• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang digunakan itu untuk

“menyembuhkan” lahan sawah milik Bupati Pemalang di Desa

Loning Kecamatan Petarukan yang lama tidak produktif karena kadar keasamannya yang tinggi. Lahan sawah di Desa Loning

tersebut telah bertahun-tahun tidak produktif, banyak cara telah digunakan untuk membuatnya kembali produktif, bahkah pernah di lahan itu ditanami mangga, tetapi hasilnya tetap tidak subur dan berbuah.

Sebelum di Pemalang, Arso Tunggal telah menerapkan SPOR dalam skala yang terbatas di daerah Kendal, Purwodadi, Salatiga, dan Sleman DIY, untuk budidaya komoditas padi lokal, beras merah, kacang hijau, lombok, tembakau, dan markisa.

Untuk pertanian organik rasional, sebenarnya Arso Tung- gal telah memulainya sejak awal tahun 1990, namun berhenti pada tahun 1997 karena persoalan manajemen. Gerakan ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 2007.

Dalam upaya memberdayakan para petani, Paguyuban Arso Tunggal Djoko Murwono berusaha menghidupkan kem- bali konsep lumbung desa. Dasar pemikirannya adalah, dalam konsep lumbung desa para petani selalu membuat bibit sendiri dan berjalan secara mandiri. Untuk mendapatkan bibit pangan, selain secara mandiri juga menjadikan bibit yang secara iklim teradaptasi; proses aklimatasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca dan iklim setempat.

Kapitalisasi dalam bidang agro, mendorong pembuatan bibit – dengan berbagai alasan, harus tergantung dengan bibit yang dibuat pabrik serta dengan alasan sudah tersertifikasi – menyebabkan terjadinya gagal panen karena kualitas bibit yang tidak memadai.

Oleh sebab itu, kearifan lokal seharusnya merupakan benteng pertahanan utama untuk mencegah kerusakan akibat perubahan iklim secara global yang disebabkan kenaikan suhu global, bocornya ozon, sehingga intensitas sinar ultra violet matahari makin tinggi. Menghadapi tantangan ini, perlu

terobosan teknologi yang lebih memadai serta bersifat pendampingan yang berujung pada kemandirian. Langkah yang perlu ditempuh adalah penguatan kearifan lokal, dimulai dengan penerapan konsep lumbung desa; menyimpan sebagian hasil panen untuk persediaan pangan di masa sulit dan pembenihan dilakukan secara mandiri.

Sekarang, posisi tawar petani sangat rendah, karena dari awal sudah dibebani kewajiban membayar utang, sehingga sawah diijonkan. Akibatnya, walaupun sebagai pemilik lahan, petani tidak ubahnya sebagai petani penggarap belaka. Petani tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Teknologi yang diterapkan seharusnya dapat lebih meng- aktualisasikan kearifan lokal yang ada, sehingga memperkecil kemungkinan kegagalan. Contoh kearifan lokal Jawa dalam pertanian: membaca tanda musim dengan berbagai ilmu per- bintangan, tanda hewan tertentu mulai muncul akan dimulai dengan bercocok tanam jenis tanaman yang sesuai. Misalnya, apabila ada bunyi serangga tenggeret, maka yang paling cocok adalah mulai menyebar tanaman kacang hijau atau kedelai, karena akan panen di tengah musim kemarau, sehingga tanpa terhalang dalam pengeringan oleh sinar matahari. Apabila mulai banyak angin dan setelah puncak bunga turi selang sebulan, mulai menggarap tanah sawah. Selain itu, perlu mengistirahatkan lahan pertanian atau pergantain tanaman dengan tujuan memotong masa inkubasi hama tanaman.

Peran keilmuan dan pengetahuan yang bertitik tolak dari kearifan lokal semacam itu seharusnya dikembangkan dan di- lengkapi, termasuk di dalamnya penggunaan pupuk kandang dalam sistem budidaya yang dilakukan, serta model tumpang- sari untuk mendukung ketersediaan pangan secara harian untuk konsumsi sayur.

Melalui SPOR, Arso Tunggal melakukan pendampingan kepada para petani, dengan tujuan agar petani lebih mandiri dan berdaya menghadapi perubahan yang terjadi. Pendamping- an dilakukan untuk menyejahterakan umat secara keseluruhan. Teknologi yang diterapkan meliputi: teknologi pemulia- an bibit lokal, pengelolaan lahan, pembuatan sarana pertanian, terutama pupuk organik, pestisida alifatis yang sistemis dengan racun alami, pemanenan dan teknologi lepas panenan, serta model perdagangan dan permodalan, sehingga mengurangi jumlah petani yang terkena ijon.

Desa adalah tatanan masyarakat agraris yang sesungguh- nya, yang merupakan sumber bahan pangan masyarakat perkotaan. Ironisnya, pemerintah cenderung melakukan regulasi dan stabilisasi harga pangan, tetapi kurang memikirkan fungsi dan peran desa sebagai penyangga ekonomi dan sosial secara nasional. Keberpihakan pemerintah pada masyarakat perkotaan, dalam banyak hal merugikan masyarakat pertanian pedesaan, sehingga dalam kurun waktu yang panjang akan menghancurkan peran dan fungsi desa.

Dalam stabilisasi harga pangan, pemerintah selalu meng- gunakan hukum ekonomi kapitalistik, karena pengendalian moneter dipegang secara langsung oleh negara; penyeimbangan antara persediaan dan permintaan (supply and demand). Pada saat panen raya, dengan sendirinya harga pangan, terutama beras, akan menjadi murah, tetapi pemerintah tidak pernah berperan untuk menjaga stabilitas harga, justru menyerahkan- nya pada mekanisme pasar. Akibatnya, harga pangan menurun tajam karena banyak persediaan melimpah.

Sebaliknya, di saat para petani tidak panen, pamerintah sering menyebutnya paceklik dan oleh karena itu mengimpor beras dengan alasan demi stabilitas harga dan stabilitas politik.

Hal itu kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat kesejah- teraan petani di pedesaan. Dampak berikutnya, terjadi alih profesi kelompok muda pedesaan, dari petani menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar di perkotaan.

Djoko menyebutkan, konsep yang diterapkan pemerintah

dalam kaitannya dengan pembangunan adalah konsep ”kota

mengepung desa,” bukan kota yang dikepung dan dihidupi oleh desa. Padahal, yang diperlukan pembangunan nasional saat ini adalah konsep keseimbangan sosial dan ekonomi, saling ber- sinergi dan saling menguntungkan antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya, perlu dilakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ber- basis pertanian, agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kearifan lokal masyarakat pertanian pedesaan perlu di- bangkitkan lagi. Kearifan lokal itu penuh dengan aspek keber- samaan yang dimulai sejak kecil, ketika ikatan kekeluargaan merupakan terminal dalam mengatasi kesulitan hidup. Ung-

kapan ”mangan ora mangan, waton kumpul” (”makan tidak

makan, yang penting kumpul”) sesungguhnya mencerminkan

solidaritas masyarakat desa untuk saling berbagi. Begitu pula budaya rewangan dan nyumbang (saling membantu kalau ada tetangga punya hajat), gugur gunung (saling membantu dan merawat sarana pedesaan), sambatan (saling membantu dalam membangun rumah). Ciri masyarakat pedesaan itu seharusnya dikembangkan lagi untuk menghadapi gempuran budaya glo- balisasi.

Pembinaan keakraban dan kekeluargaan itu diisyaratkan

lewat tembang ”Ilir-ilir” berikut ini:

Lir ilir, lir ilir tanduré wus sumilir

Tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar Cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi Lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira

Dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir Domana jlumantara, kanggo seba mengko soré Mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané

Dha suraka, surak horé!

Terjemahan bebas tembang itu adalah:

Bangun dan bangunlah, tanaman padi mulai bertahan hidup/Tanaman itu tampak hijau segar, seperti kehi-dupan pengantin baru/Anak gembala tolonglah panjat pohon belimbing itu/Walaupun licin tetaplah dipanjat, sebab akan digunakan mencuci kain yang dipakai/Jarik yang sobek pinggirnya supaya dijahit/se- bab akan di-pakai resepsi nanti sore/Semampang bulan terang, semampang luas halaman rumah/Marilah semua ber-sorak dan bergembira.

Itulah pesan budaya, yang sekilas tanpa makna dan arti, namun sebenarnya sarat dengan rasa syukur dalam kebersa- maan dan kesederhanaan. Itulah modal besar yang dapat digu- nakan untuk melewati krisis multidimensional yang sekarang melanda dunia, karena kota menjadi modern, individualistis, materialistis, serta tidak lagi memiliki kepedulian dan solidari- tas.6

6Keterangan Djoko bahwa tembang ”Ilir-ilir” merupakan isyarat keakraban

dan kekeluargaan masyarakat pedesaan berbeda dari pengetahuan yang selama ini berkembang. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tembang tersebut hasil karya Sunan Kalijaga, namun Solichin dalam buku Sekitar Wali Sanga

(dalam Purwadi dkk, 2005:190-192) menjelaskan, belum dapat dipastikan apakah pengarang tembang itu Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Pada awal tahun 1962, Lembaga Kantor Berita (LKBN) Antara pernah menurunkan

tulisan yang mengulas tembang itu. Disebutkan, ”Ilir-ilir” merupakan karya Sunan Kalijaga dan dimaksud untuk memberitahukan bahwa telah tiba saatnya untuk menggempur Majapahit, sebagai pencanangan perang. Pembesar-pembesar dari pesisir yang telah memeluk Islam menunggu saat yang tepat untuk menyerang Majapahit. Tulisan itu mendapat sorotan tajam, terutama dari Islam garis keras. Banyak ahli yang menyatakan bahwa

penafsiran itu keliru. Menurut para ahli tersebut, tembang ”Ilir-ilir” sebagai sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi di dalam penyiaran agama Islam sangat jelas, sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dan ajaran lain. Menurut para ahli

Ciri-ciri kehidupan sosio-kultural masyarakat desa Jawa itu, oleh Purwadi (2005:71-73) dinyatakan sebagai berikut:

1. Menjunjung kebersamaan: diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan rewang;

2. Suka kemitraan: siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara;

3. Mementingkan kesopanan: terwujud dalam istilah antara lain unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, dan suba sita;

4. Ahli musim: di balik kesederhanaan, ternyata masya- rakat Jawa sangat paham terhadap pergantian musim (pranata mangsa). Mereka mengerti soal pergantian musim, terutama berkaitan dengan masa tanam dan masa panen (musim penghujan, musim kemarau, labuh, marèng);

5. Pertimbangan religius: sistem kepercayaan masyara- kat Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindak- annya; selalu mencari hari pasaran yang baik setiap akan melakukan kegiatan. Di pedusunan banyak

tersebut, makna kalimat Ilir-ilir, ilir-ilir tanduré wis sumilir adalah makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig;

tak ijo royo-royo dak sengguh pengantèn anyar = hijau adalah warna dan lambang agama Islam, dikira pengantin baru; cah angon, cah angon pènèkna blimbing kuwi = cah angon diibaratkan penguasa yang menggembalakan rakyat dan disarankan masuk Islam, disimbolkan dengan buah belimbing yang berbentuk segi lima sebagai lambang rukun Islam; lunyu-lunyu pènèkna kanggo mbasuh dhodhot ira = walaupun licin, tapi usahakanlah agar dapat masuk Islam demi menyuscikan pakaian (bagi orang Jawa agama ibarat pakaian); dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir = pakaian (atau agama) kalian sudah rusak; domana jlumantara, kanggo seba mengko soré = pakaian (atau agama) yang sudah rusak itu harus dijahit (diperbaiki) sebagai bekal menghadap Tuhan; mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané = selagi masih hidup, masih ada kesempatan untuk bertobat. Dha suraka, surak horé! = bersoraklah, bergembiralah!

dijumpai upacara tradisional yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi;

6. Toleransi tinggi: segala kejadian di luar dirinya dibi- arkan saja berjalan secara alami. Orang mudah me- maafkan kesalahan orang lain;

7. Hormat pada pemimpin: masyarakat pedesaan selalu menaruh hormat kepada para pemimpinnya;

8. Hidup pasrah: masyarakat pedesaan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap menghadapi masalah kehidupan;

9. Cinta seni: masyarakat pedesaan menyukai keseni-an, terutama kesenian tradisional yang berkembang di wilayah mereka;

10. Dekat alam: kedekatan dengan alam ini misalnya tercermin dari cara masyarakat pedesaan menyebut matahari (dengan Sang Hyang Surya), bulan (Sang Hyang Candra), dan angin (Sang Hyang Bayu). Kedekatan masyarakat Jawa pada alam juga tercermin dari

ungkapan ”ibu bumi, bapa angkasa,” bahwa bumi adalah simbol ibu yang menumbuhkan tanaman, langit adalah simbol ayah karena melindungi dan menurunkan hujan.

Djoko mengungkapkan, di banyak negara lain sektor per- tanian menerima subsidi dan dilindungi dari ekspansi produk pertanian asing, karena sektor pertanian merupakan salah satu bentuk pertahanan pangan, yang merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Di banyak negara, pemerintah membeli produk pangan rakyatnya dengan harga yang tinggi, kemudian menjual di dalam negerinya dengan harga yang murah, sehing- ga melindungi petani, agar produk tetap kompetitif dibanding- kan dengan harga produk asing.

Ironis, di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, pemerintah justru memberikan subsidi bukan pada pelaku pertanian, melainkan kepada pada broker pertanian dan pelaku pasarnya. Akibatnya, alih fungsi profesi dan lahan selalu terjadi dan sektor pertanian makin tidak populer sebagai penyerap tenaga kerja. Pemerintah tidak mampu melindungi dan menye- jahterakan para petani. Kenyataan itu menjadi salah satu penye- bab meningkatnya arus urbanisasi.

Masalah urbanisasi bukan sekadar kesenjangan partum- buhan ekonomi desa-kota, melainkan juga masalah budaya sebagai akibat dari pergeseran nilai-nilai masyarakat pedesaan. Pergeseran itulah yang bisa disebut sebagai perubahan ruralism ke urbanism. Istilah ini mungkin kurang lazim, namun intinya adalah pergeseran cara pandang masyarakat pedesaan yang dulu merasa nyaman menjadi orang desa sekarang risi dianggap ndesa sehingga berusaha menjadi orang kota. Ada kerancuan pikir, seolah-olah kota adalah modern-maju sedangkan desa adalah keterbelakangan. Kerancuan ini pun dipicu oleh pemba- ngunan dan modernisasi yang dilandasi nilai-nilai kapitalistik Barat.

Mengapa ‘’virus’’ urbanisme sangat mencengkeram ma- syarakat pedesaan, sehingga sektor pertanian tertatih-tatih dan tidak lagi menjadi primadona? Salah satu jawabnya adalah, lemahnya ketahanan budaya menghadapi gempuran arus global. Kita sebenarnya belum bebas dari penjajahan budaya. Urbanis- me adalah salah satu bentuk keterjajahan itu. Masyarakat pe- desaan tidak lagi mandiri sebagai entitas yang bangga dengan eksistensinya. Ironisnya, perasaan tidak bangga terhadap pe- desaan juga merasuki para elite yang berwenang menyusun strategi pengembangan masyarakat. Akibatnya, kebijakan pe- merintah sering tidak memihak masyarakat pedesaan. Pedesaan

sebagai sentra pembangunan perekonomian masih menjadi slogan manis yang belum terlaksana.

Gambar 6:

Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:

Diskusi pengembangan pertanian organik dengan anggota DPRD DIY dan LSM:

Akibat berikutnya, pembangunan masih terkonsentrasi di perkotaan. Anggaran pembangunan dan peredaran uang menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur memang sudah masuk desa-desa, tapi, karena tidak diimbangi ketahanan budaya, maka hasilnya justru menjadi sarana

masuknya nilai-nilai kapitalisme Barat, bukan menjadi pemicu kebangkitan potensi lokal.

Urbanisme sebagai pola pikir ibarat pondasi yang rapuh. Kebijakan ekonomi yang pro-perkotaan adalah tiang-tiang yang tidak kokoh. Akibatnya, masyarakat menjadi bangunan yang mudah guncang akibat pengaruh dari luar.

Menghadapi kenyataan itu, pendampingan yang dilaku- kan Paguyuban Arso Tunggal lewat SPOR diarahkan agar para petani mampu memproduksi hasil pertaniannya secara mandiri dan membuka peluang ke pasar global. Cara itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena harga jual produk pertanian mereka dibeli dengan harga yang tinggi. Sampai saat ini, Arso Tunggal sudah membantu petani meng- ekspor produk mereka ke Korea Selatan dan sedang dalam penjajakan ekspor ke Belanda.

Konsep pengembangan lumbung desa dan SPOR itu telah menarik berbagai pihak. Djoko Murwono sering diundang oleh berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, untuk menjelaskan gagasan-gagasannya.

Dokumen terkait