• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB V"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUBAH HUTAN MENJADI LAHAN

PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN

PETERNAKAN

Pengantar

Bab lima ini akan membahas bagaimana peran kepemimpinan dalam proses transformasi lahan Alas Cekik menjadi lahan pertanian dan perkebunan serta peternakan. Pasca bermigrasi ke alas Cekik, orang Bali Kristen memulai kehidupan baru. Hutan yang angker ditaklukkan dan dialihkan menjadi area tuai dan sumber penghidupan bagi mereka. Dengan kepemimpinan transformatif dari pemimpin desa (I M ade Sela) dan rohani (Pdt. I M ade Rungu dan I M ade Tjaduk), bagaimana peran kepemimpinan saat situasi konflik dan pengakuan pemimpin yang ada di saat itu serta gambaran “alas Cekik” yang mengerikan tersebut yang diubah menjadi lahan produktif. Tidak hanya sampai pada lahan pertanian, namun berubah menjadi perkebunan bahkan sampai peternakan.

Kinerja Kepemimpinan

(2)

kepala desa. Untuk itu pada bagian ini dipaparkan kinerja yang dilakukan oleh dua aras kepemimpinan ini yang secara publik menonjol untuk menelesuri peran mereka yang signifikan.

(3)
(4)

COBTA (Community Based Tourism Assocition) terpilih menjadi contoh untuk perkembangan pariwisata Bali Barat.

Peran Pemimpin dalam Proses M embuka H utan Blimbingsari

“W it alat-alat tukang ane aluh gati anggon ngewangun hidup ane baru di Alas Cekik punika sawireh ngelah semangat lan mental menyame braye, irage masih nganggo etos megae ane luwung, makane nyidang jani sami makejang ngoyong di desane ene” tandas Gusti Rata.

Artinya, Dengan peralatan tukang yang sangat sederhana, bermodal semangat dan bermental solidaritas mereka memulai kehidupan di kawasan yang masih ‘perawan’ tentu dengan etos kerja yang baik.

Awalnya mereka tidur dan makan minum di tempat terbuka, minggu pertama barulah terbangun rumah-rumah sederhana sebagai tempat mereka berlindung dari panas dan hujan. Namun keadaan ini tidak membuat mereka mudur dan berbalik, mereka tidak pernah mau menoleh ke belakang.Sekali melangkah jangan menoleh ke belakang atau masa lalu. M otto inilah yang menjadi dasar kekuatan kelompok masyarakat desa Blimbingsari bergulat dengan alam.

“Bet gati alas cekikne. Kenken carane apang nyidang i rage nongosin alase ene. Jeg sebilang dine jemet, megae den gaene dugas pidan sing taen nyerah. Ngusahayangalase ene kanti ngelah umah anggon sirep lan medaar, kinum. Ape gen tingalinne ane luwung lan becik diusahange, tur iman kristen punike anggen dasarne metindak kanti jani dados etos megae antuk pemimpin kristen lan pemeimpin desa”

(5)

Inilah pula yang menjadi awal dari pembentukan etos kerja yang pantang menyerah, terus membangun dengan tidak mengenal lelah. Satu keinginan mereka yaitu untuk bangkit dan meraih mimpi mereka sebagai kelompok masyarakat yang mandiri dan dihargai serta memiliki pula kehormatan diri. Bangun dan membangun, hanya satu dalam benak mereka untuk menaklukan kawasan Blimbingsari ini. Tepat bulan Januari 1940, kelompok kedua yang berjumlah 85 orang bergabung dengan kelompok pertama. Tabel 5.1. adalah nama-nama angkatan kedua yang berangkat ke Blimbingsari pada bulan Januari 1940 dibawah ini.

Tabel 5.1.Angkatan Kedua yang Berangkat pada Bulan Januari 1940

No. Nama Alias/Nama Asli Daerah Asal

1 W ayan Ngerti Pan Sadrah Desa Anggungan Carangsari

distrik Abiansemal

2 I W ayan W era Pan Turunel Desa Anggungan Carangsari

distrik Abiansemal

3 Made Waneng Desa Anggungan Carangsari

distrik Abiansemal

4 I Gede Cetog Desa Dalung distrik Kuta

5 Gede Sambeh Pan De Sumatra Desa Dalung distrik Kuta

6 I Gede Saderu Kak De Budi Desa Dalung distrik Kuta

7 I Made Redeg Desa Dalung distrik Kuta

8 Ketut Raun Pan Sudri Desa Dalung distrik Kuta/

Plambingan

9 Ketut Sela Pan De Gubreg Desa Dalung distrik Kuta

10 Made Rentan Pan Sari Desa Dalung distrik Kuta

11 W ayan Celos Pan Cebur Desa Abianbase distrik Mengwi

12 Gede Mundri Pan De Alpius Desa Abianbase distrik Mengwi

13 Gede Kacir Pan De Arip Desa Abianbase distrik Mengwi

14 Nyoman Nenteng Desa Abianbase distrik Mengwi

15 Made Tebing Pan Luh Tampi Desa Abianbase distrik Mengwi

16 Pan Luh Muleg Desa Abianbase distrik Mengwi

17 W ayan Reon Pan Ketut Soka Desa Abianbase distrik Mengwi

18 Made Berata Pan De Marten Desa Abianbase distrik Mengwi

19 Made Naja Desa Abianbase distrik Mengwi

20 W ayan W ara Pan Luh Kasna Desa Abianbase distrik Mengwi

21 Nyoman Gender Desa Abianbase distrik Mengwi

22 Nyoman Dampiyuk Pan De Rata Desa Abianbase distrik Mengwi

(6)

No. Nama Alias/Nama Asli Daerah Asal

24 Nyoman Embung Pan Gede Togor Desa Abianbase distrik Mengwi

25 W ayan Kubek Pan De Pica Desa Abianbase distrik Mengwi

26 Ketut Gubed Pan Nyeneng Desa Abianbase distrik Mengwi

27 Gede Sengkig Pan Luh Ribkah Desa Abianbase distrik Mengwi 28 Gede Dikit Pan Gede Susadra Desa Abianbase distrik Mengwi

29 Made Gewar Kak Gereja Desa Abianbase distrik Mengwi

30 Made Manis Pan Nyenyep Desa Abianbase distrik Mengwi

31 Gede Klepug Pan Luh Subakti Desa Abianbase distrik Mengwi

32 Made Sambeh Pan Gede

Sutakarma

Desa Abianbase distrik Mengwi

33 W ayan Guleh Pan Yadnya Desa Abianbase distrik Mengwi

34 Made Sadra Pan Rimbiik Desa Abianbase distrik Mengwi

35 Nyoman Kutug Pan W ayan Riden Desa Abianbase distrik Mengwi

36 Nyoman Geleng Kak Puja Desa Abianbase distrik Mengwi

37 I Made Lisig Pan W ayan W areg Desa Abianbase distrik Mengwi

38 I Made Madi Pan Ngh Denia Desa Abianbase distrik Mengwi

39 Nyoman Anteg Pan Darpi Desa Abianbase distrik Mengwi

40 W ayan Rumrum Pan Mungkering Desa Abianbase distrik Mengwi 41 Gede Gebeh Pan Ketut Candri Desa Abianbase distrik Mengwi

42 Gede Gereh Pan Made Mundri Desa Abianbase distrik Mengwi

43 Nyoman Kreweg Pan Kt Sandi Desa Abianbase distrik Mengwi

44 Gede Sugi Pan Luh Siram Desa Abianbase distrik Mengwi

45 Ketut Lara Pan Luh Rahayu Desa Abianbase distrik Mengwi

46 W ayan Rayen Pan Luh Renyan Desa Abianbase distrik Mengwi

47 Made Situh Pan Luh Nyeri Desa Abianbase distrik Mengwi

48 I W ayan Legit Pan Luh Purni Desa Abianbase distrik Mengwi 49 I W ayan Gledeg Pan Sudanti Desa Abianbase distrik Mengwi

50 Nyoman Soken Pan Rai Kundi Desa Abianbase distrik Mengwi

51 I W ayan Gedol Pan Tut Nambrig Desa Abianbase distrik Mengwi

52 W ayan Radeg Pan Gidion Desa Abianbase distrik Mengwi

53 Made Tjandra Pan De Suwindia Desa Abianbase distrik Mengwi

54 Gede Naya Pan De Sudira Desa Abianbase distrik Mengwi

55 I W ayan Wiri Pan Lusin Desa Gaji (Banjar Untal-Untal) distrik Kuta

56 I W ayan Diblug Pan Jebro Desa Gaji (Banjar Untal-Untal) distrik Kuta

57 I W ayan Rengkug Pan Luh Rapug Desa Gaji (Banjar Untal-Untal) distrik Kuta

58 Pan Sepur Desa Gaji (Banjar Untal-Untal)

(7)

No. Nama Alias/Nama Asli Daerah Asal

62 I Ketut Parti Kak Jenggot Desa Sading distrik Mengwi

63 Pan Kebias Desa Sading distrik Mengwi

64 Nang Nyangkrig Desa Sading distrik Mengwi

65 Ketut Rameh Pan Adri Desa Sading distrik Mengwi

66 I Ketut Keceg Pan Luh Darma Desa Peguyangan distrik

Kesiman

67 Pan W aran Desa Congkok distrik Mengwi

68 I W ayan Rembiok Desa Congkok distrik Mengwi

69 Putu Griya Desa Bongan – Tabanan distrik

75 Made Resta Ti Buntut Desa Ulun Uma distrik Mengwi

76 I W ayan Sandi Desa Bubunan – Buleleng distrik

Bubunan

77 Nyoman Raka Desa Penataran – Sepang distrik

Bubunan

78 I Gede Kandi Pan Regog

79 I Made Dogol Pan Suri

80 Made Jare Pan Smion Desa Carangsari

81 Nyoman Maja Pan W artani Desa Plambingan

82 Made Rungu Pan Sulaksana

83 Made Grondong Dadong Mika Desa Buduk

84 I Nyoman Snitug Pekak Perot

85 Made Kenyur Pan Tjatri Desa Carangsari

(8)

Dari sinilah mulai muncul secara alami kepemimpinan untuk mengarahkan dan memotivasi mereka untuk lebih mempunyai etoskerja yang kuat dalam membangun desa Blimbingsari.

Kepemimpinan memainkan peran penting memotivasi, menggerakkan,danmengarahkan masyarakat Desa Blimbingsari. Dalam hal ini kepemipinan rohani Bapak I M ade Caduk, dan pemimpin desa I M ade Selayang tidak mudah memimpin 30 orang dewasa dengan latarbelakang yang berbeda. Di Pulau Bali berlaku adat yang secara turun-temurun menjunjung tinggikemandirian atau otonomi, bahkan mereka sulit dengan mudah menerima kelompok lain.Semua proses interaksi antar kelompok harus dilakukan secara adat terlebih dahulu.

Sumber: data primer (diolah, 2009)

Gambar 5.1. Gambar Pembagian Tanah Blimbingsari

(9)

dengan B (Kantor Desa), C (Gereja Pniel), dan D (SDK M aranatha), adalah tempat sentral menurut informan kunci yang penulis wawancarai). Dari gambar 5.1. yang diarsir (berwarna abu-abu) tersebut adalah tanah pemukiman/pekarangan yang telah di tempati oleh warga Desa Blimbingsari. Sedangkan yang warna hijau adalah tanah kebun atau tegalan yang telah di bagi-bagi menurut jumlah perintis yang ada.

Asal usul namaDesa Blimbingsari mempunyai sejarah yang panjang. Di bawah ini adalah hasil kutipan daribuku Sunarya1, sebagai

berikut:

“Nama Blimbingsari mempunyai sejarah yang sangat sederhana, namun di balik kesederhanaannya itu, tersimpan makna yang menyejarah dengan hutan yang mereka buka untuk menjadi sebuah desa yang sangat indah. Konon nama Blimbingsari diambil dari nama salah satu pohon kayu yang ada di hutan itu. Pohon itu disebut kayu “Blimbing”, yang kini dilestarikan di sebelah selatan jalan Sekolah Dasar Kristen Harapan M aranatha (lihat Gambar 5.2. di bawah).

Gambar 5.2. Pohon Kayu Blimbing

Pohon itu tumbuh rimbun dan subur serta sangat indah dipandang, terutama daun yang muda mulai tumbuh dengan wama daunnya yang merah darah. Jadi pohon kayu blimbing ini tidak seperti

1 Pdt. I W ayan Sunarya, ”Selayang Pandang Sejarah Blimbingsari, Lentera di tengah

(10)

pohon buah blimbing yang dikenal secara umum, yang berbuah lebat, enak dimakan serta dapat menyegarkan tubuh, “karena mengandung vitamin Cyang tinggi” ungkap Pdt W ayan Sunarya, 2009.

Pohon blimbing di desa Blimbingsari adalah pohon kayu, sejenis kayu bakar yang sangat mudah dikemas. Orang-orang Bali Hindu dari Nusa Penida, yang menjadi penghuni tanah hutan kontrakan, mengambil dan mengemas kayu-kayu blimbing itu sebagai kayu bakar untuk dipasarkan di M elaya. Sementara orang-orang Nusa Penida sibuk mengambil dan memasarkan kayu blimbing, para perintis berkonsentrasi mengolah tanah perkebunan dua hektar (2 ha) dan tanah pekarangan 20 are yang menjadi tiang tumpuan hidup masa depan mereka. Setelah beberapa tahun bekerja keras, impian itu menjadi kenyataan. Hal ini terbukti pada tahun 1940-an, sudah ada di antara para perintis yang pulang ke Denpasar membawa hasil bumi mereka dan juga ada yang menjual pisang ke Peken Badung. Pada malam hari mereka menginap di Bale Banjar Gerenceng, yang hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari Peken Badung.

Proses M embuka Lahan Pertanian

Seperti digambarkan di atas, lahan yang disediakan bagi migran Bali-Kristen masih berupa huta belukar, dan unutk mengolahnya membutuhkan tenaga dan semangat yang tinggi. Gambar 5.3 dibawah ini menampilkan gambaran tanah desa pertanian saat memulai pertanian mula-mula di Desa Blimbingsari, serta aktivitasnya.

(11)

(Sumber; Dokumen GKPB, Dalem Ripeh,Nengah dkk 2012)

Gambar 5.3. Awal pembukaan lahan produktif

Dengan membakar pohon-pohon dan alang-alang, maka tunggul-tunggul besar tersebut hilang, sehingga petani lebih mudah mengatur sawah ladangnya dengan leluasa. Setelah mencabut tunggul-tunggul dan akar-akar besar, petani mendapat sawah ladang yang bersih, barulah mereka melakukan pembersihan dan mulai membuat irigasi dari sungai yang melewati desa tersebut. Irigasi air itu dinama-kan irigasi Bukit Sari2. Irigasi bukit sari itu mengairi sawah dan

ladang-nya dengan cukup baik ke semua lahan Desa Blimbingsari sehingga semua sawah dan ladang seluas 200 hektar, mendapat air yang cukup. Namun irigasi bukit sari setelah tahun 1988 menjadi kering dan tidak dimanfaatkan lagi, karena sudah banyak penduduk yang keluar desa Blimbingsari (lebih detail tentang air irigasi dijelaskan di bab enam).

Petani bekerja keras dan tekun dengan menanam padi dan jagung dengan semangat gotong royong di antara mereka, sehingga petani Blimbingsari mampu menuai hasilnya dan demikian secara terus-menerus (enam bulan panen) sampai mencukupi kebutuhan di masing-masing keluarga Blimbingsari. Pagi jam 06.00 mereka sudah berangkat ke sawah ladangnya untuk mengerjakan lahannya masing-masing dan pulang sore hari sekitar jam 17.00. Yang dikerjakan para petani adalah menggemburkan tanah pertanian mereka dengan bantuan sapi yang diikat dengan ‘nenggala’ suatu alat pembajak sawah

2W awancara dengan I bu Wayan Kari, Gusti Rata, Pdt. Wayan Sunarya, dan Pdt. Ketut

(12)

agar tanah bisa gembur. Penggemburan tanah berlangsung cukup lama, karena lahan yang sangat luas (minimal 2 kali putaran rata). Petani dan bajaknya harus mengelilingi tanah persawahan sehingga gemburnya menjadi rata dan dapat dialiri air irigasi bukit sari agar sedikit berair, sehingga tanah menjadi lebih gembur jikalau menanam padi atau jagung. Setelah tanah digemburkan, baru petani menaburkan bibit padi, lalu didiamkan beberapa bulan sambil terus memantaunya, sampai keluar bulir-bulir padi. Demikian seterusnya sampai dipanen oleh petani.

M enurut Bapak Gusti Rata, ada dua jenis produk yang dihasilkan oleh para petani mula-mula, yaitu jagung dan padi gaga.Padi gaga merupakan salah satu jenis padi yang ada di Blimbingsari, yang hasil panennya dijual ke pasar M elaya, Kecamatan M elaya dan ada juga yang digunakan untuk konsumsi sendiri oleh keluarganya (tidak dijual saat itu). M enanam padi dan jagung dilakukan di lahan pertanian ini, setiap enam bulan secara bergantian. Lahan ini mendapat air dari irigasi bukit sari yang dilewatinya, sehingga lahan menjadi subur dan melimpah hasilnya.

Lahan tegalan dibuka dan diolah menjadi lahan pertanian oleh angkatan pertama dan hasilnya berupa palawija sehingga mereka dapat membantu keluarga-keluarga di tempat asal mereka, seperti Abianbase, Pelambingan, Sading, Untal-Untal, Dalung dan Carangsari. Disamping itu juga lahan tegalan menghasilkan buah kelapa yang dijual kepada pengepul. Hasil penjualan buah kelapa di gunakan untuk konsumsi dan biaya pendidikan anak-anak mereka belajar di Denpasar dan ke luar Bali (dari tingkat SM A sampai Sarjana). Sampai sekarangpun komunitas Desa Blimbingsari mengandalkan hasil pertanian, perkebunan dan peternakan sebagai sumber pemasukan utama

(13)

Beberapa kali menjadi desa teladan di Bali, dalam bidang pembangunan, ekonomi, Keluarga Berencana.

Sawah dan Ladang: Lahan Produktif

Orang-orang Bali-Kristen membangun Blimbingsari dengan tekad yang kuat, mengatur jalan-jalan dengan sangat baik dan luasnya sampai ke kebun-kebun atau tegalan. Pada tahun70-an pertanian di Blimbingsari mulai dialihkan dari tanaman palawija menjadi tanaman keras seperti kopi, kelapa, merica3. Dari hasil produksi itu warga

Blimbingsari mampu membiayai pendidikan anak mereka sampai ke perguruan tinggi.

Blimbingsari mempunyai tanah yang subur, hasil pertanian yang melimpah, telah memberikan perubahan pendapatan ekonomi kepada warganya sehingga berkecukupan. Dampak perubahan yang terjadi telah membawa Desa Blimbingsari terus mempersiapkan diri masuk keera globalisasi. Peningkatan sumberdaya manusia menjaga kelestarian alam Blimbingsari menjadi perhatian masyarakat di sana. Seperti diungkapkan Ibu W endy dari Australia berikut ini:

“Salah satu bukti yang terus dipertahankan oleh masyarakat Blimbingsari sampai saat ini adalah citra diri lingkungan keluarga dan desa asri, rindang, nyaman, bersih, aman dan damai. Citra desa ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap pengunjung yang memasuki tanah Blimbingsari. Kunjungan tamu dari berbagai belahan dunia yang datang ke Blimbingsari, selain belajar tentang nilai-nilai kontekstual dan berwisata rohani, ternyata mereka juga ingin tahu secara pasti tentang sisi unik yang khusus dari sebuah desa kecil di pulau ‘seribu pura’ ini yang mayoritas komunitasnya merupakan orang Kristen”.

Demikianlah kesan Ibu W endy setelah mengunjungi dan tinggal di Blimbingsari selama kurang lebih 1,5 bulan. Kegiatannya di Blimbingsari adalah membantu mengajar bahasa Inggris, membantu

3W awancara dengan Bapak Gst Rata sebagai Generasi I yang pindah ke Blimbingsari,

(14)

pelayanan pusat bermain anak-anak dan memberi bantuan kepada panti asuhan seperti mengajar bahasa inggris, memberikan pelajaran berenang yang baik dan memainkan musik (khususnya seruling)di komunitas Blimbingsari. Setiap Tahun Ibu W endy dari Australia ini datang dan tinggal menetap di Blimbingsari. Tidak hanya di desa Bimbingsari, juga dia mengajar di Ambyarsari untuk anak-anak SD khususnya belajar bahasa Inggris.

I ntegrasi Sosial di Blimbingsari

Peristiwa awal mula pembukaan lahan hutan ini juga tidak lepas dari integrasisosial di Desa Blimbingsari. Bisa dibayangkan orang-orang yang datang ke Blimbingsari adalah mereka yang datang dari berbagai daerah di Bali Selatan dengan mengusung berbagai kasta masing-masing dan konflik pun tidak terhindarkan. M enurut wawancara penulis dengan Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, menyatakan hal yang sama bahwa “disamping karena merasa memiliki kesamaan dan satu keyakinan, sebagai orang Kristen baru dan dibuang, mereka memiliki perasaan yang sama senasib sepenanggungan. Namun disisi lain mereka memiliki strata/kasta sosial yang berbeda-beda yang dibawa dari kampung halamanya (triwangsa)”. Oleh karena itu muncul ketegangan sosial pada masyarakat Kristen Bali. Berbagai contoh ketegangan sosial tersebut diuraikan di bawah ini:

(15)

kaping pertame inggih punika I M ade Rungu dadiang pemimpin desa Blimbingsari sawireh i ragane dadi pendete lan dihormati yadiastun Pdt M ade Rungu mekaste sudra”.

ungkap Bapak Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub4.

Pemaknaan yang didapatkan dari percakapan dengan informan bahwa, ketegangan sosial berubah menjadi integrasi sosial dengan diakuinya Pdt M ade Rungu sebagai pemimpin Desa Blimbingsari saat memasuki Alas Cekik sampai mengolah lahan karena beliau seorang pendeta dan dihormati walau memiliki kasta sudra”.

Hal ini masih terjadi hingga sekarang ini bahwa warga yang memiliki Kasta Brahmana (dewa, agung, gusti) yang notabene memiliki status sosial yang tinggi“ yang memiliki usaha warung kelontong atau menjual daging harus melayani warga desa yang berkasta sudra (wayan, made, nyoman) dengan mengantar ke rumah, mengangkat galon air dan lain-lain. Seperti kasus seorang pendeta bernama Pdt. I M ade Rungu yang berkasta sudra, bisa memimpin di gereja yang membawahi kaum brahmana (dewa, agung, gusti).

kaping kalih inggih punika sukeh asane apang sing nganggo adan triwangsa punike. Sekadi adan anake biasane, yadiastun brahmana, sawireh merase besik ulian dadi nak kristen”,

ungkap Bapak Gusti Rata, Pdt. W ayan Sunarya dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub5.

M aksudnya terjadi perubahan cara pandang, tidak mudah orang Bali tidak menggunakan nama triwangsa, mereka yang brahmana tidak lagi mengunakan nama brahmana (dewa, agung, gusti), karena merasa menyatu menjadi Kristen dan senasib. Contoh nyata adalah Pdt. Ketut Suyaga Ayub, yang tadinya berkasta “si” tidak lagi memakai nama “si” tersebut yang nota bene triwangsa, dan hanya memakai nama “Ketut”, walau tidak semuanya menghilangkan nama triwangsanya yang melekat di dalam namanya tersebut, seperti Gusti Rata yang tetap menggunakan nama “Gusti”. Artinya penghormatan seharusnya datang dari kelas sudra kepada kelas yang memiliki strata

(16)

sosial tinggi. Namun warga yang memiliki status sosial tinggi (brahmana) tidak mempermasalahkan hal itu.

Hal ini menunjukkan bahwa integrasi sosial tidak selalu ‘harmonis dan indah-indah’ bahkan pada awal pengolahan lahan pun tetap masih ada ketegangan sosial bahkan sampai berdirinya gereja, dan itu dimaknai sebagai ‘penyedap’ walau sempat mereka berkonflik. Tetapi pemimpin rohani saat itu yang menjadi pendeta pertama disegani oleh warga, sehingga tidak lagi terjadi konflik. Berikut petikan wawancara mengenai Pdt. M ade Rungu.

M enurut Pdt. Em Ketut Daniel, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu sangat rajin melayani, dan disukai karena kejujurannya. M emiliki tipe pemimpin yang tegas, jujur, dan pemberani”. Kemudian Pdt. Em. W ayan Tamayasa, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, sebagai pendeta pertama memiliki prinsip, berpegang teguh pada hukum, dan menonjolkan kebersamaan”. Setelah itu, menurut kesaksian Pdt. Em. Nengah Simon, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, pemimpin yang luar biasa”. Berbeda dengan Pdt. Em. Gusti Putu Jenar, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, sebagai pemimpin sangat memperhatikan warganya serta berani mengambil keputusan.” Berikut Nengah Budiasa, juga menyatakan keseganannya kepada pdt. M ade Rungu bahwa “Pdt M ade Rungu, memiliki karaketer yang kuat dan pemimpin transformatif”. Ibu Pdt. Em. Si luh K. Nyeneng, yang telah emeritus juga memberi pandangan menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, pemimpin yang transformatif, dan jadi panutan”. Salah seorang bapak yang sudah almarhum, I M ade Sengkug, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, sangat sabar dan tekun“. Berikut bapak yang pernah menjabat sebagai Bishop GKPB, Pdt. Em. Dr. W ayan M astra, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, orangnya tegas, kuat dan pemberani”. Begitu juga, bapak yang terakhir melayani di Pniel GKPB Blimbingsari Pdt. Em, Ketut Suyaga Ayub, menyatakan bahwa “Pdt M ade Rungu, setia dan luar biasa sebagai seorang gembala”.6

6 Paulus Subiyanto. 2007. “Berani dan Setia”. Sosok Pendeta Bali Pertama dalam Sejarah

(17)

Perluasan Pemukiman: Ambyarsari dan Parigi

Blimbingsari berkembang begitu cepat. Pendatang-pendatang baru seperti dari M adangan dan keluarga lainnya menyusul. Blimbingsari dikembangkan ke Ambyarsari pada tahun 1947. Hasil wawancara penulis dengan Pdt. W ayan Sunarya menunjukkan bahwa setelah masyarakat Blimbingsari membuka kawasan di Blimbingsari, selanjutnya warga Blimbingsari membuka pemukiman dengan memperluas ke daerah Ambyarsari.

Alasan utama melakukan perluasan ke Ambyarsari karena tanah di Blimbingsari sudah penuh dan masing-masing keluarga memiliki anak lebih dari 2, sehingga mereka berpikir agar anak-anaknya mendapat warisan tanah maka dibukalah pemukiman di Ambyarsari dengan seijin pemerintah saat itu. Atas informasi dari informan, tahun 1940-an dilakukan perluasan ini, dengan mendapat tanah tiap keluarga seluas dua hektar dan 20 are pekarangan7.

Secara Geografis, Ambyarsari adalah sebuah dusun yang terletak di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali Barat. Kecamatan M elaya merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Jembrana yang merupakan ujung barat Pulau Bali. Luas wilayah Kecamatan M elaya 19.719 hektar. W ilayah Kecamatan M elaya menurut jenis penggunaan tanah paling luas digunakan untuk tegalan, sawah, pantai, hutan negara dan perkebunan. Secara administratif Kecamatan M elaya terdiri dari sembilan desa, satu kelurahan, 54 banjar dinas dan enam lingkungan. Penduduknya berjumlah 51.964 jiwa terdiri dari 13.203 kepala keluarga (KK)8. Berdasarkan letak geografis dusun Ambyarsari, maka

masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Tanah tegalan yang dimiliki masing-masing keluarga pun cukup luas. Selain petani ada juga masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai negeri, guru, buruh, karyawan dan wiraswasta.

7 Peradaban masyarakat di Ambyarsari sebenarnya diawali oleh munculnya pendatang

dari masyarakat Bali wilayah timur dan selatan yang melakukan transmigrasi ke bali Barat, khususnya Blimbingsari.

(18)

Pada awalnya, Ambyarsari adalah sebuah hutan yang tidak berpenghuni. Pada tahun 1946, beberapa orang tua dari dusun Blimbingsari yang tidak mendapatkan bagian tanah dan beberapa orang dari wilayah Bali Timur mengajukan permohonan pembukaan lahan kepada Pemerintah Bali. Pada tahun 1947 pemerintah menindaklanjuti permohonan mereka dengan memberikan ijin pembukaan lahan baru di sebelah Barat enjungan Kelod kauh Blimbingsari. Pembukaan lahan di mulai oleh 44 kepala keluarga (KK)9

yang pertama kali masuk ke daerah Ambyarsari. Nama-nama perintis yang ke 2 yang merabas hutan Ambyarsari untuk pertama kalinya adalah sebagai berikut (lihat tabel 5.2. berikut):

Tabel 5.2. Nama-nama perintis yang merabas hutan Ambyarsari10.

No Nama No Nama Sumber: data Sekunder (diolah 2009)

(19)

Kemudian disusul oleh kelompok kedua sebanyak 10 KK. M ereka merabas hutan ini secara bersama-sama, dengan memiliki semangat etos kerja dan modal sosial dibawah pimpinan kelian kelompok I Ketut Berani. Selama perabasan hutan dilakukan, mereka menumpang di desa Blimbingsari11. Beberapa orang yang memiliki

keluarga, menumpang di rumah keluarganya, sedangkan yang tidak punya keluarga disediakan tanah untuk tempat tinggal sementara di pinggiran sungai Desa Blimbingsari. Setiap hari mereka berjalan kaki dari Blimbingsari ke Ambyarsari.

Pak M ade Sukartha mengatakan bahwa:

ragane tusing ngelah kenyel lan tusing won bayune, sawireh ragane ngelah semangat megae anggon ngewangun keluargane soang-soang apange lebih luwung hidupne ane dasarne uli iman kristen punika”. Artinya: mereka tidak merasakan lelah atau pun letih, karena mereka memiliki semangat untuk membangun kehidupan mereka supaya menjadi lebih baik yang didasarkan pada iman Kristen.

Bekerja keras merabas hutan dan berjalan kaki dari Blimbingsari ke Ambyarsari adalah sebuah tantangan tersendiri. Selain itu, tentu saja banyak tantangan lain yang mereka hadapi. Namun demikian, tantangan itu dapat mereka lalui dengan baik, sehingga perabasan hutan mendapatkan hasil akhir yang baik. Selanjutnya, lahan yang sudah dirabas dibagi secara merata kepada semua kepala keluarga (KK)12. Setelah pembagian tanah selesai dilakukan dan

masing-masing KK mendapatkan bagian tanah yang pasti, lalu mereka melakukan rapat di rumah I M ade Rungu untuk membicarakan nama Banjar, pemilihan kelian dinas dan kelian gereja.

Ada beberapa usulan nama yang ada pada waktu itu, antara lain Pangkungsari dan Ambyarsari. Setelah melakukan pergumulan, nama Ambyarsari-lah yang dipilih sebagai nama dusun yang baru ini. Alasan

11 W awancara dengan Pak Made Sukartha, Di Ambyarsari, tanggal 18 Juli 2010. pukul

10.00 wita

12 Pembagian tanah ini memakai sistem undian, sehingga setiap KK tidak bisa memilih

(20)

mereka memilih nama Ambyarsari, karena desa-desa sekitar semua memakai akhiran sari. Sedangkan Ambyar artinya berderet atau berjajar. Berdasarkan dua penggalan nama ini, maka bisa disimpulkan arti kata dari Ambyarsari adalah Sari yang berderet atau berjajar dengan dusun-dusun lainnya (Blimbingsari, Palasari, Ekasari). Setelah menggumuli nama dusun, maka diadakanlah pemilihan kelian dinas dan kelian gereja. Kelian dinas yang terpilih adalah Ketut Berani, sedangkan Kelian gereja adalah W ayan Sungkreg. Pada bulan April 1948 mereka mulai menetap di Ambyarsari. M ereka kemudian bercocok tanam di tanah yang mereka terima. M ereka menanami lahannya dengan padi gaga, sehingga tanah yang tadinya hutan menjadi lahan yang produktif baik pertanian, perkebunan dan peternakan13.

Setelah masyarakat Blimbingsari membuka kawasan di Blimbingsari, selanjutnya sampai membuka pemukiman dengan memperluas ke daerah Ambyarsari, tetap ada warga Blimbingsari yang merantau atau bertransmigrasi ke Parigi Sulawesi Tengah. Alasan utama mereka pindahke Parigi Sulawesi Tengah sebagai transmigran,karena tanah yang ditempati di Blimbingsari dan Ambyarsari sudah penuh dan masing-masing keluarga sudah memiliki anak lebih dari empat sampai sembilan, sehingga mereka berpikir agar anak-anaknya mendapat warisan tanah, maka dilakukanlah transmigrasi ke Parigi secara spontan/mandiri. Tidak ada biaya dari pemerintah saat itu. Transmigrasi ini dilakukan pada tanggal 10 April 1960 oleh salah satu informan bernama Gede Susadya (2009-2010) dan keluarganya14. Ada banyak pengalaman baik dan buruk selama

perjalanan transmigrasi ke Parigi. Salah satu contoh adalah begitu susahnya jalan dan transportasi yang digunakan sampai mereka tiba di Parigi, dengan jumlah makanan yang terbatas15. Belum lagi kapal yang

ditumpangi adalah kapal barang dari pelabuhan di Bali sampai ke Parigi. Tapi akhirnya saudara Susadya tiba dengan selamat di Parigi.

13 Sejarah Gereja GKPB Ambyarsari, Tim Sejarah, 2009, hal: 9

14W awancara dengan Gede Susadya di Blimbingsari 26 Desember 2009, kebetulan

pulang ke Blimbingsari, saat ini beliau menetap di Parigi, Sulawesi Tengah.

(21)

Setelah beberapa saudara yang tiba dan bercocok tanam dengan luas tanah dua hektar yang diperolehnya, mereka (Bali-Kristen di Parigi) menjadi petani yang sukses dan berhasil. Oleh sebab keberhasilannya, banyak warga Blimbingsari ingin mencoba untuk transmigrasi ke Parigi.

Keberhasilan komunitas Blimbingsari yang bertransmigrasi ke Parigi Sulawesi, dalam bercocok tanam, bertani dan berkebun, karena juga di dasari atas nilai iman Kristen dan etos kerja yang selalu diajarkan oleh pemimpin saat itu” ,

ungkap pak Gede Susadya

Dari Pertanian ke Perkebunan dan Peternakan

Dalam bab lima ini, juga membahas mengenai aktivitas petani Blimbingsari, tanaman-tanaman apa yang ditanam sampai terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan perkebunan. Petani-petani membawa hasil panennya ke pasar M elaya dan juga ke daerah asalnya di Bali Selatan,menukarkannya dengan saudara-saudaranya di sana dengan barang-barang yang mereka tidak miliki. Sungguh mereka semua adalah pekerja keras dan disiplin dengan berjalan kaki dan hasil penjualan itu digunakan membiaya kehidupan keluarga (sandang, pangan dan papan), serta menyekolahkan anak-anaknya.

(22)

Blimbingsari sehingga tidak ada lagi orang yang menggarap/ mengerjakan sawah pertaniannya16.

Pada saat anak-anak mereka masih di Blimbingsari (SD-SM A) masih ada tenaga yang membantu mereka mengelola tanah pertanian. Disamping karena sudah tua sehingga banyak yang mengalihkan lahan mereka dari pertanian ke perkebunan agar lebih mudah mengerjakannya, tapi masih ada yang berusaha dengan lahan sawahnya seperti Bapak M urji. Bapak M urji sampai saat ini (2013) masih mengelola lahan pertaniannya dan mempunyai 60 are lahan sawah. Secara keseluruhan tanah sawah yang digarap saat ini adalah seluas 4 hektar.

Penyebab Desa Blimbingsari tidak terlihat sebagai desa “sepi” karena pada tahun 1970-an desa ini adalah penghasil palawija, penghasil tanaman keras seperti kelapa, kopi, dan cengkeh. Dari penghasilan tanaman ini, mereka memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga dan hasil panen mereka juga dijual ke pasar M elaya17. Pada awalnya, para petani bisa memenuhi

kebutuhannya, namun jika angkatan muda tidak pulang ke kampung halaman Blimbingsari, maka tidak ada lagi yang menjalankan lahan perkebunan tersebut, dan tanah menjadi kering dan tidak subur.

Pertanian yang dikembangkan adalah lahan persawahan yang ditunjang sistem irigasi yang mampu mengairi kebutuhan air bagi sektor pertanianDesa Blimbingsari. Hasil lahan persawahan adalah padi yang dijadikan beras bagi kebutuhan desa dan dikembangkan menjadi komoditi unggulan ke pasar tingkat kecamatan bahkan lintas kabupaten. Ketika lahan pertanian sudah memadai mencukupi kebutuhan penduduk Desa Blimbingsari, bahkan telah dijual secara lintas wilayah, maka warga masyarakat Desa Blimbingsari mulai melihat peluang untuk mengembangkan lahan pertanian dengan perkebunan sesuai dengan kondisi tanah dan iklim setempat. Pak Gusti Rata mengatakan bahwa “Bapak Kepala desa Yakub Yulianus yang selalu mendorong dan membawa perubahan komunitas Blimbingsari

(23)

dengan menggalang nilai modal sosial dan etos kerja yang desiplin dan kerja keras, bersama-sama bekerja sama dengan pemimpin rohani saat itu ialah Pdt. Nyoman Nama Suyasa”.

Lahan perkebunan yang tersedia dan dimiliki oleh warga Desa Blimbingsari seluas total 400 ha yang dikembangkan untuk perkebunan kelapa dan coklat/kakao. Hasil coklat tidak diolah, tetapi dijual hasil non olahannya sesuai harga pasar, karena umumnya pada musim tuaian, pedagang-pedagang besar atau pedagang keliling siap untuk membeli hasil kebun coklat masyarakat Desa Blimbingsari

Adapun hasil dari kebun kelapa, disamping buah kelapa yang dijual, beberapa penduduk juga menjual kelapa ke wilayah lain, seperti Situbundo dalam bentuk kelapa tua yang umumnya dijadikan santan oleh konsumen. Buah kelapa ini juga dikembangkan oleh warga masyarakat menjadi bahan olahan yang memiliki nilai tambah (value added), seperti minyak kelapa asli (organik non olahan), souvenir-souvenir untuk tamu (sapu lidi, batok kelapa atau ‘kau’, kopra”, tandas Kepala Desa Bapak John Ronny.

Fakta lain bahwa pengusaha Blimbingsari seperti Bapak W ayan M urji yang mempunyai usaha hasilpertanian dan perkebunan menggunakan pupuk organik untuk pengelolaan sawahnya, sehingga tidak ada efek negatifnya.Begitu juga sawah dan perkebunan yang dimiliki warga Blimbingsari yang lain sudah menggunakan pupuk organik yang disarankan pemerintah dimana dominasi hasil kebun warga Blimbingsari adalah coklat, kopi dan kelapa.

(24)

Dari wawancara tersebut, pemimpin mempunyai peran yang sangat penting dalam proses transformasi di Blimbingsari. Pemimpin mencari cara agar warganya memiliki pengetahuan yang baik tentang bertani, berkebun dan beternak. Salah satu cara yang dipakai sang pemimpin adalah penyuluhan dengan bekerja sama dengan aparat desa. Dengan memberi penyuluhan tentang ternak sapi, maka produksi sapi semakin meningkat dan dari segi kualitas semakin baik. Biasanya pemerintah (kecamatan) menunjuk beberapa staf untuk berkunjung ke Blimbingsari guna memberikan penyuluhan. W arga Blimbingsari tidak saja berternak sapi, tetapi juga sekarang berkembang menjadi peternak ayam, babi dan lele. (sudah dibahas di bab tiga secara detail tentang jenis-jenis wirausaha Blimbingsari).

Lahan-lahan yang kosong di Blimbingsari digunakan untuk tambak atau ternak lele, yang dijalankan oleh penduduk/warga Blimbingsari. Hal ini dipengaruhi dan dimotivasi Kepla Desa M ade John Rony dan Pdt. Ketut Suyaga Ayub,di samping ada bantuan pemerintah bibit sapi dan lele. Dengan adanya wirausaha ternak sapi dan lele ini, maka warga Blimbingsari dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan cara menjual sapi, ikan lele ke pasar Blimbingsari dan pasar M elaya atau dikonsumsi sendiri untuk pemenuhan hidup keluarga.

(25)

pemberian pupuk kandang, daun-daunan, sisa panen yang semuanya didapat dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian ada lingkaran yang lengkap, ada siklus regenerasi yang berkelanjutan. Sumber daya alam dilestarikan bagi generasi berikutnya sementara kemandirian masyarakat lokal diseleraskan. Ditunjang oleh sikap mental, iman spritual sebagai modal sosial akhirnya diperoleh kemajuan yang luar biasa, dari hutan yang angker dan mengerikan bertransformasi sebagai desa pertanian dan perkebunan yang terkenal sekarang menjadi desa ‘makmur’ yang memiliki daya ledak pembangunan.

Pengembangan Ekonomi dan Konflik W arga

Perkembangan peternakan yang sangat pesat di Desa Blimbingsari, juga memiliki dampak lingkungan yang menimbulkan masalah yang diprotes oleh warga lainnya, karena peternakan ayammenimbulkan bau yang tidak sedap.

M asalah tersebut akhirnya sampai jugadi tingkat Kabupaten Jembrana, dimana oleh DPRD Jembrana mengeluarkan Perda dalam pengaturan bidang peternakan. Hal ini dapat meredam gejolak yang ada, dimana warga yang berternak dapat melakukan usahanya dengan tertib dan baik sesuai persyaratan lingkungan, sementara warga yang bermukim di sekitarnya tidak terganggu dengan semua hal yang berdampak negatif. Karena saat peternak ayam panen, maka lalat sangat banyak beterbangan ke pemukiman warga dan sangat mengganggu. Disini juga ada konflik antara warga dan pengusaha. Namun konflik warga ini dapat diselesaikan dengan baik oleh pemimpin desa.

Kesimpulan

(26)

M endorong komunitas warga desa untuk mengubah lahan hutan menjadi lahan produktif.

Proses membuka hutan yang dilakukan oleh migran dilakukan dengan bekerja keras dan saling bergotong royong satu dengan yang lainnya. Tentu tanah yang tidak subur awalnya, yang diubah menjadi tanah produktif dengan Irigasi Batusari. Pembuatan Irigasi Batusari dilakukan oleh para migran yang masuk pada gelombang pertama dan kedua.Disini kepemimpinan sangat memegang peranan yang membawa perubahan bagi komunitas Blimbingsari. Pemimpin Desa yang menonjol saat itu adalah bapak Yakub Yulianus dan Pemimpin rohani adalah Pdt. Nyoman Nama Suyasa yang mampu menggerakan warga masyarakatnya dengan menggalang nilai modal sosial saling solider dan nilai etos kerja yang disiplin, bekerja keras, sehingga komunitas Blimbingsari ini menjadi lebih maju dari sisi ekonomi.

Dengan adanya Irigasi Batusari tersebut hutan yang tadinya tidak subur menjadi lahan produktif sehingga ada sawah dan ladang yang ditanami kopi, kelapa dan palawija. Sehingga Blimbingsari mulai menanam padi gaga yang bisa di konsumsi oleh para migran mula-mula.

Gambar

Tabel 5.1.Angkatan Kedua yang Berangkat pada Bulan Januari 1940
Gambar 5.1. Gambar Pembagian Tanah Blimbingsari
Gambar 5.2. Pohon Kayu Blimbing
Gambar 5.3. Awal pembukaan lahan produktif
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kepuasan komunikasi mahasiswa dalam proses bimbingan skripsi di.. FISIP UAJY tergolong sedang atau

[r]

[r]

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa program pascasarjana berikut ini adalah mahasiswa yang sedang aktif

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah