• Tidak ada hasil yang ditemukan

X. LILIK DWI MARDJIANTO

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 132-138)

Politik Sastra Politik

F. X. LILIK DWI MARDJIANTO

Dengan membahas makna, suatu analisis akan terasa lengkap dan berisi (Liftschitz dan Salamini, 2004) .

Buku kumpulan puisi esai Atas Nama Cinta adalah sebuah karya yang laik menjadi obyek analisis dengan menggunakan pendekatan bentuk dan isi secara bersamaan. Lima puisi esai karya Denny JA ada di dalam buku tersebut. Format puisi esai menjadi pilihan Denny untuk berkarya dan mengungkapkan cinta sekaligus kegelisahannya terhadap realitas sosial-politik yang kadang penuh diskriminasi. Format puisi esai dan kegelisahan terhadap diskriminasi itulah yang menjadi batu loncatan bagi penulis untuk “mengiris” dan “menusuk” lebih dalam dengan menggu-nakan Politik Sastra Politik sebagai pisaunya.

Politik Sastra Politik adalah untaian tiga kata yang dita-warkan oleh penulis untuk memasuki dua alam analisis, yaitu alam bentuk dan isi. Politik Sastra Politik bisa memiliki dua makna sekaligus—hanya dengan melesapkan dua kata politik secara bergantian. Pelesapan pertama menghasilkan Politik Sastra yang digunakan oleh penulis untuk meng-analisis bentuk. Sedangkan pelesapan kedua memunculkan Sastra Politik, yang digunakan untuk mengurai substansi sebuah karya.

Politik Sastra

Katrin Bandel, seorang doktor kelahiran Jerman yang menekuni sastra Indonesia, pernah mengulas politik sastra melalui analisis tentang kecenderungan pola pikir masya-rakat mengenai sastra, perempuan, dan seks. Ia menekan-kan, kebiasaan publik yang secara otomatis menganggap sejumlah sastrawan perempuan selalu mengumbar soal seks merupakan salah satu periode politik sastra di Indonesia.

Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

online mengartikan politik sebagai kebijakan. Dalam bidang

kebahasaaan, KBBI menyamakan politik dengan ketentuan yang bisa dijadikan rujukan untuk menyelesaikan masalah kebahasaan. Merujuk kepada sederet pengertian itu, penulis memberanikan diri untuk menawarkan salah satu makna politik sastra, yaitu semacam kesepahaman tentang hal-hal terkait dengan sastra. Jika pembicaraan diperuncing men-jadi pembahasan tentang bentuk karya sastra, maka politik sastra bisa dimaknai sebagai kesepahaman tentang bentuk-bentuk karya sastra.

Prosa dan puisi atau sajak jelas adalah bentuk-bentuk karya sastra. Selama puluhan tahun, masyarakat meyakini bahwa masing-masing bentuk sastra itu memiliki ciri-ciri yang khas. Puisi, misalnya, pernah diyakini sebagai karangan yang terikat oleh baris dan bait, oleh irama dan rima, dan oleh jumlah kata dan suku kata (Atmazaki, 1993). Pakar yang lain, Jakob Sumardjo, mengartikan puisi sebagai bentuk pengucapan sastra dengan bahasa yang istimewa, bukan bahasa biasa. Prinsip puisi adalah berkata sesedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin (Sumardjo, 1984).

“Sapu Tangan Fang Yin” adalah salah satu karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta. Oleh pengarangnya, “Sapu Tangan Fang Yin” —dan empat karya lain di dalam buku itu— disebut dengan istilah puisi esai.

“Sapu Tangan Fang Yin” bercerita tentang perme-nungan seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan pada pertengahan Mei 1998. Dari segi bentuk, karya itu terdiri dari 13 bagian. Masing-masing bagian terdiri

dari sejumlah bait. Dan setiap bait terdiri dari sejumlah baris. Sampai di sini, puisi esai itu nampaknya padu dengan politik puisi yang pernah berkembang pada masanya. Namun, setelah mengamati lebih rinci, karya ini menembus garis batas ”kepatutan” sebuah puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas dan tidak mengumbar metafora; ia tidak terpaku pada jumlah dan keserasian kata, suku kata, rima, dan irama; ia seakan tak berpola.

Karya itu seakan mendobrak kebuntuan berekspresi yang disebabkan oleh “kesepakatan” angkatan sebelumnya. Dobrakan serupa sebenarnya sudah dilakukan oleh Angkatan 45 dan penganut paham puisi modern. Mereka bercerita secara lebih lugas dan kadang terlepas dari estetika bentuk sebuah puisi. Namun, sesuatu yang mucul dalam “Sapu Tangan Fang Yin” adalah fenomena yang berbeda. Ia memang melepas belenggu. Akan tetapi—pada saat yang sama—ia mengawinkan konsep penulisan esai dengan tatanan penulisan puisi. Ia menggunakan bahasa yang lugas dan data yang tegas, namun masih sesekali mengandalkan kekuatan personifikasi. Sebaliknya, ia terwujud dalam sederet bait, namun terlepas dari ketentuan tentang keserasian kata, suku kata, rima, dan irama.

Sastra Politik

Fang Yin tergambar sebagai korban perkosaan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Dia diperkosa sekelompok orang ketika terjadi kerusuhan bernuansa rasial di Jakarta. Setelah kejadian itu, ia dan keluarganya mengungsi ke Amerika Serikat. Dalam duka, Fang Yin kehilangan dua cinta sekaligus: cinta kekasih dan cinta tanah air. Dilihat

dari isinya, “Sapu Tangan Fang Yin” adalah karya sastra tentang politik; sastra politik.

Denny JA, si penulis puisi esai, berusaha mendekatkan karyanya dengan peristiwa yang benar-benar muncul pada Mei 1998 itu. Ia berulang kali mendeskripsikan kekacauan yang terjadi saat itu dengan berbagai kata yang mendefini-sikan kekacauan, seperti pemerkosaan, kerusuhan, asap, api, dan sebagainya. Dalam hal ini, puisi esai itu memang meref-leksikan kenyataan karena ungkapan tentang pemerkosaan dan permusuhan terhadap etnis Tionghoa bersesuaian hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Puisi esai itu berhasil membawa nuansa kerusuhan saat itu ke atas kertas. Kelugasan cara bertutur, yang kadang dibumbui metafora secukupnya, membuat pembaca bisa dengan mudah memba-yangkan suasana mencekam yang menghantui Fang Yin.

Hal lain yang menjadi titik berat puisi esai itu adalah pertanyaan mengenai cinta. Sang pengarang berusaha menempatkan rasa cinta terhadap kekasih sebagai gam-baran tentang rasa cinta kepada negara. Sekaligus, bagian tentang cinta kekasih itu menjadi pemanis dalam cerita. Rasa cinta tanah air terlontar dan tersurat dalam beberapa bait melalui ungkapan, “Apa arti Indonesia bagiku?” Melalui pertanyaan itu, puisi itu ingin menegaskan sekaligus mem-pertanyakan nasionalisme warga Tionghoa.

Selanjutnya, si penulis puisi-esai secara “cantik” mampu membuat pagar pembatas antara narasi pribadi dan peno-kohan. Ia bisa menggambarkan nuansa rasisme dalam peris-tiwa itu dengan “membuat” sejumlah tokoh mengucapkan kata “cina”. Pada saat yang sama, beberapa narasi yang ada menunjukkan penghormatan si pengarang terhadap etnis

itu dengan menggunakan istilah Tionghoa. Hal itu antara lain bisa dibaca dalam bait berikut:

Teriakan pun berubah arahnya

Dan terdengarlah Bakar Cina! Bakar Cina! Gerombolan yang tegap dan gagah

Menyisir toko, kantor, dan pemukiman Tionghoa.

Baris ketiga dalam bait itu, juga menjadi cara si pengarang untuk berusaha memberikan gambaran pelaku pemerkosaan tanpa menuduh kelompok atau korps tertentu. Hal mendasar yang patut menjadi bahan permenungan dalam diskusi sastra politik adalah bagaimana suatu karya sastra mencerminkan realitas politik. Sejauh pengamatan penulis, tidak ada catatan bahwa cerita tentang Fang Yin adalah kisah nyata. Pertanyaan itu juga sering kali ditujukan terhadap karya sastra lain yang mengulas peristiwa sejarah. Pergumulan tersebut kadang berujung pada pernyataan bahwa karya sastra tidak bisa dijadikan sumber sejarah. Itulah sebabnya, Sutardji Calzoum Bachri menulis kata-kata tentang buku Atas Nama Cinta dengan tegas, “Puisi atau imajinasi bisa sewenang-wenang terhadap fakta sebagai-mana sewenang-wenangnya kata terhadap maknanya. Ia bisa melecehkan fakta demi meraih kepuisiannya.”

Namun, bagaimanapun juga, sebuah karya sastra yang terinspirasi dari kenyataan akan mengandung kenyataan, meskipun sedikit. Dan yang terpenting, “Sapu Tangan Fang Yin”, mengajak masyarakat untuk tidak lupa dan terus men-cari kebenaran dari peristiwa kelam di pertengahan Mei 1998.

“Menulis puisi adalah menulis di atas tulisan. Memper-tebal, menggarisbawahi tulisan kehidupan/peristiwa/makna yang telah ada atau yang sedang terjadi. Puisi yang

memper-Kontribusi yang bisa diberikan puisi dalam menciptakan teori politik baru bukanlah gagasan atau cita-cita baru, tetapi sesuatu yang lebih indah dan agung, sekaligus mudah pecah: memori.

Octavio Paz

M

emori pahit, ingatan-ingatan muram, pertarungan

antara merasa diri dikhianati, menjadi manusia paling sampah di dunia dan ingin membangun hidup baru, terus berjejalan dan melanda batin Fang Yin. Ia tokoh liris dalam puisi esai Denny JA yang berjudul “Sapu Tangan Fang Yin”. Puisi esai tersebut demikian sabar dan detail menggungah nyeri sepi Fang Yin, luka memorinya dan hasrat bangkit dari keterpurukan jiwa karena jalan hidupnya yang tercabik. Fang Yin menderita trauma akut. Ingatan tentang masa lalunya rumpang karena ia salah satu di antara sekian korban kekerasan seksual pada kerusuhan 20 Mei 1998, tepat sehari menjelang reformasi, karena semata-mata terlahir sebagai Cina. Pemerkosaan yang menimpa Fang Yin

Puisi, Memori,

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 132-138)