• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1. Kondisi Sosio-Historis

5.1.1. Arkeologi Kebudayaan Masyarakat Sunda

Masyarakat asli nusantara memiliki kepercayaan dan keyakinan (sistem nilai) yang khas dan dapat ditelusuri secara arkeologis maupun hermeneutis-historis. Jakob Sumardjo (2002) adalah salah satu ilmuwan yang mencoba untuk menelusuri arkeologi kebudayaan asli masyarakat Nusantara tersebut dan melahirkan tulisan tentang sejarah ringkas kerohanian Indonesia (2007:3-84). Di dalam salah satu bab penelitiannya, Jakob Sumardjo mencoba membandingkan karakteristik masyarakat asli Indonesia dari beragam latar ekologis, seperti masyarakat berburu-meramu (hutan), pesisir-laut, ladang-pegunungan, dan sawah-dataran. Berbagai tipe masyarakat tersebut ternyata memiliki alam berpikir primordial yang khas dan menjadi akar kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam konteks penelitian modal sosial Gantangan di Kabupaten Subang (Sunda-Jawa Barat) ini, akan sangat relevan jika kita memahami karakteristik primordial masyarakat Sunda terlebih dahulu, sehingga kita akan lebih memahami akar budaya masyarakat setempat yang pada akhirnya melanggengkan kebudayaan, struktur dan hubungan-hubungan sosialnya saat ini.

Dalam sistem kepercayaan asli masyarakat Nusantara ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk pemahaman ruang yang disebut dengan (1) pembagian dua (dualisme-antagonistik) (2) pembagian tiga atau kesatuan tiga dan (3) kesatuan lima atau sembilan. Pembagian dua merupakan pemahaman ruang yang berkembang dalam masyarakat pemburu-peramu, peladang, dan maritim (Sumardjo, 2007:18). Prinsip pembagian dua ini tidak hanya digunakan untuk memaknai ruang dan waktu, melainkan juga untuk memaknai sistem kekerabatan, sistem pekerjaan, alam binatang, alam tumbuhan dan lain sebagainya. Pembagian

dua itu selanjutnya diklasifikasikan dalam dua oposisi dasar “laki-laki” (luar, atas, muka, kanan, langit, timur, utara, matahari) dan “perempuan” (dalam, bawah, belakang, kiri, bumi, barat, selatan, bulan). Wujud lain filosofi pembagian dua ini nampak menonjol di dalam pola kain tenun dan sarung tradisionalnya yang bermotif “kotak-kotak”, dimana garis vertikal menggambarkan pasangan-pasangan oposisi tersebut dan garis horizontal menggambarkan harmoni atau kesatuan dari pasangan oposisi tersebut. Selain ditemukan dalam budaya primordial suku-suku di papua, filosofi

dualisme antagonistik tersebut juga nampak dalam cerita Cupak-Grantang,

Bubukshah-Gagangaking, Panji dan Topeng Cirebon.

Selanjutnya, pembagian tiga atau kesatuan tiga banyak dijumpai di masyaraka perladangan. Pembagian tiga ini lebih menekankan independensi ruang dan egaliterianisme yang masih dapat disaksikan dalam masyarakat Baduy (Kanekes, Banten) melalui kesatuan tiga kampung sucinya (Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana) (Adimihardja, 2008:127), atau di Minangkabau dengan pembagian tiga luhaknya (Tanah

Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota), prinisp triangtu (Sunda), tigo

sejarangan (Minang) dan dalian na tolu (Batak). (Sumardjo, 2007:21). Dalam kesatuan tiga ini dikenal hubungan “dalam” (kebebasan) dan “luar” (persamaan). Orang dalam adalah orang sekampung yang mandiri dan orang luar adalah orang dari kampung lain yang memiliki kemandirian yang sama. Biasanya mereka menganut prinsip perkawinan eksogami (lain darah). Kesatuan tiga juga nampak menonjol dalam tenunan kain ulos Batak maupun Baduy yang selalu ada bidang “dalam” (bagian terluas bidang hias) dan bidang “luar” (sisi kiri dan kanan bidang utama).

Pembagian ruang masyarakat Indonesia purba yang terakhir adalah prinsip pembagian lima atau sembilan yang banyak berkembang dalam masyarakat sawah. Sebagai masyarakat yang memproduksi makanan, maka mereka tinggal menetap dan hidup bersama-sama dalam satu ruang.

Konsentrasi manusia pada satu wilayah ini membutuhkan pengaturan- pengaturan kolektif (membuka lahan, mengolah lahan, irigasi dan pengairan, pengerjaan lahan, dan lain-lain) yang memungkinkan lahirnya

“pusat” pengaturan (papat keblat, kalimo pancer-jawa). Kesatuan lima ini

berorientasi pada lokalitas, dimana manusia itu terikat dengan tanah dimana ia berada (Sumardjo, 2007:23). Masyarakat sawah adalah masyarakat kerja, sehingga ia tidak mengenal “ruang/orang dalam” atau “ruang/orang luar”. Semua akan diakui menjadi orang dalam sepanjang menunjukkan fungsinya di dalam masyarakat dan setia kepada pusat. Etika moral tertingginya adalah solidaritas kerja. Ekspresi keterbukaan ini juga dominan dalam batik Jawa, misalnya, yang memiliki pola terbuka dan tanpa pembatas.

Tabel 8. Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis Masyarakat berburu-

Meramu/Nelayan-Laut

Masyarakat Peladang Masyarakat Sawah

Konsumtif (food gathering

people)

Setengah produktif dan konsumtif (peramu)

Produktif (food producing people)

Keasatuan dua Kesatuan tiga Kesatuan lima

Unsur waktu dan kerohanian Dinamistik

Unsur waktu dan kerohanian Animistik

Unsur waktu dan kerohanian Animistik Berjiwa merdeka,

konsumtif, egaliter, mobilitas tinggi, humoristik (menyadari kelemahan diri), “manja”, etos kerja dan

profesionalitas rendah karena terdidik dalam kemurahan alam yang terberi, kuat koletivitasnya, fanatik pada lingkungan “orang dalam”nya sendiri

Mentalitas ganda, konsumtif-produktif, dependen-independen, kolektivisme berdasarkan pertalian darah sangat kuat, kedudukan keluarga inti amat penting,

solidaritas hanya terbatas pada lingkungan keluarga inti, kategori “orang dalam” dan “orang luar” ditonjolkan, mudah “iri hati” dengan kesuksesan orang lain (sebab dalam masyarakat peladang yang serba terbatas, kelebihan satu orang berarti

merampas milik bersama)

Komunal (dependen- kolektif), solidaritas yang kuat, produktif dan lokalitas yang kuat (tanah pertanian adalah segalanya),

konvensional, sulit menerima perubahan, semua yang dari “luar” diintegrasikan dengan pihak “dalam”

Raja tetap sebagai manusia, dewa adalah sesembahannya

Raja tetap sebagai manusia, dewa adalah sesembahannya

Raja dianggap memiliki kekuasaan adikodrati (paham dewaraja)

Kurang agresif Kurang agresif Agresif

Sumber : Sumardjo, 2007:22-26

Masyarakat Sunda (Jawa Barat) sebenarnya masuk dalam kategori masyarakat peladang. Namun demikian, sejak jaman Hindu-Budha, masyarakat Sunda juga sudah mengenal dunia persawahan dan kelautan. Peradaban Sunda pada masa itu lebih mirip dengan peradaban melayu (Sriwijaya) yang juga dekat dengan perladangan dan kelautan. Dengan ciri kesatuan tiga yang dimiliki masyarakat peladang dan perbukitan ini, maka kita menjadi mengerti mengapa di Sunda tidak muncul kerajaan besar yang menguasai seluruh Sunda. Kerajaan-kerajaan di Sunda (Taruma, Padjajaran, Galuh, Saunggalah) merupakan kerajaan Hindu-Budha yang relatif mandiri satu sama lain dan tidak agresif (Sumardjo, 2007:36). Sekalipun pusat-pusat kerajaan Sunda ini berada di peradaban Sawah, namun sebagain besar kampung-kampung Sunda berada di perbukitan dan diberikan otonomi penuh dari kerajaan (elit). Akibatnya, peradaban Hindu- Budha cenderung hanya menjadi milik para elit, sementara rakyat jelata memegang keyakinannya sendiri-sendiri sampai pada akhirnya Islam masuk ke pelosok-pelosok kampung ini. Maka tidak heran, meskipun peradaban Hindu-Budha pernah bercokol hingga 1100 tahun di tatar Sunda, tetapi sisa-sisa cara berpikir dan kepercayaan Hinduisme justru tidak terlalu dominan pada masyarakatnya sebagaimana di Jawa Tengah dan Timur. Sunda justru identik dengan Islam.

Pada masa peradaban Hindu, wilayah Kabupaten Subang (dulu merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Purwakarta) menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang

diperkirakan sudah ada kontak dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah

timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda12.

Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun.

Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah

yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en

Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan

12

Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah

pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang

berkedudukan di Subang.

Berbagai pengalaman sejarah diatas menunjukkan bahwasanya masyarakat Sunda-Subang yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat peladang-sawah telah bersentuhan dengan berbagai kebudayaan luar, seperti Hindu-Budha, Islam, Eropa (Belanda) dan kebudayaan dari Jawa. Modernisasi di segala bidang yang hadir belakangan juga menambah warna akulturasi kebudayaan Sunda-Subang itu sendiri. Meskipun demikian, akar kebudayaan asli masyarakatnya (egaliter-independen) tidak lantas hilang sama sekali, tetapi juga sudah tidak ada yang utuh sama sekali. Semua gejala akulturasi tersebut masih dapat kita amati dalam simbol-simbol yang hadir di perayaan pesta hajatan masyarakat pedesaan Subang hari ini. Misalnya peninggalan Hindu yang masih tersisa seperti hadirnya sesajen, pawang hujan, wayang kulit, lalu upacara dan doa-doa yang dilakukan merupakan sinkretisme antara ritualisme Hindu-Budha tetapi dengan isi Islam, kesenian seperti Sisingaan merupakan peninggalan dari kolonialisme dimana menunggangi replika singa merupakan simbol pengusiran kepada penjajah (Inggris dan Belanda), hingga hiburan-hiburan

kontemporer seperti dangdut, organ tunggal, dan jaipong tampil mewakili

modernitas yang diadopsi.