• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbeda dari gerakan Humanisme Modern dan Post- modern, gerakan Humanisme Arso Tunggal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi peningkatan martabat umat manusia.

Humanisme kejawèn yang dikembangkan adalah pemahaman bahwa Tuhan itu transenden sekaligus imanen, tapi Tuhan tidak sepenuhnya menentukan manusia, melainkan hanya memberi panduan-panduan tertentu, dan manusialah yang memilih nasibnya sendiri. Meskipun ada perbedaan pemahaman humanisme kejawèn Arso Tunggal, namun sebagai gerakan paguyuban ini memiliki persamaan dengan semangat yang terkandung dalam Manifesto Humanis I dan Manifesto Humanis II.

Dalam Bab Dua disebutkan, Manifesto Humanis I antara lain mencerminkan revisi sikap-sikap tradisional. Perubahan di bidang sains dan ekonomi telah mengacaukan keyakinan- keyakinan lama. Aktivitas-aktivitas penting manusia berada dalam kerangka humanisme, baik secara implisit maupun eksplisit. Dikaitkan dengan Manifesto Humanisme I itu, maka gerakan Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan revisi sikap-sikap tradisional. Hal itu terlihat dari upaya paguyuban

ini melakukan revisi sikap-sikap tradisional Jawa, dari pemahaman bahwa budaya Jawa bermuara pada kearifan menjadi pemahaman bahwa budaya Jawa menghasilkan ilmu pengetahuan.

Melalui observasi partisipatif, penulis juga menemukan, bahwa gerakan Paguyuban Arso Tunggal merupakan gerakan yang dilakukan dalam kerangka humanisme, baik secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, karena gerakan paguyuban ini masih diwarnai simbol-simbol agama Katolik (paku-paku kayu yang berbentuk tanda salib), tetapi dasar gerakan sebenarnya adalah hmanisme kejawèn. Simbol agama itu hanya ada di permukaan sebagai wahana untuk meningkat- kan nilai-nilai kemanusiaan.

Manifesto Humanis II menyebutkan, berbagai pelanggar- an terhadap hak-hak asasi manusia dilakukan oleh negara, bahkan di negara demokratik sekalipun, oleh kekuatan militer, politik, dan elite-elite industri. Di beberapa negara, muncul tuntutan-tuntutan kesetaraan hak-hak dari kelompok-kelom- pok perempuan dan kaum minoritas. Kaum humanis mendam- bakan abad yang akan datang merupakan abad humanistik. Perubahan-perubahan dramatik di bidang keilmuan, teknologi, serta di bidang sosial-politik membuka kesadaran umat manusia untuk memasuki abad baru. Berkat teknologi, umat manusia dapat mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit, mengembangkan kehidupan, untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna.

Dikaitkan dengan Manifesto Humanis II, gerakan Pagu- yuban Arso Tunggal merupakan gerakan untuk membela hak- hak asasi manusia yang tertekan oleh kekuasaan negara, politik, dan elite industri. Hal itu tercermin dari program pendamping- an kepada para petani. Riset ilmiah dalam pengobatan dan

penerapan SPOR membuktikan, bahwa Arso Tunggal juga memanfaatkan teknologi (berbasis kearifan lokal Jawa) untuk mengontrol lingkungan, mengatasi kemiskinan, penyakit, untuk mencapai kehidupan yang bermakna.

Kesimpulan

Praktik humanisme Arso Tunggal melalui tiga kegiatan pokok, yaitu bidang pengobatan, pertanian, dan kajian budaya Jawa. Kajian budaya Jawa menjadi landasan dua kegiatan yang lain. Kajian-kajian tersebut dilakukan pada setiap Rabu malam sampai Kamis dinihari, dilengkapi dengan ritual meditasi.

Sarasehan dan ritual tersebut merupakan awal aplikasi pemahaman tentang inti humanisme kejawèn yang dikembangkan, yaitu sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti. Ritual ngraga sukma sebagai

proses mengeksplorasi jiwa untuk “diangkat” ke otak (pikiran),

sehingga terjadi sinergitas antara niat dari dalam jiwa (krenteg) dan kehendak dari otak (karep).

Hasil proses tersebut adalah kehidupan manusia dipimpin oleh jiwa, bukan dikendalikan oleh otak. Sinergi itu kemudian mewujudkan kehendak untuk bertindak (karsa), selanjutnya menghasilkan karya. Proses itu disebut sebagai proses krenteg- karep-karsa-karya.

Tiga inti humanisme kejawèn yang dikembangkan ter- sebut menjadi landasan kegiatan Arso Tunggal di bidang pengobatan dan pertanian. Untuk mencapai pakarti, paguyuban

ini mengangkat budaya dan kearifan lokal Jawa, dimo- dernisasikan agar mampu mengikuti arus global. Di bidang pengobatan dan pertanian, Arso Tunggal memberikan alternatif obat-obat dan sistem pertanian yang dihasilkan dari pengem- bangan kearifan lokal Jawa dengan riset-riset ilmiah. Kegiatan itu bertujuan agar masyarakat Indonesia kembali ke pengobatan berbasis budaya dan kearifan lokal dengan harga yang terjang- kau dan memandirikan para petani dari ketergantungan sistem pertanian asing.

Terdapat persamaan dan perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat. Persamaan dan perbedaan itu menunjukkan sifat sin- kretisme Jawa yang dikembangkan oleh paguyuban ini, sebagai langkah menyiasati globalisasi.

Humanisme Arso Tunggal masih diwarnai oleh pan- dangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang selalu mengaitkan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhé), meskipun faktor manusia sangat menentukan. Hal inilah yang berbeda dari humanisme Periode Klasik yang sudah lepas dari pemikiran tentang alam.

Semangat yang mendasari kegiatan Arso Tunggal adalah, bahwa tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada se- remoni keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Paguyuban ini mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri, sama dengan pandangan humanis Abad Pertengahan, Thomas Aquinas.

Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa bu- daya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan

manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertian- pengertian di dalamnya; mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan Immanuel Kant). Pandangan ini mirip dengan pandangan humanisme Periode Modern.

Seperti pemahaman yang berkembang pada gerakan humanisme Postmodern, pemahaman Arso Tunggal juga me- nitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya.

Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).

Berbeda dari gerakan humanisme Modern dan Post- modern, gerakan humanisme Arso Tunggal mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, gerakan ini berbeda dari gerakan-gerakan kebatinan pada umumnya yang cenderung berhenti pada pemujaan kepada Tuhan, berpusat pada dimensi rohani. Arso Tunggal mengaplikasikan nilai-nilai budaya Jawa itu ke praktik nyata yang bermanfaat bagi pening- katan martabat umat manusia.

Banyak makna tentang humanisme, namun terdapat ide- ide dasar humanisme seperti dijelaskan Hoertdoerfer (dalam Bab Dua). Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara pemaknaan humanisme oleh masyarakat Barat dan pemaknaan humanisme menurut Arso Tunggal (lihat Lampiran 4).

Dari persamaan dan perbedaan tersebut, penulis menyim- pulkan, secara garis besar karakteristik gerakan Paguyuban Arso Tunggal adalah:

1. Sebagai gerakan hmanisme kejawèn terbentuk oleh nilai-nilai budaya Jawa aktor sentralnya;

2. Sebagai gerakan yang dilandasi oleh pemahaman yang sama dengan gerakan humanisme Periode Pertengahan, yaitu memandang manusia sebagai

makhluk adikodrati sekaligus kodrati, menyeimbang- kan antara jiwa dan raga, tidak menafikan kekuatan intelektual untuk pengembangan nilai-nilai kemanu- siaan, dan sebagai reaksi terhadap kekurangmampuan agama menjawab masalah sosial kemanusiaan.

3. Sebagai gerakan yang lahir dengan semangat yang sama dengan gerakan humanisme Modern (antara lain metode ilmiah dan obervasi percobaan, manusia mampu mengubah dunia, tidak terbelenggu pada masalah dogmatis, berorientasi masa depan), tetapi tidak melepaskan entitas ketuhanan.

4. Sebagai gerakan yang terwujud dengan semangat yang sama dengan humanisme Postmodern (yaitu memaknai manusia dalam konteks budaya untuk menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penin- dasan), tetapi memahami entitas ketuhanan sebagai cahaya yang menyinari masalah kemanusiaan.

Dokumen terkait