• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB VI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

MENJADI DESA WISATA

Pengantar

Bab ini akan menjelaskan Blimbingsari menjadi desa wisata. Yang dimulai dari bagaimana angkatan muda yang mengenyam pendidikan di luar Blimbingsari yang akhirnya tidak pulang ke Blimbingsari, bahkan hanya tersisa generasi tua yang tinggal di Blimbingsari sehingga dengan peristiwa itu kelihatan Blimbingsari seperti desa ‘sekarat’ atau “dying village”. Dari keterpurukan desa ini, namun ada beberapa orang (pemimpin) yang menghendaki agar Desa Blimbingsari menjadi desa yang “makmur” (living village), dan akhirnya Desa Blimbingsari menjadi desa wisata dimana Desa Blimbingsari terpilih mewakili Jembrana di tingkat Propinsi.

Angkatan M uda Semakin Banyak M eninggalkan Desa Blimbingsari

Dalam proses menjadi Desa W isata peran kepala desa Bapak I M ade John Rony dan Bapak Pendeta I Ketut Suyaga Ayub sebagai pemimpin sangat menonjol di sini. M ereka dapat disebut pemimpin transformatif karena berhasil mendorong masyarakat Blimbingsari menyesuaikan struktur ekonomi mereka yang tadinya lebih berorientasi pertanian dan perkebunan menuju ekonomi desa yang berorientasi pariwisata. Di bawah ini dijelaskan apa saja tantangan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukaknya. Pada tahun 1960-an or1960-ang tua di Blimbingsari (generasi pertama) meng-ingink1960-an, semua anak-anak Blimbingsari dapat mengikuti Sekolah Dasar (SD)1. Setelah

1 W awancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang Pindah Ke Blimbingsari,

(2)

tamat SD sebagian besar mereka kemudian melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SM P) dan banyak pula yang sampai ke perguruan tinggi. Data beberapa nama yang ke perguruan tinggi tercatat sebagai berikut, alm Ketut Percaya, M ade Sudira, M Th, M ade Samiana SH, Gede Sudarmista, Dr. M ade M arkus, Kol. AU. Nyoman Elieser, M ade Ebenheizer M.Si, Dr. Ketut Siaga W aspada, Dr. Nyoman Sudiarsa, Prof. Kuta Ratna, Dr. M ade M atius dan banyak lagi yang lainnya. (wawancara dengan Gusti Ketut Rata, 25 Desember 2009). M enurut keterangan Gusti Rata, hasil-hasil pertanian itulah yang dipakai membiayai pendidikan anak-anak mereka dari SD sampai perguruan tinggi, sehingga anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya di SD, sekolah menengah dan perguruan tinggi, para sarjana itu tidak kembali ke Blimbingsari. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi ini tidak serta merta lulus langsung pulang ke kampung halaman karena ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar. Fenomena tidak pulang kampung ini semakin meningkat pada tahun 1970-an. Orang-orang Blimbingsari yang tidak mau pulang kampung, bukan lagi hanya para sarjana, melainkan kaum terpelajar pada umumnya, terutama lulusan sekolah menengah atas (SM A) (wawancara dengan Kepala Desa, M ade John Rony, 2009). Biarpun demikian, saat itu belum muncul persoalan yang meresahkan bagi desa itu sendiri (yang “ditinggal” oleh angkatan muda).

”Pada tahun 1980-an, jumlah anak muda yang meninggalkan Blimbingsari semakin meningkat, memberikan pendidikan untuk anak-anaknya bersekolah di kota-kota besar, seperti Kota Surabaya, Jakarta, Salatiga, Jogyakarta dan Kuta, Denpasar, Bali. Setelah anak-anak mereka lulus dari jenjang SD-SMA atau Sarjana, mereka tidak langsung pulang ke Blimbingsari, namun lebih memilih tinggal menetap di kota, ketimbang di desanya. Seperti Made M arkus, Ketut Suwirya Nyoman Sukra Eliezer, Nyoman Sudi“ (wawancara dengan Kepala Desa Blimbingsari, Made John Rony, 2009).

(3)

tinggal di kota demi mencari pekerjaan di lingkungan pariwisata. Hanya orang tua yang tinggal menetap di Blimbingsari, dan banyak rumah yang dibiarkan kosong.

“Pada tahun 1980-an desa Blimbingsari kehilangan semangat, kehilangan daya dorong, karena para pemuda terpelajar memilih tidak kembali ke Desa Blimbingsari. M ereka lebih senang tinggal di kota-kota besar di seluruh Indonesia, tempat dimana mereka memperoleh pekerjaan dan pengalaman baru” (wawancara dengan Pdt. I W ayan Sunarya, 2009).

Daya Tarik Kota (Urbanisasi)

Pada tahun 1988-an, sektor pariwisata mengalami booming, para wisatawan baik mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnus) telah berdatangan ke Bali, sehingga investor datang menanamkan modalnya di pulau Bali, khususnya di Nusa Dua, Kuta dan sekitarnya. M asyarakat dari seluruh Bali (Singaraja, Bali Barat dan timur) datang dan merantau untuk mencari pekerjaan menghidupi keluarganya dengan bekerja di sektor pariwisata ke Nusa Dua, Kuta dan sekitarnya. Termasuk warga/masyarakat Blimbingsari yang juga mencari pekerjaan/nafkah di samping karena ada industri pariwisata (lahan pekerjaan) di Kuta, disebabkan juga karena tidak ada lapangan pekerjaan di desanya, Blimbingsari.

“Daya tarik industri pariwisata juga menjadi salah satu penyebab, banyaknya orang bekerja di kota-kota besar dan tidak kembali ke Desa Blimbingsari” (W awancara dengan

Ketut Suwirya, 2010)2.

“Desa sepi” itulah sebutan yang cocok untuk Desa Blimbingsari, setelah ditinggal oleh angkatan muda waktu itu. Pdt. W ayan Sunarya yang menyatakan bahwa, “Desa Blimbingsari menjadi desa yang sangat “sepi dan sunyi”. Situasi ini sangat disayangkan terjadi, karena tanah

2 Wawancara dengan Ketut Suwirya, salah satu pengusaha mebel di Kuta dari

(4)

pertanian yang tadinya subur dengan susah payah digarap dengan semangat gotong royong dibangun dengan baik oleh perintis pertama, menjadi desa yang sepi dan sunyi. Seolah-olah tidak ada kehidupan, karena hanya dihuni oleh orang-orang tua, suara-suara burung dan gonggogan anjing yang ironis sekali menandai desa tersebut.

M enjadi Desa “M akmur”

Desa Blimbingsari ternyata tidak ditinggalkan sama sekali oleh penduduknya, lambat laun desa ini mulai bangkit lagi. Seperti yang diungkapan Pendeta ayub Sayuge berikut ini:

“Pada tahun 1988, Blimbingsari memiliki tanah yang kering karena irigasi air tepat guna bukit sari tidak berfungsi dan tandus karena tidak ada yang mengelola tanah dengan baik. Namun demikian, karena ada beberapa orang yang mau dan memberi diri untuk membangun kembali komunitas Desa

Blimbingsari dari desa sekarat (dying Village) menjadi desa

‘makmur’ (A Living Village). Bagaimana caranya agar tanah

tersebut tidak kering dan menjadi subur kembali? Ada potensi debit air dimanfaatkan yang ada di Grojogan Desa Blimbingsari, dengan pipa yang dulu disumbangkan oleh David Baso, dari Australia sehingga infrastruktur air untuk irigasi dibangun kembali dengan pemipaan yang canggih dan tepat guna”.

(5)

adalah pembangunan wisma tamu atau guest house di rumah-rumah warga desa untuk menerima tamu mancanegara dan wisatawan nusantara yang menginap di Blimbingsari. Untuk itu ada pelatihan tentang; “welcoming the guest untuk bagian front office, bagaimana membersihkan kamar-kamar warga dan menyiapkan makan pagi serta menyuguhkan seni tari dan gamelan sebagai objek wisata. (3) Pembangunan struktur Sekaa (kelompok) gamelan dan menambah alat seni budaya Desa Blimbingsari seperti alat musik jegog juga dibangun sebagai daya tarik wisatawan. (4) Pembangunan yang mendukung ibadah kontekstual di Desa Blimbingsari (dengan memakai kamben

dan udeng), (5) pembentukan awig-awig desa adat3, untuk mengatur

adat suka dan duka Desa Blimbingsari. (6) pembangunan artefak sekeliling tembok Gereja Pniel. (7) M embersihkan lahan-lahan ‘tidur’ dijadikan objek wisata seperti Grojogan dan Dam Eka Santoso untuk

kano dan jukung, (8) M engembangkan dan menambah keterampilan berwirausaha sehingga masyarakat memiliki usaha dan memiliki jiwa kewirausahaan, untuk menghasilkan revenue sebagai pemenuhan kebutuhan hidup keluarga, sehingga kesejahteraan komunitas Desa Blimbingsari tercapai.

Pembangunan Pemipaan Air Tepat Guna, Blimbingsari

W awancara dibawah ini, menceriterakan bagaimana sekarang air di Blimbingsari bisa dimanfaatkan untuk pengairan sawah, ladang, kebun dan peternakan sejak Pdt. Ketut Suyaga Ayub mengajak komunitas Desa Blimbingsari membangun pemipaan air tepat guna.

“Dulu sistem pengairan di Desa Blimbingsari ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi kebutuhan pengairan untuk sawah dan ladang kami. Pengairan dibuat dengan membuat seperti selokan yang digunakan untuk jalan air dari Grojogan menuju ke sawah dan ladang kami” kata Bapak Gede M arten. “Sekarang bagaimana Pak?” tanya saya.

3 Satu-satunya desa di Bali yang memiliki awig-awig Desa Adat Kristen, yang di

(6)

“Sekarang dengan adanya sistem pemipaan air tepat guna memberikan manfaat yang sangat banyak bagi kami tidak hanya untuk sawah dan ladang kami tapi juga untuk peternakan kami, bahkan air tepat guna dibeli oleh desa

tetangga seperti Desa Palasari dan M elaya”4.

Tidak hanya itu saja, menurut informan yang menjabat sebagai

Perbekel, Kepala Desa Blimbingsari M ade John Rony mengatakan bahwa di samping irigasi bukit sari tidak berfungsi, juga karena air Desa Blimbingsari kotor sehingga warga Blimbingsari membangun sumur bor yang berlokasi di belakang rumah Bapak Kertya dan membuat pemipaan air tepat guna dengan pemanfaatan sumber air hutan di Grojogan (lihat gambar 6.1. sumber air Grojogan Desa Blimbingsari), karena dulunya tidak dimanfaatkansehingga tempat aliran air irigasi sempat kering. Pada tahun 2000, Bapak Pdt. Ketut Suyaga Ayub mengajak beberapa teman warga desa (Pak M arten, Pak Purna, Pak Pageh, Pak M ade Okamona, Pak Korni dan Pak Nyoman Yusuf) membangun pemipaan air untuk pemerataan air ke kebun-kebun bagi semua petani di Desa Blimbingsari, baik yang ada di bukit atau di lembah.

M emang pada awalnya beberapa orang seperti Bapak Suserah, Bapak Purnamia kurang percaya dengan ide atau usulan ini, bahkan tidak percaya bagaimana cara membawa air ke seluruh ladang/kebun petani di Desa Blimbingsari. Tetapi setelah jadi proyek pemipaan air tepat guna dan diresmikan oleh Bupati, akhirnya bapak-bapak yang tadinya tidak setuju malah menjadi anggota irigasi air tepat guna karena mereka juga membutuhkan air bersih untuk kebun dan ternaknya.

M emanfaatkan potensi sumber air yang sudah ada di hutan ”Alas Cekik” yang dahulu pernah terbuang-buang dan tidak dimanfaatkan, sekarang dimanfaatkan kembali oleh warga Desa Blimbingsari. Nama sebelumnya adalah irigasi bukit sari dan sekarang menjadi nama pemipaan air tepat guna dengan teknologi yang bagus.

(7)

Terlampir lampiran prasasti/batu peresmian air tepat guna Blimbingsari yang di resmikan oleh Prof. Dr. Drg. Gede W inasa di Blimbingsari.

Sumber: Data Primer (2009)

Gambar 6.1. Sumber Air Grojogan, Blimbingsari

M asalahnya adalah bagaimana cara mewujudkan potensi debit air Grojogan tersebut yang mampu dialirkan ke semua ladang/kebun milik warga Desa Blimbingsari dengan pemipaan? Di bawah inilah akan dijelaskan upaya mewujudkan air bersih pemipaan tepat guna.

Upaya-Upaya Terwujudnya Pemipaan Air Bersih Tepat Guna di Blimbingsari

Dalam wawancara dengan Kepala Desa Blimbingsari Bapak M ade John Rony, mengatakan bahwa setiap warga yang ikut dan menggunakan air irigasi dikenakan iuran Rp.10.000/bulan per warga Desa Blimbingsari. M asing-masing kelompok itu membayar iuran ke

tukang nuduk pipis (yang mengambil uang) yaitu Pak M uspa ditambah setiap 1 kubik (1 m³) air dikenakan Rp.500,-. Upaya untuk mewujudkan air irigasi tepat guna warga dan tim kelompok irigasi bekerja dengan cara kerja bakti, disiplin, kerja keras bergotong-royong”5. Saling bantu-membantu, bahu-membahu, tolong- menolong,

5 W awancara dengan Kepala Desa Made John Rony, di Blimbingsari, tanggal 10

(8)

agar dapat mewujudkan pemipaan air bersih yang tepat guna dengan menggunakan teknologi tepat guna pula. Upaya pemimpin desa dan pemimpin rohani yang dilakukan bersama warga desa ini bekerja setiap hari mulai jam 9.00 pagi dengan memasang pipa (75mm), dan membangun tangki penyimpan berkapasitas 100m³ di dalam hutan, 92 meter di atas permukaan laut. Sumber air berada di ketinggian 95 meter dari permukaan laut. Dari situ penyaluran ke Blimbingsari dapat dilakukan, dengan ketinggian tanah di atas 82 meter. Ide ini akan cukup mengairi 400 hektar tanah Blimbingsari.

Terbukti, irigasi air ini berfungsi mengairi seluruh ladang Desa Blimbingsari dan diresmikan oleh Bupati Jembrana Dr. drg. Gede W inasa. Pada saat peresmiannya, warga Blimbingsari mengadakan upacara, dimana ibu-ibu dari semua enjungan, (kelompok) membawa

jun (gentong dari tanah liat). Setiap tahun kelompok yang berpartisipasi dalam proyek ini menyediakan pipa mereka masing-masing dari penampungan ke tangki penampungan pribadi (setidaknya dengan ukuran 2 m) pada ladang/tanah mereka.

Pada bulan Juli 2008 ada lebih dari 75 anggota yang ikut menjadi anggota pemipaan air bersih tepat guna ini dan sejumlah surat lamaran menjadi anggota irigasi air tepat guna ini banyak yang daftar dan belum terselesaikan. Proyek ini disebut proyek “Pemipaan Air Hidup Tepat Guna”, karena kehidupan dapat dimulai dari air tersebut. Dikutip dari M ade John Rony sebagai perbekel menyarankan agar:

“jemaat atau warga Desa Blimbingsari menggunakan air yang tersedia, dengan sebaik-baiknya. Artinya jika sumber air yang terbatas ini dikelola dengan cara yang benar dan baik, maka sumber air ini akan dapat menjadi sumber ‘kehidupan’ bagi warga Desa Blimbingsari”.

(9)

Penjelasan Gambar 6.2. di bawah ini adalah cara mengelola

sumber air dari Grojogan sampai ke ladang/kebun.

Gambar 6.2. menjelaskan bahwa nomer 1, adalah reserpoir atau tower yang luasnya 2 x 6 x 1,5 m yang menjadi sumber air pertama yang akan dialiri melalui pipa ke sumber air ke 2 sebagai bak penampung (yang ukurannya 5 x 3 x 3 m). Dari bak penampung ini air dialirkan ke gambar 3 (bak penampung) dan 4 (bak penyaring). Dari bak penyaring (gambar 4) ini dialirkan ke bak penampung (gambar 5) dan bak distribusi (gambar 6). Dari Sumur bor juga dipompa ke bak distribusi (gambar6) ke seluruh ladang/sawah warga Desa Blimbingsari, sehingga semua ladang, tanah, ternak komunitas desa memperoleh air bersih. Hal ini juga yang menunjang desa ini terpilih menjadi desa wisata karena ketersediaan air bersih ini.

Sumber: Data Primer

Gambar 6.2. Peta Sumber Air dari Grojogan Sampai ke Ladang/Kebun

Sempat Terhenti

(10)

dataran tinggi dan mengambil air secara langsung demi kepentingan diri sendiri sehingga petani di bagian lahan lembah tidak mendapat air. Permasalahan air bersih ini cukup lama dan alot dalam menyelesaikan-nya, namun begitu, tetap sebagai pemimpin rohani mempunyai inisiatif untuk bertemu dengan seluruh warga yang pada akhirnya diberikan penjelasan agar “kita pintar membawa bodoh”, tandas Pak Pdt. Suyaga Ayub dengan sambil tersenyum menjelaskan hal ini kepada penulis. Sebenarnya sederhana sekali, menyelesaikan konflik ini, dengan mengutarakan “mari kita tidak hanya mementingkan diri sendiri, karena memotong pipa-pipa itu membuat warga lainnya tidak mem-peroleh air bersih”. Akhirnya sepakat dipilihnya salah seorang untuk mengawasi pemipaan ini, orang itu adalah Pak M uspa. Sampai saat penulis meninggalkan daerah tersebut tidak terdengar lagi ada masalah pendistribusian air bersih.

Dampak Pemipaan Air Bersih Tepat Guna

Perbekel Blimbingsari John Rony kembali mendiskusikannya dengan pemimpin Bali Barat tentang pengairan/irigasi air dan pimpinan Bali Barat tertarik, karena mereka memang sangat berharap dapat menyelesaikan persoalan air di desa mereka. Banyak petani dari desa lain datang ke Blimbingsari untuk melihat dan mengikuti cara proyek ini ,tidak hanya Blimbingsari, tetapi Ekasari, Nusasari dan Pangkung tanah pun ikut membuatnya. M ereka tertarik karena berdasarkan pertimbangan ekologis, yaitu tidak memerlukan lahan yang banyak, tidak membutuhkan dam untuk menampung air, dan air mengalir dari pipa-pipa ke tempat-tempat pemeliharaan hewan (sapi dan babi), dan banyak kotoran hewan dengan sendirinya akan menyuburkan tanah tersebut.

Banyak dampak dari irigasi air yang berguna untuk usaha warga Blimbingsari.

(11)

ternak/hewan (sapi dan babi) produksinya meningkat, bisa lebih mudah mendapat air baik untuk mandi maupun untuk diminum oleh hewan peliharaan, sehingga tidak kehausan, tanaman coklat juga pertumbuhannya dapat lebih baik”,

ungkap Pak W ayan M urtiyasa, 2009 (salah satu petani

coklat).

Dampak lain adalah ada yang mendaftarkan dan meminjam dana (kredit usaha) di M aha Bhoga M arga (M BM) Kapal, M engwi, dimana modal itu digunakan untuk usaha menggemukkan sapi atau babi untuk dipasarkan, karena melihat begitu meningkatnya produksi sapi dan babi meningkat sejak adanya irigasi air tepat guna tersebut6.

Sebelum ada irigasi air, hanya ada beberapa warga yang memelihara sapi, karena kesulitan air. Data nama orang yang ikut program penggemukan sapi adalah sebagai berikut: Bapak Gede Sukabagia, Nyoman Yusuf, Gede Oka M ona, Gede Sudigda, Prenamia, Ketut Suyaga Ayub, Ketut Aget, Gede Karyan.

Di bawah ini dijelaskan bagaimana irigasi air berdampak pada peternak sapi dan babi oleh salah satu informan yang bernama Pak Gede M arten. Harga jual sapi yang dimiliki Pak Gede M arten adalah untuk yang sapi jantan sejumlah Rp. 3 juta dikalikan empat ekor menjadi Rp. 12 juta, sedangkan untuk yang sapi betina, sejumlah Rp. 2 juta dikalikan empat ekor menjadi Rp. 8 juta. Sehingga jadi total pendapatan kotornya adalah sebesar Rp.20 juta, belum termasuk biaya pemeliharaan karena Pak Gede M arten tetap mengeluarkan biaya pakan (makan ternak)/hari yaitu satu pikul pakan seharga Rp.10.000

6 Sebagai bukti nyata produksi peternakannya yang meningkat dengan adanya sistem

“irigasi air tepat guna”, salah satu informan bernama Gede Marten mengatakan bahwa sistem irigasi air tepat guna bermanfaat untuk hewan ternaknya sampai memperoleh pupuk organik dari kotorannya. Sapi yang di miliki Bapak Gede Marten sejumlah tujuh ekor sapi, dimana tiga ekor adalah milik sendiri, dan empat ekor di bagi hasil dengan orang lain. Dibagi hasil artinya empat ekor sapi itu yang dipelihara oleh orang lain (dikadasin) yang nanti akan dibagi hasilnya setelah laku terjual, pada saat anak sapi

berumur 6 bulan, Sapi yang di kadasin adalah sapi penginduk, dimana ”godel” /anak

sapi tersebut dijual dan uangnya dibagi dua. Anak sapi yang jantan berumur 4-6 bulan

(tergantung model godelnya, anak sapi), harga anak sapi bisa mencapai Rp. 3-4 juta,

(12)

per satu ekor sapi. Sehingga dari usaha penggemukan sapi ini, warga mampu memperoleh penghasilan untuk biaya hidup, karena bantuan sistem irigasi air tepat guna tersebut.

Di samping peternakan sapi, ada juga peternak babi. M asih dengan informan Pak Gede M arten, ia memiliki empat ekor babi. Dalam setahun yang satu ekor babi tersebut dapat dua kali di jual. Satu ekor babi betina bisa beranak antara 8 sampai 10 ekor babi. Faktanya adalah 8 ekor anak babi yg dihasilkan. Delapan ekor/tahun dikali 4 ekor, dikali 2, dikalikan Rp.250.000 menjadi sejumlah Rp.16 jt/tahun. Sehingga penghasilan keluarga ini kalau dibagi dua belas bulan menjadi sejumlah Rp 1.333.000/bulan. (Catatan: satu anak babi, kadang seharga Rp 250.000). Seperti sapi, mereka juga mengeluarkan biaya pakan untuk babi, dimana satu ekor babi membutuhkan 3 kg pakan/hari dikalikan 4 ekor, dikalikan Rp. 3.000 menjadi sejumlah Rp. 36.000/ hari. Dilihat dari penghasilan dan pengeluaran bahwa dampak dari irigasi air tepat guna tersebut dapat meningkatkan pendapatan warga melalui peternakan baik sapi maupun babi.

Penggemukan anak sapi dan babi adalah salah satu mata pencaharian, setelah bertani kelapa dan coklat. Cara-cara seperti inilah yang dipakai warga Blimbingsari agar keluar dari ’kemiskinan dan keterpurukan’, dengan berani meminjam dana/modal yang pastinya akan mendatangkan profit/keuntungan.

(13)

per hari, sehingga diadopsilah program ini oleh pemerintah7. Berikut hasil transkrip wawancara dengan Gede M arten yang dilakukan penulis di Blimbingsari, tanggal 15 Oktober 2009, sebagai bukti nyata produksi hasil pertanian yang meningkat dengan adanya sistem “irigasi air tepat guna” sebagai berikut:

Keluarga Gede M arten menyatakan bahwa:

”pemerataan air irigasi bermanfaat untuk warga Desa Blimbingsari, khususnya lahan-nya yang menghasilkan 60

pohon kelapa8. Yang kedua adalah pohon coklat. Keluarga

Gede Marten menghasilkan 400-500 batang pohon coklat di lahannya yang teraliri sistem irigasi air tepat guna tepat guna

ini.9”.

Dalam kesempatan yang sama, penulis melakukan wawancara dengan Nyoman Yusuf10, tentang bukti nyata bahwa, dengan adanya sistem irigasi air tepat guna, hewan ternak (sapi, babi, lele) bisa hidup dan menghasilkan kotoran ternak yang bisa dijadikan kompos. Berikut petikan wawancara:

”Petani sane mangkin nyidayang ngubuh sampi, babi, lan tegalan sawireh ade irigasi air tepat guna, makasami warge demen sajan”.

M aksudnya adalah Petani-petani sekarang bisa memelihara sapi, kalau tidak ada pemipaan air tepat guna, bagaimana mencari air

7 W awancara dengan Pak Man Yusuf, di Blimbingsari, 2009.

8 Dimana dalam sebulan antara 600-800 buah bisa dipetik yang dijual secara eceran

kepada pengepul. Keluarga ini mendapat 800 butir x 1000 rupiah = Rp. 800.000. Kadang-kadang dalam 1 bulan, mendapat Rp. 600.000 paling rendah.

9 Coklat dijemur satu hari, pas bagus keringnya, bisa mencapai 1 kg dengan harga Rp.

20.000/dua minggu, dia paling dapat setengah kuintal, berarti Rp. 20.000x 50, sehingga penghasilannya setara dengan = Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)/dua minggu atau Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah)/bulan. Prosesnya adalah menjual coklat langsung di pekarangan rumah, dan ada penjual yang datang keliling dan menawar harga coklat. Penjual mana yang paling tinggi menawar, itu yang dia beri, dan penjual itu juga orang Blimbingsari. Harga coklatnya tergantung kering tidaknya coklat tersebut. Makin kering makin mahal harga coklat tersebut. Pernah terjadi harga sampai Rp.25.000/kg

(14)

untuk ternak sapi, babi dan kebun tidak bisa disirami sehingga masyarakat senang sekali dan bersemangat11”.

Blimbingsari M enjadi Desa W isata

Program pemerintah dalam bidang kepariwisataan merencanakan tujuh juta wisatawan mengunjungi Indonesia dan minimal empat juta dari jumlah tersebut mengunjungi Pulau Bali tahun 2013. Ibu W endy, orang asing dari Australia pernah tinggal di Blimbingsari berkata: “I don’t want to die before I see Bali ” yang lain mengatakan “Bali is my second home”. Kunjungan wisatawan tersebut telah mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja ke Bali dari luar Pulau Bali maupun mancanegara. Dengan kehadiran wisatawan dan tenaga kerja, jalan-jalan di Bali menjadi padat dan tempat-tempat wisata sangat ramai sehingga kenyamanan wisata kian hari kian berkurang. Kemacetan, kelestarian lingkungan tidak bisa lagi dipertahankan.

Ternyata pertumbuhan pariwisata di Indonesia dan khususnya di Bali telah menciptakan ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat. M asyarakat desa yang hidup sebagai petani, memelihara lingkungan, seni, industri kecil dan sebagainya ternyata tidak merasakan apapun dari gemerlapnya pariwisata di Bali. Dolar yang mengalir hanya dinikmati pemilik modal yang membangun hotel, art shop, industri dan sebagainya, sedangkan petani yang memelihara lingkungan, kerajinan tetap miskin dan tidak menikmati hasil dari pariwisata. Di samping itu pembangunan yang dilaksanakan cenderung mematikan usaha-usaha kecil yang dikelola masyarakat-masyarakat lokal.

Pada bulan Desember 2011 telah dipilih dan ditetapkan tujuh desa wisata dari 8 kabupaten di Bali. Ketujuh desa itu adalah Desa

11 Visi Gereja Pniel ”Tanah ini adalah Perjanjian untuk kesejahteraan masyarakat”.

(15)

Pinge di Kabupaten Tabanan, Desa Blimbingsari di Kabupaten Jembrana, Desa Bedahulu di Kabupaten Gianyar, Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli, Desa Pancasari di Kabupaten Buleleng, Desa Budakeling dan Desa Jasri di Kabupaten Karangasem (wawancara dengan Pdt. Suyaga Ayub, 26 Desember 2012). Pada tanggal 25 Desember 2011 Bupati Jembrana telah meresmikan Desa W isata

Community Based Tourism Assocition (COBTA) Blimbingsari di Blimbingsari. Ada yang memberikan ucapan selamat dengan beragam cara, salah satu berbentuk rangkaian bunga yang disusun sangat indah seperti di lampiran 5 (bunga letter).

Terpilihnya Blimbingsari sebagai pusat pengembangan desa wisata merupakan terobosan baru bagi transformasi ekonomi Blimbingsari. M engapa Blimbingsari yang terpilih sebagai desa wisata dan bukan desa lainnya yang ada di kabupaten Jembrana?

“Hal itu terjadi karena peran pemimpin baik dari pemerintah desa maupun pemimpin rohani, yang berkolaborasi”, ungkap M ade John Rony, 2011.

Baik pemimpin rohani maupun pemerintahan desa bersama-sama berdiskusi, dan merencanakan, melakukan percakapan dengan Bupati Jembrana mengenai berbagai hal tentang desa wisata.

Segarnya udara bersih, hamparan alam pedesaan yang rimbun di kiri kanan jalan hotmik yang mulus terasa begitu segar menyelimuti setiap wajah dan kulit. M enuju Blimbingsari, melewati sebuah gapura yang di sebut Kuri Agung berarsitektur kombinasi antara arsitektur tradisional dan modern tetapi anggun. Tampak gapura ini dibangun dengan serius dan memancarkan aura keramahan. Rahajeng Rawuh Ring Blimbingsari (Selamat Datang di Blimbingsari) inilah kalimat ramah yang terukir pada ambang atas Kuri Agung menyambut dengan hangat siapapun yang berkunjung memasuki Desa Blimbingsari.

(16)

Sekilas suasana desa ini sama dengan desa lain yang dekat dengan pegunungan, tetapi Blimbingsari memancarkan kesan sebagai sebuah desa yang maju dengan bahu jalan berumput yang dipotong dengan rapi, pekarangan yang rimbun dengan berbagai bunga dan bebas dari sampah dan plastik. Sebagian besar pekarangan tidak dibatasi dengan tembok tetapi dibatasi dengan bunga-bunga yang mewujudkan rasa damai dan kepercayaan satu dengan yang lain, bebas dari pencurian dan penggunaan narkoba.

M emasuki pusat desa di sebuah perempatan yang mempunyai tugu kecil akan langsung terbaca ciri keistimewaan Desa Blimbingsari. Inilah Blimbingsari, satu-satunya desa komunitas Kristen di Bali. Bahkan tahun 2010, Dewan Gereja Dunia berkunjung juga ke Desa Blimbingsari, pada saat peringatan ulang tahun Blimbingsari yang ke 80 (lihat lampiran 7).

Secara fisik Desa Blimbingsari ditandai dengan hadirnya sosok komplek bangunan gedung gereja yang berarsitektur Bali yang khas mirip pura tapi bukan pura. Dewan gereja sedunia telah mencatat Gereja Pniel Blimbingsari merupakan salah satu gedung gereja yang mempunyai keistimewaan yang khusus diantara gereja-gereja di dunia.

Blimbingsari sudah siap menerima tamu-tamu wisatawan nusantara dan mancanegara. W arga Blimbingsari menyiapkan rumah mereka sebagai guest house. Penyewaan tersebut bukan semata-mata bertujuan komersial tetapi mereka dapat bercakap-cakap menshare

iman mereka dengan tamu dengan cara itu mereka ikut ambil bagian memberitakan “kabar baik kepada bangsa-bangsa”.

(17)

dan dilindungi pemerintah yang diperkirakan jumlahnya masih di bawah 500 ekor.

Bagi yang hobi memancing, mereka dapat melakukannya di Sungai M elaya Blimbingsari, Dam Palasari maupun di laut. Snorkling

juga dapat dilaksanakan di Pulau M enjangan yang dihuni dengan taman bawah air dan ikan yang indah berwarna-warni. Snorkling

sangat terkenal dan banyak dilakukan oleh tamu-tamu mancanegara. Di Blimbingsari seseorang dapat membuat aktifitas agrowisata yaitu dengan mengunjungi industri pembuatan kopra (lihat lampiran 5), industri pembuatan gula kelapa dari hasil sadapan nira pohon kelapa (lihat lampiran 10). M ereka dapat mengunjungi pembuatan gula kelapa mulai dari mengambil nira kelapa, merebus sampai menjadi gula kelapa. M engunjungi agrobisnis seperti pertanian, peternakan ayam, sapi, babi dan lain-lain. Banyak pengunjung mengunjungi SD Kristen M aranatha dan Panti Asuhan yang terdapat di Blimbingsari.

Selama ini terdapat juga banyak wisata rohani baik dalam negeri maupun luar negeri dengan program retreat, kunjungan keluarga dan khususnya mengikuti ibadah kontekstual. Kebaktian kontekstual dilaksanakan minggu pertama setiap bulan, jemaat akan hadir berpakaian daerah dan lagu-lagu Bali yang diiringi dengan tabuh gong. Disini juga terdapat jegog. Instrument ini dimainkan oleh sekitar 20 orang ditambah dengan penari. W isata rohani ada beranekaragam, ada yang stop over beberapa jam di Blimbingsari bertemu dengan pelayan jemaat dan melanjutkan perjalanan kembali ke Denpasar. Di Blimbingsari dapat dilaksanakan juga retreat, study banding, dan perkemahan.

(18)

juga menggambarkan terobosan baru dan pengembangan Desa Blimbingsari yang tidak dimiliki oleh desa-desa tetangga. Gambar sket ini diambil dari buku Blimbingsari,The Promise land, oleh Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 2013.

(19)
(20)
(21)
(22)

Transformasi terjadi karena kepemimpinan rohani dan peme-rintah yang kreatif. Cerita ini ditunjang oleh fakta lapangan seperti kasus yang ada di Gereja Pniel, dimana pemimpin rohani membuat visi dan misi bersama warganya yang menyatakan bahwa “tanah Blimbingsari adalah tanah pemberian Tuhan” (lihat lampiran 5). Oleh karenanya pemimpin memberi arahan visi dan misi yang jelas kepada warga, agar bisa disiplin untuk membangun desanya. Ini salah satu kreativitas seorang pemimpin dengan menggunakan kata-kata bahwa “tanah pemberian Tuhan”, sehingga warga memiliki budaya disiplin untuk bekerja.

Sebagai pemimpin, mereka memberi motivasi kepada warganya. M ereka tidak mementingkan diri mereka sendiri tetapi yang utama adalah untuk kepentingan desanya, walaupun mereka harus menderita. Semangat wirausaha ini yang diberikan kepada warganya, sehingga desa ini menjadi lebih maju, di samping adanya desa wisata. Cerita itu di tunjang dengan contoh nyata yaitu pemimpin rohani Pdt. Ketut Suyaga Ayub, memberikan tanahnya saat itu sebagai tanah yang disumbangkan kepada Gereja Pniel, Desa Blimbingsari untuk membangun monumen Jubelium GKPB 11-11-2011 dan monumen nama-nama perintis yang masuk pertama kali tahun 1939 ke Blimbingsari. Padahal kalau dilihat dari harga tanah sekarang sangat mahal dan mana mungkin ‘ada seseorang’ yang mau memberikan tanahnya dengan cuma-cuma.

“M onumen yang dibangun tersebut (Jubelium GKPB 11-11-2011 dan monumen nama-nama perintis yang masuk pertama kali tahun 1939 ke Blimbingsari) akan menjadi sejarah bagi warga Desa Blimbingsari dan orang luar Desa Blimbingsari, termasuk juga wisatawan (baik wisnus dan wisman)”, tandas Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 2013.

Efek dari transformasi ini juga berdampak pada jiwa

(23)
(24)

Terobosan lainnya juga bahwa ada program ekonomi kreatif (industri kreatif) artinya Blimbingsari mampu melakukan transformasi dengan “menjual” budaya dan upacara keagamaan Protestan (Bali- Kristen) dan keindahan Blimbingsari serta tersedianya berbagai objek wisata bagi tamu atau wisatawan nusantara dan mancanegara.

GKPB yang pada awalnya bernama Persatuan Orang-Orang Bali Protestan terbentuk pada tahun 1948. Penyatuan ini dicatat oleh Pemerintah Negara Indonesia Timur pada hari Rabu 11 Agustus 1948, Register 214 LN, No. 812. Dengan demikian Gereja Kristen Protestan Di Bali (GKPB) lahir tahun 1948. Pada bulan April 1949 di Abianbase mulai digunakan nama Gereja Bali Kristen Protestan. Pada tahun 1951 akhirnya digunakan nama Gereja Kristen Protestan di Bali13. Dari butir di atas, jelas bahwa Pemerintah Belanda memberikan tanah untuk para transmigran (Bali-Kristen) yang penulis maknai sebagai potensi menjadi desa wisata dimana “desa ini unik, bersih, pohon kelapa yang rimbun, rapi, landscape, pemandangan yang indah, gereja untuk ibadah kontekstual di minggu pertama, dan seni budaya serta adanya gunung Klatakan untuk kepentingan hiking/outbond”.

Upaya-Upaya M ewujudkan Desa W isata

Upaya-upaya warga dalam mewujudkan desa wisata itu, diantaranya adalah membentuk komite pariwisata Desa Blimbingsari, pada tahun 2005 yang beranggotakan 3 orang (tugasnya adalah mengatur setiap kunjungan tamu yang datang ke Blimbingsari dari kedatangan sampai keberangkatan). M elakukan kerja sama antara GKPB Pniel Blimbingsari dengan Pusat Pengabdian dan Pengembangan M asyarakat (P3M ) STIM Dhyana Pura dengan memberi pelatihan tentang grooming, pelayanan front office, penggunaan Bahasa Inggris, food and beverage, house keeping dan pariwisata kerakyatan. Berikut adalah menggerakkan partisipasi warga

12 W awancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, di Blimbingsari, November 2009.

(25)

untuk memperbaiki kamar-kamar rumah warga. M emperbaiki struktur

sekaa gamelan dan pengadaan alat instrumentalia gamelan dan jegog

itu sendiri. M engadakan ibadah kontekstual, serta membangun kolam renang. Inilah salah satu cara membangun perekonomian Jemaat sekaligus perekonomian Desa Blimbingsari dengan menjadikan Desa Blimbingsari menjadi desa wisata.

Komite Pariwisata

Komite pariwisata Blimbingsari dibentuk oleh tiga lembaga yaitu pertama, pemerintah Desa Blimbingsari, kedua, Gereja Kristen Protestan di Bali Jemaat Pniel Blimbingsari, dan ketiga, Paguyuban. Adapun susunan kepengurusan komite pariwisata ini terdiri dari pelindung adalah Perbekel Desa Blimbingsari bersama Pelayan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan tiga anggota terdiri dari I Gede Sudigda, Putu Cahya Herani A., dan I W ayan M urtiyasa. (lihat gambar 6.7.).

Sumber: Laporan Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari

Gambar 6.7. Struktur Organisasi Komite Pariwisata Blimbingsari

(26)

tamu-tamu yang datang mengunjungi Desa Blimbingsari ini, melaporkan jumlah tamu yang datang, melakukan perencanaan dari awal tamu datang, menyiapkan makanan, minuman, mengatur tempat menginap (akomodasi), menyediakan atraksi seni dan budaya, sampai tamu tersebut meninggalkan Desa Blimbingsari.

“Begitu pentingnya peranan komite pariwisata ini, walau hanya beranggotakan tiga orang saja, karena jikalau tidak ada tim komite pariwisata ini, maka tidak ada yang mengurusnya”, ungkap Ibu Putu Cahya Herani, salah satu anggota komite pariwisata.

Kerja sama Desa dengan Sekolah Pariwisata Dhyana Pura

Tanah yang 400 hektar tersebut dikelola oleh seluruh komunitas Blimbingsari dalam menerima kunjungan wisatawan (baik mancanegara dan nusantara). Jauh sebelum kunjungan wisatawan tersebut, Desa Blimbingsari telah melakukan persiapan-persiapan menuju desa wisata agar lebih siap menerima kunjungan tersebut. Persiapan berbenah diri dilakukan melalui pelatihan bekerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah Tinggi Ilmu M anajemen (STIM ) Dhyana Pura, Dalung, Kuta. M asayarakat Blimbingsari memiliki potensi. Potensi itu diantaranya adalah ketrampilan hidup (life Skill), masyarakat yang mau belajar, kreatif, inovatif, memiliki landscape/pemandangan yang indah dan menarik. Program pelatihan ini berlangsung selama dua tahun, mulai tahun 2008 dan tahun 2009, dimana semua biaya ditanggung oleh Lembaga PPLP, STIM Dhyana Pura, Dalung (masyarakat Blimbingsari sama sekali tidak mengeluarkan biaya untuk mengikuti pelatihan tersebut)14. Kurikulum yang diberikan oleh P3M Dhyana Pura terlampir (lihat lampiran 12).

Program pelatihan yang diberikan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) dan Sekolah Tinggi Ilmu M anajemen (STIM ) Dhyana Pura secara umum adalah sebagai berikut,

14 W awancara dengan Bapak Jaya Pramono, S.Pd, M.Par., sebagai ketua pelaksana

(27)

housekeeping: artinya bagaimana meningkatkan kebersihan kamar utama dan kamar mandi beserta semua perlengkapannya. Bagaimana komunitas Desa Blimbingsari mempersiapkan atau menyajikan kamar yang bersih dan rapi, agar para wisatawan yang berkunjung dan menginap di Desa Blimbingsari tidak “jijik” sehingga tamu wisatawan (wisnus dan wisman) menjadi puas dan nyaman. Food and Beverage: artinya bagaimana desa mempersiapkan atau menyajikan makanan yang hygine dan bersih. Biasanya tamu disiapkan sarapan pagi, walaupun kadang-kadang tamu meminta disiapkan Lunch and Dinner. Front Office & Grooming: artinya pelayanan adalah perhatian yang fokus. Bagaimana warga Blimbingsari menyambut tamu dengan ramah, memberikan informasi yang benar, kepada tamu yang berkunjung dan penguasaan berbahasa Inggris yang baik menjadi tujuan utama sehingga terjadi komunikasi yang baik dengan para wisatawan khususnya yang dari mancanegara.

(28)

kamar-kamar pun sesuai kelas hotel melati 1 dengan tipe dan ukuran kamar-kamar serta fasilitas yang diperoleh tamu (lihat lampiran 4) .

M enggerakkan Partisipasi W arga M emperbaiki Kamar-Kamar Rumah W arga Blimbingsari

(29)

Setelah warga Desa Blimbingsari berhasil dengan perbaikan rumah-rumah tersebut, Kepala Desa M ade John Rony hanya mengingatkan kepada warga, bahwa:

“sebagai warga yang telah mendapat pelajaran perhotelan dari sekolah perhotelan Dhyana Pura, tentang bagaimana

menata kebersihan kamar (house keeping), memasak (food

and beverage) dan keramah-tamahan dan lain lain tersebut, jangan lagi kita sembrono dan tetap menjaga kebersihan dan melayani tamu dengan baik serta ramah kepada semua orang yang menginap di rumah kalian masing-masing”.

Sampai saat ini faktanya adalah bahwa tamu wisatawan (wisnus dan wisman) senang, puas dan ingin berkunjung kembali ke Desa Blimbingsari karena Desa Blimbingsari tetap bersih dan rapi serta penduduknya (warganya) ramah.

Konflik W arga Pemilik Guest H ouse

Tidak selalu dan tidak selamanya Desa Blimbingsari memiliki hal yang indah-indah dan harmoni saja, karena peristiwa konflik pun terjadi antar warga pemilik wisma tamu (Guest House). Asal mulanya adalah baik sekali untuk memberi level atau standar masing-masing pengelola guest house ini. Kategori itu adalah suit room, ada standar

(30)

W alaupun begitu tidak menyurutkan hati I bu Kornelius untuk berjualan kamar (guest house).

Dengan mengetahui konflik seperti ini, seringkali Pak Pendeta memberikan arahan saat berkotbah agar tidak saling ‘iri hati’ dalam usaha apapun. Ada banyak kasus lainnya yang menimbulkan konflik, (baik di bidang usaha, maupun kelembagaan gereja) namun penulis hanya mengambil beberapa contoh di atas, agar memberikan gambaran kepada pembaca bahwa desa ini tidak selalu harmoni. Namun mayoritas permasalahan terselesaikan dengan baik yang akhirnya memunculkan rasa solider di antara warga desa sendiri dan komunitas desa ini semakin memiliki hubungan yang erat.

M emperbaiki Struktur

Sekaa Gamelan

dan M enambah Alat Seni Budaya Desa Blimbingsari

Komite Pariwisata memainkan peranan memperbaiki struktur sekaa gamelan Pertama tahun 2004. Satu tahun kemudian tepatnya tahun 2005, Kepala Desa M ade John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel saat itu membenahi sekaa jegog Desa Blimbingsari. Kepala Desa M ade John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel, mengadakan audensi ke Bapak Bupati Jembrana yang saat itu dijabat oleh Prof. Dr. drg. I Gede W inasa, untuk mendapatkan sebuah alat musik jegog yang merupakan musik ciri khas Jembrana, dan menggunakan alat musik jegog tersebut sebagai bagian dari ibadah kontekstual di GKPB Pniel Blimbingsari.

(31)

Sumber: Data Primer 2009

Gambar 6.8. Para Tamu M enari Bersama-sama Penari Blimbingsari

Tarian rakyat ini awalnya cenderung dilakukan dengan gerak erotis, bahkan sering penari melakukan porno aksi. Akan tetapi di Blimbingsari tidak diperbolehkan alias dihilangkan, sehingga kembali ke bentuk asalnya sebagai tari rakyat pergaulan, yang mengikuti etika sopan santun. Penari joged bumbung juga dilatih oleh orang Hindu yang ditemani oleh warga Blimbingsari (pengadaan pelatih Bali Kristen dan Hindu).

Pembenahan kesenian dilakukan kembali tahun 2006, karena sebelumnya kelompok sekaa gong ini agak macet15. Sekaa Gong awalnya tidak berfungsi maksimal, karena yang memainkan gamelan hanya diperuntukan untuk kelompok lansia (lanjut usia), sehingga anak mudanya tidak mau ikut mentas, tetapi setelah berkomunikasi dengan beberapa orang, maka Kepala Desa M ade John Rony beserta Pdt Jemaat Pniel mengubah sistemnya yaitu dengan cara/sistem bahwa warga Blimbingsari semua bisa mengambil peran sebagai pemusik (baik gamelan dan jegog) yang digolongkan ke dalam group seni yang ”demen megambel” artinya kelompok yang suka bermain gamelan.

Jadi yang terpenting dengan adanya musik dan seni tari ini adalah memberikan semangat baru, pergaulan, dan persaudaraan antar dan bagi warga Desa Blimbingsari dengan tamu–tamu yang datang ke Desa Blimbingsari.

(32)

Upah Penabuh Gambelan

Bapak Kadek W e Putra mengatakan bahwa: ”biasanya, satu kali pertunjukan seni gambelan dan jegog ini, oleh tamu dibayar Rp.600.000 atau bahkan kadang -kadang tamu membayar Rp.300.000, ada juga yang tidak membayar”. Namun, khusus untuk kebaktian/ ibadah di gereja, sekaa gong ini tidak dibayar, tetapi sebagai bentuk pelayanan untuk Tuhan.

M ereka mempunyai organisasi yang mengatur perkumpulan ”demen megambel” ini. Sehingga dari uang yang masuk/diterima ini lantas dipakai untuk membeli seragam, kas kelompok, dan terkadang dibagikan kepada anggota sehingga pada akhirnya mereka mampu meningkatkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhannya.

Para pengibing atau tamu yang terlibat menari bersama penari biasanya sangat senang karena mendapat kegembiraan, merasa mendapat perlakuan yang sangat khusus (spesial). Itulah yang menjadikan komunitas Desa Blimbingsari hidup.

Kamben

Bali dan

Udeng

: Sebuah Kontekstual

(33)

menggunakan gambelan Bali, tarian Bali, lagu berbahasa Bali. Sebagai tanda kontekstual, maka lagu-lagu pun menggunakan tata ibadah berbahasa Bali (lihat lampiran 3, lagu berbahasa Bali terjemahan bebas).

Ibadah Kontekstual ini juga sekarang disukai oleh rombongan tamu-wisatawan sebagai hiburan, di samping mereka beribadah, mereka memberi sumbangan ke gereja. Dengan adanya tamu wisatawan dan kunjungan wisata rohani ini berarti membawa/ memberi pemasukan dan penghasilan bagi masyarakat Desa Blimbingsari, khususnya yang bersama-sama ikut berpartisipasi melayani pengujung dan yang dikunjungi juga merasakan sukacita (wawancara dengan Kepala Desa M ade John Rony). M ereka menceritakan kepada teman-temannya atau handai taulan, saudara-saudaranya dan lain-lainnya bahwa Desa Blimbingsari ini sangat unik dan menarik. Tidak dipungkiri bahwa dengan persembahan-persembahan yang diperoleh Desa Blimbingsari sebagai pemasukan desa untuk peningkatan ekonomi warga, karena para tamu atau wisatawan yang melakukan ”kunjungan” ke desa ini memberi persembahan, baik buat gereja maupun untuk desa termasuk d idalamnya tim komite pariwisata.

Ibadah Kontekstual yang dimulai tahun 2004 ini juga melibatkan guru seni tari dari luar (agama Hindu) dan didampingi satu orang dari Blimbingsari beragama Kristen untuk mengajarkan kepada anak-anak dan pemuda, kelompok Ibu-I bu (Dian Kristawati GKPB Pniel), Kaum Bapak (Kristya W inangun GKPB Pniel) dan Panti Asuhan untuk belajar kesenian tari ini, seni gamelan (bagaimana mengiring musik gamelan di gereja pada saat beribadah) yang dinikmati oleh jemaat, warga Blimbingsari dan rombongan tamu pengunjung sebagai hiburan.

(34)

ceramah tentang sejarah, budaya dan kontekstualisasi yang dilakukan oleh pemimpin rohani. M emberi sumbangan (baik dana dan tenaga) terhadap pembangunan ekonomi jemaat. M elakukan pentas seni (malam kesenian), baik melakukan seni tari, seni gamelan dan jegog.

M elakukan kunjungan terhadap orang sakit, panti Jompo, panti asuhan W idya Asih. M elakukan kunjungan ke sawah dan pertanian serta peternakan. M elakukan outbound di Grojogan, hiking (lihat lampira 5) dan perkemahan serta renang. M elakukan rekreasi, permaianan atau piknik, sehingga komunitas ini menjadi komunitas desa wisata yang bermakna, bermanfaat baik bagi komunitas itu sendiri maupun di luar komunitas Blimbingsari.

Kesimpulan

Untuk menjelaskan topik menjadi Desa W isata, maka penulis menjelaskan mengenai terbentuknya Blimbingsari sebagai Desa W isata. Yang di dalamnya berisi tentang desa “sekarat’ (Dying Village) karena anak-anak mereka tidak pulang ke desa setelah mengenyam pendidikan. Namun demikian, untuk mengubah desa tersebut menjadi desa hidup (A Living Village) muncullah pembangunan infrastruktur yang ada.

Dari pertanian menjadi desa “sepi dan sunyi”, sebelum desa ini menjadi desa wisata. Di dalam bab ini dinyatakan dengan ironis sekali bahwa tanah pertanian yang tadinya subur dan dialiri oleh Irigasi Bukitsari menjadi tanah yang gersang, tanah tandus dan tidak subur lagi. Perintis pertama yang makin lama menjadi generasi tua, tidak bisa mengelola lagi lahan yang luas ini karena ditinggal oleh para angkatan muda dan melakukan migrasi ke luar desa Blimbingsari.

(35)

adanya daya tarik industri pariwisata sehingga tidak kembali ke desa Blimbingsari.

Disinilah peran kepemimpinan (baik pemimpin rohani dan pemimpin desa) memegang peranan yang sangat penting untuk mendorong peningkatan ekonomi Blimbingsari dengan menggalang nilai kewirausahaan (entrepreneurship) sehingga Blimbingsari terbentuk menjadi Desa W isata. Penulis menjelaskan pembangunan infrastruktur yang dibangun dan akhirnya desa itu menjadi “desa hidup” (A Living Village) yang ditunjukkan melalui gereja yang

unique, ada home stay, tarian dan gamelan serta kunjungan turis yang meningkat dari tahun ke tahun, yang berintegrasi dengan perkebunan, pertanian dan peternakan, karena tidak dapat dipisahkan.

M asyarakat Blimbingsari yang mayoritas Kristen dan yang sudah melakukan pembangunan infrastruktur mencoba mencari cara untuk membuat desa yang ditempatinya menjadi desa “hidup”, sehingga bisa bertahan dari keterpurukannya. Bahkan sekarang Pemerintah Bali telah memilih Desa Blimbingsari sebagai satu-satunya desa wisata di Kabupaten Jembrana dan mendapat bantuan dari Pemda setempat.

Gambar

Gambar 6.1. Sumber Air Grojogan, Blimbingsari
gambar 3 (bak penampung) dan 4 (bak penyaring). Dari bak penyaring
Gambar 6.3. Denah Desa Wisata Blimbingsari, Kecamatan Melaya,
Gambar 6.4. Denah Sket Jalur Treking, Desa Wisata Blimbingsari,  Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penghasilan dan aset dan liabilitas dari entitas asosiasi digabungkan dalam laporan keuangan konsolidasi dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, kecuali

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai kapasitansi spesifik paling tinggi diperoleh dari karbon aktif yang permukaannya dimodifikasi dengan HNO 3 , 72,6 %

Wordlist comparison, dialect intelligibility testing, language use and attitude questionnaires, and pilot bilingualism tests were used together in this survey to determine to

penetapan dengan Nomor : 1OlPPBJ.OllPerc.O6/N/2014 Tanggal AZ Mei 2014 Dengan ini Pqabat Pengadaan Barang dan lasr- (PPB) Dinas Penlanan dan Peternakan. Kabupaten

- Tersediarrya DokumenRengadaanPembangxtan / RehabilttastJaringzn iriSasi KAD Tik Kuto Rimbo Yengadang. Demikian pengumuman ini disampaikan, atas perhattannya

Nama Perusahaan Alamat Nilai Peringkat1. Noorel Idea

Lalu juga ada faktor kinerja keuangan ya karena ini merupakan faktor yang paling dipertimbangkan ya karena ada beberapa faktor juga ya yang terkait dengan kinerja keuangan

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas