• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 102-110)

an adalah puisi yang melawan lupa. Puisi sosial atau puisi perlawanan lazimnya sering bisa dimasukkan dalam jenis ini. Di sisi lain, menulis adalah upaya untuk menutup atau melupakan ayat kehidupan yang ada. Puisi yang untuk melupa. Puisi semacam ini misalnya, kalau menulis kata “kuda” ada maksudnya untuk menutup atau melupakan kuda yang ada dalam kehidupan dan yang di kamus.

Puisi atau imajinasi bisa sewenang-wenang terhadap fakta sebagaimana sewenang-wenangnya kata terhadap maknanya. Ia bisa melecehkan fakta demi meraih kepuisi-annya. Faktanya, bagi masyarakat umum, tak ada bulan di malam lebaran, kecuali bagi pengamat yang memang diniatkan bisa melihatnya sepintas di langit. Tapi Sitor Situmorang menuliskan puisinya “Malam Lebaran”: Bulan

di atas kuburan.

Ada penyair atau puisi yang menggunakan keutuhan fakta untuk memperkuat konstruksi puitika. Dan ada penyair (puisi) yang menutup atau menyelewengkan fakta juga demi memperkuat puitika sajaknya.

Tentu saja itu dua ekstremitas. Dalam praktek dua kecenderungan itu saling berbaur.

Kelima karya Denny JA ini terilhami dari peristiwa-peristiwa/fakta yang telah terjadi/telah tertuliskan. Ini bukan puisi yang saya sebutkan tadi, kalau menulis kata “kuda” malah berniat menutup atau melupakan kuda yang ada dalam fakta sehari-hari dan kamus.

Pengarangnya menyebut karya-karyanya “puisi esai”. Saya, sebagai pembaca, pertama-tama memandangnya sebagai puisi. Jika nanti di dalamnya ada ihwal-ihwal yang terasa sebagai esai, maka itu adalah nilai plus dari persajakan

ini. Boleh dikata semua sajak ini mengandung tema perla-wanan yang beragam dari manusia sebagai individu. Antara lain perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap diskriminasi, perlawanan dari cinta.

Sajak-sajak dituturkan secara naratif dengan tokoh sentral orang kedua tunggal “dia lirik” atau orang pertama “aku lirik” dengan bait demi bait yang padat dengan perhi-tungan (restraint) sambil memanfaatkan peralatan puitika yang tercipta dari pertemuan larik, aliran irama dan bunyi kata-kata

“Sapu Tangan Fang Yin” adalah kisah perlawanan Fang Yin ke dalam, terhadap diri sendiri. Tidak seperti beberapa sajak lainnya, mengisahkan perlawanan ke luar, terhadap orang lain, Fang Yin yang disibukkan dengan deritanya sendiri sebagai korban kekerasan dan perkosaan, membenci Indonesia, akhirnya bisa melihat sisi positif Indonesia, dan mulai mencintai negeri itu. Ya, kisah perjalanan jatuh cinta pada Indonesia setelah sebelumnya melalui berbagai derita, benci dan kerinduan. Di Jakarta Fang Yin diperkosa, diting-galkan pacar, mengungsi ke Amerika, setelah 13 tahun, ingin kembali ke Indonesia.

Klimaks kisah ditampilkan dengan Fang Yin membakar sapu tangan —lambang cinta— pemberian kekasihnya. Kenangan cinta lama dibakar dengan munculnya rasa cintanya terhadap Indonesia yang dulu pernah dibencinya. Kisah dituturkan lewat bait demi bait yang cukup mantap perhitungan, tidak tergesa-gesa dan berakhir menjadi sajak panjang. Begitulah kesan yang saya dapatkan dari lima sajak-sajak ini. Dalam semua sajak-sajak, hampir setiap larik seakan cenderung diperhitungkan adanya padanan sama atau

hampir sama dari jumlah suku kata dan rima sehingga kesan puitik bisa diraih.

Bait dengan irama yang ada di dalamnya banyak mem-bantu untuk mendapatkan pesona dalam membacanya, meski tidak ada ledakan-ledakan metafora, simile atau yang lainnya, yang seperti sering didapatkan dari sajak-sajak Rendra. Dan itu mungkin tak perlu, karena mood pada sajak-sajak ini diarahkan pada perenungan yang tenang, pertim-bangan pikiran yang memang sering kita jumpai pada esai. Kadang, metafora yang biasanya menyimpan banyak makna tidak sekali diungkapkan agar tercapai tambahan kandungan makna serta kejelasan, seperti halnya ketika penggambaran suasana “sapu tangan terbakar”: Dan tanpa

pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;/ Api menyala, sapu tangan terbakar/ Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu./ Masa silam terbakar,/ Derita panjang ikut terbakar,/ Cinta pada Kho terbakar/ Cemburu pada Rina pun lenyap terbakar./ Dan kemarahan pada Indonesia?/ Terbakar sudah bagai ritus penyucian diri. Apa yang ingin

saya utarakan di sini, penyair sangat mengandalkan kejelasan, seperti seorang yang menulis esai atau makalah cenderung menjauhi ungkapan gelap dan dubious.

Setelah membenci Indonesia dan 13 tahun tinggal di Amerika, kini Indonesia masuk lagi dalam kalbunya/ Seperti

nyiur yang melambai-lambai/ …. Kini ia ingin pulang, ia

meraih makna baru tentang Indonesia: Kini ingin pulang,

rindunya membara/ Ia ingin Indonesia seperti dirinya: menang melawan masa lalu/ Musibah dan bencana datang tak terduga/ Yang penting harus tetap punya mimpi./…Ini Indonesia baru, katanya, kata mereka. Itulah sebagian

larik-larik penghujung dari sajak esai ini. Dalam sajak ini, puisi, rasa esai dan mimpi saling bertautan.

Sebagaimana kisah cinta Romeo dan Juliet memiliki latar konflik penghalang, pada “Romi dan Yuli dari Cikeusik ada konflik antara “Muslim garis keras” dan pengikut Ahmadiyah. Kisah dituturkan —sebagaimana puisi-puisi yang lain— dengan kemampuan ungkapan padat, dengan irama dan rima dari larik yang diperhitungkan, mencoba membawa pembaca asyik pada kisah yang disampaikan. Mungkin karena ini kisah cinta dan konflik agama hanya sekadar latar maka kayaknya tak perlulah pembaca men-dapatkan pemahaman yang mencerahkan dari argumen dari kedua belah pihak. Cukup saja diutarakan dengan larik-larik begini: Romi pun bercerita,/ Ahmadiyah itu Bla… bla…

bla…/ Ra… ra… ra…/ Ra… ri… ru…/ Mereka dituding sesat karena Bla… bla…. Di bait lain: Ayah Yuli berteriak mengatakan,/ Ahmadiyah telah menyimpang dari Islam yang benar. Ajarannya sudah dinyatakan sesat/ Dalam agama berlaku prinsip/ Bla… bla… bla…/ Ra… ra… ra….

Dan di bait berikutnya: Yuli mencoba menjawab,/

Ahmadiyah itu Islam juga/ Karena Ta… ta… ta…/ La… la… la…. Seingat saya Rendra pernah menuliskan pengucapan

semacam ini. Ini memang salah satu ungkapan khas pengucapan puisi. Ia bisa menambah kadar puitis yang mungkin dalam konteks esai bisa menim-bulkan kekaburan. Puisi berakhir dengan kemenangan cinta. Orangtua Juli mengalah. Tapi Juli keburu mati sebelum tahu ia dibolehkan menikah dengan pria idamannya. Kayaknya penyair tak tega atau menyadari “realistis bijak”. Seakan terasa dengan dimatikan Juli puisi bersikap memihak “win-win solution”. Tapi apakah yang namanya menang bagi puisi? Puisi

bisa menang langsung, sekarang, ini waktu, saat seseorang membacanya. Ia tidak memerlukan waktu akan datang untuk menang. Setiap saat seseorang terpesona membaca atau mendengar pembacaan sajak maka puisi itu menang. Para pejuang sosial menggunakan puisi karena mereka tidak perlu menunggu lama untuk memenangkan pertarungan. Daya pukau puisi, menyebabkan suatu kebenaran yang masih diragukan, menjadi terasa mantap, seakan-akan kemenangan nyata (faktual) yang mungkin harus ditunggu puluhan tahun. Tentu saja puisi mempunyai perjuangannya sendiri yakni perjuangan estetika yang sering dialami para pembaharu puitika. Tapi ini tidak relevan dalam konteks tulisan ini.

Kemenangan faktual dan kemenangan puitikal adalah dua hal yang berbeda. Ketika yang faktual ingin masuk alam domain puisi ia harus tunduk dalam hukum hukum puisi yang sering tak bisa ditetapkan secara jelas. Maka segala data fakta yang dimasukkan ke dalam daerah puisi belum tentu efektif membikin mesin puitika bekerja secara maksi-mal. Cara yang lazim meletakkan data-data atau info-info ke dalam catatan kaki —seperti yang sering tampak dalam sajak-sajak Denny— sehingga mekanisme puisi bisa bekerja bebas maksimal.

Dalam “Minah Tetap Dipancung” dikisahkan perla-wanan Minah mengubah nasib, melawan kemiskinan, melawan demi mempertahankan integritas. Juga sebagai-mana sajak-sajak yang lain —ditulis dalam bait-bait yang jelas terang. Meski Minah dikesankan sebagai perempuan desa yang lugu namun ia punya bakat bisa protes/melawan: “Kamu korupsi ya?/ Kamu moroti kami ya?” katanya kepada pegawai perusahaan tenaga kerja. Ketika ia berkali-kali

diperkosa majikan, perlawanannya berbuah dengan terbu-nuhnya majikan.

Kebanyakan para tokoh korban dalam puisi digambar-kan lebih berpikiran luas, lebih toleran dan bersikap ingin memahami “pihak lawan”-nya. Fang berhasil memahami Indonesia yang dahulu dibencinya. Dewi toleran nikah dengan pria pilihan orang-tuanya. Amir menikah dengan gadis pilihan ibunya. Hanya Juli yang keras kepala, tidak bisa memberikan toleransi terhadap orang-tuanya. Sedang-kan Minah yang perempuan desa itu tak cukup memiliki info untuk bisa berusaha memahami budaya yang dihadapinya.

Pihak lawan digambarkan sebagai sosok yang keras, kaku, fanatik, tidak toleran. Tidak fair? Mana ada puisi netral apalagi kalau ia berlabel perlawanan.

Memberikan data faktual sebagai bukti agar puisi fair adalah upaya untuk mengontrol imajinasi agar menjadi fair, menjadi sebagai esai. Kelima puisi ini bisa berhasil karena memang sudah diniatkan sebagai esai. Di tangan penyair lain yang tak berniat demikian, fakta yang sama bisa terasa lain. Imajinasi adalah raja: “can do no wrong”. Fakta besar di alam nyata bisa diciutkan bahkan dihilangkan dalam imajinasi, fakta sepele bisa jadi besar. Sinar besar dari matahari fakta bisa ditutup oleh sebuah larik mungil yang jadi.

Sama dengan sajak-sajak lain, “Cinta Terlarang Batman dan Robin” dan “Bunga Kering Perpisahan” diguratkan dengan penuturan bahasa yang jernih, lancar, dengan rima dan irama yang cukup terjaga. “Cinta Terlarang Batman dan Robin” paling kental rasa esainya dibanding sajak-sajak yang lain. Dalam “Bunga Kering Perpisahan” lagi-lagi maut

dipakai penyairnya untuk menutup persoalan atau “menda-maikan” perasaan. “Minah Tetap Dipancung”, bagi saya sangat minim rasa esainya.

Semua puisi ini bisa disebut “puisi lintas batas”. Ia bisa dibaca sebagai prosa, dalam pemaknaan yang positif. Jelas dan pasti bait-bait, irama, rima, metafora serta ungkapan-ungkapan lainnya menjadikan lima karya ini benar karya puisi. Tapi karena peralatan puitika itu digunakan tidak secara ekstrem, nekad, berlebihan dan tidak spekulatif (seperti halnya dalam sebagian sajak-sajak Rendra), maka peralatan puitik itu bukan hanya tidak mengganggu kalau puisi ini dibaca sebagai prosa, tapi malah memberikan nuansa khas bagi kekayaan suasana cerita.

Bagi saya, puisi esai adalah puisi pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan kepin-taran bagi pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan-personal yang terkait dengan masalah atau konflik sosial.

Kalau ada puisi pintar tentu ada puisi bodoh. Puisi bodoh adalah puisi yang meng-elaborate ekspresi primitif bahkan animalistik untuk mendapat sisi manusia yang bebas intens. Bila puisi pintar dengan “seribu data” memberikan pema-haman tentang kasus-kasus konflik sosial, puisi bodoh dengan ekspresi “kebinatangan-jalang”-nya ingin mengajak pembaca hidup sepadat seribu tahun.

Bagi saya, baik puisi pintar maupun puisi bodoh adalah berkah yang bisa memberikan kecerdasan kreatif dalam dedikasinya pada khazanah perpuisian Indonesia. []

P

emahaman apakah yang mungkin bisa didapatkan bila kita, masyarakat puisi khususnya, mendengar istilah-istilah seperti berikut: puisi lirik, puisi kontemplatif, puisi sufistik, puisi religius, puisi mantra, puisi prosa, puisi perlawanan, puisi pamplet, puisi kontekstual, atau puisi sosial? Juga ada berbagai penamaan lain seperti puisi klangenan, puisi gumam, puisi bisu, puisi gelap, dan terakhir yang disebut puisi esai. Segera tampak bahwa dinamika dalam khazanah perpuisian kita, sesuai dengan kodratnya, tidak pernah mewujudkan wajah yang tunggal. Ada keberagaman misalnya dalam gaya, kecenderungan estetik maupun karakter dari karya-karya yang ditampilkan. Gejala ini didorong oleh adanya semacam kegelisahan kreatif yang selalu melekat dalam diri para penyair yang selalu ingin mencari sesuatu yang berbeda. Perbedaan latar belakang budaya masing-masing juga sering terasa sebagai keniscayaan yang ikut mewarnai keberagaman itu.

Atau, bisa juga dengan mempertanyaakan: faktor apa sajakah yang melahirkan atau melatarbelakangi perbedaan

Catatan Sekilas

Dalam dokumen 2013 Jurnal Sajak (Puisi Esai) (Halaman 102-110)