• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOVRIANTONI KAHAR

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 126-132)

merta menjadi abdakadabra. Di alam nyata, semua bisa saja berujung manis, terkadang malah tragis.

Isu-isu yang diangkat buku ini masih tabu di negeri ini. Tapi siapa yang menjamin ia akan begitu selamanya? Atas

Nama Cinta mengangkat isu cinta dan diskriminasi yang

merintanginya. Semua dituangkan dalam pilihan kata dan kalimat yang diikhtiarkan indah. Terkenal sebagai raja survei dan konsultan politik, Denny JA seakan masuk ke dalam dunia kata dan romansa. Kelima tangkai puisi esai yang ditulisnya, mengangkat isu-isu yang masih relevan untuk Indonesia. Mungkin untuk waktu yang akan lama.

Puisi esai didaulat sebagai corak dan medium baru yang hendak diujicoba di ranah sastra. Apa itu puisi esai dijelaskan Denny dalam pengantarnya. Sapardi Djoko Damono juga mengulas sepintas lepas. Ignas Kleden, mendudukkan letak karya ini dalam belantara dunia sastra. Presiden penyair Indonesia yang tak kunjung turun dari tahtanya, Sutardji Colzoum Bachri, menulis epilog pendek buat lima tangkai puisi panjang ini.

Terlepas dari perdebatan soal statusnya kelak di dunia sastra, isu yang diangkat buku ini sangat penting bagi Indonesia kini. Apa arti Indonesia bagi Fang Yin? Lahir di sana ia tak

minta/ Ketika trauma masih menganga/ Indo-nesai hanya kubangan luka (hal. 48). Petaka diskriminasi yang

menimpa-nya terjadi di era Reformasi. Kini orang berpikir, isumenimpa-nya mungkin sudah basi. Tapi siapa menjamin politik manis muka meminang tahta masa kini telah menempatkannya di dalam arsip sejarah masa silam kita?

Soal Ahmadiyah kini tiba-tiba menjadi kucing kurap bangsa dan negara. Ancaman serius bagi akidah, kata

sebagian atau banyak orang. Cinta Yuli pada Romi yang berlainan paham agama, bagaimana? Bila cinta telah

memanggilmu/ ikutlah jalannya walau mungkin berliku/ Dan bilamana sayapnya mendekapmu/pasrah dan menyerahlah/walau pedang yang bersembunyi di sayap itu/menghunusmu (hal. 56-57). Terkadang —dan betapa sering terjadi hunusan-hunusan itu. Di dunia fana ini: Agama Allah tak boleh kalah/ oleh cinta sesaat para remaja

(hal. 72).

Mau lagi? Cinta beda agama. Tidak juga mudah persoal-annya. Dewi dan Albert hanya satu kasus saja. Bersahabat?/

tak usah ditanya/ Cinta?/ nanti dulu, agama berbeda (hal.

157). Tapi ikrar cinta tetap baka: Simpan bunga kering ini,

Dewiku/ Sampai kau terbebas dari belenggu/ Kalau sampai waktunya nanti/kalau kita memang jodoh sejati/kirimlah bunga ini padaku kembali/ dan aku akan datang padamu/ Aku janji! (hal. 156-157).

Ingin yang tragis? Kisah cinta pahlawan devisa! Minah namanya. Hajat rumahtangga mengalahkan

cinta-rindu-nya pada kehangatan keluarga. Pergilah ia mengadu nasib, semoga menjadi pahlawan devisa. Di Tanah Suci, manusia tetaplah juga bergelimang noda dan dosa. Dari dalam negeri saja, nestapa tak lupa menyiksa. Perusahaan tenaga kerja selalu bertingkah dan mencari celah. Uang sebegitu tiada arti/ dibanding gaji besar nanti (hal. 92). Gaji besar nanti tak kunjung tampak batang hidungnya. Di Saudi, burung yang terkurung di sangkar emas/masih tetap bisa bernya-nyi/ Tapi di rumah yang megah ini/ mulutku malah terkun-ci (hal. 99). Cinta anak dan suami tidak terperi; malah

Dan yang paling sensitif adalah ini. Suatu sore di sebuah taman

didekatainya Sarinah, dirangkulnya, dipeluknya

Diciumnya-siapa tahu asmara bisa menyala-semua sia-sia

(hal. 129).

Bukan tiada upaya melawan kodrat. Sepanjang hayat, Sudah kulawan naluriku selama ini

tapi aku tak mampu!

(hal. 145).

Akhirnya berserah juga pada takdir Ilahi. Ya Allah, Kau jadikan ragaku lelaki tapi hatiku sepenuhnya perempuan Kini ikhlas kuterima semuanya

Bantu aku ya Allah, memulai hidup baru

(hal. 147).

Hidup baru tidaklah mudah. Diperlukan jalan baru, wawasan baru. Mungkin juga perlawanan dan perjuangan baru. Tapi karangan Denny JA bukan puisi perlawanan atau puisi sosial yang selama ini kita pahami, kata Sapardi. Dalam fotografi, tulis Sapardi, ada yang disebut foto esai (sebuah ibarat bagi ikhtiar Denny), yakni serentetan foto yang berkisah tentang suatu isu. Menobatkannya sebagai balada, Kleden menangkap niat Denny untuk mencobakan bentuk lain dalam berekspresi, dengan menggabungkan esai dan puisi.

Satra Advokasi

Apakah niatan itu bisa berhasil mengadvokasi semangat anti-diskriminasi? Mengingat rumitnya isu ini, tentu itu bukan kerja sekali jadi. Konon, buku ini diniatkan sebagai upaya advokasi. Umumnya memang mengandung kata dan kalimat indah. Aib utamanya mungkin pada kehendak men-jaga alur berkisah, seakan-akan sudah diproyeksikan untuk

menjadi sinema. Tapi itu bisa dimaklumi, penulisnya sastrawan pemula, dan alamak, mengaku tak hendak pula menjadi pujangga. Namun begitu, isu-isu yang diangkat di sini sangat menggugah. Jika melihat perhatian khalayak sebagaimana termaktub pada websitenya, www.puisi-esai.com, kita tak syak lagi bahwa sambutan positif itu nyata. Mungkin ada unsur strategi publikasi, hadiah, dan sayembara, sehingga karya ini disambut gegap-gempita. Namun jika membaca komentar tertulis hadirat pembaca di

website yang tertera, kita tak dapat menampik bahwa

pem-baca tak hanya disapa untuk kemudian pergi-berlalu tanpa babibu. Mereka tersapa, tersentuh, terhisap, dan terisi oleh isu, kisah, dan cara ungkap Denny JA yang sederhana dan tak hendak melanglangbuana dalam melakukan eksperimen kata dan metafora. Pada puisi esai ini, mungkin bukan semata pen-capaian estetika berbahasa yang dikejar dan diidam-idamkan. Tendensi dan pesan yang hendak disampaikan pengarang sangat jelas sehingga pembaca tak perlu bertanya kepada rumput mana untuk tahu pengarang sedang bicara apa.

Unsur fakta yang dikukuhkan dalam catatan kaki mungkin menjadi isu tersendiri. Tapi dalam puisi esai yang sejatinya fiksi ini, ihtiar itu tampaknya juga menjadi jem-batan emas pembaca ke dunia nyata. Kelima isu yang diang-kat Denny JA mengena dan seakan-akan sungguh dipilih berdasarkan survei berkala tentang tema utama: diskri-minasi dan intoleransi. Pada titik ini orang dapat berspekulasi, apakah latar belakang pengarang sebagai ilmuwan sosial dan pengukur opini massa telah membuatnya lebih peka terhadap isu-isu strategis yang sememangnya perlu mendapat perhatian dunia sastra.

Isu yang belum banyak berubah di Indonesia sejak reformasi, bagi Denny, adalah payahnya soal kesetaraan war-ganegara dan masih kuatnya aroma diskriminasi dan intole-ransi. Di sini, Denny tak hanya prihatin tapi memilih jalan-nya untuk terlibat dan "berpolitik lewat sasta". Politik dalam artian perebutan kekuasaan seperti dalam pilkada-pilkada, tentu tidak. Politik dalam makna keterlibatan dalam mempe-ngaruhi kesadaran publik, iya! (Media Indonesia , 11-5-2012). Dengan kata lain, puisi esai Denny JA mungkin bisa pula dina-mai "sastra advokasi". Ini adalah jenis sastra dengan suatu misi profetik juga. Denny seakan-akan berdakwah lewat sastra, dan oh, dia mungkin senang bila dakwahnya mustajab untuk mengubah kesadaran masyarakat, terutama agar berempati terhadap korban yang dibuatnya bicara dengan tegarnya.

Dengan bersimpulkan kisah cinta, sejak terbit April lalu, kelima puisi esai ini telah membiak ke berbagai medium pengungkapan. Yang terbaru adalah berbentuk sinema yang diangkat dari kisah "Romi dan Yuli dari Cikeusik". Pada film pendek yang disutradarai Hanung Bramantyo begitu apik ini, fakta intoleransi yang memang nyata tidak disamarkan sedemikian rupa. Tragedi yang menimpa warga Ahmadiyah di sana tidak diringkus sebagai metafora. Ia diungkap sebagai fakta, tapi dengan sentuhan kisah dan sinematografi yang digarap secara halus, ironis, dan oh, tragis.

Pendek kata, di lima tangkai puisi esai ini, kesan yang muncul pada saya: cinta itu sesungguhnya indah, namun tak selamanya bertuah. Ia kadang menorehkan luka. Luka yang mendalam, tak jarang berujung di kematian. Namun, sekalipun mati berkalang tanah, perjuangan untuk memper-tinggi dan mengagungkannya adalah utama. []

S

astra bisa dinikmati dengan menggunakan dua pende-katan, bentuk dan isi. Pendekatan bentuk memung-kinkan seseorang mengidentifikasi apakah sebuah karya sastra masuk dalam kategori prosa, sajak, atau yang lain— lengkap dengan ciri khas masing-masing. Sedangkan mela-lui analisis isi, seorang akan masuk dan tenggelam lebih dalam dalam lautan cerita yang disuguhkan.

Namun, dalam konteks kritik sastra, kedua hal itu sering dipertentangkan. Beberapa kalangan menganggap kritik sastra hanya bisa menyentuh “bentuk”. Dengan kata lain, isi atau substansi sebuah karya adalah wilayah terlarang bagi seorang kritikus. Mereka beralasan, niai suatu karya sastra terletak pada eksistensinya, keberadaannya. Melihat keber-adaan suatu karya berarti melihat bentuk karya tersebut . Sementara itu, kalangan lain beranggapan kedua wilayah itu —bentuk dan isi— adalah area bebas alias tak bertuan, sehingga kritikus bebas bertualang dengan leluasa di dalamnya. Antonio Gramsci adalah pemikir yang bersikeras bahwa kritik atau analisis sastra bisa menembus ruang isi.

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 126-132)