasi /Negosiasi - Privacy
- Forum dikontrol para pihak
- Merefleksi kepentingan dan
prioritas para pihak
- Mempertahankan kelanjutan
hubungan para pihak
- Fleksibel
- Putusan yang terintegrasi
- Tertuju pada masalah dasar
- Menjadi pendidikan terhadap
para pihak
- Putusan cenderung
dijalankan oleh para pihak
yang bersengketa.
- Kurang kemampuan untuk
memaksa partisipasi para
pihak
- Tidak mengikat
- Kurang terbuka
- Tidak ada kewenangan
eksekusi
- Tidak ada jaminan due
process
- Hasil tidak adil jika skill
tidak seimbang (dalam
negosiasi)
- Sukar dieksekusi
- Hasil menjadi tidak penting
- Tidak ada aplikasi /
perkembangan.
Sumber :Susanti Adi Nugroho, Ibid, hlm. 103
Tata cara penyelesaian sengeketa konsumen oleh BPSK ditur dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses
penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang
formal. UUPK menentukan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.54
Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 berbunyi :
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah Lembaga Penyelesaian sengketa melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Kemudian berdasarkan isi Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 diatas,
maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukkan dengan cara berikut :55
1. Konsultasi
Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan pihak “konsultan” yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk
memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat,
artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.
2. Negosiasi
Negosiasi adalah proses consensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh
kesepakatan diantara mereka. Negosiasi menurut Roger Fisher dan William Ury
adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat
kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.
Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga penengah yang tidak
berwenang mengambil keputusan (mediasi) dan pihak ketiga pengambil keputusan
(arbitrase atau litigasi).
Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, diman para
pihak masih beritikad baik untu duduk bersama dan memecahkan masalah.Nehosiasi
dilakukan apabila komunikasi antar pihak yang bersengketa masih terjalin dengan
baik, masih ada rasa saling percaya, dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan
kesepakatan dan meneruskan hubungan baik.
3. Mediasi
Dalam Pasal 6 ayt (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa atas
kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang seorang mediator.
Menurut Riskin dan Wetsbrook mediasi merupakan
Mediation is an informal process in which a neutral third party helps oter
resove a dispute or plan a transition but does not (and ordinarily does not have the
power to )impose a solution.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi
pemecahan dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan
pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang
bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan
memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan sengketa.Mediator hanya membantu para pihak untuk
menyelesaikan persolan –persolan yang dikuasakan padanya.
Dalam sengketa dimana salah satu pihak yang kuat dan cenderung menunjukan
kekuasaannya, pihak ketiga memgang pernan penting untuk
menyetarakannya.Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi karena pihak yang
bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan
penyelesaian sengketa arah tanpa arahan konkret dari pihak ketiga.
Peran utama seorang mediator adalah ia harus mampu merangsang para pihak untuk
benar-benar memahami kepentingan dari masing-masing pihak yang bersengketa, sehingga
para pihak dapat menemukan solusi yang memenuhi kepentingan para pihak yang
bersifat fundamental. Kelebihan yang mendasar dari suatu mediator tergambar dari
pendapat yang berbunyi :
“the parties are provided a forum where they can vven their feelings while telling their „stories‟ so that they feel heard and understood ”
Sehingga mediator memampukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
dengan kepala yang jernih dan objektivitas maupun tulisan yang dapat gianggap
sebagai suatu perjanjian baru atau dapat juga dijadikan sebagai suatu perdamaian
dimuka hakim yang akan menunda proses penyelesaian sengketa si pengadilan.
4. Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan perdamaian, sebagaimana diatur dalam Pasal
1851 KUHPerdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar
pengadilan adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk mencapai perdamaian di
luar pengadilan (litigasi), melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang
berlangsung, baik dalam maupun diluar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga
mengupayakan pertemuan diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan
perdamaian.Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam
perundingan dengan para pihak yang berselisih, konsiliator biasanya tidak terlibat
secara mendalam atas substansi dari perselisihan.Ketentuan tentang konsiliasi dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (10) dan alinea ke-9 Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditanda-tangani
secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan
5. Penilaian Ahli
Yang dimaksud dengan penilaian adalah hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam pasal
1 angka 8 Undang- Undang Nomor 30 tahun 1999 berbunyi :
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk
menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi
diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memeberi
konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak
yang melakuknannya.Oleh sebab itu, pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari
para pihak secara bersama-sama dengan malalui mekanisme sebagaimana halnya
suatu penunjukan (lembaga) arbitrase untuk menyelesaikan suatu perselisiha atau
sengketa, maka pendapat hukum ini bersifat final.Sebenarnya sifat dari pendapat
hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau
bentuk putusan lembaga arbitrase.
Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen untuk mendapatkan kesepakatan dari pelaku usaha (tergugat) mengenai bentuk
dan besarnya ganti-rugi serta untuk tidak terjadinya kesalahan yang sama maka didalam Pasal
45 Undang – Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999, mencantumkan bahwa : (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditemouh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaiamana daiatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan,
gugaatan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan berhasil oleh salah
satu pihak yang bersengketa.
Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempunyai kewajiban
menjaga ketertiban jalannya persidangan. Terdapat 3 (tiga) tata cara persidangan di BPSK
(Pasal 54 ayat 4 Jo. Pasal 26 sampai dengan pasal 36 Surat Keputusan Menperindag Nomor
350/MPP/Kep/12/2001), yaitu :56
1. Persidangan dengan cara konsiliasi;
Inisiatif salah satu pihak atau para pihak membawa sengketa konsumen ke BPSK
ditangani Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersikap pasif dalam
persidngan sengan cara konsiliasi. Sebagai pemerantara antara para pihak yang
bersegketa, Majelis BPSK bertugas (Pasal 28 SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001):
a. Memanggil konsumen an pelaku usaha yang bersengketa;
b. Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 (dua)
(Pasal 29 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian
sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK betindak pasif sebagai konsiliator. Kedua, hasil
musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
2. Persidangan dengan cara mediasi;
Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya
dengan cara konsiliasi. Keaktifan Majelis BPSK sebagai pemerataan dan penasihat
Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara mediasi terlihat dari tugas Majelis
BPSK, yaitu :
a. Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. Memanggil saksi dan saksi ahlli bila diperlukan;
c. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. Secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersegketa;
e. Secara aktif memberikan sarana atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen;
sesuai dengan peratutan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 (dua)
(Pasal 31 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, proses penyelesaian
sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak, sedangkan Majelis BPSK betindak pasif sebagai konsiliator.Kedua, hasil
musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan BPSK.
3. Persidangan dengan cara arbitase;
Pada persidangan dengan cara ini para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada
Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang
terjadi. Proses pemilihan Majelis BPSK dengan cara arbitrase ditempuh melalui 2
(dua) tahap (Pasal 32 SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001). Pertama, para
konsumen sebagai anggota Majelis BPSK.Kedua, arbiter yang dipilih para pihak
tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK.Jadi, unsur pemerintah
selalu dipilih untuk menjadi Ketua Majelis.
Ad.b. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi
Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat atau para pihak tidak
mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian
sengketanya melalui pengadilan dengan cara :57
1) Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instrument hukum hukum
perdata dan dapat digunakan dengan prosedur:58
a) Gugatan perdata konvensional;
b) Gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action);
c) Gugatan/hak gugat LSM/Or-Nop (legal standing);
d) Gugatan oleh pemerintah dan/atau instansi terkait.
2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana.
3) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrument hukum tata usaha negara, dan
melalui mekanisme hukum hak menguji materil.
1) Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instumen hukum perdata/litigasi
di Peradilan Umum
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 59 Dengan
memperhatikan Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadillan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi
57
Susanti Adi Nugroho., Op.Cit,hlm. 126
dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan
seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan menngajukan
tuntutan ganti kerugian baik berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar
janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan
cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen. Gugatan perdata ini diajukan melalui
pengadilan negeri ditempat kedudukan konsumen. Dengan berlakunya UUPK,60 maka
konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan
gugatan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi
tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi di ajukan kepada
pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat.
Dengan berlakunya UUPK, ketentuan Pasal 23 Jo. Pasal 45 UUPK ini
merupakan lex spesialis terhadap HIR/RBg. Sesuai dengan adagium “lex spesialis derogat lex generalis”, yang berkaitan dengan ketentuan khusus mengeyampingkan
ketentuan umum, maka ketentuan pasal 23 Jo. Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara
yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku
usaha.Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan
kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa.61
Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak – hak konsumen melalui peradilan negeri, dengan menggunakan instrument hukum acara perdata
(konvensional), dilakukan oleh seorang konsumen, atau lebih atapun ahli
warisnya.Pasal 26 ayat (1) butir a UUPK ini, tidak menegaskan instrument hukum
tersebut, betapapun lemahnya instrument hukum itu ditinjau dari segi perlindungan
hukum terhadap konsumen. Dalam hukum acara perdata konvensional dikenal siapa
yang mendalilkan, ia harus membuktikan. Karena banyaknya kasus ketidak adilan
60
yang dialami oleh konsumen pada umumnya pada posisi yang lemah, dan hukum
acara perdata HIR/RBg tidak lagi sepenuhnya mampu menampung perkembangan – perkembangan tuntutan keadilan dan masyarakat pencari keadilan, maka UUPK telah
menerobos prinsip –prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat dipegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia.
UUPK membawa perbaikan, berupa pembaharuan yang selama ini menghambat
penyelesaian sengketa konsumen dengan mengedepankan alterrnatif penyelesaian
sengketa yang sam sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu
dimungkinkannya gugatan perwakilan kelompok/class action, hak gugat Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan Organisasi Non–Pemerintah lain (legal standing), dan gugatan yang diajukan oleh pemerintah atau instansi yang terkait terhadap pelaku
usaha. Meskipun ketiga jenis gugatan tersebut secara prinsip berbeda, tetapi dalam
praktik pelaksanaannya sering kali rancu, karena kurangnya pemahaman bagi
pelaksana–pelaksananya, disamping belum adanya peraturan pemerintah yang mengaturnya.62
2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana
Dalam Undang – Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 terdapat sejumlah norma – norma hukum pidana dalam hukum pidana terdapat asas tidak tertulis bahwa sanksi pidana di gunakan sehemat mungkin oleh masyarakat atau
dengan kata lain penggunaan sanksi pidana hanya sebagai ultimo remedium. Semua
norma Perlindungan Konsumen dalam UUPK memiliki sanksi pidana. Dalam pada
itu, hukum pidana sebagai sarana perlindungan sosial (social defense) bertujuan
melindungi kepentingan – kepentingan masyarakat. a. Pemeliharaan tertib masyarakat.
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian dan bahaya – bahaya yang tidak dapat di benarkan yang di lakukan oleh orang lain.
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelangggar hukum.
d. Pemeliharaan/mempertahankan integritas pandangan- pandangan dasar tentang
keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Sanksi pidana dalam UUPK dalam batas – batas tertentu di pandang sepadan dengan kebuutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan – kepentingan tersebuut, yang secara lebih khusus kepentingan – kepentingan itu di rumuskan dalam hak – hak konsumen. 63Adanya sanksi perdata, dan sanksi administrasi negara dalam UUPK merupakan sarana- sarana non pidana yang
diharapkan memiliki pengaruh preventif.Hukum pidana baru digunakan, bila
instrumen – instrument hukum lainnya sudah yidak berdaya lagi untuk melindungi konsumen (ultimum remedium).Sebaliknya, UUPK telah memulai paradigm baru,
bahwa hukum pidana digunakan bersama-sama dengan instrumen hukum lainnya
(premium remedium).
Dalam konteks hukum perlindungan konsumen, posisi tersangka dan terdakwa
ada pada pelaku usaha, baik perorangan atau korporasi.Peran konsumen dalam sistem
peradilan pidana adalah sebagai halnya korban dalam perkara pidana lainnya, yaitu
masih terbatas sebagai saksi korban.64
3) Penyelesaian sengketa konsumen melaului instrument Peradilan Tata Usaha Negara
dan melalui mekanisme hukum Hak Uji Materil.
a) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrument Peradilan Tata Usaha
Negara.
Lingkungan peradilan tata usaha negara merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi pencari keadilan yang terlibat sengketa tata usaha
negara.
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata berhadapan dengan badan
atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat di
keluarkannya keputusan tata usaha negara, sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan prundang-undangan yang berlaku.65
Pengertian pejabat tata usaha negara termasuk badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.Keputusan tata usaha negara itu harus berupa penetapan tertulis yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, yang bersifat kongkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum dari seorang atau badan hukum perdata.66
Untuk membedakan apakah perbuatan pemerintah merupakan perbuatan hukum
public atau hukum perdata perlu di perhatikan ciri-ciri hukum tersebut yaitu:
Ciri-ciri hukum publik terdiri dari:67
(1) Keputusannya sepihak/unilateral (kewenangannya bersumber dari hukum
publik).
(2) Vertikal.
(3) Ada hubungan sub ordonansi/hierarki.
(4) Keputusannya berlaku umum.
65 Pasal 1 butir 4 UU Nomor 9 tahun 2004, tentang Perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
66 Pasal 1 butir 2 UU Nomor 9 tahun 2004, tentangPerubahan atas UU Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan ciri-ciri hukum perdata terdiri dari :
(1) Ada dua pihak atau lebih / bilateral.
(2) Antara pihak-pihak mempunyai hubungan yang sejajar.
(3) Parallel.
(4) Hanya berlaku bagi pihak-pihak yang bersangkutan saja.
Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 46 ayat (2) UUPK terkesan hanya membolehkan
gugatan ini konsumen ini, diajukan ke lingkungan peradilan umum. Pembatasan ini
jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi
peradilan tata usaha negara.Kendati demikian jika konsumen diarikan secara luas,
yakni mencakup juga penerima jasa layanan publik tentu peradilan tata usaha negara
seharusnya patut juga melayani gugatan tersebu.Untuk itu perlu diperhatikan, bahwa
syarat-syarat bahwa sengketa itu berawal dari adanya penetapan tertulis bersifat
konkrit, individual dan final harus tetap dipenuhi.
Untuk memudahkan akses masyarakat, khususnya konsumen dalam berhubungan
dengan pelayanan aparat birokrasi negara, diberbagai negara didirikan komisi khusus
yang antara lain bertugas menerima pengaduan dari masyarakat atas kerugian yang
dideritanya akibat perilaku penyelenggara pemerintahan. Di Indonesia, dengan Kepres
Nomor 44 Tahun 2000, dibentuk Komisi Ombudsman, sebagai Instansi Independen
yang diperlukan untuk mengawasi administrasi negara guna mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan baik, berdasarkan asas negara hukum serta kepatutan
dan penghormatan hak asasi manusia, dengan tugas pokok Komisi Ombudsman;
a) Melayani keluhan masyarakat atas keputusan atau tindakan penyelenggara negara
dan pemerintah yang dirasakan tidak adil, tidak patut, merugikan, atau melawan
hukum .
b) Meningkatkan pengawasan terhadap institusi dan instansi pemerintahan, termasuk
instansi pelapor yang diikuti dengan pengawasan terhadap pelaksanaan
rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional.
Keberadaan Ombudsman ini memiliki arti penting dalam gerakan
perlindungan konsumen. Diperkirakan akan banyak kasus-kasus keluhan konsumen
terhadap kualitas layanan publik yang selama ini seperti mengalami jalan buntu, akan
dapat dibantu penyelesaiannya melalui komsi tersebut. Kiprah tim ombudsman juga
diharapkan dapat mengatasi terputusnya akses masyarakat konsumen terhadap pejabat
atau badan pelaksana layanan publik yang sering menutup diri. Kasus – kasus yang kerap kali menimbulkan frustasi masyarakat itu barangkali tidak terselesaikan karena
sebagaian besar memang tidak dapat dikonstruksikan sebagai sengketa tata usaha
negara, ataupun kalau dapat digugat melalui peradilan umum, konsumen sendiri segan
menempuhnya karena proses yang panjang dan berliku-liku. 68
b) Penyelesaian sengketa konsumen melalui mekanisme hukum hak uji materiil (judicial
review)
Hak uji materil lebih dikenal dengan sebutan judicial review yang dalam
Pasal 1 butir 1 PERMA Nomor 1 Tahun 1999 disebutkan, “Hak uji materiil adalah
hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadp peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang sehubungan dengan adanya gugatan atau
permohonan keberatan. 69 ” Konsumen atau sekelompok konsumen dapat menggunakan instrument hukum hak uji materiil yang menyangkut kebijakan
berbagai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diduga
bertentangan dengan UUPK.
68
Susanti Adi Nugroh, Ibid,hlm. 140
69 PERMA Nomor 1 Tahun 1999 ini mancabut PERMA Nomor 1 Tahun 1993 Tentang Hak
H.R.Sri Soematri menyatakan hak menguji dapat dibedakan :70
(1) Hak menguji formal
Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
legislatif terjelma melalui cara – cara atau prosedur sebagaimana ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
tidak. Dari penegertian tersebut dalam hak menguji formal, yang dinilai adalah
tata cara pembentukannya apakah sesuai atau tidak.
(2) Hak menguji materiil
Hak menguji materiil adalaha suatu hak untuk menelit idan menilai apakah
suatu peraturan benar-benar telah dibuat oleh pembentuk peraturan yang
berhak untuk membuatnya. Dan apakah semua peraturan isinya tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen
Proses atau cara penyelesaian sengketa bisnis yang saat ini sedang populer
adalah arbitrase. Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrase (bahasa latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase
dengan kebijakan itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dapat menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan
norma-norma lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada
kebijaksanaan.Kesan tersebut sebenarnya keliru karena arbitrase atau majelis tersebut
menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Menurut
Undang- Undang Nomoor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah :
“cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa”
Menurut peraturan prosedur BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia),
arbirase memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata yang
timbul mengenai perdagangan industri keuangan baik yang bersifat Nasional maupun
Internasional. Sedanngkan menurut peraturan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia) arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan
perdangan, industry, keuangan, jasa dan lain-lain serta memberikan suatu pendapat
yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang
berkenaan dengan perjanjian (Pasal 1 AD BAMUI).
Menurut ketiga pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
arbitrase adalah :
1) Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa – sengketa, baik yang akan terjadi maupun telah terjadi kepada seorang atau beberapa orang pihak
ketiga diluar peradilan umum untuk diputuskan.
2) Penyelesaia sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut
hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya disini dalam bidang
perdagangan, industry, dan keuangan.
3) Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan menngikat (final dan binding).
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut sistem arbitrase sebagai salah satu kewenangan BPSK untuk meyelesaikan sengketa konsumen. Di dalam Pasal 1
Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan Tugas dan
proses penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para
pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada
BPSK. Sesuai dengan ketentuan beracara di BPSK, prosedur penyelesaian melalui
arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak
memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan
konsumen sebagai anggota majelis.
2. Arbiter yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalama ayat (1)
memilih arbiter ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah
sebagai ketua majelis.
Adapun bentuk Format Surat Pernyataan untuk memilih penyelesaian sengketa secara
“arbitrase” yang diberikan oleh salah satu Majelis BPSK Kota Medan ialah :
SURAT PERNYATAAN UNTUK MEMILIH PENYELESAIAN SENGEKETA
DENGAN CARA “ARBITRASE”71
Kami yang bertanda tangan dibawah ini :
(ialah Para pihak yang bersengketa baik Konsumen Maupun Pelaku Usaha )
I. Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Dalam Hal ini disebut sebagai Pihak I (Konsumen)
II. Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Dalam Hal ini disebut sebgai Pihak II (Pelaku Usaha)
71
Antara Konsumen dengan Pelaku Usaha telah setuju dan sepakat untuk memilih Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara “ARBITRASE” dan untuk itu kami memilih Majelis tersebut sebagai berikut :
1. Unsur Pemerintah : 2. Unsur Konsumen :
3. Unsur Pelaku Usaha :
Demikianlah Surat Pernyataan ini kami perbuat dengan sebenarnya. Kemudian
ditandangani oleh Para Pihak serta Para Majelis BPSK Kota Medan yang telaah dipilih sebagai majelis arbiter.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Jo. Pasal 32 ayat (1) Kepmen 350/MPP/KEP/12/2001, menyebutkan bahwa :
“ Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase oleh para pihak
yang bersengketa, dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para
pihak .”
“Dalam penyelesaian sengketa kosnumen dengan cara arbitrase para pihak
memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
yang berasal dari unsur pelaku usaha dan kosnumen sebagai anggota majelis ”
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian
tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.72
Selanjutnya pada tahap persidangan prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Ketua mejelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada
konsumen dan pelaku usaha, mengenai uapaya – upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
72 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
2. Dengan izin ketua majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat
mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat
kutipan seperlunya.
Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Mejelis wajib mendamaikan kedua
belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka
persidangan dimulai dengan membacakan gugatan konsumen dan surat jawaban
pelaku usaha. Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen
dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal – hal yang dipersengketakan.
Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya
konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan. Dalam hal
gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka
persidangan pertama majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.
Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian
antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib memuat putusan
dan membentuk penetapan perdamaian. Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak
hadir pada hari persingan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua)
dengan membawa alat yang diperlukan.
Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat – lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan diberitahukan
dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretaris BPSK.
Namun pada beberapa BPSK tidak selalu menerapkan ketentuan ini, mengingat jam
(kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum,
sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan
oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
Prosedur penyelesaian dengan menggunakan arbitrase bagaikan sebuah
simalakama bagi kedua belah pihak. Terkadang pihak yang lemah disarankan untuk
tidak memilih prosedur arbitrase ini dikarenakan proses yang harus ditempuh dalam
hal upaya hukum akan menyulitkannya. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya
peraturan arbitrase BPSK di Indonesia. Sehingga memerlukan campur tangan
lembaga peradilan untuk memberi kepastian hukum, meskipun putusan BPSK bersifat
final dan mengikat.
Bagi para pihak yang memiliki posisi kuat, mekanisme melalaui arbitrase ini
menjadi pilihan.Kerena melalui prosedur ini BPSK dapat menjatuhkan hukum berupa
kewajiban tertentu kepada pihak lawan yang harus dilaksanakan seperti halnya
putusan pengadilan.Ketika pihaknya memeiliki kekuatan pada bukti – bukti formal dan fakta – fakta yang diujui leewat saksi-saksi, BPSK memiliki kemungkinan menjatuhkan putusan sesuai dengan harapannya.
Meskipun putusan arbitrase BPSK apabila tidak dilaksanakan secara sukarela
oleh para pihak harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri,
sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
putusan BPSK bersifat final dan mengingat. Hal ini mengandung pengertian bahwa
putusan BPSK harus dilaksanakan. Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01
tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keb