• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB VI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN

Dualisme Desa di Tabola: Pakraman dan Dinas • Hegemoni Desa Dinas

“Desa yang ada di Bali ini, termasuk di Sidemen, mestinya dijadikan satu saja, dengan menggabungkan desa dinas ke desa adat (desa pakraman). Dengan adanya dualisme desa seperti sekarang ini jadinya memang membingungkan. Mestinya, desa adat diberi wewenang mengurus kepentingan yang sekarang diurus desa dinas. Sebab penduduk yang diurus desa dinas dan desa adat itu sama, sehingga sebaiknya desa adat yang mengambil alih urusan desa dinas”

(Perbincangan dengan Camat Sidemen, Desember 2009)

Di masa lalu, ketika gelombang reformasi belum datang dan mengubah wajah politik Indonesia seperti sekarang, tidak terbayang kalimat seperti itu bisa meluncur dari mulut seorang Camat di Bali. Bukan hanya karena kalimat seperti itu bisa dianggap mengecilkan arti pemerintah dengan desa dinasnya; tetapi lebih dari itu realitas yang ada pada saat itu menunjukkan bahwa desa dinas memang mendominasi dan menghegemoni hampir keseluruhan urusan yang terkait dengan desa di Bali.

Memang, pada masa itu, boleh dikatakan tidak ada urusan yang terkait dengan desa dan masyarakat desa yang luput dari kontrol dan pengendalian desa dinas. Bahkan urusan yang jelas-jelas dianggap merupakan wilayah desa adat, seperti misalnya prosesi upacara adat atau agama, juga tidak lepas dari kontrol dan kendali desa dinas. Pendek kata, semua urusan desa, terutama yang melibatkan berkumpulnya warga dalam jumlah yang cukup banyak, harus sepengetahuan dan harus seijin aparatur pemerintahan desa dinas.

(2)

250

baik sebagai individu maupun sebagai kelompok krama desa. Kalau dicermati, hal seperti yang terakhir ini tidak saja terjadi di Bali, tetapi juga berlangsung di hampir semua wilayah pelosok desa di Indonesia. Walaupun dalam bentuk lain, karena di luar Bali tidak terdapat dualisme desa yaitu, desa adat dan desa dinas.

I Gusti Lanang Gita, mengakui berdasarkan pengalamannya selama ini sebagai Perbekel, bahwa desa dinas memang memiliki pengaruh kekuasaan yang sangat kuat. “Pengalaman saya, jamannya kan masih Golkar, apapun yang dikatakan (pemerintah desa dinas) pada saat itu, ya harus dijalankan”.1

Selain pernah menjabat sebagai Perbekel Sidemen, Pak Gusti, yang juga adalah seorang seniman tari topeng Bali itu, sempat menjabat sebagai Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola antara tahun 2002-2008. Menjelang akhir tahun 2008, Pak Gusti Lanang Gita dilengserkan sebagai Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola, menyusul terjadinya protes para krama desa yang dipicu oleh konflik sumberdaya air (air minum desa). Dalam kesempatan wawancara, I Gusti Lanang Gita juga mengakui bahwa kuatnya pengaruh kekuasaan desa dinas tidak lepas dari kondisi pemerintahan Orde Baru pada waktu itu. “…pada waktu itu, siapa yang menentang keinginan pemerintahan (desa dinas) akan berhadapan dengan baju hijau (tentara)”,demikian diungkapkannya.

I Gusti Lanang Gita adalah mantan Kepala Desa Dinas Sidemen (Perbekel Sidemen) antara tahun 1994 – 1998. Pada saat itu, Desa Dinas Sidemen belum dimekarkan menjadi 3 desa dinas seperti sekarang, yaitu Desa Dinas Sidemen, Sinduwati, dan Telagatawang.

2

Kuatnya kedudukan pemerintahan desa dinas tidak terlepas dari dukungan kekuasaan supra-desa, yang dalam konteks pemerintahan desa dinas pada waktu itu, mencakup paling tidak pemerintahan kecamatan dan kabupaten, ditambah unsur aparat keamanan ditingkat lokal, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI ini terdiri dari unsur militer (TNI) dan

1 Wawancara dengan I Gusti Lanang Gita, Banjar Tabola, Desa Tabola, Sidemen, Mei

2008.

(3)

251 kepolisian, yang di masa Orde Baru bersama unsur pemerintahan di tingkat lokal membentuk suatu institusi koordinasi bersama yang disebut Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) untuk tingkat kabupaten dan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) untuk tingkat kecamatan.

Tugas Muspida dan Muspika ini, antara lain menjamin agar semua program pemerintah bisa berjalan dengan baik tanpa hambatan sosial-politik di tingkat lokal. Untuk memberikan jaminan yang lebih kuat, bahkan di tingkat pemerintahan desa ditempatkan aparat keamanan, yang terdiri dari unsur tentara yang disebut Babinsa (Badan Pembina Desa), dan unsur kepolisian yang disebut sebagai Babinkam (Badan Pembina Keamanan). Sampai saat ini, baik unsur Babinsa maupun Babinkam masih terdapat di desa, tentu dengan fungsi dan lingkup tugas yang berbeda dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru.

Pemerintahan desa (dinas) mendapatkan dukungan kekuasaan langsung dari pemerintahan supra-desa karena memang menurut undang-undang yang berlaku pada masa itu, secara struktural, pemerintahan desa secara langsung berada di bawah pemerintahan kecamatan. Pada masa Orde Baru, pemerintahan desa diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979, yang substansinya lebih mencerminkan tatanan pemerintahan yang sentralistik sebagaimana ciri dari Pemerintahan Orde Baru itu sendiri.

Dalam UU No. 5 Tahun 1979, misalnya, disebutkan definisi tentang desa, yaitu:

“Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Inodonesia”.3

3 Lihat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ketentuan Umum, pasal 1,

sub-bagian a.

(4)

252

Dari definisi desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa desa mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat.

Sebagai organisasi terendah langsung di bawah camat, maka keberadaan desa (dinas) sedikit banyak mencerminkan kepentingan dari struktur pemerintahan di atasnya, khususnya camat. Dalam konteks ini, camat atau kecamatan adalah bawahan langsung dari pemerintahan di atasnya, yaitu kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat. Menyangkut desa, dalam undang-undang yang sama juga disebutkan bahwa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala desa, bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui camat.4

Dasar hukum seperti tersebut di atas itu yang menyebabkan desa (dinas) memiliki kekuasaan yang kuat, khususnya karena adanya dukungan langsung dari kekuasaan supra-desa. Tentu saja dasar hukum itu dikonstruksi dalam rangka melaksanakan strategi pembangunan Orde Baru, yang ketika itu dinilai memiliki dimensi kebijakan yang secara umum cenderung sentralistis dan “top down”. Disamping itu, dengan adanya dukungan dari kekuasaan supra-desa yang kuat, desa (dinas) bersama perangkatnya di tingkat dusun, dalam perkembangannya menjadi agen utama dalam keseluruhan proses pembangunan di desa.

Terkait dengan hal ini, hampir tidak ada proses pembangunan di wilayah desa di Bali yang implementasinya tidak melewati (sepengetahuan dan seijin) desa dinas. Dengan peran dominan dalam proses pembangunan ini, desa (dinas), yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para aparatusnya, pada akhirnya menjadi sosok patronase yang kuat bagi desa dan masyarakat desa secara keseluruhan. Ini sedikit berbeda dengan masa sebelumnya (masa tahun 1950 sampai 1960-an, masa sebelum Orde Baru), dimana sosok patronase desa lebih tercermin pada diri para tokoh pegiat partai/politisi partai yang ketika itu menguasai dan mendominasi ruang sosial-politik masyarakat di desa. Menyangkut hal ini, termasuk di dalamnya adalah para tokoh

(5)

253 masyarakat setempat (elit desa, baik dari golongan brahmana, bangsawan atau lapisan terdidik di desa), yang ketika itu umumnya juga menjadi pegiat aktif dari partai-partai politik yang ada di desa.

Jadi secara struktural, kedudukan desa (dinas) kuat karena di satu sisi dikonstruksi lewat payung hukum sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya; dan di sisi lain memiliki sumberdaya yang kuat karena fungsinya sebagai (satu-satunya) agen pembangunan pemerintah di tingkat lokal (desa). Dengan struktur seperti ini, maka pada akhirnya kedudukan desa dinas pada masa Orde Baru hampir mirip dengan kedudukan desa dinas pada masa kolonial, yaitu sebagai bagian paling bawah dari struktur birokrasi pemerintahan pusat. Sehingga karena itu tidak aneh kalau fungsinya terutama adalah menjalankan atau melaksanakan program-program pemerintahan di atasnya saja.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, Parker (2005), dalam bukunya berjudul “From Subyects to Citizens, Balinese Villagers in the Indonesian Nation States”, mengungkapkan, antara lain: “Through development, New Order Indonesia became an ‘interventionist nation-state’. The litany of pembangunan was inescapable in Suharto’s Indonesia: it was so hegemonic there was nary a voice of opposition”. Dengan demikian, memang pada dasarnya kekuasaan desa (dinas) yang mendominasi sebenarnya cerminan dari apa yang disebut sebagai hegemoni negara Orde Baru yang tak tertandingi itu.

Dengan kedudukan desa dinas yang kuat dan hegemonik ini maka kedudukan desa adat boleh dikatakan menjadi terpinggirkan. Seperti disebutkan di depan, semua urusan yang secara tradisional menjadi urusan desa adat, secara pelan-pelan dan bertahap lalu ikut menjadi urusan desa dinas (Sunantara, 2004). Terkait hal ini, I Gusti Lanang Sidemen, pensiunan guru yang saat ini menjadi Klian Desa Pakraman Tabola menggantikan I Gusti Lanang Gita yang dilengserkan oleh masyarakat pada akhir tahun 2008, menuturkan pengalamannya.

(6)

254

pemerintah. Desa adat juga jalan, tapi seolah-olah desa adat itu kurang diperhatikan, tidak diajak bicara. Baru sekarang saja desa adat atau desa pakraman mendapatkan perhatian, diajak ikut merencanakan pembangunan desa”.5

Lalu pada tahun 1998 datang gelombang reformasi, yang mengubah landscape politik Indonesia. Rezim Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistik ambruk, digantikan pemerintahan baru yang mulai mendorong keterbukaan politik. Memasuki jaman reformasi ini, secara bertahap hegemoni desa dinas mulai meluruh, yang hal itu mulai muncul bersamaan dengan respon masyarakat dalam bentuk gugatan terhadap berbagai praktik pemerintahan desa (dinas) di waktu lalu. Di berbagai tempat di Indonesia, gugatan itu malah tidak jarang berujung pada pelengseran para kepala desa dengan berbagai sebab pemicunya.

Di sisi lain, karena perkembangan situasi, unsur keamanan (militer dan polisi) mulai menjaga jarak dengan urusan-urusan politik pemerintahan. Dukungan yang hampir tanpa batas terhadap berbagai kebijakan politik pemerintahan desa (dinas) secara berangsur-angsur mulai berkurang. Meskipun demikian sampai saat ini unsur militer dan polisi (Babinsa dan Babinkam) tetap hadir di desa-desa, termasuk di Tabola. Tetapi tentunya dengan konteks dan kepentingan yang agak berbeda bila dibandingkan dengan kehadirannya pada masa Orde Baru.

Lagi pula, sejak awal reformasi, hegemoni Golkar, dalam kehidupan politik di desa-desa, tidak terkecuali di Desa Tabola, juga mulai rontok. Ini menyusul kekalahannya dalam Pemilu multipartai pertama sejak Orde Baru runtuh tahun 1999, yang hasilnya memunculkan kekuatan-kekuatan lain di luar Golkar, khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang di Bali menang telak atas Golkar dan partai-partai lainnya. Menurut catatan, dalam Pemilu 1999, PDIP mengantongi lebih 80 % suara pemilih di Bali, jauh meninggalkan Golkar dan partai-partai lainnya.

5 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Klian Desa Pakraman Tabola. Tabola,

(7)

255 Dengan kekalahan Golkar dalam Pemilu 1999, maka aliansi politik Golkar dengan pemerintah desa (dinas) di Bali (dan diberbagai daerah di Indonesia) yang berlangsung lebih dari tiga dekade, menjadi tamat. Golkar di Bali pada saat itu tidak lebih dari partai kecil dengan perolehan suara hanya 10% (padahal tahun 1997 mendapatkan suara 93%), jauh di bawah PDIP yang meraup hampir 80% suara (Schulte-Nordholt, 2007). Dengan posisinya yang lemah ini, maka Golkar tidak mampu lagi menjadi kekuatan “patronase” bagi desa-desa dinas, seperti yang dilakukan sebelumnya. Dalam konteks ini, desa-desa dinas seolah-olah kehilangan “payung” kekuasaan, baik dari sisi politik, khususnya yang bersumber dari pemerintahan supra-desa yang selama ini ditopang oleh Golkar, maupun dari sisi keamanan yang bersumber dari unsur militer dan polisi.

Memang sudah bukan rahasia lagi kalau di masa Orde Baru, desa-desa menjadi ujung tombak bagi Golkar untuk mendapatkan suara mayoritas dalam setiap pemilu. Dalam konteks ini, misalnya, sudah menjadi pengetahuan umum kalau banyak dari pengurus desa dinas di Bali, termasuk para kepala desanya menjadi pengurus Golkar, atau paling tidak aktivis Golkar, di tingkat desa. Sebagai imbalannya, Golkar yang pada masa Orde Baru menguasai secara total birokrasi pemerintahan supra-desa, memberikan “payung” politik bagi para pengurus desa, yang dalam setiap pemilu terbukti telah menjadi mesin pendulang suara yang efektif bagi partai penguasa itu.

(8)

256

(tingkat desa) untuk menduduki kepengurusan (Golkar) itu”, demikian dikatakannya dalam suatu wawancara.6

Seperti diketahui, banjar dinas adalah organisasi masyarakat di tingkat desa yang secara hirarkhis, strukturnya berada di bawah desa (dinas). Pada masa Orde Baru, nama banjar dinas ini sempat diganti dengan nama dusun dinas, mengikuti nama (nomenklatur) yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU itu, nama desa dan dusun dibuat seragam untuk seluruh Indonesia, dan nama-nama lokal untuk istilah desa dan dusun harus menyesuaikan diri dengan nama yang seragam itu. Sejalan dengan itu, nama penyebutan bagi perbekel dan klian juga diganti menjadi kepala desa dan kepala dusun.

Sampai kemudian muncul undang-undang baru, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya juga diatur berbagai ketentuan tentang pemerintahan desa (Bab XI, pasal 93-106). Undang-undang baru ini boleh dikatakan telah mengkoreksi pengertian berbagai ketentuan tentang desa yang sebelumnya bernuansa otoriter dan sentralistik. Sebagaimana disinggung pada bagian pendahuluan dari tulisan ini, yang paling pokok dan pertama adalah perubahan definisi tentang desa, dibandingkan definisi sebelumnya.

Dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang mulai diberlakukan pada bulan Januari 2001 disebutkan pengertian tentang desa, yaitu:

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

Bandingkan dengan pengertian tentang desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 seperti disebutkan dalam bagian tulisan di atas. Dalam pengertian baru tersebut, tidak disebutkan lagi bahwa organisasi

6 Wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Desa (Dinas) Telagatawang,

(9)

257 pemerintahan desa berada di bawah langsung camat. Jadi dalam hal ini, ketergantungan desa terhadap struktur supra-desa, perdefinisi sudah dihapuskan. Dengan penghapusan itu, desa diharapkan menjadi suatu entitas yang mandiri, sesuai dengan pengertian baru desa itu sendiri, yaitu: “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat….”

Berbarengan dengan diterapkannya ketentuan baru mengenai pemerintahan desa (Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999) pada jaman reformasi itu, maka pikiran-pikiran tentang demokrasi semakin menembus desa. Apalagi pemerintahan desa, menurut ketentuan yang ada, terdiri dari Pemerintah Desa sebagai eksekutif dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang di antaranya memiliki fungsi sebagai lembaga pengawas (legislatif) jalannya pemerintah desa. BPD ini kemudian diubah namanya dari semula bernama Badan Perwakilan Desa (BPD) menjadi Badan Musyawarah Desa (BMD), dengan fungsi yang kurang lebih sama, yaitu antara lain sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan desa.

• Bangkitnya Desa Pakraman

Dengan perkembangan seperti tersebut diatas, desa dinas di Bali tidak mungkin lagi mempertahankan posisi hegemoniknya terhadap desa adat seperti yang sebelumnya terjadi. Terlebih lagi, sejak diterbitkannya Perda Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang substansinya semakin memperjelas (dan memperkuat) kedudukan desa adat. Melalui Perda itu, sebutan nama desa adat selanjutnya diganti dengan sebutan nama desa pakraman.

(10)

258

pemerintahan yang lebih mengedepankan prinsip otonomi dan demokrasi.

Kedua, Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi desa adat/pakraman. Perda itu telah memberikan peluang bagi desa adat untuk mendefinisikan kembali kedudukan dan posisinya melalui mekanisme penyuratan awig-awig. Sebab melalui Perda No. 3 tahun 2011, desa adat atau desa pakraman didorong untuk melakukan penyuratan awig-awig. Sedangkan lewat penyuratan awig-awig itu, maka desa bisa mendefinisikan kembali secara ekplisit hak-hak dan wewenang tradisionalnya dalam konteks sekarang. Dan dalam proses pendefinisian itu, secara tidak langsung, desa adat/pakraman memulihkan kembali kedudukan dan wewenang tradisionalnya, termasuk hak-hak otonomi aslinya (otonomi asli desa).

Secara teoritis, hak-hak otonomi (asli) itu menjadi ada kalau dasar-dasar dari keberadaan otonomi itu sendiri tersedia dan terpelihara. Menurut Kartohadikoesoema (1984), dasar-dasar dari otonomi itu adalah apabila desa masih memiliki modalitas dasar seperti: (1) hak atas wilayah sendiri dengan batas-batas yang sah; (2) hak untuk memilih dan mengangkat kepala atau majelis pemerintahannya (desa) sendiri; (3) hak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya (desa) sendiri; (4) hak mempunyai dan mengurus/mengelola asset-asset (desa) dan keuangannya sendiri; (5) hak atas tanahnya (desa) sendiri; (6) hak untuk memunggut iuran/pajak (lokal) sendiri.

(11)

259 seperti halnya yang mungkin terjadi di masa lalu (Orde Baru), di mana ketika itu hampir tidak ada sesuatu proses sosial-politik dan budaya yang luput dari perhatian dan campur tangan desa dinas (dan pemerintahan supra-desa).

Ketiga, Desa Pakraman Tabola, saat ini dijamin secara hukum (Perda dan awig-awignya telah mendapatkan pengesahan/persetujuan pemerintahan Kabupaten) untuk melaksanakan hak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri. Keempat, Desa Pakraman Tabola juga telah dijamin secara hukum untuk melaksanakan hak mengurus/mengelola asset-asset dan keuangannya sendiri. Dalam kaitannya dengan hal ini, batasan tentang apa saja yang menjadi asset-asset desa (beserta sumber keuangannnya) telah dituliskan secara eksplisit dalam awig-awig secara jelas.

Yang kelima, Desa Pakraman Tabola memiliki batasan yang jelas terkait hak atas tanahnya (desanya) sendiri. Batasannya ini telah dituangkan secara rinci dalam rumusan tertulis sebagaimana yang ada di awig-awig desa. Dan yang keenam adalah adanya hak untuk memungut iuran/pajak (lokal) sendiri bagi Desa Pakraman Tabola, yang hal itu juga telah diatur melalui ketentuan yang ada dalam awig-awig desa.

(12)

260

Bagaimanapun dengan adanya pemekaran wilayah desa dinas maka secara teritorial wilayah desa dinas yang ada di lingkup wilayah Desa Pakraman Tabola semakin kecil karena telah terbagi menjadi 3 desa dinas seperti tersebut di atas. Dalam hubungannya dengan ini, wilayah Desa Pakraman Tabola menjadi terlalu besar dibandingkan dengan desa dinas karena pada kenyataannya sekarang wilayahnya mencakup atas wilayah 3 desa dinas. Padahal sebelumnya wilayah desa adat (Tabola) dan desa dinas (Sidemen) tepat berimpitan dalam satu wilayah.

Dalam konteks perkembangan situasi seperti ini, maka pola relasi desa dinas dan desa pakraman mengalami pergeseran dan perubahan. Sebab pada kenyataannya, di satu sisi, desa dinas tidak bisa lagi memandang desa adat/pakraman sebagai bagian sub-ordinasi seperti pada masa sebelumunya (Orde Baru); sebaliknya desa adat/pakraman, di sisi lain, semakin mengukuhkan hak otonomi (aslinya), sebagaimana yang dijamin (secara hukum) oleh Perda No. 3 tahun 2001 serta perkembangan realitas seperti dijelaskan di atas (modalitas yang dibutuhkan untuk tegaknya otonomi asli desa).

Bahwa relasi antara desa dinas dan desa adat/pakraman pada akhirnya berubah, bisa dilihat dari berbagai kenyataan hubungan desa dinas - desa adat/pakraman yang berkembang kemudian. Kepala Desa Dinas Sidemen atau Perbekel Sidemen, I Dewa Mayun, dalam suatu wawancara, misalnya, mengungkapkan bahwa sejak jaman reformasi, berbagai program yang diinisiasi oleh desa dinas (Sidemen) akan sulit dilaksanakan bila tidak berkoordinasi dengan desa adat/pakraman. Padahal di masa lalu, setiap kali desa dinas melaksanakan suatu program tertentu, hampir tidak ada ruang bagi desa adat untuk menolak ikut serta.

Apalagi program yang membutuhkan keterlibatan masyarakat, kalau tidak melibatkan desa pakraman sejak awal, hampir pasti akan sulit dilaksanakan, atau bahkan bisa gagal sama sekali. Menurut I Dewa Mayun, Perbekel Sidemen:

(13)

sanksi-261

sanksinya…kalau tidak hadir bayar sekian, kalau melanggar adat tidak dikasih tempat untuk kuburan, dan lain sebagainya. Jadi mereka sekarang lebih takut sama (melanggar aturan) adat”.7

Terkait dengan hal tersebut di atas, ada suatu contoh, bahwa ketika desa dinas (Desa Dinas Sidemen) ingin melaksanakan proyek pelebaran jalan desa ternyata mereka terbentur pada masalah ijin dari para pemilik tanah yang terkena proyek pelebaran jalan. Dalam proyek itu tidak terdapat anggaran untuk penggantian biaya tanah yang terkena proyek pelebaran jalan, sehingga satu-satunya jalan demi terlaksananya proyek itu adalah dengan meminta kesediaan para pemilik tanah untuk secara sukarela mengijinkan sebagian tanahnya untuk dipakai bagi kepentingan proyek.

Menghadapi masalah ini, pihak pengurus desa dinas meminta bantuan desa pakraman untuk meyakinkan para pemilik tanah agar merelakan sebagian areal tanahnya untuk digunakan bagi kepentingan proyek pelebaran jalan. Akhirnya desa adat/pakraman Tabola, melakukan pertemuan-pertemuan musyawarah, dan hasilnya para pemilik tanah rela sebagian areal tanahnya digunakan bagi kepentingan proyek, tanpa ganti rugi. Setelah itu, proyek pelebaran jalan berhasil terlaksana dengan baik.8

Tidak hanya itu saja. Dewasa ini, desa pakraman secara resmi telah dilibatkan oleh pemerintahan desa (dinas) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan desa. Misalnya saja proses penyusunan rencana pembangunan desa melalui Musyawarah Perencanan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Pada masa lalu, praktik pelibatan desa adat secara langsung seperti ini seringkali diabaikan. Kalau ada pelibatan, seringkali hal itu dilakukan hanya secara formalitas agar terlihat adanya proses partisipasi. Dalam praktiknya, suara atau aspirasi yang muncul dari desa adat tidak jarang diabaikan begitu saja. Terkait dengan hal ini, Klian Desa (Bendesa) Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Sidemen, misalnya, mengatakan:

7 Wawancara dengan I Dewa Mayun, Perbekel (Kepala Desa Dinas) Desa Sidemen.

Sidemen, Karangasem, Mei 2008.

(14)

262

”Pada masa Orde Baru, semua pembangunan itu hanya berdasarkan rencana dari pemerintah (desa dinas). Adat juga jalan, tetapi kurang diperhatikan. Nah sekarang, adat dilibatkan dalam merencanakan pembangunan di desa. Adat dihargai sekarang”.9

Dalam perkembangannya kemudian, tidak saja desa adat atau desa pakraman semakin “dihargai” kedudukannya oleh desa dinas, bahkan kini desa pakraman setiap tahun mendapatkan bantuan dana yang bersumber dari APBD Provinsi dan Kabupaten. Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2011, misalnya, setiap desa pakraman (jumlahnya diseluruh Bali ada 1483 desa pakraman), tidak terkecuali Desa Pakraman Tabola, mendapat bantuan dana APBD Provinsi Bali sebesar Rp55 juta per tahun. Sedangkan bantuan dana yang diterima dari Pemerintah Daerah Kabupaten sebesar Rp15 juta per tahun.

Kalau dicermati, dukungan dana dari pemerintah daerah ini tentu saja tidak terlepas dari harapan pemerintah terhadap tugas dan peran yang diemban desa pakraman. Dalam Perda No. 3 Tahun 2001 disebutkan bahwa tugas dari desa pakraman, secara umum adalah bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Selain itu juga membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka". Ini maknanya kurang lebih: paras paros artinya saling memberi dan menerima; sagilik saguluk artinya kukuh dan kompak; dan salunglung sabayantaka artinya selalu dalam kebersamaan. Itu di luar tugas-tugas khususnya, yang antara lain adalah: (1) membuat awig-awig; (2) mengatur krama desa; (3) mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; (4) dan mengayomi krama desa.

Tentu saja kalau dibandingkan antara tugas yang harus diemban desa pakraman (sesuai dengan amanat Perda) dengan jumlah

9 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Klian Desa (Bendesa) Desa Pakraman

(15)

263 dukungan dana yang disediakan pemerintah daerah, jelas sekali sangat tidak seimbang. Sebagai gambaran, adalah apa yang dihadapi oleh Desa Pakraman Tabola sendiri. Dari Rp55 juta bantuan Pemerintah Daerah Provinsi, Rp20 juta dialokasikan untuk berbagai kegiatan adat seperti pasraman (pertemuan-pertemuan adat), kegiatan agama, pelatihan pemangku desa (pendeta), dan lain sebagainya.

Sisanya yang Rp35 juta, seperti dituturkan oleh bendahara Desa Pakraman Tabola, I Wayan Suartana, untuk menopang kegiatan pembangunan desa. 10

Itu di luar dana yang menjadi sumber penghasilan desa, seperti tanah milik desa (ayahan desa dan hutan desa), tanah milik pura (pelaba pura), pasar desa serta hasil retribusi hotel atau penginapan (home stay) yang ada di desa. Meskipun sebagaimana diakui oleh bendahara Desa Pakraman Tabola, sumber penghasilan desa itu tidak terlalu besar. “Padahal untuk upacara adat saja per tahun itu menghabiskan tidak kurang dari Rp90 juta. Ini belum keperluan adat yang lain-lainnya”, demikian diungkapkan oleh I Wayan Suartana. Untuk bisa memenuhi semua kebutuhan yang ada, pada akhirnya memang tergantung pada dukungan dana dari krama Desa Pakraman Tabola itu sendiri secara kolektif. Dalam konteks ini, awig-awig Desa Pakraman Tabola, antara lain sudah memuat dasar-dasar ketentuannya (lihat Bab 5).

Ini ditambah dana yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten sebesar Rp15 juta. Namun, seperti dikemukakan oleh I Wayan Suartana, keseluruhan dana bantuan pemerintah sangat tidak mencukupi kebutuhan desa pakraman, sehingga dalam hal ini, masyarakat secara bersama bertanggungjawab memenuhi kekurangan yang ada.

Di sini bisa dikatakan bahwa keberadaan awig-awig, yang secara formal substansinya sudah disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, memberikan dasar hukum bagi desa pakraman untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai prinsip otonomi (asli) desa bagi dirinya sendiri. Mekanisme yang mendorong kemandirian seperti ini

10 Wawancara dengan I Wayan Suartana, Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola,

(16)

264

pada gilirannya akan memungkinkan desa pakraman untuk membangun dan memperkuat kedudukan otonominya. Sebagai tambahan, sesuai ketentuan yang ada, awig-awig suatu desa pakraman baru dianggap sah keberadaannya bila isinya sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah kabupaten masing-masing.

Sedangkan terkait bantuan pemerintah daerah, meskipun dari sisi ekonomi jumlahnya kurang memadai, tetapi secara simbolik hal itu menunjukkan adanya pengakuan secara ekonomi politik atas keberadaan desa pakraman dalam konteks pembangunan desa secara keseluruhan. Kalau dilihat dari perspektif waktu, dukungan pemerintah daerah terhadap desa pakraman, semakin hari semakin kuat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah sangat berkepentingan dengan perkembangan keberadaan desa pakraman. Hal seperti ini menunjukkan juga bahwa pembangunan di desa pada akhirnya memang tidak lagi harus mengandalkan sepenuhnya pada keberadaan desa dinas. Desa pakraman dianggap semakin memiliki arti penting, khususnya dalam konteks pembangunan sosial budaya di Bali, di mana desa adat/pakraman memiliki peran dan modalitas yang sangat kuat, mengingat kebudayaan adalah modal yang sangat diandalkan bagi pembangunan Bali secara keseluruhan.

Kenyataan ini sekali lagi menegaskan bahwa relasi antara desa dinas dengan desa adat/pakraman mengalami proses perubahan yang penting. Perubahan yang pada dasarnya mencerminkan suatu perubahan sosial, khususnya menyangkut perubahan relasi kelembagaan. “Kedudukan desa adat sekarang jauh lebih kuat. Dalam melaksanakan berbagai tugas yang terkait dengan masyarakat, saya setiap saat, harus berkoordinasi dengan (desa) adat,” demikian pengakuan I Dewa Mayun, Perbekel (Kepala Desa Dinas) Sidemen.11

11 Wawancara dengan I Dewa Mayun, Desa (Dinas) Sidemen, Sidemen, Karangasem,

Bali, Mei 2008.

(17)

265 Desa Tabola Yang Berubah

• Perubahan Struktur Kelembagaan Desa

Di luar adanya perubahan dalam relasi di antara kelembagaan desa dinas dengan desa adat/pakraman sebagaimana dijelaskan di atas, di lingkungan struktur internal institusi desa pakraman sendiri juga terjadi dinamika yang gejalanya menunjukkan adanya suatu proses perubahan sosial. Perubahan yang berlangsung dalam lingkungan struktur internal desa adat/pakraman itu antara lain adalah perubahan struktur organisasi kelembagaan desa pakraman, mengikuti gagasan tentang keorganisasian desa adat/pakraman yang berkembang sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig.

(18)

266

Gambar 17: Organisasi Desa Adat Tabola (sebelum penyuratan awig-awig)

Selanjutnya di bawah organisasi banjar dibentuk organisasi tingkat rumah tangga yang dinamakan tempekan, yang biasanya satuannya terdiri dari beberapa puluh rumah tangga (krama desa). Oranisasi tempekan ini tidak secara formal/secara langsung berada dalam struktur organisasi desa adat, tetapi berdiri sebagai kesatuan organisasi di tingkat rumah tangga yang berperan melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban kolektif dari banjar adat. Mirip dengan organisasi tempek adalah organisasi seke, satu kesatuan organisasi yang dibentuk berdasarkan suatu kepentingan tertentu yang khusus.

(19)

267 para petani untuk memanen padi), seke tari (organisasi para penari), seke subak (organisasi para pemakai air untuk pengairan sawah dan kebun), dan lain sebagainya.

Lantas setelah keluarnya Perda Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 dan menyusul kemudian terbentuknya awig-awig baru (hasil penyuratan) Desa Pakraman Tabola, maka struktur organisasi seperti digambarkan di atas mulai mengalami perubahan. Perubahan ini mengikuti perkembangan situasi sejak awig-awig desa mulai disuratkan melalui serangkaian paruman (pertemuan musyawarah) desa. Beberapa perubahan penting dalam struktur organisasi desa pakraman Tabola itu antara lain sebagai berikut.

Kalau pada struktur lama tidak terdapat kelembagaan semacam “supra-desa adat” maka dalam struktur baru terdapat kelembagaan “supra-desa adat/pakraman”, yaitu yang dinamakan Majelis Desa Pakraman (MDP). Keberadaaan MDP ini sebagai hasil dari implementasi Perda tentang Desa Pakraman, yang isinya menyebutkan tentang pembentukan Majelis Desa Pakraman, dengan tingkatan-tingkatan sebagai berikut: (a) MDP Alit untuk tingkatan-tingkatan kecamatan; (b) MDP Madya untuk tingkatan kabupaten; (c) MDP Utama untuk tingkatan provinsi.

(20)

268

Pelaksanaan dari tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman (MDP) itu sejalan dengan lingkup dan tingkatan masing-masing MDP, yaitu apakah pada tingkat Alit (kecil), Madya (menengah) atau tingkat Utama (tinggi/provinsi). Sebagai gambaran, Majelis Desa Pakraman Alit Sidemen yang sejak awal di pimpin oleh Cokorda Gde Dangin dari Desa Pakraman Tabola, sangat aktif mendorong proses penyuratan awig-awig di beberapa desa yang ada di sekitar Tabola. Ini dilakukan sejak Desa Pakraman Tabola pada tahun 2003 berhasil “menyuratkan” awig-awignya. Proses penyuratan awig-awig yang sebelumnya pernah dilakukan di Desa Pakraman Tabola malah dijadikan sebagai semacam pembelajaran untuk menyuratkan awig-awig di desa-desa pakraman yang ada disekitar Desa Pakraman Tabola, seperti Desa Pakraman Iseh, Sangkan-Gunung, Ipah, dan Mijil. Hasilnya, secara bertahap, desa-desa yang disebutkan itu sekarang memiliki awig-awig baru, sebagaimana halnya Desa Pakraman Tabola.

Perubahan struktur organisasi Desa Tabola yang lain adalah masuknya unsur baru dalam organisasi desa, yaitu yang disebut dengan nama “pingajeng desa”. Unsur baru ini semula digagas sebagai konsep untuk mendukung penguatan peran desa pakraman dalam melestarikan adat/budaya setempat. Dalam proses penyusunan awig-awig, konsep “pingajeng desa” ini berhasil dimasukkan dalam rumusan awig-awig, yaitu sebagai bagian (paling utama) dari pengurus desa atau dalam bahasa Bali disebut prakangge desa. Dalam struktur prakangge desa unsur pingajeng desa mengatasi kedudukan bendesa atau klian desa (kepala desa pakraman). Padahal dalam struktur organisasi desa adat yang ada sebelumnya, kekuasaan tertinggi di desa adat justru dipegang oleh bendesa atau klian desa.

(21)

269 (MDP). Juga dikenalkannya suatu nilai baru yang terinspirasi nilai tradisi (historis) terkait keterlibatan langsung keluarga puri dan brahmana dalam kelembagaan desa adat/pakraman.

Gambar 18: Proses Perubahan Organisasi Desa Pakraman Tabola

Berikut struktur organisasi Desa Pakraman Tabola paska penyuratan awig-awig desa. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, di atas struktur organisasi desa pakraman, terdapat suatu kelembagaan supra-desa yang disebut Majelis Desa Pakraman (MDP), dengan tingkatan MDP Alit (kecamatan), MDP Madya (Kabupaten) dan MDP Utama (Provinsi). Hubungan antara desa pakraman dengan MDP bersifat koordinasi ke atas dan bukan hirarki, karena desa pakraman pada dasarnya adalah suatu institusi yang bersifat otonom.

Struktur Organisasi Desa

Struktur Organisasi Desa Adat (Baru) Proses Perubahan Struktur Organisasi

(22)

270

Gambar 19: Struktur Organisasi Desa Tabola (setelah lahir awig-awig desa)

Tentang keberadaan lembaga “pingajeng” ini boleh dikatakan memang khas lembaga yang ada di Desa Tabola, dan yang sifatnya baru. Sebagaimana dikemukakan di atas, sebelumnya lembaga ini tidak pernah ada, baik di Desa Pakraman Tabola maupun di desa pakraman yang ada di sekitar Desa Tabola. Dalam perkembangannya, keberadaan lembaga baru ini ternyata memicu kontraversial di internal desa. Lembaga baru yang bernama “pingajeng” ini dinilai mengokohkan gagasan feodalisme ditengah-tengah suasana keterbukaan dan demokrasi di desa. “Ini kan sepertinya mau membangun kembali feodalisme di desa ini,” demikian kritik Bendesa Desa Tabola yang baru, yang menjabat untuk periode 2009 – 2014.

(23)

271 dengan bendesa atau klian desa. Lembaga ini disebut dengan nama pangrajeg atau kira-kira berarti penasehat. Pada masa lalu, lembaga seperti ini juga sempat ada di Desa Tabola, yang kemudian hilang digantikan oleh “pingajeng”, tentu dengan fungsi dan peranan yang agak berbeda karena keberadaan “pingajeng” lebih pada posisi “mengatasi” ketimbang “sejajar” seperti selayaknya lembaga penasehat.

Ada beberapa alasan mengapa lembaga “pingajeng” ini digagas dan dimasukkan dalam awig-awig desa. Salah satu alasan formal yang sering dikemukakan oleh para pendukungnya, yaitu memberikan tempat bagi para pemuka adat dan agama untuk berperan aktif dalam rangka melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan di desa sebagaimana telah digariskan dalam Perda tentang awig-awig itu sendiri. Kalau berbicara tentang pemuka adat dan agama untuk konteks Desa Pakraman Tabola, memang mau tidak mau harus mempertimbangkan keberadaan keluarga Puri Sidemen dan keluarga Griya-Griya Brahmana Sidemen. Dalam konteks ini, maka harus diakui bahwa Desa Pakraman Tabola memiliki ciri khusus yang berbeda dengan kebanyakan desa-desa pakraman lainnya yang ada di Kabupaten Karangasem.

Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya dari tulisan ini, di Desa Pakraman Tabola terdapat Puri Sidemen, yang sejarahnya bermula dari keberadaan Kerajaan Sidemen di wilayah tersebut. Kerajaan Sidemen itu sendiri masih memiliki keterkaitan keluarga yang cukup dekat dengan Kerajaan Gelgel (kemudian Klungkung), yaitu kerajaan yang paling berpengaruh di Bali di masa lalu karena cikal bakal dari berbagai kerajaan dan Puri (semacam istana, tempat kediaman raja di Bali) yang ada di Bali seperti misalnya, Puri Gianyar, Badung, Mengwi, Karangasem, Tabanan, dan lain-lain (lihat kembali Bab 3). Sampai saat ini, pengaruh sosial, politik dan budaya dari bekas Kerajaan Sidemen itu masih berbekas dan terasakan, paling tidak di Tabola, meskipun tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan keadaan masa lalu.

(24)

272

kerajaan, yang sampai sekarang keberadaannya masih nyata. Para keturunan brahmana yang tinggal di griya-griya memiliki fungsi yang berbeda pada masa sekarang, yaitu lebih melayani kepentingan para krama desa secara umum di bidang agama dengan menjadi pendeta (pedanda) di pura-pura yang ada di desa. Ketimbang, misalnya, hanya melayani kepentingan terkait agama dari keluarga Puri Sidemen, seperti halnya di masa lampau. Sampai saat ini, pelayanan kepada Puri Sidemen tentu saja masih berjalan, terutama pada upacara-upacara tertentu yang dianggap penting oleh Puri Sidemen. Pelayanan ini sekaligus sebagai bagian dari melestarikan tradisi yang sudah lama ada dan hidup dikalangan keluarga Griya dan Puri Sidemen.

Sebagai contoh, menurut Cokorda Gde Dangin, pelingsir Puri Sidemen, keluarga puri masih berhubungan erat dengan keluarga di griya, khususnya menyangkut pelaksanaan berbagai upacara adat dan agama yang diselenggarakan oleh keluarga puri. Sebagai gambaran, bila keluarga Puri Sidemen menyelenggarakan sesuatu upacara di Pura keluarga, maka pemimpin upacaranya adalah para pendeta yang berasal dari golongan brahmana yang tinggal di Sidemen. Jadi tidak boleh sembarang pendeta, seperti misalnya para mangku (pendeta yang bukan dari golongan brahmana). Dalam konteks ini, soal realitas wangsa (kasta) masih berlaku secara ketat. Misalnya saja, upacara yang diselenggarakan oleh golongan bangsawan/ksatria tinggi umumnya harus melibatkan para pendeta dari golongan brahmana.

Di luar keluarga puri dan keluarga brahmana yang tinggal di Sidemen masih terdapat para keluarga dari golongan bangsawan (ksatria) lainnya, yang di masa lalu dalam sejarahnya berperan sebagai “pengiring” para raja dan keluarganya. Pengiring di sini berarti pengikut, pengawal, panglima pasukan, yang semuanya itu berasal dari golongan bangsawan (ksatria). Keberadaan para keturunan bangsawan “pengiring” keluarga puri ini sampai sekarang masih berbekas nyata, dan para keturunannya sampai sekarang bahkan masih membanggakan diri bahwa nenek moyangnya dulu adalah “pengiring” raja.

(25)

273 sedikit banyak berpengaruh dan ikut menentukan keberadaan identitas keluarga mereka pada masa sekarang. Realitas sejarah di masa lalu yang menentukan keberadaan identitas keluarga mereka di masa kini ini dikenal sebagai konsep “kawitan”. Sebagai contoh, dalam menjelaskan mengenai identitas keberadaan keluarga Puri Sidemen, misalnya, Cokorda Gde Dangin, penglingsir selalu mengacu pada sejarah masa lalu keluarga, seperti yang tertuang dalam naskah Babad Dalem Anom Pemahyun.12

Sementara para keluarga yang leluhurnya termasuk pengiring raja Sidemen, juga menggunakan sumber yang sama dalam menjelaskan identitas keberadaan keluarganya. Misalnya, dalam suatu wawancara, Ketut Sukayasa, Ketua Dadya (kelompok keluarga) Kanuruhan menjelaskan bahwa keluarganya sebenarnya adalah keturunan bangsawan dari golongan para arya yang dahulu kala menjadi “pengiring” raja yang memerintah di Puri Sidemen. Selanjutnya ia menerangkan bahwa namanya sekarang (Ketut) tidak mencerminkan keturunan arya (bangsawan), mungkin karena pada suatu waktu tertentu leluhurnya berbuat kesalahan terhadap raja sehingga kastanya diturunkan, atau dalam istilah Bali disebut “nyerod”. Meskipun demikian ia percaya – berdasarkan babad yang sama – bahwa leluhurnya adalah bangsawan. Sekarang ia menjadi ketua dari Dadya Arya Kanuruhan, yang memiliki Pura Dadya sendiri yang letaknya persis disamping rumahnya, membuktikan bahwa dirinya adalah keturunan arya atau golongan bangsawan pengikut raja.

13

Terkait dengan konsep kawitan ini, menarik juga untuk memperhatikan apa yang dikemukakan Nordholt (2002: 77) dalam tulisannya berjudul “Kawitan, Keturunan, dan Kehancuran: Teks dan Konteks Dalam Gambaran Orang Bali Tentang Masa Lampau”:

“Asal-usul dan keturunan di Bali merupakan konsep dinamis yang digunakan untuk mengatur susunan politik dan mengartikulasikan diferensiasi sosial. Jika orang Bali ditanyai

12 Op. Cit. Babad Dalem Anom Pemahyun.

13 Wawancara dengan Ketut Sukaya, mantan Perbekel Desa Telagatawang dan

(26)

274

siapa dirinya, pertama-tama ia mungkin mulai dengan menjelaskan kedudukannya atau linggihnya, dengan menyebut kelompok keturunannya. Orang Bali mengidentifikasikan diri mereka umumnya dengan mengadakan rujukan berkenaan dengan waktu dan tempat pada salah seorang nenek moyangnya pada masa dahulu kala, serta sebuah titik asal (kawitan) yang sering dinyatakan dalam sebuah tempat keramat di pura. Kalau orang Bali tidak tahu tempat kawitannya, otomatis dia tidak tahu siapa nenek moyangnya. Oleh karena itu dia juga tidak tahu apa dan siapa dirinya. Dengan begini posisinya dalam hirarki sosial juga tidak jelas dan ia merasa kehilangan orientasi dan bahkan menjadi ‘sakit keras’. Dalam hal ini kawitan menjadi titik rujukan dalam kehidupannya karena pada tempat inilah keturunan bertemu dengan nenek moyang, dan tempat mereka dalam kehidupan ini dengan mantap berlabuh dalam masa lampau.”

Selanjutnya, di luar alasan formal tentang dimasukkannya lembaga “pingajeng” dalam awig-awig seperti disebutkan di atas, alasan lainnya adalah adanya keinginan dari kelompok-kelompok elit lama (tradisional) Desa Pakraman Tabola untuk tetap mempertahankan dan memperkokoh pengaruhnya di desa adat/pakraman. Kelompok elit tradisional itu tidak lain adalah para keluarga dari golongan puri, dan juga golongan bangsawan lainnya yang leluhurnya terkait erat dengan keberadaan Puri Sidemen. Lalu ditambah golongan brahmana yang sejak dahulu kala memiliki otoritas di bidang spiritual keagamaan, baik untuk melayani puri ataupun masyarakat desa yang lain.

(27)

275 Masuknya kelembagaan “pingajeng” dalam struktur organisasi desa pakraman sebagaimana diatur dalam ketentuan awig-awig boleh dikatakan memang berjalan mulus, hampir tanpa mengundang perdebatan yang kontraversial. Meskipun kelak kemudian, keberadaan lembaga “pingajeng” itu dipersoalkan kembali dan dianggap tidak sejalan dengan keinginan masyarakat desa pada umumnya, khususnya setelah terjadinya pergolakan kekuasaan di Tabola yang memuncak pada pelengseran Bendesa Desa Pakraman Tabola yang lama pada akhir tahun 2008. Sejalan dengan pemikiran Schulte-Nordhlot (1971), kontraversial yang muncul ini merupakan wujud dari apa yang disebut kontradiksi dalam struktur sosial, yang kelak kemudian, sekali lagi, mendorong terjadinya perubahan struktur baru (perubahan ke-2) Desa Pakraman Tabola sejak memasuki era reformasi.

Bagaimanapun kalau mengacu pada ketentuan dalam awig-awig, posisi lembaga “pingajeng” ini cukup penting dan menentukan dalam keseluruhan struktur organisasi Desa Pakraman Tabola. Misalnya saja, kalau dilihat dari kewajibannya (Catra 2003), disebutkan:

“Pingajeng Desa Pakraman Tabola ikut serta memikirkan serta mengusahakan, berembuk dan memberi pertimbangan, dalam hal membangun desa, bagaimanapun beratnya, berdasarkan permohonan prakangge desa (pengurus desa), agar dapat mencapai kesentosaan desa”. Selain kewajiban tersebut, Pingajeng Desa Pakraman Tabola memiliki fungsi dalam pemilihan prakangge (pengurus) desa, yaitu bahwa “pada saat pasamuhan (pertemuan musyawarah) desa akan membentuk prakangge desa yang baru (pengurus desa yang baru), maka pesamuhan itu diemban pelaksanaannya oleh pingajeng desa hingga selesai”.

(28)

276

pingajeng desa. Kedudukan yang “istimewa” seperti inilah yang kelak kemudian dipersoalkan oleh pengurus Desa Tabola yang baru paska pelengseran pengurus lama, dan dianggap sebagai menumbuhkan feodalisme baru dalam tatanan masyarakat desa pakraman yang arahnya sekarang justru dinilai semakin terbuka.14

Dalam soal lembaga pingajeng ini, I Wayan Suartana, salah seorang pengurus Desa Pakraman Tabola yang baru paska pelengseran pengurus desa yang lama, menyatakan:

”Pingajeng itu bukan hanya penasehat. Makanya (istilah) pingajeng itu berlebihan, sebab pingajeng itu kan bisa diartikan dialah yang paling berkuasa, paling menentukan, apapun harus dia yang menyelesaikan, memutuskan. Tanpa dia, tidak boleh”.15

Lalu kira-kira sejak pertengahan tahun 2008, di Desa Pakraman Tabola mulai mencuat aksi-aksi ketidakpuasan masyarakat desa terhadap prakangge desa (pengurus desa). Masalahnya dipicu oleh kenaikan layanan tarif langganan air minum yang disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pemerintah Kabupaten Karangasem. PDAM telah menaikkan tarif langganan lebih dari 100% dari tarif sebelumnya. Masyarakat menganggap kenaikan tarif yang tinggi itu keterlaluan karena sumber air yang dikelola oleh PDAM itu adalah milik desa, sebagaimana ditegaskan dalam awig-awig desa. Kekesalan masyarakat ini pada akhirnya ditumpahkan pada pengurus desa pakraman, khususnya Bendesa Desa Pakraman Tabola.

Pasalnya, penyaluran air minum yang semula dilakukan oleh desa, tiba-tiba (dalam pandangan masyarakat) dialihkan ke PDAM Kabupaten Karangasem. Sebagian masyarakat desa menganggap proses pengalihan yang terjadi pada tahun 2006 itu hanya melibatkan segelintir pengurus desa, tanpa mengajak masyarakat untuk bermusyawarah. Langkah itu dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang akhirnya menyulitkan masyarakat ketika PDAM dengan sewenang-wenang pula menetapkan kenaikan tarif baru langganan air

14 Wawancara dengan Bendesa Desa Pakraman Tabola periode 2009-2014, I Gusti

Lanang Sidemen. Sidemen, 2 januari 2010.

15 Wawancara dengan I Wayan Suartana. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola,

(29)

277 minum yang “mencekik leher.16

Sejak itu, protes-protes mulai berubah menjadi aksi perlawanan, apalagi PDAM enggan menyesuaikan kembali tarif layanan/langganan air minum sesuai tuntutan masyarakat. Masyarakat desa, melalui FPD akhirnya menuntut penarikan kembali asset desa dari PDAM, dan menuntut pengurus desa bertanggungjawab atas penyerahan asset desa kepada PDAM selama ini. Puncaknya terjadi demonstrasi warga dari 12 perwakilan banjar adat atau seluruh perwakilan banjar adat yang ada di Desa Pakraman Tabola. Ujungnya, mereka melengserkan pengurus desa lama, dan secara sepihak tanpa melibatkan pengurus lama, melakukan pemilihan pengurus desa yang baru. Setelah melalui proses yang berliku-liku maka awal tahun 2009 mulai terbentuk pengurus desa Tabola yang baru, dengan diketuai oleh I Gusti Lanang Sidemen, salah satu tokoh kunci dalam aksi perlawanan untuk menarik kembali pengelolaan asset desa berupa sumberdaya air minum/air bersih dari PDAM ke Desa Pakraman Tabola.

Atas dasar itu, masyarakat melancarkan protes kepada para pengurus desa, khususnya kepada Bendesa Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Gita, dan tokoh pingajeng desa, Cokorda Gde Dangin. Karena protes tersebut tidak direspon secara memadai, maka sebagian tokoh masyarakat Tabola membentuk suatu forum bersama, yang diberi nama Forum Peduli Desa Adat Tabola (FPD-Adat Tabola), yang kemudian dijadikan sebagai wahana untuk melakukan perlawanan terhadap pengurus desa.

Segera setelah terpilih pengurus (inti) desa yang baru maka dibentuk struktur organisasi desa yang baru dengan mengubah bentuk struktur organisasi desa yang lama. Perubahan bentuk struktur ini dianggap sebagai bagian dari koreksi terhadap bentuk struktur desa yang lama; yang meskipun sesuai dengan ketentuan dalam awig-awig tetapi dianggap (oleh pengurus desa yang baru) kurang mencerminkan perkembangan situasi jaman yang lebih terbuka dan demokratis. Terkait dengan hal ini, perubahan yang paling menyolok adalah menghapuskan unsur kelembagaan “pingajeng desa” dalam struktur

16 Lihat Bali Post, Sabtu 1 November 2008, “Soal Demo Air Minum Sidemen. Prajuru

(30)

278

organisasi desa. Sebagai gantinya, dimasukkan unsur baru yang disebut “pengrajeg” desa. Istilah pengrajeg itu adalah istilah dalam bahasa Bali, yang asal katanya dari kata “rajeg” yang artinya kurang lebih tegak, teguh. Sehingga kata pangrajeg kurang lebih memiliki arti penegak, peneguh; dan dalam konteks struktur organisasi desa maknanya adalah unsur yang bisa membuat bendesa tetap tegak atau teguh. Dan disini yang bisa membuat bendesa bisa tetap tegak atau teguh adalah adalah penasehat, sehingga pengrajeg kurang lebih memiliki fungsi sebagai penasehat.

Tentu saja, istilah pengrajeg memiliki arti yang berbeda dengan istilah pingajeng. Istilah “pengajeng” berasal dari kata ajeng yang artinya depan; sehingga kata pingajeng memiliki makna sebagai ‘yang paling depan’, primus interpares. Oleh karena itu dalam struktur organisasi desa, pingajeng, sesuai arti katanya, memiliki kedudukan yang kuat, bahkan “mengatasi” kedudukan klian desa atau bendesa. Sedangkan sebaliknya, unsur “pengrajeg” posisinya secara konsepsional tidak sekuat pingajeng, posisinya dalam struktur organisasi desa berada di samping klian desa atau bendesa, dengan fungsi lebih sebagai penasehat.

Jadi dengan demikian struktur paling atas adalah klian desa atau bendesa, dengan didampingi (disampingnya) adalah pengrajeg sebagai penasehat. Di bawah bendesa adalah wakil bendesa atau disebut pemaden; sementara struktur di bawah bendesa dan pemaden terdapat penyarikan I & II (sekretaris), pasedahan I & II (bendahara) serta patangan (pembantu umum). Di bawah pengurus inti itu, masih terdapat beberapa kelompok pengurus desa lagi, seperi klian-klian banjar (di Tabola jumlahnya ada 12 banjar adat), dang kahyangan (pengurus Pura), pekaseh (pengurus subak), pengurus yang mewakili desa (petajuh) dalam bidang kahyangan, pelemahan, dan pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa.

(31)

279 gemuk ini, sebagaimana diungkapkan oleh Bendesa Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Sidemen dalam wawancara, didasari oleh pemikiran untuk mengakomodasi lebih banyak lagi unsur kelompok-kelompok dalam desa pakraman. Hal demikian dimaksudkan untuk lebih memperluas keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam urusan desa adat/pakraman. Pemikiran seperti ini dilandasi oleh pengalaman dan penilaian mereka (pengurus baru) selama ini yang melihat bahwa desa mereka seolah-olah dikelola oleh kelompok kecil elit desa saja. Sehingga terjadilah apa yang mereka sebut sebagai kesewenang-wenangan dalam pengelolaan sehari-hari desa pakraman. Sebagaimana mereka kemukakan bahwa aksi demo yang berujung pada pelengseran pengurus desa yang lama, sesungguhnya adalah puncak dari ketidakpuasan dan ketidakpercayaan atas cara pengelolaan desa pakraman selama ini.

(32)

280

[image:32.468.58.438.177.518.2]

Berikut gambar struktur organisasi Desa Pakraman Tabola paska pelengseran Klian Desa atau Bendesa Tabola periode 2002 – 2008.

Gambar 20: Struktur Organisasi Desa Tabola (setelah 2009)

Memang struktur organisasi yang gemuk belum tentu menjamin pengelolaan desa pakraman yang lebih berhasil. Tetapi dari hasil wawancara dengan beberapa pengurus desa, termasuk dengan bendesa, memang terkesan kuat adanya semangat untuk membangun lebih luas lagi partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Desa Pakraman Tabola. Sehingga karena itu terbentuk struktur organisasi yang cenderung lebih gemuk.

(33)

281 diatas. Dan dinamika sosial-politik itu, sesungguhnya menggambarkan dengan terang sekali lagi apa yang disebut sebagai suatu fenomena perubahan sosial di Tabola.

• Desa Tabola Mengkonsolidasi Diri

Segera setelah kepengurusan baru terbentuk di awal tahun 2009, Desa Pakraman Tabola mulai berbenah diri, dengan mengkonsolidasikan kembali pengelolaan asset-asset yang menjadi milik desa, sebagaimana tertuang dalam awig-awig desa. Di antara asset-asset milik desa yang sekarang sudah tercatat secara resmi dalam awig-awig desa antara lain: Pura Kahyangan Tiga Desa Tabola (tanah dan bangunan), yang terdiri dari pura puseh, pura desa atau balai agung dan pura dalem; pura-pura kahyangan yang lain yang ada di wilayah Desa Pakraman Tabola (jumlahnya puluhan).

Selain itu juga tanah-tanah yang dipergunakan sebagai pekarangan pemukiman, serta telajakan (tanah sisa pada pinggiran pekarangan); tanah-tanah yang direlakan (diijinkan) pemakaiannya pada mereka yang beragama Islam (di Kampung Sindu, Puniya, termasuk kuburan muslim); tanah-tanah yang dipergunakan sebagai jalan, lorong-lorong, saluran air (parit) dalam Desa Tabola; banjar papatusan (khususnya balai banjar), Pasar Desa Sidemen; tanah-tanah pelaba pura dan ayahan desa, sesuai dengan surat kepemilikan tanah (sertifikat atau yang sejenis); semua mata air, sumber air yang lain (toya anakan, tihisan) yang dapat digunakan sebagai tempat “pasucian batara”, yang dapat digunakan sebagai tempat pemandian serta airnya dapat diambil oleh masyarakat desa, juga dapat disalurkan ke dalam desa pakraman; lembaga perkreditan desa (LPD); dan perusahaan air minum.

(34)

282

karena pihak pengurus desa harus menyusun kronologi peristiwa yang terjadi selama ini, mulai dari awal pembangunan infrastruktur pipanisasi hingga sumber air bersih yang ada di desa bisa disalurkan ke rumah-rumah penduduk, kemudian diambil alih oleh PDAM Kabupaten Karangasem.

Penyusunan kronologi itu bahkan melibatkan suatu Yayasan dari Swiss, Zollikon Foundation, yaitu yayasan yang pertama kali membantu pendanaan proyek pembangunan infrastruktur pipanisasi di Desa Tabola sejak tahun 1990.17

Apa yang dilakukan oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola itu, tentu saja merupakan sesuatu hal yang sulit dibayangkan terjadi pada masa lalu, masa sebelum bergulirnya jaman reformasi. Sebab memang sulit membayangkan sebuah desa adat atau pakraman menuntut balik haknya yang telah diserahkan kepada pemeritah supra-desa, yaitu dalam hal ini Pemerintah Kabupaten. Ibaratnya, jangankan melakukan perlawanan (hukum) kepada Pemerintah Kabupaten, menentang kehendak pemerintahan desa dinas saja, sudah merupakan bentuk tindakan yang sulit dibayangkan ketika itu. Tetapi inilah salah satu buah dari “kebebasan” yang lahir karena proses reformasi yang semakin merasuk ke alam pikiran masyarakat desa adat atau pakraman. Mereka berani menuntut apa yang sudah dianggap menjadi hak-haknya.

Bantuan dana itu sendiri dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi masyarakat Desa Tabola pada waktu itu, khususnya wabah penyakit muntaber karena minimnya ketersediaan air bersih. Dari kronologi itu, pihak pengurus desa yang baru mempunyai bukti kuat untuk berusaha menarik kembali hak pengelolaan air minum desa dari PDAM.

17 Terkait hal ini, pihak Zollikon Foundation di Swiss, merespon surat pengurus Desa

Pakraman Tabola yang baru, mengirimkan surat yang berisi latar belakang mengapa mereka membantu pendanaan dalam rangka mengembangkan infrstruktur air bersih di Tabola. Dalam surat itu disebutkan secara ekplisit bahwa bantuan yang mereka berikan ditujukan untuk masyarakat Desa Tabola, bukan untuk yang lainnya. Sehingga atas dasar surat ini maka menjadi jelas bahwa infrastruktur air bersih yang dibangun di

Desa Tabola adalah milik masyarakat Desa Tabola (Dokumen surat dari Zollikon

(35)

283 Pada akhirnya Desa Pakraman Tabola berhasil memperoleh kembali hak pengelolaan usaha air minum desa. Tetapi keberhasilan ini harus dibayar mahal karena Pemerintah Kabupaten Karangasem, melalui PDAM, menuntut penggantian biaya atas investasi yang telah dilakukan selama mengelola sumberdaya air minum desa. Sebagai kompensasinya, pihak Desa Pakraman Tabola diwajibkan membayar (dengan mencicil) kepada PDAM kurang lebih sebesar Rp536,85 juta. Pihak Desa Pakraman setuju untuk memberikan kompensasi atas pengambilalihan pengelolaan itu, karena menganggap sudah tidak ada jalan lain (yang lebih baik) bagi desa.

Atas pertimbangan bahwa kalau dikelola sendiri dengan baik, usaha air minum desa akan memberikan pendapatan yang lumayan bagi desa, maka usulan PDAM untuk memberikan kompensasi sebesar setengah milyar itupun akhirnya disepakati. Meski sebagaimana akan digambarkan dalam bagian berikutnya dari tulisan ini, pihak desa tidak kenal menyerah mengupayakan keringanan pembayaran kompensasi itu. Termasuk nantinya mengkaitkan kewajiban membayar kompensasi itu dengan masalah dukungan politik desa terhadap salah satu calon Bupati (incumbent) dalam Pilkada di Karangasem (lihat Bab VII). Apa yang terjadi ini merupakan salah satu bukti betapa dinamisnya fenomena sosial, ekonomi dan politik di Desa Pakraman Tabola.

Selain soal pengelolaan usaha air minum desa, hal lain terkait asset desa yang dikonsolidasi oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola adalah pengelolaan Pasar (Desa) Sidemen. Pasar Sidemen milik Desa Pakraman Tabola ini merupakan pasar desa, yang kalau dilihat dari segi ukuran pasar pada tingkat desa tergolong cukup besar dan ramai. Lokasinyapun juga cukup strategis karena berada di tengah-tengah pusat Ibukota Kecamatan Sidemen. Di lokasi sekitar pasar, yang sudah berdiri sejak tahun 1971 itu, terdapat berbagai kios atau toko, yang sebagian besar di antaranya berdiri di atas tanah yang dimiliki oleh desa Tabola.

(36)

284

Tabola, dalam suatu wawancara sempat menyatakan bahwa alasan diserahkan pengelolaan pasar ke pihak luar desa karena selama dikelola sendiri oleh desa, hasilnya terlalu minim.18

Sementara pengelolaan sewa kios-kios yang ada di sekitar pasar desa dikelola sendiri oleh desa. Kios-kios itu berdiri di atas tanah milik desa, sedangkan bentuk fisik kiosnya dibangun sendiri oleh yang menempati. Sewa tanahnya sendiri pada saat itu (sampai Mei 2008) dibayar dengan ukuran natura, yaitu setiap 1 meter persegi (m²) tanah harus membayar iuran ke desa sebesar 2 kg beras/tahun. Jadi kalau kios berukuran 20 m², maka setiap tahun membayar ke desa sebesar 20 kg beras, atau kalau satu kg beras harganya Rp5.000, berarti sewanya sebesar Rp100.000. Ini di luar kontribusi untuk iuran sehari-hari yang harus dibayarkan ke koperasi karena arealnya termasuk areal pasar yang dikelola koperasi.

Akhirnya diambil suatu keputusan untuk menyerahkan pengelolaan pasar desa ke suatu koperasi, bernama Koperasi Rambut Sedana, yang berkedudukan di Amlapura, Ibukota Kabupaten Karangasem. Rambut Sedana adalah bahasa Bali, yang kira-kira artinya harta, kekayaan atau uang. Ini dihubungkan dengan arti kata Sedana itu sendiri yang adalah nama salah satu dewa yang dipercaya di Bali sebagai dewa yang menguasai harta. Dengan mengelola pasar desa itu, maka setiap bulan Desa Pakraman Tabola mendapatkan imbalan bagi hasil dari Koperasi Rambut Sedana sekitar Rp1,5 juta per bulan. “Itu lebih besar dari dikelola sendiri, karena kalau dikelola sendiri desa hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp800 ribu,” demikian menurut I Gusti Lanang Gita.

Lalu sejak terbentuk pengurus desa yang baru pada awal Januari 2009, pihak desa memutuskan mengakhiri kontrak pengelolaan

18 Wawancara dengan Mantan Bendesa Desa Pakraman Tabola periode 2002 – 2008, I

Gusti Lanang Gita. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, Mei 2008. I Gusti Lanang Gita, yang sebelumnya adalah Perbekel Sidemen, pertama kali terpilih sebagai Bendesa Desa Pakraman Tabola untuk periode 2002-2007. Tahun 2008, sebelum

sempat menyelenggarakan pemilihan Bendesa untuk periode berikutnya, dia telah

(37)

285 pasar desa dengan pihak Koperasi Rambut Sedana. Alasan formalnya, pihak koperasi dianggap tidak bisa memenuhi kewajiban, khususnya ketentuan bahwa kalau tidak dibayar berturut-turut sampai tiga kali maka kontrak dibatalkan. Tetapi masalah sesungguhnya lebih dari sekedar alasan formal. Pemutusan kontrak dilakukan karena pihak pengurus baru sesungguhnya tidak percaya lagi dengan cara pengelolaan yang dilakukan oleh pihak koperasi.

Hal ini, antara lain juga terkait dengan ketidakpercayaan pengurus desa yang baru terhadap mekanisme pengelolaan administrasi keuangan oleh pengurus desa sebelumnya. Inilah sebenarnya salah satu sumber penyebab lebih mendasar dari pergolakan di Tabola yang berujung pada pelengseran pengurus atau prakangge Desa Pakraman Tabola. Masalah pengelolaan air minum desa oleh PDAM, sesungguhnya hanya pemicu dari meledaknya berbagai permasalahan yang sudah menumpuk lama tetapi terpendam di dalam. Desa yang selintas kelihatan harmonis itu ternyata menyimpan potensi konflik internal, yang hal itu timbul dari berbagai persoalan yang tidak mampu diselesaikan pada waktunya.

Setelah kontrak pengelolaan pasar dengan Koperasi Rambut Sedana dibatalkan, maka pengurus baru desa membuat penawaran baru (tender) kepada pihak-pihak yang berminat melakukan pengelolaan pasar desa. Akhirnya pilihan jatuh pada pihak perorangan (krama desa) yang bersedia memberikan imbalan Rp2,5 juta per bulan, atau lebih besar Rp1 juta per bulan dibandingkan dengan bagi hasil yang diberikan Koperasi Rambut Sedana. Dengan cara itu, maka konsolidasi asset desa, khususnya pasar desa selesai karena sejak saat itu pengurus desa yang baru mengendalikan sepenuhnya pengelolaan pasar desa (melalui pengelolaan oleh pihak perorangan krama desa). Bagaimanapun, pasar desa merupakan sumber keuangan Desa Tabola yang likuid, sehingga pihak desa merasa perlu mengkonsolidasikan mekanisme pengelolaan yang lebih menguntungkan dari sisi pemasukan bagi desa.

(38)

286

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) milik Desa Pakraman Tabola. LPD milik desa pakraman yang mulai beroperasi tahun 1980-an itu pernah berkembang baik, dan mendapat kepercayaan masyarakat desa sebagai lembaga simpan pinjam di perdesaan.19 Salah satu faktor penentu

mengapa LPD Tabola waktu itu mendapatkan kepercayaan masyarakat desa karena kepemimpinan LPD yang terpercaya. Namun dalam perkembangannya kemudian peran LPD di mata masyarakat berangsur-angsur merosot, dan malah sejak beberapa tahun terakhir sebelum terbentuknya kepemimpinan desa yang baru, kondisinya dinilai semakin memburuk. Keadaan inilah yang mendorong pihak pengurus desa yang baru turun tangan untuk mengkonsolidasikan kembali lembaga yang dulu pernah berjalan baik itu. Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Suartana, Bendahara Desa Pakraman Tabola (pengurus desa yang baru): “Sekarang ini (oktober 2010) kami baru mulai menata. Kalau dulu nggak jalan sama sekali…hancur banget”.20

Dalam pandangan Bendesa Desa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, LPD menghadapi kesulitan karena pengawasan dari pihak desa lemah, padahal LPD itu lembaga keuangan milik desa pakraman. Selain itu diduga ada pengurus desa yang memanfaatkan dana LPD secara kurang tepat di luar kepentingan desa. Karena itulah, langkah konsolidasi pertama yang dilakukan adalah mengganti ketuanya (LPD), yang kebetulan saat itu telah terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Karangasem (hasil Pemilu 2009).

Dari penjelasan bendesa, dalam waktu kurang dari setahun sejak dilakukan konsolidasi, kegiatan LPD yang semula seperti ‘hidup segan mati tak mau’ itu mulai menggeliat lagi. Terkait hal ini, Bendesa Desa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen, yang mantan pensiunan guru

19 Lihat hasil penelitian: Gorda, I Gusti Ngurah. Pengaruh Perilaku Pemimpin

Terhadap Kepercayaan Deposan Pada Lembaga Perkreditan Desa. Kasus LPD Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Artha Satya Dharma, Volume I, No 1, November 1996 – April 1997. Dalam penelitian itu diungkapkan bahwa LPD Sidemen mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat desa sehingga lembaga perkreditan desa itu bisa berkembang baik (pada waktu penelitian dilakukan).

20 Wawancara dengan I Wayan Suartana, Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola,

(39)

287 sekolah negeri itu mengungkapkan:21

“Setelah kita buat aturan baru dan pengawasan yang lebih ketat dari desa, sekarang mulai tumbuh lagi kepercayaan masyarakat. Kalau aktiva sebelum kita benahi tinggal Rp150 juta, sekarang sudah bisa meningkat lebih dari tiga kalinya, yaitu hampir Rp460 juta (per September 2010)”.

Sekali lagi, masalah LPD di mata I Gusti Lanang Sideman, disebabkan karena salah kelola, khususnya di bidang administrasi keuangan.

Demikianlah, kalau ditelusuri memang umumnya masalah yang dihadapi oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola adalah masalah manajemen (keuangan) desa yang kurang terkontrol rapi pada saat kepengurusan desa sebelumnya. Dalam pandangan I Gusti Lanang Sidemen, semuanya ini akibat kekuasaan desa yang terpusat pada beberapa pengurus desa, utamanya pada pingajeng dan bendesa. Ini yang kemudian mendorong munculnya rasa ketidakpuasan masyarakat desa, terutama setelah kondisinya menjadi semakin terbuka.

Dalam konteks ini, suatu lapisan elit baru yang sedang tumbuh di desa, menangkap situasi keterbukaan itu sebagai dorongan untuk memperbaiki keadaan. Inilah awal dari munculnya gejolak di Tabola yaitu sebagai dampak dari tabrakan kepentingan, antara elit lama yang secara tradisi memiliki pengaruh kuat di desa adat dan elit baru yang melihat tumbuhnya kesempatan untuk melakukan perubahan dengan memanfaatkan perkembangan keterbukaan dan demokrasi yang semakin menancap tajam dalam alam pikiran masyarakat desa di Bali, khususnya di Tabola.

Apa yang bisa dipelajari di sini adalah bahwa tumbuhnya iklim keterbukaan dan demokrasi telah mendorong munculnya pikiran-pikiran baru yang pada gilirannya telah memunculkan kotradiksi-kontradiksi internal dalam struktur sosial organisasi Desa Pakraman Tabola. Pikiran-pikran baru itu pada dasarnya mempertanyakan kembali dasar berbagai kebijakan pengurus desa yang lama, yang sebelumnya dianggap wajar. Dalam pandangan Schulte-Nordhlot

21 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Bendesa Desa Pakraman Tabola yang

(40)

288

(1971: 10-18), apa yang dilakukan oleh lapisan elit baru yang mempertanyakan dasar kebijakan elit lama (pengurus desa yang lama) tidak lain adalah menggugat apa yang dinamakan structural principles lama yang dampaknya memunculkan kontradiksi dalam struktur sosial lama. Kontradiksi-kontradiksi inilah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan sosial, dalam bentuk perubahan struktur organisasi Desa Tabola sebagaimana dikemukakan di atas.

Rangkuman

Desa Tabola yang dari permukaan kelihatan tenang dan harmonis, sesuai dengan keadaan lingkungan alam sekitarnya, di dalamnya ternyata berlangsung suatu proses perkembangan sosial-politik yang sangat dinamis. Kalau dicermati, dinamika sosial-sosial-politik yang berlangsung di desa yang terletak di kaki Gunung Agung Bali itu dalam dirinya membawa berbagai gejala perubahan sosial. Suatu contoh, sejak memasuki jaman reformasi, misalnya, relasi antara desa dinas dengan desa adat, yang sebelumnya hubungannya lebih banyak di dominasi oleh desa dinas, pada akhirnya telah mengalami proses perubahan. Dalam proses perubahan itu, relasi yang lebih baru menempatkan desa adat atau yang sekarang disebut sebagai desa pakraman, pada kedudukan yang lebih kuat dibandingkan pada relasi sebelumnya. Dalam relasi baru itu, desa adat tidak lagi bisa dipandang sebagai sub-ordinasi desa dinas; bahkan sebaliknya desa dinas dalam beberapa hal menjadi lebih tergantung kepada desa adat/pakraman. Ini khususnya ketika desa dinas harus melaksanakan berbagai program, yang praktiknya membutuhkan dukungan partisipasi masyarakat desa. Dalam soal seperti ini, desa adat/pakraman yang lebih mampu menggerakkan partisipasi masyarakat desa, karena memang masyarakat desa, umumnya lebih patuh terhadap desa adat/pakraman.

(41)
[image:41.468.75.401.182.560.2]

289 adat/pakraman karena berbagai sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya, struktur organisasi desa adat/pakraman berubah setelah lahirnya awig-awig desa yang baru, dan hal itu didorong oleh adanya ketentuan baru dalam awig-awig desa itu sendiri, yang di masa sebelumnya, hal demikian itu belum diatur.

Gambar 21: Perubahan Relasi antara Desa Dinas dengan Desa Adat/Desa Pakraman

Koordinasi (Relasi Baru)

Sub-Ordinasi (Relasi Lama)

Dalam konteks ini, substansi awig-awig Desa Pakaraman Tabola yang menjadi dasar dari perubahan struktur organisasi desa, sejalan dengan pemikiran Schulte-Nordhlot (1971), bisa digolongkan sebagai structural principles, atau prinsip dasar yang menopang keberadaan suatu struktur sosial. Sedangkan perubahan struktur organisasi desa itu sendiri bisa dikatagorikan sebagai gejala perubahan sosial; tetapi lebih dari itu, perubahan struktur organisasi itu pada akhirnya mengubah pola relasi kekuasaan antara kelompok-kelompok elit di desa, yang hal itu juga pada dasarnya adalah gejala perubahan sosial penting.

Di Tabola, perubahan pola relasi kekuasaan antar kelompok-kelompok elit di desa bahkan telah menimbulkan konflik dan gejolak

Desa Dinas Sidemen

Desa Pakraman Tabola

(42)

290

politik setempat (desa), yang berujung pada lengsernya kepemimpinan lama. Tetapi yang menarik, pada saat yang sama, terjadi upaya-upaya dari kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik, lewat suatu penyelesaikan yang dianggap tidak mempermalukan kedua belah pihak. Dalam beberapa kesempatan wawancara, para tokoh kedua belah pihak secara implisit menyampaikan sinyal keinginan untuk memulihkan kembali situasi desa yang harmonis dengan dasar alasan yang sama: ingin melaksanakan ajaran Tri Hita Karana.

Dalam konteks ini, Tri Hita Karana, yang merupakan suatu nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dan dijiwai dalam praktik kehidupan sehari-hari oleh krama desa (elit dan masyarakat desa biasa) telah ikut memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam proses perubahan yang melibatkan konflik di antara para elit desa tersebut. Bagaimanapun, dalam kehidupan di Desa Pakraman, nilai-nilai Tri Hita Karana, khususnya keingingan untuk membangun kehidupan harmoni, boleh dikatakan telah menjadi salah satu habitus desa. Memang, menurut pengamatan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Bali, hampir sulit ditemukan aspek tindakan/kegiatan krama desa yang tidak mengacu pada nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut.

Pertanyaannya: apakah Tri Hita Karana bisa dikatakan sebagai landasan nilai dari suatu mekanisme (instrumen) internal yang ada di masyarakat desa Bali untuk memulihkan situasi konflik ke situasi harmonis? Peneliti menduga demikian, mengingat begitu kuat dan lekatnya pemahaman masyarakat desa di Bali terhadap konsep Tri Hita Karana, yang pada intinya mengajarkan manusia untuk “hidup harmonis”.

(43)

291 diri untuk tidak melakukan respon terkait permasalahan desa, yang bisa kembali menyulut kembali konflik.

Sebaliknya Bendesa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, secara terus terang mengakui bahwa yang penting masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa, terutama masalah terkait pengelolaan air minum desa selesai. Ini karena disadari bahwa masalahnya memang tidak ringan, dan air minum (air bersih) sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat Tabola. Pembenahan-pembenahan yang lainnya terkait permasalahan desa secara lebih luas, menurutnya, akan dilakukan secara bertahap, sambil menunggu situasi konflik mereda dan tenang kembali. Bahkan terkait hal itu, penyusunan struktur kepengurusan desa yang baru secara lengkap memerlukan waktu yang cukup lama (hampir setengah tahun), dan tidak segera setelah pengurus inti terbentuk pada awal tahun 2009. Sebagaimana diakui oleh Bendesa Tabola

Gambar

Gambar 17: Organisasi Desa Adat Tabola
Gambar 18: Proses Perubahan Organisasi Desa Pakraman Tabola
Gambar 19: Struktur Organisasi Desa Tabola
Gambar 20: Struktur Organisasi Desa Tabola (setelah 2009)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi penawaran oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa RSUD Arga Makmur terhadap penawaran yang masuk, serta berdasarkan Surat Penetapan Pemenang, maka

Sistem asam laktat hanya menjadi andalan pada olahraga yang harus mengerahkan energi, dengan waktu kurang dari empat menit, atau bodi kontek yang harus tahan menahan, dan jika

[r]

• Glikogen punya sifat retensi/mengikat air shg jika dalam set otot banyak akan menyebabkan hipertropy yang cukup tinggi • Asam laktat yang terjadi akan dikeluarkan dari sel

Aktivitas yang Dilakukan dalam rangka Mempertahankan Citra Malang sebagai Kota Pendidikan ………..... Kerjasama yang

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA RPP KETERAMPILAN LANJUT BOLAVOLI (TEORI)1.

Untuk mengikuti tuntutan jaman dan perubahan yang terus berkembang, Faktor yang mempengaruhi kinerja adalah kemampuan (ability) dan factor motivasi (motivation)

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas