• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Enam

Humanisme Arso Tunggal

dalam Praktik

Sarasehan dan Kegiatan Ritual

Rumah dua lantai di Jalan Bulusan Selatan Raya Nomor 111 Semarang itu berdiri kokoh di antara permukiman penduduk. Itulah pusat kegiatan Arso Tunggal. Pada setiap Rabu malam, di rumah itu diselenggarakan pertemuan anggota paguyuban, dimulai sekitar pukul 23.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB Kamis dinihari.

Pada setiap pertemuan, sekitar 15-20 anggota hadir. Sebagian mengendarai sepeda motor, sebagian yang lain mengendarai mobil. Mereka datang dari berbagai tempat di Kota Semarang dan sekitar. Mereka saling memberi salam dengan cara merapatkan telapak tangan kanan ke dada. Begitu datang, mereka bersantai di atas tikar yang digelar di ruang tengah atau duduk di ruang tamu, menonton televisi, minum kopi atau teh, dan memperbincangkan berbagai hal, sambil menunggu pendiri Arso Tunggal, Djoko Murwono.

(2)

kesehatan, dan tentang perkembangan kegiatan paguyuban. Perbincangan pun kemudian berkembang pada berbagai hal, terutama berkaitan dengan masalah budaya Jawa.

Berbagai macam topik perkembangan kehidupan masya-rakat dibicarakan dalam pertemuan, yang disebut sebagai sarasehan Reboan itu. Perkembangan aktual berkaitan dengan masalah sosial, politik, agama, dan ekonomi – baik lokal, nasional maupun internasional – dibahas dalam perspektif budaya Jawa. Terjadi diskusi yang menarik dalam sarasehan yang berlangsung hingga sekitar pukul 00.30 WIB.

Setelah itu, mereka bersama-sama naik ke lantai dua, memasuki empat kamar yang ada. Di setiap kamar terdapat peralatan berupa paku-paku kayu terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berukuran sekitar satu meter kali 30 sentimeter, tiga bagian yang lain berukuran sekitar 30 sentimeter persegi. Tinggi paku-paku kayu tersebut masing-masing sekitar lima sentimeter. Bagian pertama disiapkan untuk menopang tubuh, dua bagian lain untuk tangan, dan satu bagian lagi yang dibungkus kain dipersiapkan sebagai alas kepala.

Di tiap-tiap kamar terdapat tiga alat tersebut, yang dijajar-kan horizontal di lantai. Di bagian atas alat yang berada di tengah terdapat alat yang melengkung, berada di bawah meja yang dilengkapi dengan tiga lilin yang menyala.

(3)

Proses meditasi tersebut berlangsung sampai sekitar pukul 01.00 WIB. Satu per satu anggota turun ke lantai bawah, kembali memperbincangkan berbagai hal berkaitan dengan kehidupan dan perkembangan kegiatan paguyuban. Diskusi berlangsung sampai dengan pukul 02.00 WIB. Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing.

Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal

Itulah gambaran kegiatan sarasehan dan ritual yang diterapkaan Arso Tunggal. Kegiatan ritual tersebut bertujuan melatih anggota mengasah ketajaman hati nurani, dengan cara

(4)

menenangkan dan mematikan pikiran; menghilangkan rasa sakit. Proses itu mereka sebut ngraga sukma. Dengan rebah di atas paku-paku kayu, anggota diuji tingkat ketahanan terhadap rasa sakit. Rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, kalau mereka bisa mengendalikan pikiran dan mempertajam hati nurani (mati raga).

Ngraga sukma yang diterapkan Arso Tunggal berbeda dari pengertian ngrogoh sukma yang dikenal di kalangan penganut kebatinan. Ngrogoh sukma merupakan proses merogoh (meng-ambil) jiwa kemudian dikeluarkan dari badan, sehingga jiwa itu bisa mengembara ke tempat-tempat lain, di luar badan. Proses itu lalu membuat jiwa seseorang dapat melihat keadaan di tempat lain. Di kalangan masyarakat Jawa, proses itu biasa dikenal dengan terawangan (dari kata menerawang).

Berbeda dari ngrogoh sukma, maka ngraga sukma tidak merogoh jiwa untuk mengembara, melainkan mengeksplorasi jiwa untuk diragakan. Dengan kata lain, ngraga sukma adalah meragakan jiwa. Jiwa harus dieksplorasi agar dapat memimpin raga, sehingga hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh keinginan-keinginan raga, melainkan dikendalikan oleh niat dari dalam jiwa.

Proses ritual tersebut merupakan tahapan mencari keheningan dengan cara menenangkan pikiran (ening cipta sarana neng). Ada proses transendensi, yang membuat tubuh tidak merasa sakit meskipun dicocok oleh paku-paku kayu.

(5)

banyak tersenyum dalam menghadapi sesuatu yang terjadi. Makna tatag adalah apa pun yang terjadi manusia harus tidak tergoyahkan.

Ritual itu juga membimbing anggota untuk meningkat-kan kualitas sebagai manusia dalam perspektif Jawa. Tingkatan kualitas manusia Jawa yang dikembangkan Arso Tunggal adalah satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinan-dhita, ratu ratuning pinandhita. Tingkatan tertinggi, yaitu ratu ratuning pinandhita, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tataran paling dasar adalah berbuat secara kesatria.

Untuk mencapai tingkatan-tingkatan tersebut, manusia tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan, melainkan juga kearifan, harus bisa menjadi sumur tinimba, seperti samudera yang menampung semua aliran air dari berbagai macam sungai. Meskipun demikian, manusia tidak mungkin sampai pada tataran kelima yaitu ratu ratuning pinandhita.

Lewat ritual yang dilakukan, anggota Arso Tunggal bela-jar meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Filosofinya adalah: urip iku ora karana bandha; bandha mung srananing urip. Yèn bandha ora kanggonan nyawa, yèn nyawa mesthi ana bandhané soalé manungsa urip (Hidup itu bukan karena harta-benda. Dalam harta tidak ada nyawa, tapi di dalam nyawa pasti ada harta, karena manusia hidup. Kalau kita hidup pasti diberi sarana untuk hidup).

Yèn kowé kepingin mangan, aja mangan, yèn kowé kepingin ngombé aja ngombé. Ning yèn kowé kepingin mangan-ngombé, mangana lan ngombéya amarga kowé urip.

Makna ungkapan itu adalah, “hidup bukan untuk makan, me

-lainkan makan untuk hidup.” Itulah ajaran tentang pengen

(6)

diamlah, kalau ingin mendiamkan orang maka sapalah orang itu secara halus).

Dalam berbagai pertemuan Reboan, sering dibahas tentang nilai-nilai melayani, bahwa manusia itu harus nge-mong. Tuhan tidak melarang manusia untuk berbuat sesuatu, melainkan memberikan aturan atau batasan (wewaler).

Dalam bahasa Jawa ajaran itu diungkapkan “beja cilaka kuwi ana ing badan priyangga. Pilihan ana ing manungsa piyambak.” Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pema-haman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri, Tuhan hanya memberikan pilihan dan rambu-rambu.

Di sinilah terletak makna humanisme yang dikembangkan Arso Tunggal, yaitu manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemandirian untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam menentukan nasib, manusia selalu disinari oleh cahaya yang berasal dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Pemahaman itu dikembangkan melalui ritual dengan cara berusaha menghilangkan rasa sakit terkena paku kayu. Anggota Arso Tunggal diberi pilihan, mampu menghilangkan rasa sakit dengan menangkal pikiran dan mengeksplorasi niat tulus dalam

hati atau tetap menempatkan pikiran sebagai “panglima.” Proses ritual juga membimbing anggota paguyuban untuk menerapkan filosofi urip kaya banyu mili, kaya angin tumiup/sumilir, kaya srengéngé sumunar, kaya sumunaré sang bagaskara. Makna ungkapan tersebut adalah, hidup ibarat air yang mengalir, angin yang berhembus, matahari yang bersinar.

(7)

target. Bagi Arso Tunggal, target itu didasari oleh pemikiran manajemen Barat, padahal manajemen hanya alat, manusia tidak boleh dikooptasi oleh manajemen. Manajemen bukan raja karena raja yang sesungguhnya adalah diri manusia sendiri.

Pemahaman itu mencerminkan, bahwa manusia sebaik-nya tidak menghendaki sesuatu terjadi secara cepat, tidak tergesa-gesa, sesuatu harus dijalani dengan teliti dan waspada. Ungkapan Jawa yang menggambarkan hal itu adalah alon-alon waton kelakon, aja grusa-grusu, aja kebat kliwat, sabar, éling, lan waspada. (pelan-pelan tapi terlaksana, jangan tergesa-gesa, jangan ingin bahwa sesuatu pasti bisa terjadi secara cepat, sabar, selalu ingat kepada Tuhan, dan waspada).

Ungkapan lain yang bermakna sama adalah gremat-gremet waton slamet, yang berarti bahwa suatu pekerjaan sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, seksama, tekun, sesuai aturan yang benar. Titik berat dua ungkapan itu terletak pada kelakon dan slamet (terlaksana dan selamat sampai tujuan), bukan pada lamban.

Mengejar pencapaian kehendak dengan segala cara yang cepat dipengaruhi oleh pola pikir management by objective yang berkembang di dalam manajemen Barat. Dalam konteks budaya Jawa, maka sebenarnya management by objective itu kurang cocok, karena pola pikir Jawa lebih bersifat management by process, bahwa segala sesuatu sebaiknya dilakukan melalui proses yang benar. Proses tersebut akan menentukan tujuan; kalau proses baik maka tujuan akan tercapai dengan baik, kalau proses tidak baik, maka tujuan pun tidak akan tercapai dengan baik.

(8)

process. Kegiatan yang dilakukan selalu berorientasi pada tujuan atau hasil, namun fokus pada proses yang dijalani.

Proses ritual yang diterapkan oleh Paguyuban Arso Tunggal berintikan empat tahapan, yaitu: krenteg-karep-karsa-karya. Empat tahapan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Krenteg merupakan niat mendalam yang berasal dari jiwa manusia. Untuk merasakan dan memahami krenteg, maka

manusia harus dapat “mematikan” pikiran. Otak harus diistira -hatkan, sehingga ketika otak tidak bekerja maka manusia dapat merasakan getaran-getaran jiwa. Ketika otak tidak bekerja,

maka manusia akan “berziarah” ke dalam jiwanya sendiri. Ada proses transformasi dari otak ke jiwa.

Nilai-nilai ajaran yang melandasi proses itu adalah, bahwa hidup manusia harus dipimpin oleh jiwa, bukan oleh pikiran. Menurut ajaran Arso Tunggal, jiwa itu menenteramkan, adapun pikiran menyebabkan ketidaktenangan. Jiwa meneduhkan, pikiran tidak berujung pangkal. Ungkapan Jawa yang menggam-barkan hal itu adalah: sak dawa-dawané lurung, isih dawa gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang pikiran). Ungkapan itu menunjukkan, bahwa pikiran tidak pernah ber-ujung, membuat manusia tidak pernah puas, mengejar sesuatu tanpa batas dan belum pasti.

Karep adalah kehendak yang berasal dari otak manusia. Karena berasal dari otak, maka karep juga tidak berujung pangkal, menggambarkan keinginan manusia yang tidak pernah habis, tidak pernah puas. Oleh sebab itu, karep harus dikelola dengan cara menariknya ke dalam jiwa, sehingga hidup manusia tidak lagi dipimpin oleh kehendak yang tak pernah habis itu, melainkan dikomandani oleh krenteg yang berasal dari jiwa.

(9)

didasarkan oleh karep, maka karsa hanya muncul dari keinginan otak saja, namun kalau dilandasi oleh krenteg maka selain didorong oleh pikiran, karsa juga digerakkan oleh jiwa.

Adapun karya merupakan aplikasi dari karsa, tidak lagi hanya berwujud keinginan, melainkan sudah berupa tindakan nyata. Karya itulah yang juga sering disebut sebagai pakarti, yaitu buah dari proses krenteg, karep, dan karsa.

Ritual yang dilakukan mengajarkan kepada para anggota paguyuban untuk dapat mendengar dan memahami krenteg, membedakannya dari karep. Tujuannya, kalau seseorang dapat memahami krenteg, maka ia dapat pula menggunakannya sebagai landasan hidup sehari-hari. Niat untuk melakukan suatu tindakan benar-benar didasarkan pada niat yang berasal dari jiwa, bukan sekadar karep yang muncul dari otak.

Dalam suatu sarasehan Reboan, dibahas bahwa saat ini kebanyakan manusia lebih mengandalkan akal pikiran (rasio-nal), berarti mementingkan karep. Dalam ungkapan Jawa dikatakan: luwih gedhé karepé katimbang krentegé. Karena begitu besar kehendak otak, maka orang kemudian mengejar (dengan segala cara) kehendak tersebut. Dalam bahasa Jawa hal itu disebut sebagai penggayuh diyu (keinginan yang buta), yang mendorong orang lupa akan sangkan paraning dumadi, yang digambarkan dengan ungkapan mélék anggéndhong lali (keinginan mengakibatkan lupa).

(10)

dulu dari jiwa, kemudian menjadi karep, lalu karep itu dikembangkan menjadi karsa (niat untuk melakukan suatu tindakan), diaplikasikan menjadi karya.

Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman, bahwa pakarti dilandasi oleh keberanian berkarya dalam konteks budaya. Di dalam budaya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, tata hidup, dan pola tindakan. Humanisme harus dinyatakan dalam karya, bukan hanya berhenti pada krenteg atau karep. Karena itu, Arso Tunggal melakukan karya-karya

nyata, yang disebut sebagai “proses memodernisasi kearifan lokal Jawa.” Karya tersebut berupa penemuan obat-obat yang dilandasi kearifan lokal Jawa yang sudah hampir punah dan pengembangan varietas-varietas lokal dalam pertanian organik.

Jadi, pakarti adalah aplikasi. Olah pikir diabdikan ke olah rasa, sehingga menghasilkan karsa lan karya. Rasa yang dipikir menjadi karsa. Proses itu disebut manunggaling rasa lan karsa (menyatunya jiwa dan kehendak untuk berbuat).

Olah rasa (yang sering dilakukan oleh penganut per-kumpulan kebatinan) sesungguhnya tidak bisa hanya dirasakan, dilestarikan (diuri-uri), melainkan harus “diangkat” ke dalam olah pikir, sehingga menghasilkan karya nyata. Paguyuban Arso Tunggal berpijak pada keseimbangan olah rasa dan olah pikir tersebut untuk mengembangkan gerakan-gerakan kemanusiaan. Keseimbangan itu tercermin dari penelitian-penelitian ilmiah yang didasari kearifan-kearifan lokal Jawa yang kemudian menghasilkan obat-obatan dan pertanian organik.

(11)

karya. Itulah sebabnya, “modernisasi Jawa” adalah menerjemah -kan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam karya nyata yang mampu menjawab tantangan zaman, yang bermanfaat bagi masyarakat masa kini.

Penulis menemukan perbedaan antara pendekatan yang dilakukan Arso Tunggal dan pendekatan yang berkembang dalam komunitas-komunitas kebatinan. Arso Tunggal justru menarik niat dalam jiwa ke kehendak dalam otak kemudian diaplikasikan ke dalam karya nyata, adapun komunitas kebatin-an lebih menarik niat dalam jiwa ke arah lebih dalam lagi, yaitu rohani. Perbedaan itu menyebabkan perbedaan hasil, Arso Tunggal menghasilkan karya nyata (kemanusiaan), adapun gerakan kebatinan menghasilkan spiritualitas (ketuhanan). Hal tersebut dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Humanisme Arso Tunggal

Proses krenteg-karep-karsa-karya merupakan perwujudan dari pemahaman tentang humanisme kejawèn. Perbedaan antara humanisme kejawèn (dijelaskan dalam Bab Empat) dan humanisme yang dipahami oleh Arso Tunggal terletak pada perbedaan antara laku dan pakarti. Humanisme kejawèn bermuara pada laku, adapun humanisme yang dikembangkan paguyuban ini menghasilkan pakarti.

Berbeda dari laku, pakarti tidak hanya merupakan olah rasa, melainkan olah rasa yang dipadukan dengan olah pikir, diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Dalam pakarti sudah

rohani jiwa

komunitas kebatinan Paguyuban Arso Tunggal

(12)

terjadi sinergitas antara olah rasa dan olah pikir, sehingga humanisme tidak berhenti sekadar sebagai pengertian, melain-kan terwujud dalam tindamelain-kan nyata.

Proses sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan Gusti, laku, dan pakarti digambarkan sebagai purwa, madya, wusana atau awal, tengah, dan akhir. Purwa itu rasa, madya itu pikiran, dan wusana itu karya. Di dalam rasa terdapat krenteg, di dalam pikiran terdapat karep, dan di dalam karya terdapat tindakan-tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan. Purwa, madya, wusana adalah proses kehidup-an mkehidup-anusia. Putarkehidup-an itu makin lama makin besar. Mkehidup-anusia tidak dapat hanya mengandalkan rasa, melainkan harus pula dengan pikiran; harus ada keseimbangan antara niat dan kehendak untuk memperbesar putaran tersebut.

Pengertian sangkan paraning dumadi yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa meskipun manusia memiliki otoritas untuk memilih tindakannya sendiri, namun mereka tetap disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang berasal dan akan kembali kepada Yang Maha Kuasa.

Pemahaman tentang manunggaling kawula lan Gusti yang dikembangkan Arso Tunggal adalah, bahwa jiwa manusia merupakan singgasana Allah, jiwa manusia merupakan percikan sukma Allah Yang Maha Besar. Jadi, jiwa itu abadi, raga hanya berasal dari tanah, bersifat rendah (asor). Jiwa dimasukkan ke raga, agar raga itu bisa tertata. Dalam pengertian ini, maka manunggaling kawula lan Gusti berarti menyatunya jiwa dan raga, menyatunya krenteg dan karep.

(13)

manusia. Bener belum tentu bisa menenteramkan raga, tapi pener akan menenteramkan jiwa. Orang yang terlalu banyak berpikir menjadi susah tidur, tapi orang yang menyerahkan hidupnya pada kejernihan jiwa akan mampu mengendalikan diri. Hal itulah yang membedakan antara krenteg dan karep; karena krenteg berasal dari hati, adapun karep muncul dari pikiran.1

Arso Tunggal menitikberatkan gerakannya pada pakarti. Kata pakarti mengacu pada penerjemahan laku, tidak berhenti pada pengertian atau sekadar olah rasa, tetapi teraplikasi ke dalam karya nyata. Dengan kata lain, pakarti merupakan syarat untuk menerjemahkan pengertian tentang sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti, sering pula disebut sebagai srananing ngaurip.

Oleh sebab itu, Arso Tunggal berusaha mengembangkan, memodernisasikan pemahaman-pemahaman kejawèn, dengan cara memadukan rasa dan otak (pikiran). Jadi, sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula lan Gusti tidak berhenti di olah rasa saja atau olah pikir saja, melainkan harus diaplikasikan dalam karya, sehingga bermanfaat bagi orang banyak.

1 Djoko menjelaskan: “Yèn aku wis ngomong bener mungguhing uripku,

aku sejatiné wis ora pener mungguhing uripku, nanging yèn aku ora tau ngomong bener mungguhing uripku, kuwi berarti wis pener. Yèn kowé ngomong salah mungguhing wong, sak beneré ing jroning atimu kuwi panggonan ingkang salah, awit bener lan salah kuwi ana ing pikiranmu, pener lan ora pener kuwi ana ing sajroning atimu. Golèka peneré atimu, katimbang bener lan salahing pikiranmu,” katanya. (“Kalau saya sudah bicara bahwa

hidup saya benar, sesungguhnya hidup saya tidak pener, tapi kalau saya tidak pernah bicara bahwa hidup saya benar, itu berarti saya sudah pener. Kalau kamu bicara bahwa orang lain bersalah, maka sesungguhnya di dalam hatimu itu tersimpan sesuatu yang salah, karena benar dan salah itu ada dalam pikiranmu, pener dan tidak pener ada di dalam hatimu. Maka, carilah pener

(14)

Supaya hal itu dapat terwujud, manusia harus melakukan eningé cipta sarana neng; cipta dieningké, diendapkan dulu. Kalau sudah mengendap (menep), maka manusia akan mendengarkan suara Allah. Proses pengendapan itu me-nyebabkan orang Jawa berpola pikir inward looking; selalu melihat ke dalam dirinya sendiri lebih dulu ketika merespons suatu realitas. Manusia Jawa yang benar-benar memahami

kejawaannya, tidak berhenti pada “romantisme melihat ke dalam” (proses pengendapan), melainkan setelah itu harus

melakukan tindakan nyata (karya).

Dari uraian tersebut, penulis berpendapat, bahwa gerakan Arso Tunggal dilandasi oleh pemahaman tentang humanisme kejawèn. Pemahaman itu kemudian dikembangkan menjadi hu-manisme yang bermuara pada tindakan nyata, bukan sekadar ketenangan jiwa dan kearifan individu. Humanisme yang dikembangkan itulah, yang menurut oleh penulis disebut humanisme Arso Tunggal.

Argumentasi yang melandasi penyebutan humanisme Arso Tunggal adalah:

1. Paguyuban Arso Tunggal menempatkan manusia pada posisi yang menentukan, meskipun tetap berada da-lam cahaya ilahi. Tuhan hanya menyinari kehidupan manusia, memberikan rambu-rambu, adapun pilihan-pilihan tindakan ada di tangan manusia sendiri. 2. Paguyuban Arso Tunggal melandasi

(15)

yang menitik-beratkan pada laku, yaitu olah rasa yang menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan individu.

Dalam konteks pemikiran krenteg-karep-karsa-karya, Ar-so Tunggal mengembangkan kegiatan-kegiatan nyata. Kren-teg (mencerminkan penghayatan atas sangkan paraning dumadi) mendorong timbulnya karep dan karsa (mencerminkan ma-nunggaling kawula Gusti), dan keseimbangan antara krenteg dan karep itu diwujudkan dalam pakarti.

Proses tersebut dipraktikkan oleh Arso Tunggal dalam bidang pengobatan dan pertanian. Pengobatan alternatif merupakan penerapan kasih terhadap sesama manusia yang membutuhkan kesembuhan dari penyakit, pertanian alternatif merupakan penerapan semangat membantu para petani untuk maju, mandiri, berdaya saing, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Tiga inti ajaran humanisme kejawèn yang kemudian dikembangkan itulah, yang menurut penulis, menjadi landasan gerakan Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian. Hu-manisme yang menghasilkan pakarti, yang kemudian disebut

oleh paguyuban ini sebagai “memodernisasikan Jawa” adalah

bentuk nyata gerakan berbasis humanisme kejawèn, mengang-kat kearifan lokal Jawa, agar dapat mengikuti perkembangan zaman.

Pengobatan

(16)

antara lain tuma (kutu) dan pisang emas untuk mengobati penyakit hepatitis.2

Konsep pengobatan dengan kutu dan pisang emas itu dikembangkan bekerja sama dengan pihak Jepang, kemudian menghasilkan interveron (obat untuk penderita hepatitis). Penemuan formulasi interveron berawal dari penelitian Djoko Murwono tentang pengobatan Jawa dengan kutu dan pisang emas. Penelitian awal itu ia lakukan tahun 1985, hasilnya ia tawarkan ke seniornya satu almamater (UGM), tapi tidak men-dapat tanggapan positif.

“Bahkan, hasil penelitian saya tentang tuma dan pisang emas itu dianggap gugon tuhon, saya dianggap paranormal. Hasil penelitian saya itu malah dibuang ke tempat sampah, lalu saya ambil dan saya opèni lagi. Karena Indonesia tidak mau, ya saya jual ke pihak Jepang, waktu itu melalui perusahaan rokok Gudang Garam yang memang memiliki relasi dengan perusa-haan Sumitomo, Jepang,” kata Djoko.

Interveron mulai diproduksi secara massal di Jepang tahun 1992, setelah melalui uji coba pada hewan dan manusia. Setelah itu, pihak Sumitomo menawari kepada dia untuk mela-kukan berbagai macam penelitian untuk dipilih dan dikem-bangkan di Jepang. Sejak saat itu, Djoko Murwono melakukan berbagai penelitian. Sampai saat ini, dia sudah menghasilkan 60 formulasi obat bio fito farmaka, selain sarana produksi pertani-an.

Secara resmi hak paten obat-obat tersebut dimiliki oleh Jepang, namun formulasinya hasil karya Djoko Murwono. Dia

2 Pengalaman penulis: dulu sewaktu masih kecil, kalau mengidap sakit

(17)

mendapatkan jasa produksi. Hasil karya itu didorong oleh semangat memberikan bantuan kepada masyarakat untuk men-dapatkan obat-obat dengan harga murah.3

Arso Tunggal bisa menjual obat-obat dengan harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga umum, karena Djoko Murwono memberikan subsidi lewat jasa produksi yang dia peroleh. Sebanyak 90 persen dari seluruh jasa produksi yang seharusnya dia peroleh diberikan untuk kesejahteraan di bidang sosial dan kesehatan internasional (international social and health welfare) yang dikelola Sumitomo Group. Subsidi tersebut antara lain disalurkan lewat United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), organisasi internasional untuk masalah pengungsi, dan yang lebih besar lagi lewat World Health Organization (WHO), organisasi PBB di bidang kesehatan.

Djoko juga memberikan subsidi yang diambil dari tiga persen jasa produksi untuk pendidikan generasi muda calon-calon pemimpin di Asia Pasifik melalui perguruan tinggi di Jepang, yaitu Sofia University dan Hiroshima University. Be-rikut ini kutipan wawancara penulis dengan Djoko Murwono:

Bagaimana sebenarnya mekanisme pemberian royalty untuk Pak Djoko? Itu urusan Jepang mas. Saya tidak mau tahu, karena kalau saya tahu malah jadi

beban moral saya. Lebih baik saya tidak tahu.”

Kalau semua royalty diterima, kira-kira berapa jumlahnya? Ya, hitung saja, misalnya interveron itu per mg harganya 10 dolar AS. Sekarang produksinya Jepang satu minggu sekitar 3 kwintal (atau 300 kg, atau 300

juta mg), hitung saja berapa… Untuk BIDJEVIC (Bio

Immunity Development for Japanese Virus and Cancer

3

(18)

Effect), produksi 4 kwintal per hari, tinggal hitung saja dikalikan Rp 300.000. Tapi, saya tidak mau menghi-tung, nanti kejebak pada uang.

Mengapa Pak Djoko tidak ambil seratus persen royalty itu? Sebenarnya saya bisa ambil seratus persen, tapi itu bukan nurani saya. Kalau saya sampai melanggar itu, saya terbelenggu uang. Saya hanya terima 5.000 dolar per bulan, itu pun banyak untuk nomboki kegiatan Arso Tunggal. Setahun ‘buku merah’ (daftar pasien yang menunggak memba-yar obat di

Arso Tunggal) sampai Rp 150 juta… Itu harus dibayar.

Ya, saya yang harus bayar. Uang royalty itu saya terima sebagai inspecstion fee, bukan dengan nama royalty.

Harga Nopkor misalnya, Rp 180.000 per liter, harga internasional 18 dolar per liter, di Indonesia dijual 8 dolar per liter, nah selisih harga itulah subsidi saya. Ini jangkanya sampai 2015. Begitu pula dengan obat-obatan dan sarana produksi pertanian yang lain, saya memberikan subsidi lewat Sumitomo. Tidak lewat pemerintah Indonesia, karena ini bukan government to government (G to G), tapi P to P (person to person). Kalau lewat pemerintah, bocornya kakéhan.

Kegiatan kami diaudit oleh lembaga internasional Black Forest Rangers, organisasi yang dulunya termasuk Kelompok Roma (Club of Rome), tapi yang khusus mencari dana. Obat-obat tersebut diproduksi di Indonesia dalam bentuk kapsul dengan mikroba yang didatangkan dari Jepang, disalurkan untuk pengobatan oleh Arso Tunggal melalui perkumpulan pengobatan Hati Kudus.4

4 Mengenai Hati Kudus, Djoko menjelaskan: Hati Kudus mulai 1984.

(19)

Stansol misalnya, minuman penambah nutrisi untuk kesehatan. Minuman ini diproduksi dengan bahan-bahan baku lokal, yaitu akar alang-alang, wimbo, kunir putih, temu lawak, minyak bawang putih, minyak wijen, minyak yaitun, bio ATP, pinicilium, rhizopus, galaktosa, arabinosa, manosa, polen, vitamin A, D, E, C, dan B, serta sukrosa, dan glukosa.

Di Asia Tenggara, distribusi obat-obat bio fito farmaka (dan juga industri agro yang dikembangkan Jepang) diawasi oleh UD Asoka, yang dipimpin Ny. Djoko Murwono. Selain di Semarang, pos pengobatan Arso Tunggal juga ada di Sorong, Nabire, Jayapura (Papua), dan Ketapang (Kalimantan Barat). Untuk pos-pos di luar Jawa tersebut, administrasi keuangannya mulai ditangani oleh Asoka, bukan lagi di bawah Arso Tunggal.

Obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang proses pembuatannya melalui rekayasa bio teknologi berbahan baku herbal. Ramuan-ramuan herbal diekstraksi, hasilnya disebut fito. Fito diekstraksi lagi dengan mikro organisme, hasilnya disebut bio.

Djoko menjelaskan, dari satu kilogram ramuan herbal diekstraksi menjadi 12,5 gram fito farmaka, kemudian diekstraksi lagi (dibagi 30), menjadi kira-kira 450 miligram. Jadi, kalau seseorang minum tiga kapsul obat bio fito farmaka sama

(20)

dengan meminum sekitar satu kg ramuan jamu. Rumusnya, satu kg ramuan herbal dibagi 80 menjadi fito, kalau dibagi lagi 40 menjadi bio. Kalau bio itu diekstraksi lagi menjadi cairan untuk injeksi. Kelebihan obat bio fito farmaka adalah lebih aman bagi tubuh manusia.

Penjelasan metabolisme sebagai berikut: obat yang diminum manusia, diserap oleh zat aktif mikroba dalam usus, mikrobanya mati, sel-selnya pecah, dan diserap dinding usus, sehingga akan memengaruhi ketahanan usus manusia. Dalam teknologi bio fito farmaka, metabolisme itu dilakukan di luar tubuh manusia (disebut secara infitro); bahan aktif dicampur dengan makanan mikroba usus, sehingga mikroba berkembang biak di luar tubuh manusia. Sel-sel mikroba tersebut dituai, dikumpulkan, difragmasi, kemudian dimasukkan membran (di-saring), hasil saringan pertama adalah obat-obat oral (diminum), adapun hasil saringan kedua menjadi obat cair untuk injeksi.

Dengan proses infitro, bisa diketahui lebih dulu apakah obat-obat itu menyebabkan mikroba mati atau tidak, dengan kata lain dapat diketahui obat itu layak atau tidak dikonsumsi manusia. Jadi, obat bio fito farmaka lebih aman dibanding dengan obat-obat kimia, terlebih lagi obat-obat kimia biasanya juga mengandung logam berat.

Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa obat-obat bio fito farmaka adalah obat-obat yang aman bagi usus, karena tidak mematikan mikroba yang justru bermanfaat bagi kesehatan manusia. Karena tidak mematikan mikroba itu, maka daya tahan usus tidak terganggu. Di sinilah terletak perbedaan antara obat-obat bio fito farmaka dan obat-obat kimiawi-modern.

(21)

penyebab penyakit. Padahal, sesungguhnya obat-obatan adalah racun yang bukan hanya menghancurkan mikroba berbahaya, melainkan juga menghancurkan mikroba yang menguntungkan, terutama mikroba/bakteri yang berada dalam usus. Dengan demikian, obat-obatan cenderung merusak kondisi usus, sehingga ujung-ujungnya adalah rusaknya kesehatan tubuh kita.

Shinya memberi contoh obat antibiotika, tidak hanya menghancurkan kuman yang diincar, tapi juga bakteri berman-faat. Dengan terganggunya bakteri bermanfaat, keseimbangan bakteri usus juga terganggu dan produksi enzim untuk kese-hatan sistem kekebalan menurun. Alhasil, tingkat kesekese-hatan pun menurun.

Menurut Djoko, sampai saat ini di dunia terdapat 600 jenis obat kategori teknologi bio, 124 di antaranya berada di Jepang, dan dari 124 itu sebanyak 60 jenis merupakan hasil pe-nelitiannya. Dia mengaku bahwa penelitian adalah panggilan hidupnya, itulah sebabnya dia dikenal sebagai peneliti di bidang rekayasa teknologi bio (bio technology engineering).

Penelitian, bagi dia, harus bermanfaat bagi kemanusiaan dan mempunyai nilai jual. Dia memberi contoh, salah satu penelitiannya menghabiskan dana 10.000 dolar AS, maka ia akan menawarkan ke Jepang nilai penelitian itu 60.000 dolar AS; 10.000 dolar AS untuk penelitian pendahuluan yang sudah ia lakukan, sisanya (50.000 dolar AS) diinvestasikan untuk penelitian lain yang lebih besar lagi, terutama dalam hal man-faatnya bagi kemanusiaan.

Penelitian pendahuluan untuk sarana produksi pertanian (Nopkor) yang ia lakukan menghabiskan dana 5.000 dolar AS, tapi ia mendapat dana dari Jepang 30.000 dolar AS. Penelitian pendahuluan untuk obat penyakit jantung menghabiskan uang

(22)

adalah investasi untuk penelitian-penelitian yang hasilnya akan berkembang lama. Saya selalu terus terang dengan pihak Je-pang, penelitian awal habis sekian dolar, saya jual sekian dolar.

Kalau mau ya tinggal tanda tangan…” kata Djoko Murwono.

Ia mengkritik peneliti-peneliti Indonesia, yang kebanyak-an tidak mempertimbkebanyak-angkkebanyak-an segi mkebanyak-anfaat bagi kemkebanyak-anusiakebanyak-an dan memandang penelitian sebagai proyek saja. Karena itu, di bidang penelitian ini Indonesia tertinggal selama enam dekade (60 tahun) dari negara-negara lain.

Djoko pun mengungkapkan, banyak kearifan lokal Jawa yang tidak tergarap dengan baik, bahkan sekarang hilang, misalnya pemanfaatan peté untuk mengobati penyakit. Peté mengandung bahan tertentu untuk menurunkan kadar gula dalam darah, agar baunya tidak menyengat maka peté bisa dibuat acar. Caranya, bagian dalam peté dikupas, tapi kulit kerasnya dibiarkan. Kearifan lokal seperti itu yang sharusnya dikembangkan. Ketika kecil, dia diajari oleh éyang di Yogyakarta, cara membuat acar peté, dicampur bawang dan brambang. Proses pembuatannya sekitar satu minggu. Melalui proses itu, maka rasa peténya halus sekali.

Paguyuban Arso Tunggal melakukan praktik pengobatan alternatif tersebut di dua tempat, yaitu di padepokan Bulusan Selatan setiap hari Minggu dan di rumah Djoko Murwono di Jalan Plamongan Indah Raya 479, Semarang setiap hari Kamis dan Jumat.

(23)

Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:

Subiyanto, salah seorang prajurit Arso Tunggal menjelas-kan, untuk mencapai tingkatan prajurit seseorang harus melalui ujian dan pelatihan. Mereka melakukan puasa selama 40 hari dengan pantang makanan tertentu, setelah itu dilatih melaku-kan terapi dengan menggunamelaku-kan alat berupa dua tongkat kayu sepanjang kira-kira 30 centimeter. Saat ini, ada enam prajurit yang selalu siap melayani pengobatan.

(24)

Pertanian

Di bidang pertanian, Arso Tunggal membangkitkan kemandirian petani, yang hilang karena revolusi hijau dan pertanian transgenik. Langkah tersebut dilakukan melalui penerapan Sistem Pertanian Organik Rasional (SPOR).

Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat revolusi hijau.5 Revolusi hijau menurunkan kuantitas dan

kualitas pro-duksi pangan, mengakibatkan biaya produksi pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan.

Gerakan pertanian organik pada umumnya dimengerti sebagai gerakan budidaya pertanian yang anti pemakaian pupuk anorganik dan (terlebih lagi) pestisida. Dua sarana produksi pertanian (pupuk anorganik dan pestisida) itu digunakan secara masif dalam sistem pertanian modern atau yang dikenal sebagai revolusi hijau. Dari awal yang kecil, kini gerakan pertanian organik makin meluas. Makin banyak konsumen pangan yang membutuhkan produk-produk organik, karena alasan kesehatan dan rasa yang lebih segar.

Sesungguhnya pertanian organik telah diterapkan pada pra-revolusi hijau, yakni sebelum tahun 1970-an. Pada era itu, penyediaan benih dilakukan petani secara mandiri, dengan menyisihkan sebagian hasil panen. Ada kalanya benih didapat dari lumbung padi di desa yang dikelola secara kolektif.

Lumbung padi dalam hal ini juga berfungsi sebagai “pertahan

5

(25)

an” manakala ada warga desa yang mengalami krisis pangan

atau butuh bibit untuk tanaman.

Di sisi lain, sarana produksi pertanian juga disediakan sendiri. Pupuk tanaman berasal dari kompos, humus, atau kotoran hewan. Cara menanggulangi hama (burung dan tikus) pada umumnya dilakukan secara mekanis. Cara-cara kimiawi belum dikenal. Serangga-serangga yang sekarang jadi hama yang mengancam, dulu bukanlah hama. Mereka menjadi hama, ketika tersedia makanan dalam jumlah berlimpah, berupa jarringan tanaman pangan yang lunak karena pemupukan N (urea) dan asupan air yang berkelimpahan. Pada saat itu, pestisida dibutuhkan untuk membasminya.

Revolusi hijau atau modernisasi pertanian (pangan) yang berbasis benih unggul hasil persilangan dan pemuliaan – cirinya rakus asupan kimiawi (khususnya pupuk anorganik) dan air – dan mampu memberikan hasil berkali lipat serta waktu tanam lebih pendek dibanding bibit-bibit lokal, mengubah segalanya. Hubungan patron-klien di desa menjadi terkikis. Lumbung padi mengalami kematian secara sistematis. Benih-benih tanaman tidak lagi disediakan sendiri, karena pertanian modern itu mewajibkan benih-benih hasil persilangan yang tersertifikasi (oleh industri benih atau balai penelitian benih) dan harus dibeli.

Orde ekonomi pasar yang hadir bersama revolusi hijau juga melahirkan lembaga-lembaga tata niaga produksi pertanian pangan, seperti KUD, Dolog, dan Bulog, yang secara sistematis mematikan lumbung desa. Penerapan revolusi hijau selama puluhan tahun telah membawa perubahan radikal dalam cara berpikir dan bersikap petani, yang makin pragmatis.

(26)

tetangga-tetangga yang berkekurangan, karena hubungan patron-klien makin terkikis. Demikian pula interaksi dengan lahan dan tanamannya. Ketika melihat serangga, langsung semprot dengan pestisida, jika perlu mengoplos sendiri berbagai pestisida yang tersedia. Jika tanam-an padi masih kelihatan kuning, tebar urea untuk menjadi-kannya hijau dan subur.

Di tingkat global, sesungguhnya produk-produk trans-genik – yang lebih eksploitatif dari revolusi hijau – makin me-masyarakat dan mengakar. Akibatnya, makin terjadi kecende-rungan monopolistik dalam penyediaan benih oleh perusahaan-perusahaan transnasional, kecenderungan penyeragaman pola tanam yang akan menggilas keanekaragaman hayati, serta makin masif dalam pemakaian insektisida dan herbisida. Dunia ketiga makin teracuni, sementara perusahaan-perusahaan benih dan pestisida makin menggurita, terlebih lagi didukung oleh sistem neoliberalisme. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak jelas terhadap produk transgenik membuat produk-produk itu tidak tersaring, tak terseleksi, dan tak terbendung masuk di negeri ini.

Pola pemikiran Arso Tunggal itu selaras dengan pendapat Hiromi Shinya (2010:42-43) yang mengung-kapkan, pertanian zaman sekarang sudah terjebak pada

ketergantungan berlebihan terhadap “obat kimiawi.”

Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia dan pestisida di lahan garapan untuk menambah hasil panen dan meningkatkan efisiensi pertanian. Biasanya pestisida berupa zat kimia seperti insektisida, fungisida, dan herbisida yang digunakan untuk membunuh serangga, bakteri penyebab penyakit tanaman, atau membunuh tanaman liar. Saat ini tercatat sekitar 5.000 jenis pestisida yang terdaftar.

(27)

di pabrik. Nitrogen yang diperlukan daun, fosfat yang diperlukan buah, dan kalium yang diperlukan akar disatukan dalam pupuk NPK. Bagian-bagian pupuk kimia langsung diserap tanaman, menjanjikan panen yang baik dalam waktu singkat. Masalahnya,

ketergan-tungan mutlak terhadap pupuk kimia akan

menyebabkan rusaknya keseimbangan mineral dalam tanah akibat terlalu banyak tiga mineral (nitrogen, fostat, dan kalium). Kemudian, ada masalah pada sifat tak organiknya pupuk kimia, yang tidak memelihara mikroorganisme dalam tanah. Akibatnya, ketergan-tungan pada pupuk kimia menyebabkan merosotnya kualitas tanah.

Tahun 1992-1993 Djoko Murwono memperkenalkan SPOR di Bangkok, Thailand. Di negara itu, teknologi tersebut bisa berkembang dan sekarang menghasilkan produk-produk pertanian yang maju, bahkan juga berkembang di Myanmar dan Vietnam. Tahun 1994 ia memperkenalkan SPOR di Indonesia, tapi tidak bisa berkembang dengan baik.

Sistem Pertanian Organik Rasional juga mengajak petani untuk melakukan aktivitas:

(28)

terlestarikan dan termuliakan. Petani tidak lagi tergantung pada industri benih.

2. Memproduksi pupuk sendiri (biosol/kompos). Pupuk yang dibuat – yaitu biosol atau kompos – berbahan dasar kotoran hewan dan seresah sampah, yang di-perkaya unsurnya lewat asupan mikroba atau NPK bacter (Nopkor). Mikroba ini, selain mampu mengurai unsur NPK dari bahan organik, juga dapat mengurai sisa-sisa pupuk anorganik dari pemupukan sebelum-nya, menjadi hara yang sangat kaya dan mudah terserap tanaman. Dalam hal ini, SPOR tidak anti pemakaian pupuk anorganik. Pemakaian pupuk anorganik majemuk (berunsur NPK) dalam jumlah terbatas akan membantu menghidupkan mikroba pengurai (NPK bacter), serta memperkaya unsur-unsur NPK dalam kompos. Kekayaan unsur-unsur ini yang membedakannya dengan pertanian organik kon-vensional yang mengandalkan sepenuhnya pada mekanisme alam, sehingga lama proses pelapukan oleh mikroba dan unsur haranya tidak terlalu kaya. 3. Memproduksi sendiri “Miradan,” pestisida ramah

lingkung-an. Ramuan anti hama “Miradan” ini berbahan aktif Demplop, pestisida organik yang bersifat alifatis; jika terkena terpaan panas dan ultraviolet akan terurai menjadi pupuk organik. 4. Memperkenalkan pemakaian pupuk daun (lipotril).

Jika kompos menyediakan hara makro bagi tanaman, maka pupuk daun menyediakan hara mikro, serta sangat efektif untuk membantu proses pembungaan dan pembuahan, karena langsung masuk ke kloropil tanaman.

(29)

pun mereka suka. Tapi, Arso Tunggal berusaha menyediakan alternatif pemasaran, dengan menda-tangkan pembeli produk pertanian organik.

Dari sisi pencapaian produksi, dengan hasil panen 7,5 ton gabah kering giling per hektare dalam hitungan ubinan dengan usia sekitar 100 hari, paket SPOR sangat bisa bersaing dengan produksi padi pertanian modern atau pertanian transgenik melalui produk-produk hibrida. Hal itu bukan menjadi satu-satunya ukuran kelestarian SPOR. Masih ada hal-hal lain yang dijadikan acuan, seperti: apakah biaya produksinya lebih murah, apakah faktor-faktor produksi selalu tersedia dan mudah diakses, apakah harga jualnya lebih tinggi, serta apakah proses produksinya tidak merepotkan.

Kalau penerapan SPOR bisa lestari, dan dalam jangka panjang meluas lagi, maka hal ini memberi sumbangan yang sangat positif pada rantai pasokan pangan yang berkeadilan, karena: tanah bisa menjadi makin sehat dan subur; biaya produksi makin berkurang; produksi makin tinggi; bibit-bibit lokal termuliakan; soliditas masyarakat desa makin tinggi; ketergantungan pada benih, pupuk, dan pestisida dari luar makin berkurang; hasil pertanian makin lebih bermutu dan sehat, dan dampak positifnya; masyarakat mengonsumsi hasil pertanian yang lebih berkualitas dan sehat.

(30)

Sekalipun oleh penggagasnya SPOR dijadikan sarana untuk melakukan resistensi terhadap sistem pertanian modern yang eksploitatif dan menciptakan ketergantungan, pertim-bangan ideologis itu bukanlah yang utama di tingkat petani pelaksananya. Pertimbangan pragmatis lebih utama, maka agar bisa tumbuh dan berkembang SPOR harus teruji di level pragmatis, artinya mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan pragmatis petani: lebih banyak hasil produksinya, lebih baik hasil jualnya, lebih ringan biaya produksinya, dan lebih mudah melakukannya.

Salah satu kegiatan SPOR Arso Tunggal adalah penerapan sistem ini di Desa Babakan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Panen perdana padi organik di wilayah itu dilakukan pada Kamis, 25 Maret 2010. Secara total, terdapat 32,232 hektare lahan padi organik yang dipanen. Lahan-lahan itu tersebar di 14 desa, yaitu Desa Tegalsari Timur Kecamatan Ampel Gading, dengan luasan panen 8,085 hektare, Babakan Bodeh (6,66 hektare), Loning, Petarukan (5,33 hektare), Ujunggede, Ampelgading (2,66 hektare), Cibuyuk, Ampelgading (2,31 hektare), Jojogan, Watukumpul (2,30 hektare), Desa Taman, Kecamatan Taman (1,66 hektare), Pedurungan, Taman (1,165 hektare), Pesantren, Ulujami (0,66 hektare), Desa Petarukan, Kecamatan Petarukan (0,33 hektare), Danasari, Pemalang (0,33 hektare), Sarwodadi, Comal (0,33 hektare), Kendalsari, Petarukan (0,247 hektare), dan Sungapan, Pemalang (0,165 hektare).

(31)

Gerakan pertanian organik di Kabupaten Pemalang ber-langsung bersamaan dengan gerakan pemasyarakatan sertifikasi lahan masyarakat yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Pemalang.

Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:

Penerapan SPOR secara luas (32,23 hektare) untuk tahap pertama penanaman padi maupun padi beras merah juga dilatarbelakangi “kisah sukses” sistem yang digunakan itu untuk

“menyembuhkan” lahan sawah milik Bupati Pemalang di Desa

Loning Kecamatan Petarukan yang lama tidak produktif karena kadar keasamannya yang tinggi. Lahan sawah di Desa Loning

(32)

tersebut telah bertahun-tahun tidak produktif, banyak cara telah digunakan untuk membuatnya kembali produktif, bahkah pernah di lahan itu ditanami mangga, tetapi hasilnya tetap tidak subur dan berbuah.

Sebelum di Pemalang, Arso Tunggal telah menerapkan SPOR dalam skala yang terbatas di daerah Kendal, Purwodadi, Salatiga, dan Sleman DIY, untuk budidaya komoditas padi lokal, beras merah, kacang hijau, lombok, tembakau, dan markisa.

Untuk pertanian organik rasional, sebenarnya Arso Tung-gal telah memulainya sejak awal tahun 1990, namun berhenti pada tahun 1997 karena persoalan manajemen. Gerakan ini mulai dihidupkan kembali pada tahun 2007.

Dalam upaya memberdayakan para petani, Paguyuban Arso Tunggal Djoko Murwono berusaha menghidupkan kem-bali konsep lumbung desa. Dasar pemikirannya adalah, dalam konsep lumbung desa para petani selalu membuat bibit sendiri dan berjalan secara mandiri. Untuk mendapatkan bibit pangan, selain secara mandiri juga menjadikan bibit yang secara iklim teradaptasi; proses aklimatasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi cuaca dan iklim setempat.

Kapitalisasi dalam bidang agro, mendorong pembuatan bibit – dengan berbagai alasan, harus tergantung dengan bibit yang dibuat pabrik serta dengan alasan sudah tersertifikasi – menyebabkan terjadinya gagal panen karena kualitas bibit yang tidak memadai.

(33)

terobosan teknologi yang lebih memadai serta bersifat pendampingan yang berujung pada kemandirian. Langkah yang perlu ditempuh adalah penguatan kearifan lokal, dimulai dengan penerapan konsep lumbung desa; menyimpan sebagian hasil panen untuk persediaan pangan di masa sulit dan pembenihan dilakukan secara mandiri.

Sekarang, posisi tawar petani sangat rendah, karena dari awal sudah dibebani kewajiban membayar utang, sehingga sawah diijonkan. Akibatnya, walaupun sebagai pemilik lahan, petani tidak ubahnya sebagai petani penggarap belaka. Petani tidak menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Teknologi yang diterapkan seharusnya dapat lebih meng-aktualisasikan kearifan lokal yang ada, sehingga memperkecil kemungkinan kegagalan. Contoh kearifan lokal Jawa dalam pertanian: membaca tanda musim dengan berbagai ilmu per-bintangan, tanda hewan tertentu mulai muncul akan dimulai dengan bercocok tanam jenis tanaman yang sesuai. Misalnya, apabila ada bunyi serangga tenggeret, maka yang paling cocok adalah mulai menyebar tanaman kacang hijau atau kedelai, karena akan panen di tengah musim kemarau, sehingga tanpa terhalang dalam pengeringan oleh sinar matahari. Apabila mulai banyak angin dan setelah puncak bunga turi selang sebulan, mulai menggarap tanah sawah. Selain itu, perlu mengistirahatkan lahan pertanian atau pergantain tanaman dengan tujuan memotong masa inkubasi hama tanaman.

(34)

Melalui SPOR, Arso Tunggal melakukan pendampingan kepada para petani, dengan tujuan agar petani lebih mandiri dan berdaya menghadapi perubahan yang terjadi. Pendamping-an dilakukPendamping-an untuk menyejahterakPendamping-an umat secara keseluruhPendamping-an.

Teknologi yang diterapkan meliputi: teknologi pemulia-an bibit lokal, pengelolapemulia-an lahpemulia-an, pembuatpemulia-an sarpemulia-ana pertpemulia-anipemulia-an, terutama pupuk organik, pestisida alifatis yang sistemis dengan racun alami, pemanenan dan teknologi lepas panenan, serta model perdagangan dan permodalan, sehingga mengurangi jumlah petani yang terkena ijon.

Desa adalah tatanan masyarakat agraris yang sesungguh-nya, yang merupakan sumber bahan pangan masyarakat perkotaan. Ironisnya, pemerintah cenderung melakukan regulasi dan stabilisasi harga pangan, tetapi kurang memikirkan fungsi dan peran desa sebagai penyangga ekonomi dan sosial secara nasional. Keberpihakan pemerintah pada masyarakat perkotaan, dalam banyak hal merugikan masyarakat pertanian pedesaan, sehingga dalam kurun waktu yang panjang akan menghancurkan peran dan fungsi desa.

Dalam stabilisasi harga pangan, pemerintah selalu meng-gunakan hukum ekonomi kapitalistik, karena pengendalian moneter dipegang secara langsung oleh negara; penyeimbangan antara persediaan dan permintaan (supply and demand). Pada saat panen raya, dengan sendirinya harga pangan, terutama beras, akan menjadi murah, tetapi pemerintah tidak pernah berperan untuk menjaga stabilitas harga, justru menyerahkan-nya pada mekanisme pasar. Akibatmenyerahkan-nya, harga pangan menurun tajam karena banyak persediaan melimpah.

(35)

Hal itu kemudian mengakibatkan rendahnya tingkat kesejah-teraan petani di pedesaan. Dampak berikutnya, terjadi alih profesi kelompok muda pedesaan, dari petani menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar di perkotaan.

Djoko menyebutkan, konsep yang diterapkan pemerintah

dalam kaitannya dengan pembangunan adalah konsep ”kota

mengepung desa,” bukan kota yang dikepung dan dihidupi oleh desa. Padahal, yang diperlukan pembangunan nasional saat ini adalah konsep keseimbangan sosial dan ekonomi, saling ber-sinergi dan saling menguntungkan antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Itulah sebabnya, perlu dilakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa yang ber-basis pertanian, agar menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kearifan lokal masyarakat pertanian pedesaan perlu di-bangkitkan lagi. Kearifan lokal itu penuh dengan aspek keber-samaan yang dimulai sejak kecil, ketika ikatan kekeluargaan merupakan terminal dalam mengatasi kesulitan hidup.

Ung-kapan ”mangan ora mangan, waton kumpul” (”makan tidak

makan, yang penting kumpul”) sesungguhnya mencerminkan

solidaritas masyarakat desa untuk saling berbagi. Begitu pula budaya rewangan dan nyumbang (saling membantu kalau ada tetangga punya hajat), gugur gunung (saling membantu dan merawat sarana pedesaan), sambatan (saling membantu dalam membangun rumah). Ciri masyarakat pedesaan itu seharusnya dikembangkan lagi untuk menghadapi gempuran budaya glo-balisasi.

Pembinaan keakraban dan kekeluargaan itu diisyaratkan

lewat tembang ”Ilir-ilir” berikut ini:

Lir ilir, lir ilir tanduré wus sumilir

(36)

Dhodhot ira, dhodhot ira kumitir bedhah ing pinggir Domana jlumantara, kanggo seba mengko soré Mumpung gedhé rembulané, mumpung jembar platarané

Dha suraka, surak horé!

Terjemahan bebas tembang itu adalah:

Bangun dan bangunlah, tanaman padi mulai bertahan hidup/Tanaman itu tampak hijau segar, seperti kehi-dupan pengantin baru/Anak gembala tolonglah panjat pohon belimbing itu/Walaupun licin tetaplah dipanjat, sebab akan digunakan mencuci kain yang dipakai/Jarik yang sobek pinggirnya supaya dijahit/se-bab akan di-pakai resepsi nanti sore/Semampang bulan terang, semampang luas halaman rumah/Marilah semua ber-sorak dan bergembira.

Itulah pesan budaya, yang sekilas tanpa makna dan arti, namun sebenarnya sarat dengan rasa syukur dalam kebersa-maan dan kesederhanaan. Itulah modal besar yang dapat digu-nakan untuk melewati krisis multidimensional yang sekarang melanda dunia, karena kota menjadi modern, individualistis, materialistis, serta tidak lagi memiliki kepedulian dan solidari-tas.6

6Keterangan Djoko bahwa tembang ”Ilir-ilir” merupakan isyarat keakraban

dan kekeluargaan masyarakat pedesaan berbeda dari pengetahuan yang selama ini berkembang. Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa tembang tersebut hasil karya Sunan Kalijaga, namun Solichin dalam buku Sekitar Wali Sanga

(dalam Purwadi dkk, 2005:190-192) menjelaskan, belum dapat dipastikan apakah pengarang tembang itu Sunan Kalijaga atau Sunan Bonang. Pada awal tahun 1962, Lembaga Kantor Berita (LKBN) Antara pernah menurunkan

tulisan yang mengulas tembang itu. Disebutkan, ”Ilir-ilir” merupakan karya Sunan Kalijaga dan dimaksud untuk memberitahukan bahwa telah tiba saatnya untuk menggempur Majapahit, sebagai pencanangan perang. Pembesar-pembesar dari pesisir yang telah memeluk Islam menunggu saat yang tepat untuk menyerang Majapahit. Tulisan itu mendapat sorotan tajam, terutama dari Islam garis keras. Banyak ahli yang menyatakan bahwa

(37)

Ciri-ciri kehidupan sosio-kultural masyarakat desa Jawa itu, oleh Purwadi (2005:71-73) dinyatakan sebagai berikut:

1. Menjunjung kebersamaan: diwujudkan dalam bentuk kerja bakti, gotong royong, gugur gunung, sambatan, jagongan, dan rewang;

2. Suka kemitraan: siapa saja yang datang dianggap sebagai saudara;

3. Mementingkan kesopanan: terwujud dalam istilah antara lain unggah-ungguh, tata krama, tata susila, basu krama, dan suba sita;

4. Ahli musim: di balik kesederhanaan, ternyata masya-rakat Jawa sangat paham terhadap pergantian musim (pranata mangsa). Mereka mengerti soal pergantian musim, terutama berkaitan dengan masa tanam dan masa panen (musim penghujan, musim kemarau, labuh, marèng);

5. Pertimbangan religius: sistem kepercayaan masyara-kat Jawa selalu berhubungan dengan agenda tindak-annya; selalu mencari hari pasaran yang baik setiap akan melakukan kegiatan. Di pedusunan banyak

tersebut, makna kalimat Ilir-ilir, ilir-ilir tanduré wis sumilir adalah makin subur dan tersiarlah agama Islam yang disiarkan oleh para wali dan mubalig;

(38)

dijumpai upacara tradisional yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yang diwariskan dari generasi ke generasi;

6. Toleransi tinggi: segala kejadian di luar dirinya dibi-arkan saja berjalan secara alami. Orang mudah me-maafkan kesalahan orang lain;

7. Hormat pada pemimpin: masyarakat pedesaan selalu menaruh hormat kepada para pemimpinnya;

8. Hidup pasrah: masyarakat pedesaan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa dalam setiap menghadapi masalah kehidupan;

9. Cinta seni: masyarakat pedesaan menyukai keseni-an, terutama kesenian tradisional yang berkembang di wilayah mereka;

10. Dekat alam: kedekatan dengan alam ini misalnya tercermin dari cara masyarakat pedesaan menyebut matahari (dengan Sang Hyang Surya), bulan (Sang Hyang Candra), dan angin (Sang Hyang Bayu).

Kedekatan masyarakat Jawa pada alam juga tercermin dari

ungkapan ”ibu bumi, bapa angkasa,” bahwa bumi adalah simbol ibu yang menumbuhkan tanaman, langit adalah simbol ayah karena melindungi dan menurunkan hujan.

(39)

Ironis, di Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris, pemerintah justru memberikan subsidi bukan pada pelaku pertanian, melainkan kepada pada broker pertanian dan pelaku pasarnya. Akibatnya, alih fungsi profesi dan lahan selalu terjadi dan sektor pertanian makin tidak populer sebagai penyerap tenaga kerja. Pemerintah tidak mampu melindungi dan menye-jahterakan para petani. Kenyataan itu menjadi salah satu penye-bab meningkatnya arus urbanisasi.

Masalah urbanisasi bukan sekadar kesenjangan partum-buhan ekonomi desa-kota, melainkan juga masalah budaya sebagai akibat dari pergeseran nilai-nilai masyarakat pedesaan. Pergeseran itulah yang bisa disebut sebagai perubahan ruralism ke urbanism. Istilah ini mungkin kurang lazim, namun intinya adalah pergeseran cara pandang masyarakat pedesaan yang dulu merasa nyaman menjadi orang desa sekarang risi dianggap ndesa sehingga berusaha menjadi orang kota. Ada kerancuan pikir, seolah-olah kota adalah modern-maju sedangkan desa adalah keterbelakangan. Kerancuan ini pun dipicu oleh pemba-ngunan dan modernisasi yang dilandasi nilai-nilai kapitalistik Barat.

(40)

sebagai sentra pembangunan perekonomian masih menjadi slogan manis yang belum terlaksana.

Gambar 6:

Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:

Diskusi pengembangan pertanian organik dengan anggota DPRD DIY dan LSM:

Akibat berikutnya, pembangunan masih terkonsentrasi di perkotaan. Anggaran pembangunan dan peredaran uang menumpuk di kota-kota besar. Pembangunan infrastruktur memang sudah masuk desa-desa, tapi, karena tidak diimbangi ketahanan budaya, maka hasilnya justru menjadi sarana

(41)

masuknya nilai-nilai kapitalisme Barat, bukan menjadi pemicu kebangkitan potensi lokal.

Urbanisme sebagai pola pikir ibarat pondasi yang rapuh. Kebijakan ekonomi yang pro-perkotaan adalah tiang-tiang yang tidak kokoh. Akibatnya, masyarakat menjadi bangunan yang mudah guncang akibat pengaruh dari luar.

Menghadapi kenyataan itu, pendampingan yang dilaku-kan Paguyuban Arso Tunggal lewat SPOR diarahdilaku-kan agar para petani mampu memproduksi hasil pertaniannya secara mandiri dan membuka peluang ke pasar global. Cara itu diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani, karena harga jual produk pertanian mereka dibeli dengan harga yang tinggi. Sampai saat ini, Arso Tunggal sudah membantu petani meng-ekspor produk mereka ke Korea Selatan dan sedang dalam penjajakan ekspor ke Belanda.

Konsep pengembangan lumbung desa dan SPOR itu telah menarik berbagai pihak. Djoko Murwono sering diundang oleh berbagai lembaga, baik lembaga pemerintah maupun swasta, untuk menjelaskan gagasan-gagasannya.

Perbandingan Arso Tunggal dan Humanisme Barat

Untuk memberikan gambaran lebih rinci, berikut ini perbandingan antara humanisme Arso Tunggal dan humanisme Barat.

Arso Tunggal dan Humanisme Klasik

(42)

manusia harus hidup di dunia dan berkarya untuk sesama manusia dan lingkungan?

Terdapat perbedaan antara pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal dan pemikiran humanisme Barat pada Periode Klasik. Humanisme Klasik sudah melepaskan diri dari pemi-kiran tentang alam dan terfokus sepenuhnya pada faktor manusia, adapun pemikiran Arso Tunggal masih diwarnai oleh pandangan tentang alam, seperti khas pandangan Jawa yang selalu mengaitkan jagad cilik dengan jagad gedhé (mikro-kosmos dan makro(mikro-kosmos), meskipun titik pusatnya tetap pada diri manusia sendiri.

Dibandingkan dengan pemikiran Sokrates, maka Arso Tunggal berpandangan bahwa hidup memang harus terus-me-nerus dikaji, untuk meningkatkan martabat manusia. Pemikiran ini teraplikasikan ke dalam pengkajian yang dilakukan lewat penelitian-penelitian ilmiah di bidang pengobatan untuk mem-bantu masyarakat yang sakit dan SPOR sebagai perwujudan niat memberdayakan petani.

Arso Tunggal mengembangkan pemikiran bahwa manusia memang terdiri dari tiga aspek, yaitu tubuh, jiwa, dan roh (seperti yang digambarkan Plato), tapi pemahaman itu berbeda dari pemahaman sebagian besar masyarakat Jawa yang cende-rung mengutamakan roh, kurang mengembangkan potensi jiwa dan tubuh. Arso Tunggal justru mengeksplorasi potensi jiwa tersebut untuk diragakan. Ungkapan yang digunakan adalah mengaktualisasikan krenteg yang diangkat ke ranah pikiran (karep), selanjutnya menjadi niat untuk bertindak (karsa), dan akhirnya terwujud dalam kegiatan konkret (karya). Mekanisme tersebut tercermin dari ritual ngraga sukma.

(43)

dan tubuh masih termasuk dalam dimensi kemanusiaan, bukan rohani. Dengan demikian, gerakan paguyuban ini mengutama-kan faktor manusia, dengan karya-karya nyata (benda konkret) seperti pandangan Aristoteles. Pemikiran yang dikembangkan Arso Tunggal bersifat sintesis antara pemikiran Plato – yang menganggap bahwa dunia ide adalah nyata dan dunia penga-laman hanyalah bayang-bayang dari dunia ide – memisahkan jiwa dari tubuh – dan pemikiran Aristoteles yang lebih meng-utamakan benda-benda nyata (atau karya-karya nyata) daripada pendambaan pada dunia ide.

Sintesis tersebut tergambarkan dari gerakan Arso Tunggal yang mengembangkan ide-ide tentang kearifan lokal Jawa ke dalam praktik nyata dalam pengobatan dan pertanian. Bagi Arso Tunggal, baik dunia ide maupun pengalaman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, melainkan justru harus di-sinergikan untuk mencapai karya yang bermanfaat bagi umat manusia. Sinergitas itu merupakan keterpaduan antara krenteg, karep, karsa, dan karya. Empat hal itu tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, untuk meningkatkan martabat kemanusia-an.

Arso Tunggal dan Humanisme Abad Pertengahan

(44)

Sifat humanisme gerakan ini terlihat dari motivasi ke-giatan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada kemampuan intelektual manusia daripada sekadar bertumpu pada kekuatan supranatural. Paguyuban ini mengembangkan dua pokok ke-giatan, yaitu pengobatan dan pertanian yang didasarkan pada riset ilmiah. Semangat yang mendasari kegiatan itu adalah tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan lebih penting daripada kepatuhan pada seremoni keagamaan atau pada kekuatan supranatural. Tuhan dipandang sebagai kekuatan Yang Maha Kuasa, yang menyinari kehidupan manusia, dan hanya memberi arahan-arahan dan rambu-rambu, tapi pada akhirnya manusialah yang memilih.

Dalam praktik kegiatan, Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa intelektualitas kemanusiaan adalah hal yang sangat penting dan menentukan kualitas manusia dalam kehi-dupan. Pemahaman yang dikembangkan adalah, bahwa masalah adikodrati (masalah sangkan paraning dumadi dan manunggali-ng kawula Gusti) tidak berarti tanpa tindakan nyata yamanunggali-ng bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan.

Kalaupun Arso Tunggal memercayai kekuatan Tuhan, maka hal itu ibarat cahaya yang menyinari tindakan manusia. Tuhan tidak melarang tapi memberi aturan-batasan, untung-celaka tergantung pada diri manusia sendiri. Ajaran tersebut menggambarkan, Paguyuban Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa sesungguhnya nasib manusia tergantung pada diri manusia sendiri. Pandangan ini sama dengan pandang-an humpandang-anis Abad Pertengahpandang-an, Thomas Aquinas.

(45)

krenteg-karep-karsa-karya. Kegiatan itu masih berada dalam ranah kemanusiaan, bukan ketuhanan.

Arso Tunggal mengkritik kaum agama yang lebih mementingkan tata cara ibadah (liturgi) daripada pelaksanaan ibadah itu ke dalam tindakan nyata yang berguna bagi sesama. Kritik tersebut sama dengan kritik tokoh humanis Abad Pertengahan, Desiderius Erasmus.

Kritik itu menyebabkan Djoko Murwono dicap “Katolik

yang Kejawèn” atau bahkan dituduh akan mendirikan agama baru. Titik berat pada unsur kemanusiaan (daripada keagamaan atau bahkan ketuhanan) terlihat dari terbukanya Arso Tunggal bagi orang-orang di luar Katolik, dari segala golongan, etnik, maupun profesi.

Seperti Arthur James Balfour, Djoko Murwono pun mengaitkan budaya manusia dan ketuhanan dengan gambaran: budaya itu ibarat bumi, agama ibarat bulan, dan Tuhan ibarat matahari. Di malam hari, matahari menyinari bulan dan bulan memantulkan sinar ke bumi. Oleh sebab itu, ia menolak pen-campuradukan antara agama dan budaya. Bagaimanapun manu-sia dengan budayanya memiliki otoritas menentukan kehidup-an, tapi disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa.

Gerakan Paguyuban Arso Tunggal dalam pengobatan dan pertanian membuktikan bahwa gerakan ini termasuk gerakan humanisme seperti yang berkembang di Abad Pertengahan, yaitu dengan karakteristik yang diungkapkan Richard Southern: (1) pengertian tentang martabat makhluk hidup, (2) pengertian tentang martabat alam, dan (3) pengertian bahwa tatanan alam dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan sebagai pusatnya.

(46)

menurut pemahaman Arso Tunggal, ditentukan oleh sejauh mana manusia mampu menyeimbangkan rasa dan pikiran untuk diaktualisasikan dalam kegiatan konkret.

Arso Tunggal dan Humanisme Modern

Kalau Rene Descartes di Abad Modern mengatakan “Aku berpikir maka aku ada,” maka Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertian-pengertian di dalamnya. Itulah sebabnya, Arso Tunggal mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa (diistilahkan “memodernisasikan” Jawa) ke dalam pendekatan ilmiah. Riset-riset ilmiah dilakukan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan tentang kearifan-kearifan lokal Jawa, kemu-dian menghasilkan produk-produk (obat-obatan dan SPOR) yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif Karl Marx, langkah itu menggambarkan kreativitas manusia sebagai kesadaran tentang eksistensi manusia.

Langkah-langkah itu menunjukkan, bahwa paguyuban ini mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan Immanuel Kant). Dalam konteks budaya Jawa, maka Arso Tunggal mengkritik pemahaman yang selama ini ada, yaitu budaya Jawa (seolah-olah) hanya bermuara pada kearifan (wisdom). Kegiatan paguyuban membuktikan, bahwa budaya Jawa pun seharusnya bermuara pada ilmu pengetahuan, bukan sekadar kearifan, dan hal itu sudah dibuktikan dengan pene-muan-penemuan di bidang pengobatan dan pertanian alternatif.

Renaisans

(47)

Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan kritik terhadap pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis, kurang terjun ke dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan kurang memanusiakan manusia. Kritik itu tercermin dari ungkapan-ungkapan Djoko Murwono yang tidak peduli akan dicap apa pun sebagai penganut Katolik, yang penting baginya hidup harus bermanfaat untuk orang lain, memanusiakan manusia.

Tidak hanya kritik terhadap agama, gerakan Arso Tunggal juga merupakan manifestasi dari kritik terhadap feodalisme, seperti humanisme Renaisans Italia yang bercita-cita membe-baskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan feodalisme. Hal itu tercermin dari sikap aktor sentral yang tidak

mau “terbelenggu” oleh nilai-nilai feodalistik yang dia peroleh dari didikan di lingkungan dua keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Dia memilih terbebas dari feodalitas itu dan hidup merdeka, mengembangkan ngélmu lewat gerakan Arso Tunggal.

Pencerahan

Gerakan Arso Tunggal tidak menafikan kekuatan pikiran, tetapi kekuatan itu diangkat dari kekuatan yang lebih dalam, yaitu kekuatan jiwa yang disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Berbeda dari gerakan humanisme Pencerahan yang menempatkan pikiran sebagai panglima dalam “perang” me -lawan takhayul, gerakan Arso Tunggal justru menyelaraskan pikiran dengan jiwa dalam setiap kegiatannya.

(48)

pende-katan natural-alamiah. Begitu pula, pengembangan SPOR yang melestarikan daya dukung tanah, menggambarkan bahwa Pa-guyuban Arso Tunggal berobsesi membangun pranata-pranata sosial yang adil, dengan mengangkat martabat petani agar mampu mandiri, terbebas dari tekanan-tekanan kekuatan kapitalistik.

Humanisme Pencerahan mengajarkan manusia tidak sela-lu menoleh ke belakang (ancient classical utopias), melainkan perlu menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa dihapuskan. Semangat itu juga terdapat dalam gerakan Paguyuban Arso Tunggal, tercermin dari gerakan SPOR yang berusaha mengangkat kesejahteraan petani, tidak memercayai takhayul tapi memandang bahwa Yang Maha Kuasa menyinari hidup manusia, dan mendorong terciptanya perdamaian antar-manusia. Gerakan Arso Tunggal berorientasi pada masa depan

yang lebih baik, tidak menoleh ke belakang. “Kita tidak perlu menoleh ke belakang, karena dengan begitu kita bisa berpikir

maju, berorientasi masa depan,” kata Djoko Murwono.

Arso Tunggal dan Humanisme Postmodern

Seperti pemahaman yang berkembang pada masa Post-modern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya. Titik berat pada unsur manusia dibuktikan oleh paguyuban ini pada kegiatan-kegiatan pengobatan yang dilakukan melalui klinik di Bulusan dan Plamongan, Semarang serta pengobatan yang dilakukan di Manokwari, Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat. Selain itu, juga pengembangan SPOR untuk membantu para petani.

(49)

Pengutamaan budaya terlihat dari fakta bahwa bahwa Arso Tunggal adalah gerakan budaya, bukan agama. Oleh sebab itu, paguyuban ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai agama, aliran kepercayaan, dan profesi. Arso Tunggal juga mengembangkan pemahaman, bahwa budaya dan agama merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Pemisahan tersebut perlu untuk menghindari (mengurangi) konflik-konflik yang di permukaan seperti konflik agama, padahal sebenarnya konflik budaya.

Gerakan Paguyuban Arso Tunggal mencerminkan karak-teristik Postmodern, yaitu:

1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan realitas dan konteks yang baru. (Bukti empirik: Paguyuban Tunggal selalu berusaha menemukan hal-hal baru dalam pengobatan dan pertanian. Harga obat yang mahal dijawab dengan penemuan-penemuan baru di bidang pengobatan dan pemberian subsidi kepada masyarakat; revolusi hijau yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi pangan, biaya produksi pertanian yang makin mahal, maupun persoalan lingkungan yang diakibatkannya dijawab dengan penerapan SPOR).

2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berubah dan berkembang. (Bukti empirik: ketika ditanya apa sebenarnya tujuan hidup manusia, Djoko Murwono

menjawab: “menjadi manusia, menjadi diri sendiri.”

Gambar

Gambar 3: Kegiatan ritual Paguyuban Arso Tunggal
Gambar 4: Proses pengobatan di Paguyuban Arso Tunggal:
Gambar 5: Kegiatan SPOR di Pemalang:
Gambar 6: Diskusi Lumbung Desa dan Kemandirian Petani:

Referensi

Dokumen terkait

An informal expert consultation was organized with experts from India, Maldives, Sri Lanka, Thailand and Timor-Leste to learn about country experiences and challenges,

harga penawaran terkoreksi di atas nilai total HPS, pelelangan dinyatakan gagal. 2) harga satuan yang nilainya lebih besar dari 110% (seratus sepuluh perseratus)

Karyadi (1985), mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak berkaitan dengan cara dan situasi makan. Selain pola asuh makan,

Bentuk surat dukungan dari pembuat produk/principle atau authorized distributor/dealer adalah mengikuti bentuk/format yang dikeluarkan oleh pembuat produk/principle

Kerangka konsep dari studi kasus ini difokuskan kepada kebutuhan kesehatan dari masyarakat yang tinggal di desa-desa di pulau-pulau terpencil terhadap pelayanan kesehatan dasar

msngumumkan Rencsna Umum Pongadaan Barang/Jasa untuk pelaksanaan kegiatan tahun anggaran 20'12, Sspertl torsabut dlbawah ini. Pakalan Psluoer KrboGlen,Temrn, dan

Pekerjaan : Pembangunan Drainase Gunungtelu-Cidadap Kec.. Karangpucung Nama Perusahaan

Forsyth (1980) mengemukakan Relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku. Dalam hal ini individu