• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARIE MP TAMBA

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 144-150)

barkan Aart van Zoest (AvZ) berdasarkan perspektif Charles Sanders Peirce (1990).

Dalam sejarah panjang konflik sosial di Indonesia, per-soalan diskriminasi paling mengemuka menyangkut suku (atau ras) keturunan Cina. Dalam “Sapu Tangan Fang Yin”, Denny menyertakan catatan kaki yang menjelaskan bagai-mana masalah penyebutan ”Cina” meningkat sedemikian rupa dengan konotasi: Cina jadi ”umpatan negatif”, sedang-kan Tionghoa sebagai ”ucapan netral” (ANC, hlm. 20).

Dan Fang Yin adalah gadis Cina, bagi gerombolan yang memerkosanya di tengah kerusuhan Mei 1998 yang sampai kini jadi lembaran hitam sejarah Indonesia itu. Padahal, Fang Yin adalah keturunan seorang pejuang kemerdekaan berna-ma Sie Kok Liong. Hal ini memperlihatkan, betapa peran-peran sosial bisa sirna begitu saja oleh penanda Cina, yang sudah mendapatkan petanda baku sebagai ”kambing hitam” yang bisa dikorbankan (bermuatan ”umpatan negatif”):

Ayah bercerita tentang kerabat kakek buyut mereka Pejuang kemerdekaan, sahabat Bung Karno;

Sie Kok Liong namanya Pemilik Gedung Kramat 106

Di gedung itu dulu diselenggarakan Kongres Pemuda Yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Apa gerangan arti Indonesia bagi Fang Yin dan keluarganya?

Mereka harus hengkang demi keselamatan jiwa.

(ANC, hlm. 40-41).

Ya, apa jadinya arti penanda Indonesia bagi Fang Yin dan keluarganya, seperti ditanyakan larik puisi Denny? Bila malapetakalah yang mencuat sebagai petanda? Terutama

bagi Fang Yin, si hamparan rumput harum (ANC, hlmn 19) yang harus menanggung luka fisik dan mental, dibakar bengisnya petanda ”diskriminasi” gerombolan yang menjadi-kannya pelampiasan angkaramurka belaka?

Wahai terenggut sudah kehormatannya! Yang lain bersiap menunggu giliran Ganas seringainya, tak ada belas Bagi seorang perawan.

(ANC, hlm. 32)

Tak pelak lagi, “Sapu Tangan Fang Yin” adalah nyanyian pedih sekaligus perlawanan aku-lirik Fang Yin, sang tokoh fiksi ciptaan Denny. Aku-lirik yang menggugat dan mem-persoalkan nasib yang menimpanya, sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berlangsung (sejak zaman Belanda; ANC, hlm. 26) dengan pola diskriminatif yang keji di rongganya. Dan Denny, secara semiotik membungkus semua persoalan yang dialami aku-lirik Fang Yin, dengan sebuah penanda ”sapu tangan”.

Ketika Fang Yin diperkosa, ia kehilangan kesadarannya, dan selanjutnya tersadar di rumah sakit. Kho, pacarnya, datang menjenguk. Menghiburnya, dan memberikan sapu tangan untuk menghapus air matanya. Sapu tangan yang kelak menemani Fang Yin selama 13 tahun, bersama kenangan mimpi buruk dan penderitaannya:

Tersimpan di sapu tangan itu tetes air matanya yang pertama

Tetes air matanya yang kedua Tetes air matanya yang ketiga Tetes air matanya yang keseribu

Pada bait pertama puisi panjang “Sapu Tangan Fang Yin” (116 bait), aku-lirik digambarkan akan membakar sapu tangan itu. Namun berbagai kenangan yang sekian lama tersimpan rapi ”di dalamnya” —segera berhamburan. Bait demi bait, dengan pengisahan runut dan terjaga, jadi perja-lanan panjang aku-lirik yang memendam perih, tangis, kesepian, perlawanan, gugatan, putus asa, sekaligus harapan dan keputusan bangkit kembali sebagai manusia baru, setelah tenggelam dan terasing 13 tahun di Amerika.

Hingga, sapu tangan sebagai penanda, kemudian benar-benar dibakar aku-lirik yang membuatnya mendapatkan petanda —kelahiran kembali— sebagai perempuan yang bersih dari kengerian masa lalu:

Ia nyalakan lagi korek api –

Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu; Api menyala, sapu tangan terbakar

Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu

(ANC, hlm. 47).

Dengan suguhan adegan pembakaran sapu tangan pada pembukaan dan penutup “Sapu Tangan Fang Yin”, secara semiotik sapu tangan juga dapat dimaknai sebagai metafora perjalanan panjang Orde Baru –yang dimulai dengan darah dan pembakaran, dan diakhiri dengan darah dan pem-bakaran. Orde Baru seperti digambarkan puisi “Sapu Tangan Fang Yin”, adalah ”masa” hidup sang aku-lirik Fang Yin.

Dari sini bisa dilihat pula, mengapa Denny mengemuka-kan satu penamaan baru untuk kelima puisi panjangnya: puisi esai. Puisi-puisi yang menggabungkan fakta dan fiksi, dan melahirkan pembauran fakta-fiksi yang diharapkan

saling menguatkan. Fakta-fakta dalam “Sapu Tangan Fang Yin” tersaji berupa kutipan dari buku-buku yang menjadikan kerusuhan anti-Cina (di antaranya Mei 1998) di Indonesia sebagai kajian, yang dalam puisi dramatik panjang ini tertulis sebagai catatan kaki.

Catatan kaki dalam sastra, puisi atau prosa, tentu bukan hal aneh. Dalam beberapa puisi balada Indonesia yang ditulis Rendra, F Rahardi, ataupun Linus Suryadi, misalnya, catatan kaki mereka ”tubuhkan” ke dalam keseluruhan teks puisi. Sedangkan pada prosa, Olenka karya Budi Darma, misalnya, catatan kaki dibiarkan sebagai glosari tersendiri di halaman belakang.

Dalam sastra dunia, catatan kaki juga banyak dimanfaatkan untuk memperkuat kesastraan sebuah karya. Di antaranya, Umberto Eco dari Italia atau Milan Kundera dari Republik Chek. Namun yang paling ekstrem adalah Junot Diaz dari Amerika Serikat. Dalam novelnya The Brief

Wondrous Life of Oscar Wao, misalnya, catatan kaki

sam-pai menjulurkan beberapa plot cerita tersendiri, yang kadang bahkan tak berkaitan dengan cerita utama.

Berbeda dengan catatan kaki dari para penyair dan pengarang di atas, yang umumnya adalah fiksi, catatan kaki pada puisi Denny adalah fakta. Paling tidak, fakta itu didukung buku atau media massa dengan kategori ilmiah, sebagai hasil penelitian lapangan. (Meski dalam diskusi lain tentang fakta dan fiksi, bisa saja dipersoalkan sejauh mana fakta jadi fakta, dan fiksi tetap fiksi. Sebab, acap kali terjadi, sesuatu yang semula fakta segera jadi fiksi; atau sesuatu yang tadinya fiksi kini jadi fakta. Misalnya, beberapa penemuan teknologi).

Salah satu fakta catatan kaki yang digunakan Denny untuk “Sapu Tangan Fang Yin” adalah menggarisbawahi kasus kerusuhan anti-Cina yang pernah terjadi di Indonesia sejak 10 Mei 1963 sampai 14 Mei 1998 (ANC, hlm. 39-40). Kerusuhan anti-Cina yang sudah berlangsung puluhan kali, dengan pola sama, oleh gerombolan atau kelompok kecil yang pada akhirnya mengorbankan orang yang bisa dikata-kan tidak berbeda: Fang Yin-Fang Yin lainnya.

Di sinilah aku-lirik Fang Yin, karena pembauran fakta dan fiksi (AvZ, 1990), secara semiotik dapat berhenti sebagai tokoh fiksi dan menjelma tokoh fakta. Aku-esais, manusia faktual, hasil pergulatan sang penyair yang menyoroti fenomena SARA di Indonesia. Fenomena buram yang membuat sang penyair menangisi tokoh Fang Yin, sebagai fiksi ataupun fakta! []

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 144-150)