• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor penghambat Pelaksanaan Arbitrase Bagi Para Pihak Yang Bersengketa Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan

KOTA MEDAN

B. Faktor penghambat Pelaksanaan Arbitrase Bagi Para Pihak Yang Bersengketa Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan

Pengadilan merupakan salah satu institusi untuk mengupayakan supremasi hukum yang merupakan salah satu ciri dari negara hukum.Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha dapat diselesaikan melalui pengadilan.Negeri, tetapi setidaknya upaya Non-litigasi.Bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan perselisihan antara pihak – pihak yang bersengketa. Penggunaan salah satu jalur penyelesaian sengketa dipengaruhi oleh konsep tujuan, ketajaman cara berfikir, serta budaya sosial masyarakat. Penggunaan model penyelesaian sengketa non-litigasi lebih

mengutamakan pendekatan “konsensus” dan berusaha mempertemukan kepentingan

kedua belah pihak yang bersengketa serta bertujuan mendapatkan hasil penyelesaian senngketa kearah win-win solustion, sehingga keadilan yang ingin dicapai melalui mekanisme non-litigasi ini adalah keadilan komutatif. Keberadaan BPSK diharapkan menjadi alternative bagi kejaenuhan dan keprihatinan masyarakat terhadap siatem peradilan di Indonesia.Namun ternyata UUPK tidak secara tuntas memberikan peran kepada BPSK sebagai suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen.Ada beberapa persoalan yang dihadapi dalam praktik, yaitu menyangkut eksistensi dari lembaga BPSK.Persoalan lainnya adalah menyangkut tugsa dan wewenang BPSK.

Ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK bahwa putusan bersifat “final dan mengikat”

kehilanngan makna dan menjadi tidak berarti bagi konsumen yang mencari keadilan melalui BPSK, ketika dihadapkan dengan ketentuan pasal 56 ayat (2) dimana terbukanya peluang mengajukan kebetaratan ke Pengadilan Negeri, sehingga memungkinkan ketidak efektifan putusan BPSK tersebut yang dianggap sebagai putusan bersifat final dan mengikat. Padahal dalam sistem hukum acara Indonesia, baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata tidak mengenal istilah

keberatan. Dalam proses pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK, munculah persoalan mengenai bagaimana pengadilan harus mengajukan keberatan atas pengajuan putusan BPSK tersebut. Hal ini tampak dari beberapa pengajuan keberatan atas putusan BPSK yang didasarkan atas beberapa alasan, antara lain :

- BPSK salah menerapkan hukum acara formal,

- Konsumen sebagai penggugat telah salah menggugat (eror in persona), - BPSK dianggap salah menjatuhkan putusan,

- Keberatan ditafsirkan sebagai gugatan oleh Pengadilan Negeri sehingga membawa BPSK sebagai Tergugat.

- Atau keberatan ditafsirkan sebagai upaya hukum banding

Terhadap permasalahan ini, Makhamah Agung RI mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK.Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupakan upaya hukum yang hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK, tidak meliputi putusan BPSK yang hanya dimeliputi mediasi atau konsiliasi.Putusan secara mediasi atau konsiliasi dapat disepadankan dengan adanya suatu perdamaian (dading) di luar pengadilan atau didalam pengadilan sehingga putusannya bersifat final dan mengikat.Namun tetap saj keluarnya PERMA ini belum dapat menyelesaikan persolan upaya keberatan ini. Selain itu, ketentuan Pasal 57 UUPK mengenai permintaan eksekusi putusan BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan membawa persoalan hukum yang sangat luas, misalnya mengenai pengajuan permohonan eksekusi serta tata cara menagujakan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri. Berikut ini dikemukakan beberapa kelemahan dari UUPK berkaitan dengan keberadaan BPSK, yaitu antara lain sebagain berikut : Pertama, peluang untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK ke Pengadilan

Negeri, Kedua, tidak jelas tugas dan wewenang BPSK; ketiga, tidak adanya pengaturan jika pelaku usaha selaku tergugat di BPSK tidak memenuhi panggilan meski telah dipanggil secara patut; keempat, UUPK menugaskan BPSK untuk melakukan pengawasan pencantuman klausula baku; kelima, tidak adanya perlindungan bagi anggota BPSK; keenam, belum adanya seseragaman honor BPSK se-Indonesia yang diatur dalam APBN, sementara biaya operasional dibebankan kepad APBD Kabupaten/Kota.93

Menurut Dr.Susanti Adi Nugroho.,SH.,MH, berpendapat bahwa ada beberapa kendala kelemahan sehingga BPSK selama ini tidak dapat berjalan secara optimal . kendala – kendala tersebut antara lain: pertama, kendala kelembagaan; kedua, lembaga pendanaan; ketiga, kendala sumber daya manusia; keempat, kendala pengaturan; kelima, kendala pembinaan dan pengawasan dan minimnya koodinasi antara aparat penanggung jawab; keenam, kendala kurangnya sosialisasi dan rendahnya kesadaran hukum konsumen; ketujuh, kendala kurangnya respond dan pehaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen; dan kedelapan, kurangnya respon masyarakat terhadap terhadap UU Perlindungan

Konsumen dan Lembaga BPSK.

Faktor penghambat pelaksanaan penyelesaian sengketa bagi para pihak yang bersengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen telah disebutkan diatas dan faktor penghambat pelasanaan putusan sabagaimana disebutkan diatas, ialah pelaksanaan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diselesaikan secara arbitrase. Sebagai kesimpulan menurut penulis, terjadinya hambatan dari pelaksaaan penyelesaian sengketa konsumen tersebut ialah sengkketa yang

93

http;//fh.unsoed.ac.id/files/fileku/dokumen/permasalahan dan kendala penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)/html/=1 diakses tanggal 18 Maret 2016

diselesaikan secara arbitrase. Disebutkan bahwa terhadap permasalahan ini, Makhamah Agung RI mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penggunaan Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK. Mahkamah Agung menetapkan bahwa keberatan merupakan upaya hukum yang hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK, tidak meliputi putusan BPSK yang hanya dimeliputi mediasi atau konsiliasi.Putusan secara mediasi atau konsiliasi dapat disepadankan dengan adanya suatu perdamaian (dading) di luar pengadilan atau didalam pengadilan sehingga putusannya bersifat final dan mengikat. Sehingga jika terjadi penghambat dari pelaksanaan putusan arbitrase maka upaya yang dilakukan ialah keberatan yang diajukan terhadap putusan arbitrase tersebut.

Dalam proses pelaksanaan putusannya, BPSK menemui hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan putusannya. Dalam hal ini yang dimaksud ialah putusan yang diselesaikan secara arbitrase, ada 2 kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindg Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri tempat konsumen yang dirugikan. ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim, yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusinya baik secara tertulis maupun secara lisan. Disamping itu, ketentuan Pasal 42 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tidak sesuai dengan pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri ditempat kedudukan yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang

mengeluarkan putusan. Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadaap konsumen, tetapi ini tidak berarti bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekesinya ke pengadilan.Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK.Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan dalam Pasal 42 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK itu dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.

Dan dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban untuk mengajukan permohonan eksekusi permohonan eksekusi ke pengadilan tidak menjadi tugas dan wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian. Adapun prosedur eksekusi yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri berdasarkan permohonan BPSK Kota Medan dilakukan melalui beberapa tahap, antara lain :

1. Permohonan pelaksanaan eksekusi atas putusan BPSK Kota Medan.

2. Pengadilan Negeri Medan melaksanakan pemanggilan para pihak (aanmaning). 3. Kemudian setelah 8 hari maka diadakan pertemuan antara para pihak untuk

perdamaian.

4. Apabila perdamaian dinyatakan gagal oleh pengadilan negeri, maka dilaksanakan eksekusi terhadap putusan tersebut sebagai konsekuensi hukum.

Dalam hal mengenai putusan BPSK yang dimintakan penetepan eksekusinya ke pengadilan negeri, peringatan dilakukan untuk menghadirkan para pihak dan kemudian dipertanyakan apakah para pihak ingin melakukan perdamaian, dan jika tidak, maka dilaksanakanlah eksekusi. Sebagai lanjutan proses peringatan adalah pengeluaran surat penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang dimana isi dari surat penetapan ini ialah perintah menjalankan eksekusi dan perintah ditunjukan kepada panitera atau jurusita ketentuan ini diatur dalam Pasal 197 ayat 1 HIR atau Pasal 208 ayat 1 RBg. Disamping surat penetapan ini berisi perintah

menjalankan eksekusi, surat penetapan itu berisi “penunjukan” nama pejabat yang diperintahkan, dimana penunjukan tersebut harus memperhatikan pasal 197 ayat (3) HiR dan pasal 208 ayat 3 RBg yang merupakan syarat bagi pejabat yang ditunjuk menjalankan perintah eksekusi. Kesemua tata cara eksekusi ini harus dimuat dalam berita acara sseperti yang tercantum dalam pasal 197 ayat 5 HiR dan pasal 209 ayat 4 RBg, dalam pasal tersebut secara tegas memerintahkan pejabat yang menjalankan eksekusi memuat berita acara eksekusi, oleh karena itu tanpa berita acara, eksekusi dianggap tidak sah. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara.

BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan negeri sehingga putusan BPSK harus ditindak lanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan negeri.Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak terlaksana secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri. Namun dalam UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan bahwa BPSK yang wajib mengajukan ke

pengadilan negeri. Dan menurut beliau bahwa hal ttersebut keliru, karena seharusnya konsumenlah yang mengajukan permohonanan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri. BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahhan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri.94

Adapun faktor-faktor pembahambat pelaksanaan putusan arbitrase bagi para pihak yang bersengketa di BPSK Kota Medan adalah :

1. Hasil putusan BPSK yang diputus oleh Majelis tidaklah sesuai dengan keinginan salah satu pihak yang bersengketa. Meskipun putusan tersebut dianggap adalah putusan yang diputus oleh Majelis dengan seadil-adilnya sesuai dengan alat bukti

– bukti yang ada dan pertimbangan hukum pula. Namun putusannya dianggaplah tidak sesuai sehingga mengajukan kembali perkara ke Pengadilan Negeri setempat (tidak mencapai kepuasan atas putusan BPSK). 95

2. Adanya upaya banding dalam bentuk fiat eksekusi yang diajukan ke pengadilan negeri, dalam hal ini adanya kembali peran BPSK dalam mengajukan surat sebagai bentuk permohonan pelakasanaan eksekusi ke pengadilan setempat untuk dapat terlaksananya putusan BPSK tersebut. Perkiraan masyarakat bahwa untuk dapat tercapai nya keberhasilan haruslah ada upaya lagi. Dengan demikian bagi pihak yang telah dirugikan dan jika pihak yang dirugikan tersebut yang

94 http//repository.usu.ac.id/bistream/html=123456/hlm.11-15 diakses pada tanggal 20 maret 2016 95

Wawancara dilakukan dengan salah satu Pelaku Usaha dalam hal ini ialah PT. PLN (persero) Wil.SUMUT an. Putri (Kuasa Hukum) di BPSK Kota Medan , melalui via-telephone di rumah kediaman penulis.

memenangkan putusan maka ia haruslah kembali mengajukan haknya ke Pengadilan Negeri . Sehingga putusan BPSK dianggap ialah putusan yang kurang efektif karena disaat permohonan eksekusi pun masih banyak memerlukan waktu yang cukup lama dan proses dari Pengadilan Negeri yang berbelit – belit. 96 3. Faktor penghambat pelaksanaan putusan arbitrase di BPSK Kota Medan,

disebakan karena pihak pelaku usaha. Pihak pelaku usaha dalam hal ini tidak memahami hukum materiil (UU. Nomor 8 Tahun 1999) dan hukum Formil (Kepmen 350/MPP/Kep/12/2001). Di BPSK pembuktian ada pada Pelaku Usaha, bukan pada Konsumen yang merupakan lex spesialis dari Pasal 1865 BW, atau dengan kata lain adanya pembuktian terbalik. Sehingga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan putusan secara arbitrase di BPSK Kota Medan. dan kemudian adanya faktor moral (gengsi), yakni faktor dimana pihak yang kalah tidak menerima kekalahannya, dan Karena adanya upaya keberatan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Negeri, sehingga pihak tersebut mengambil jalan untuk kembali melakukan upaya hukum semata- mata untuk membela haknya.97

4. Faktor penghambat pelaksanaan putusan BPSK secara arbirase disebakan karena, bahwa berdasarkan perjanjian para pihak yang bersengketa telah melakukan kesepakatan jika terjadi perselisihan maka penyelesaian sengketa diselesaikan di Pengadilan Negeri, BANI, dsb. Bukan di BPSK Kota Medan. (sebagai perjanjian yang dibuat sebelumnya). Akan tetapi bagaimanapun BPSK tidak boleh menolak pengaduan konsumen dan tetap menerima pengaduan tersebut. Sehingga BPSK tetap memutuskan sengketa. Meskipun demikian, diluar dari ketentuan yang ada

96 Wawancara dilakukan dengan salah satu Konsumen di BPSK Kota Medan an.Yusuf melawan Adira Finance (Pelaku Usaha) melalui vi-telephone di rumah kediaman penulis.

97 Wawancara dilakukan dengan H.M.Dharma Bhakti, SE.,SH.,MsI.,(Ketua BPSK Kota Medan), di BSPK Kota Medan.

upaya penyelesain sengketa diluar pengadilan (dengan cara mediasi) pastilah tetap dihargai. Namun pihak Pelaku Usaha tidak menerima hal tersebut, dan tetap mengajukan keberatan dalam bentuk gugatan kembali ke Pengadilan Negeri. Dan putusan BPSK dianggap lah sebagai pertimbangan hukum di Pengadilan Negeri.98 5. Lewatnya jangka waktu.99 maksud dari lewatnya jangka waktu ialah dalam

pengajuan permohonan fiat eksekusi ke pengadilan negeri setempat setelah putusan tersebut diketahui dan diterima oleh konsumen maupun pelaku usaha yang bersengketa, jika putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka harus dilakukan eksekusi dalam bentuk permohonan yang dikeluarkan oleh BPSK ke Pengadailan Negeri yang setempat berwenang dalam jangka waktu 14 terhitung sejak diketahui daan diterimanya putusan. Namun masih banyak pihak yang dirugikan tidaklah mengetahui adanya jangka waktu pengajuan eksekusi tersebut. Sehingga putusan yang telah diputus dan tidak terlaksana dengan baik tersebut yang telah lewat jangka waktu fiat eksekusinya, dianggaplah tidak mempunyai kekuatan hukum lagi untuk mengajukan eksekusi. Maka pihak tersebut mengajukan kembali perkaranya dalam bentuk gugatan ke pengadilan negeri, dan putusan BPSK hanyalah dijadikan sebagai pertimbangan hukum bagi hakim di pengadilan negeri saja.

C. Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Secara Arbirase Di Badan