• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1. Kondisi Sosio-Historis

5.1.2. Sistem Nilai Sosial dan Budaya Masyarakat Pedesaan Subang

Masyarakat Subang, secara sosio-historis maupun ekologis adalah suatu bentuk masyarakat yang sangat lekat dengan kehidupan agraris. Berbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi matapencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun. Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari siklus-siklus alami dunia pertanian itu sendiri. Aktivitas-aktivitas yang sedang dilakukan di dunia pertanian akan sangat berpengaruh kepada aktivitas-aktivitas keseharian mereka. Karena kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun menjadi sangat tinggi. Sebuah sikap mental yang khas dimiliki petani.

Wujud ketergantungan kepada kebaikan alam itu, misalnya, terwujud dalam bentuk-bentuk pola perilaku13 yang lebih kongkrit seperti dalam upacara-upacara adat atau norma-norma kehidupan bermasyarakat. Misalnya upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya. Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini dilakukan dalam semangat kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih

dikenal dalam konsep Gotong Royong14. Upacara-upacara ataupun

seremonial di dunia pertanian itu tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus disokong sebagian besar komunitas karena memiliki rasa ketergantungan dan nilai-nilai penghormatan terhadap alam yang relatif sama.

13

M enurut Koent jaraningrat (1982:5-6)., kebudayaan m anusia it u t erbangun dan terw ujud ke dalam t iga unsur, (1) wujud ideal (gagasan, ide-ide, nilai-nilai, norm a-norm a, perat uran, dsbnya) (2) w ujud perilaku (sist em sosial, aktivit as kom pleks) dan (3) w ujud fisik (artefak, benda-benda hasil karya m anusia)

14

Konsep ini kem udian diangkat m enjadi slogan pem bangunan kabupat en Subang yang berbunyi “ Rakyat Subang Gotong Royong, Subang M aju”, dan diangkat juga dalam program pem bangunan pedesaan dengan konsep “ Desa M andiri Got ong Royong” .

Gambar 16. Gotong royong di Pedesaan Subang

Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial dan sistem sosial sehari- hari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentuk- bentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti jaipong, sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu meriah dan melibatkan banyak orang, baik di atas panggung maupun dibawah (penonton dan pengiring). Kolektivitas paling utama dahulu tercermin di dalam dunia pertanian, dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan hingga pemanenan dilakukan dengan gotong royong (sebelum mengenal sistem upah), baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat. Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain

Meskipun pada akhirnya, ketika desa-desa kian terbuka dan dunia pertanian mengalami komersialisasi ekonomi akibat keberhasilan revolusi hijau, kolektivitas masyarakat pedesaan Subang ini juga mengalami kemunduran. Sistem upah (monetisasi) yang dibawa masuk oleh sistem ekonomi pasar telah mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas

masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil. Nilai-nilai dan norma-norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosok- pelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu melekat (redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolong- menolong, silih genten) kini telah mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh komersialisasi atau ekonomi pasar/kapitalis tersebut.

Namun, kolektivitas sosial dan sistem ekonomi pra-kapitalis khas pedesaan tradisional itu tidak sepenuhnya hilang atau sepenuhnya bertahan, melainkan terjadi perpaduan antara nilai-nilai lama (tradisional- kolektif) dan nilai-nilai baru (modern-individualistik) yang menghasilkan sebuah sistem sosial baru yang unik. Contohnya, kolektivitas yang merupakan modal sosial masyarakat tradisional kemudian harus

berkompromi (comformity) dengan kepentingan-kepentingan individu

yang berorientasi pada kemakmuran pribadi (homo economicus).

Akibatnya, kita akan melihat bagaimana muncul transaksi-transaksi ekonomi di dalam sebuah hubungan yang seharusnya bersifat sosial. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana tindakan dan tradisi sosial ini ekuivalen (sama) dengan tindakan ekonomi. Salah satu bentuk sistem sosial baru ini tercermin dalam gotong royong dan tolong menolong itu sendiri, yakni ketika resiprositas umum (generalized reciprocity) bergeser menjadi resiprositas yang sebanding (balanced reciprocity) dan bahkan menjadi sistem pertukaran sosial dan ekonomi yang baru.

Sistem pertukaran sosial dan ekonomi baru inilah yang akan didalami dalam penelitian ini. Salah satu topik yang dapat diangkat dan

diharapkan mampu memberikan gambaran secara komprehensif

bagaimana perpaduan nilai-nilai tradisional dan modern ini dapat berjalan adalah dengan mencari bentuk aktivitas yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Banyak peneliti sosial dan ekonom di masa lalu yang menera

persoalan ini dari kegiatan di dunia pertanian. Akan tetapi, dengan perubahan struktur masyarakat dan diferensiasi pekerjaan yang semakin luas, nampaknya menggali hanya dari aktivitas di dunia pertanian belum menggambarkan kondisi seluruh lapisan masyarakat (karena semakin banyak orang desa yang meninggalkan dunia pertanian).

Oleh karena itu, peneliti mencoba mengangkat fenomena atau bentuk kegiatan dalam hubungan-hubungan sosial, hingga ditemukan pesta hajatan sebagai medan penelitian. Sebab, hampir seluruh anggota masyarakat di pedesaan (apapun latar belakang pekerjaannya) masih memegang teguh tradisi mengadakan perayaan pada momen atau siklus hidup tertentu. Dari fenomena pesta hajatan inilah kita akan menemukan

bagaimana sosok homo economicus dan homo sociologicus di pedesaan ini

muncul bersamaan dalam modal sosial gantangan yang mereka bangun dan lestarikan dalam setiap pesta hajatan di pedesaan Subang.