• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB II"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Dua

Gerakan Humanisme

dan Globalisasi

Secara etimologis, istilah humanisme terkait erat dengan kata Latin Klasik humus yang berarti tanah atau bumi. Istilah ini berkembang menjadi kata homo yang berarti manusia (makhluk bumi) dan humanus yang lebih menunjukkan sifat

“membumi” dan “manusiawi.” Perspektif etimologis dan historis

dalam memahami makna kata humanisme menunjukkan, bahwa inti persoalan adalah manusia. Artinya, bagaimana membentuk manusia menjadi lebih manusiawi, serta siapa yang bertanggung jawab dalam proses pembentukannya.

(2)

mak-na itu sering tidak diklarifikasi. Makmak-na yang berbeda-beda itu disebabkan berbeda-bedanya pula tipe humanisme.1

Salah satu cara untuk menghindari kerancuan tersebut, telaah tentang humanisme dapat dilakukan dengan pendekatan dari sisi historis dan pendekatan dari sisi humanisme sebagai aliran dalam filsafat. Dari sisi historis, humanisme berarti suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang kali pertama muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 Masehi. Gerakan ini dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan Eropa. Dari sisi humanisme sebagai alir-an dalam filsafat, humalir-anisme sering diartikalir-an sebagai paham dalam filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa, sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teore-tik-filsafati maupun dalam praktik hidup sehari-hari (Abidin, 2006:39).

Penulisan buku ini menggunakan pendekatan historis, sehingga humanisme dipandang sebagai gerakan intelektual, bukan sebagai aliran dalam filsafat. Definisi kerjanya adalah, gerakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, sebagai respons

1 Beberapa tipe humanisme, menurut Edwards adalah: Humanisme

(3)

hadap situasi dan kondisi pada masa-masa tertentu. Gerakan tersebut muncul karena ada kecenderungan situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi peningkatan harkat dan mar-tabat manusia pada masa-masa itu.

Sebagai gerakan intelektual, humanisme mengalami proses penafsiran yang panjang, seiring dengan perkembangan peradaban Barat. Secara garis besar, gerakan humanisme dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu Periode Klasik (600 SM - 300 M), Periode Pertengahan (300 M - 1500 M), Periode Modern (1500 M – 1800 M), dan Periode Postmodern (1800 M – sekarang). John Bagnell Bury (2004) menyebut Periode Klasik (Masa Yunani dan Roma) sebagai masa kebebasan akal budi

(reason free), Periode Pertengahan sebagai masa terpenjarakan-nya akal budi (reason in prison), Periode Modern (ditandai dengan Renaisans dan Reformasi) sebagai masa prospek pem-bebasan (prospect of deliverance), masa toleransi religius, dan masa perkembangan rasionalisme.

Perkembangan gerakan humanisme dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gerakan Humanisme Klasik

Gerakan humanisme pada periode Klasik ditandai dengan mulai berkembangnya pemikiran tentang manusia, menggeser pemikiran pada masa sebelumnya yang terpusat pada alam (kos-mologi).2 Posisi manusia dalam kehidupan lebih diperhatikan

2 Sebelum Periode Klasik, filsafat yang berkembang adalah filsafat alam,

(4)

filsuf-daripada sekadar sebagai bagian kecil dari alam semesta. Per-hatian itu tercermin dari pandangan-pandangan para pemikir utama pada masa itu, yaitu Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Pertanyaan “apakah manusia itu?” menyisihkan masalah filsafat dan metafisika sebelumnya.

Berikut ini garis besar pandangan para pemikir utama tersebut:

Sokrates menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang tidak dapat dipisahkan. Permenungan Sokrates dimulai dari persoalan eksistensi kodrati manusia. Ia membuat analisis rinci tentang sifat-sifat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan manusia. Ia menentukan sifat-sifat manusia dan merumuskannya ke dalam kategori kebaikan, keadilan, kesahajaan, kejujuran, dan seterus-nya (Sugiharto, 2008).

Bagi Sokrates, seperti dikutip Sugiharto, manusia hanya dapat dijelaskan dan ditentukan berdasarkan kesadarannya, yaitu cara berpikir dialektis. Manusia dapat memahami dirinya dan sesamanya melalui interaksi intersubjektif dengan manusia lain. Pandangan itu berbeda dari pandangan sebelumnya, bahwa kebenaran secara objektif sebagai hal yang final, yang dapat diperoleh lewat pemikiran individual, kemudian dapat dikomunikasikan secara langsung kepada pihak lain secara monolog. Manusia adalah makhluk yang terus-menerus mencari dirinya, yang setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. Pencarian itu

(5)

terjadi hanya dalam konteks sosial, sehingga manusia hanya mungkin sampai pada tahap pengenalan diri kalau ia hidup dan berdialog dengan orang lain. Tesis Sokrates yang terkenal

adalah “hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak

dihidupi” atau “the unexamined life is not worth living”.

Pemikiran-pemikiran Sokrates dilanjutkan oleh Plato, yang menerangkan bahwa manusia sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap dan dunia ide yang bersifat tetap. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dunia ide, adapun dunia ide merupakan dunia sesungguhnya.

Pandangan Plato dikenal sebagai “dualistik” yang menya

-takan bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang terpisah dari tubuh. Jiwa ada sebelum kelahiran terjadi, sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan tetap hidup abadi. Plato meyakini jiwa manusia tetap ada setelah kematian tubuh; bersifat ilahi, rasional, abadi, tidak dapat hancur dan tidak berubah. Pada intinya, pandangannya bertumpu pada tiga aspek hakikat manusia, yaitu: jiwa, tubuh, dan roh (Stevenson, 2001; Bakker, 2004).

Pandangan “dualistik” Plato tersebut tidak disetujui oleh

muridnya, Aristoteles. Menurut Aristoteles “ada” hanya terda

-pat pada benda konkret. Benda konkret itu merupakan benda yang nampak dan memiliki bentuk, seperti pintu, batu, pohon,

tanah, dan sebagainya. Pengertian “ada dalam ide” seperti yang

dikemukakan Plato bukan sebagai sesuatu yang konkret ada, melainkan hanya merupakan pengertian saja.

(6)

Oleh sebab itu, Periode Klasik dikenal sebagai embrio dari pengembangan gerakan humanisme pada masa-masa berikut-nya. Pada periode inilah manusia mulai diperhatikan sebagai faktor yang perlu dipelajari dalam kehidupan.

Gerakan Humanisme Periode Pertengahan

Gerakan humanisme Periode Pertengahan merupakan reaksi dari perkembangan agama yang memengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan pada saat itu. Dominasi agama menyebabkan terpinggirkannya ilmu penge-tahuan yang sebelumnya telah berkembang pada Periode Klasik. Pada Periode Pertengahan muncul anggapan bahwa ilmu pengetahuan mengalihkan perhatian manusia dari ketu-hanan. Tindakan gereja pada saat itu sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak memiliki kebe-basan untuk mengembangkan potensi diri.

Menurut paradigma yang berkembang pada Periode Pertengahan, agama dan dunia merupakan dua wilayah terpisah total satu dari yang lain, sehingga tidak ada peluang bagi ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar-keduanya. Seorang manusia kalau tidak “melangit” harus “ mem-bumi,” atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan secara total dengan Tuhan dan roh-roh kudus, dan jika dia menghargai jasmani maka dia dipandang telah memutuskan hubungan dengan Tuhan.

(7)

Raeper, 1991:122; Weber, 2002). Gerakan humanisme tersebut dipicu oleh dominasi gereja dan agama, sehingga melahirkan pemahaman terhadap eksistensi manusia.

Meskipun muncul pemahaman terhadap eksistensi ma-nusia, namun humanisme Periode Pertengahan berbeda dari gerakan humanisme Periode Klasik. Humanisme Periode Klasik memandang manusia sebagai subjek, adapun humanisme Periode Pertengahan memosisikan manusia dalam kaitan dengan Tuhan. Hal itu misalnya tercermin dari pemikiran St. Agustinus, bahwa manusia tidak sekadar makhluk kodrati melainkan juga makhluk adikodrati; imanen dan transenden.

Pandangan tersebut mewarnai gerakan humanisme Pertengahan yang tidak meninggalkan, melainkan membawa gagasan yang berkembang pada masa Yunani Klasik ke tataran transenden. Manusia tidak hanya dipandang sebagai faber mundi (pekerja atau pencipta dunianya sendiri), melainkan lebih merupakan imago dei; the image of God (makhluk ilahi atau citra Tuhan). Gambaran manusia ideal tidak dipandang sekadar sebagai sosok yang selaras jiwa dan badannya, melain-kan makhluk yang ilahi-insani.

Pandangan bahwa manusia ideal sebagai makhluk yang ilahi-insani tersebut misalnya digambarkan oleh Thomas

Aqui-nas dalam diskursus mengenai ”kodrat dan rahmat.” Menurut

(8)

Pandangan tersebut menyiratkan pembalikan nilai-nilai Yunani Klasik yang memandang manusia semata-mata sebagai makhluk kodrati, namun menandakan peningkatan kesadaran dalam memahami esensi eksistensi manusia. Manusia sebagai makhluk ilahi-insani menggambarkan adanya keseimbangan relasi antara ketuhanan dan kemanusiaan. Muncul pemahaman bahwa pemikiran terbaik tentang kultur manusia adalah pemikiran yang selalu mengaitkannya dengan ketuhanan. Humanisme tanpa ketuhanan adalah humanisme yang kehilangan lebih dari separo nilai-nilai kemanusiaan (Arthur James Balfour, 1914:248).

Relasi tersebut digambarkan oleh Desiderius Erasmus yang menggabungkan antara humanisme dan teologi. Erasmus menghendaki pembaruan gereja dengan cara-cara damai dan mengkritik kaum ritualis yang mementingkan tata cara ber-ibadah daripada pelaksanaan ber-ibadah itu dalam tindakan. Ia yakin, bahwa hidup yang baik berarti kesucian yang rasional

merdeka (Jassin, 1985).

Gerakan humanisme tersebut kemudian melahirkan pan-dangan bahwa dominasi otoritas agama dan gereja – yang memandang bahwa segala sesuatu harus bergantung pada kekuatan di luar diri manusia – telah mengabaikan manusia sebagai subjek. Kaum humanis mengajak kembali ke pemikiran Klasik yang mengangkat diri manusia sebagai subjek dan pun-cak kebudayaan Barat. Mereka menemukan nilai-nilai Klasik yang harus dihidupkan kembali dalam kebudayaan Barat demi masa depan, yaitu penghargaan atas martabat manusia dan pengakuan atas kemampuan pikiran.

(9)

melebihi ilmu pengetahuan yang dicapai manusia pada masa Klasik. Pada masa Klasik sudah muncul gerakan humanisme yang membela kebebasan manusia untuk merangcang sendiri kehidupan mereka di dunia dengan cara yang merdeka (Vis-count Haldane, 1922:2).

Uraian tersebut menunjukkan, gerakan humanisme Periode Pertengahan merupakan solusi untuk menghadapi intimidasi para pemuka gereja. Kaum humanis bertekad me-ngembalikan kepada umat manusia hak kebebasan yang telah dinistakan oleh para elite agama. Pada awal kebangkitan, kaum humanis berjuang untuk mematahkan kekuatan orang-orang yang mengaku sebagai perantara yang menghubungkan manu-sia dengan Tuhan namun di saat yang sama mempraktikkan ketidakadilan. Kaum humanis memperjuangkan otoritas untuk mengurus kehidupannya sendiri.

Oleh sebab itu, Richard Southern menyebutkan, gerakan humanisme Periode Pertengahan memiliki tiga karakteristik, yaitu: Pengertian tentang martabat makhluk hidup; pengertian tentang martabat alam, dan pengertian bahwa tatanan alam dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusiaan sebagai pusatnya (Otten, 2004:2).

(10)

Gerakan Humanisme Modern

Gerakan humanisme Modern dapat dibagi ke dalam dua tahap, yaitu gerakan humanisme Renaisans dan gerakan hu-manisme Pencerahan. Masa Renaisans mengantarkan peradaban manusia ke fase yang disebut sebagai zaman Modern di Eropa. Sejak saat itu, kesadaran terhadap kekinian muncul di berbagai tempat. Masa Renaisans ditandai dengan kehidupan yang cemerlang di bidang seni, pemikiran maupun kesusastraan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual Periode Pertengahan.

Humanisme Renaisans berkembang seiring dengan revo-lusi budaya, yaitu suatu reaksi terhadap kekakuan pemikiran serta tradisi Pertengahan. Gerakan itu berlangsung antara abad ke-14 hingga abad ke-17, bermula di Italia pada akhir Periode Pertengahan, kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan ini mencakup kebangkitan pengetahuan berdasarkan sumber-sumber klasik, perkembangan gaya perspektif dalam seni lukis, dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Renaisans dipandang sebagai penemuan kembali masa keemasan peradaban Yunani dan Romawi Klasik. Banyak pembaruan dan penciptaan yang dilakukan umat manusia. Pada awalnya, humanisme merupakan konsep monumental yang menjadi aspek fundamental pada masa Renaisans; aspek yang dijadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia.

(11)

berkembang melalui penguatan peran akal (reason) dalam segala bidang, yang dikenal sebagai the age of reason. Akal budi manusia dinilai sangat tinggi dan digunakan untuk membentuk pengetahuan (Indratno, 2009).

Pada masa itu, fokus pemahaman yang berpusat pada Tuhan (God-centeredness) bergeser menjadi pemahaman ber-pusat pada manusia (human-centerednes). Pergeseran tersebut dikenal dengan istilah sekularisasi atau humanitas. Tulisan-tulisan filsuf terkenal seperti Plato, Aristoteles dikaji lagi untuk melihat pola pikir penulisnya dan konteks historis waktu tulisan itu dibuat, mencari kebenaran kemanusiaan (human truth) dan bukan kebenaran ketuhanan (God truth). Kebenaran memiliki lebih dari satu perspektif.

Masa Renaisans disebut sebagai masa awal gerakan hu-manisme, diwakili oleh Renaisans Italia selatan dan Renaisans Jerman di utara. Humanisme Renaisans Italia bercita-cita membebaskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan feodalisme. Pemikiran tersebut menekankan pemekaran dan penyempurnaan kemanusiaan melalui studi kesusastraan Yunani dan Romawi Klasik, menekankan dimensi sekular dari pengalaman manusia, namun tidak menampilkan diri sebagai kekuatan transformasi dan reformasi sosial. Dalam semua gerakan humanisme Renaisans, pendidikan diarahkan untuk menghasilkan pribadi-pribadi dengan kemanusiaan yang utuh dan berjiwa merdeka, meskipun pada awalnya masih bercorak elitis terbatas pada kaum bangsawan. Humanisme Renaisans merupakan gerakan revolusioner menentang dominasi kris-tianitas Periode Pertengahan. Gerakan ini menentang otoritas gereja dan pembatasan-pembatasan agama terhadap pengeta-huan (Lamont, 1997; Schwartz, 1970).

(12)

muncul di Eropa sekitar abad ke-17 sampai abad ke-18, melawan doktrin agama yang memandang bahwa manusia menurut kodratnya adalah jahat atau pendosa. Humanisme Pencerahan menekankan kebaikan manusia yang bersifat kodrati (man’s natural goodness) serta mengutamakan reformasi sosial melalui gerak dan pandangan ke depan. Kaum humanis Pencerahan berkeyakinan bahwa jika pikiran manusia diberi kebebasan melalui pendidikan yang bersifat natural-alamiah, maka manusia akan mampu mengikuti dorongan-dorongan baik yang melekat di dalam kodratnya, yaitu menjalani kehidupan yang baik serta membangun pranata-pranata sosial yang adil. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh selalu menoleh ke belakang pada yang disebut sebagai ancient classical utopias, melainkan harus menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa dihapuskan.

Pada masa Pencerahan, selain humanisme sekuler, mun-cul pula gerakan humanisme religius, yang berasal dari ethical culture, unitarianisme, dan universalisme (Lamont, 1997:24; Murchland (1967:86). Humanisme Religius mendorong manusia mengungkap isi dunia dan tidak hanya menggantungkan segala sesuatu pada kekuatan supranatural. Bagi seorang humanis religius, pemaknaan tidak datang dari luar diri manusia melainkan harus muncul dari pengalaman manusia itu sendiri, sejarah, dan alam (Hoertdoerfer, 1998).

Humanisme Religius sesungguhnya merupakan “keyakin

-an dalam tindak-an” (faith in action). Dalam esai The Faith of a

(13)

untuk melakukan sesuatu. Kita memiliki kebebasan dalam

menentukan tindakan kita sendiri” (Edwards, 1989).

Humanisme religius sering disejajarkan dengan pengerti-an humpengerti-anisme ypengerti-ang baik, adapun humpengerti-anisme sekular sebagai humanisme yang buruk. Penolakan terhadap humanisme sekular masih diperkuat fakta yang tidak dapat dimungkiri, yaitu bahwa di Eropa humanisme yang cenderung antipendeta kadang-kadang digunakan oleh orang-orang yang memiliki sentimen anti-Kristen, khususnya Kristen Katolik (Abu Hatsin, 2007:209).

Gerakan humanisme Pencerahan mendorong pemahaman bahwa akal budi identik dengan kemanusiaan, yang membe-dakan manusia dari makhluk-makhluk hidup yang lain. Akal budi mendasari bahasa, kebebasan, dan kreativitas; termasuk dalam pengembangan pengetahuan, kesenian, aktualisasi moral. Akal budi merupakan pusat kehidupan personal manusia dan relasinya dalam suatu komunitas. Penekanan umum humanisme Pencerahan terletak pada pikiran, kebebasan, dan kodrat manusia yang universal (Tillich, 1957:75; Sudiarja, 2006).

Salah seorang filsuf Masa Pencerahan, David Hume, prihatin terhadap metafisika tradisional yang sangat kabur dan tidak pasti. Metafisika juga tercampur dogma-dogma Katolik, jargon-jargon politis dan takhayul-takhayul. Oleh karena itu Hume berusaha melakukan sekularisasi, dengan membersihkan filsafat dari simbol-simbol religius dan metafisika, menyerang pemikiran-pemikiran religius (Hardiman, 2004; Hume, 2003, 2006).

(14)

Ciri subjektivitas mengungkapkan, bahwa manusia me-nyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Modernisasi mendorong manusia lebih menyadari dirinya sebagai individu. Setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi. Kemanusiaan secara urgen memerlukan reformasi sosial dan ekologis, namun juga memerlukan pembaruan spiritual. Setiap manusia, tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan fisik atau mental, bahasa, agama, pandangan politik, latar belakang sosial atau nasional, memiliki martabat yang asasi dan tidak dapat diganggu gugat, sesuai dengan etos Etik Global (Jacob Burckhardt dan Ludwig Geiger, 1904; Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel, 1999:16-20).

Kesadaran manusia sebagai subjek, misalnya tercermin dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) yang meragukan segala sesuatu. Ia meletakkan dasar bagi metode ilmiah modern dengan observasi dan percobaan. Dalam Discourse on the Method of Reasoning Descartes berpendapat, sesuatu yang paling pasti dan benar adalah batin manusia atau kesadaran. Ia membagi jiwa dan badan, spiritual dan fisik, yang kemudian

dikenal sebagai “dualisme Cartesian” atau “dualisme Cartesius”

(nama Latin Descartes: Cartesius). Pandangan itu memunculkan perasaan skeptik, bahwa segala sesuatu harus diragukan dan perasaan rasional. Lahirlah kemudian analisis logis dan metode ilmiah.

Ungkapan Descartes yang terkenal adalah cogito ergo sum

(aku berpikir, maka aku ada).

(15)

Pernyataan Descartes tersebut dipertahankan oleh gerakan humanisme Modern, bahwa manusia dapat mengetahui kenyataan dengan pikirannya sendiri. Manusia diposisikan se-bagai subjek sejarah, seperti ditegaskan oleh Karl Marx, bahwa manusia menyadari eksistensinya sebagai manusia dengan segala kreativitasnya (Robert Tucker, 1978; Fromm, 2004).

Ciri kedua, yaitu kritik, didasarkan pada pemahaman bahwa pikiran tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang tradisi atau menghancurkan prasangka-prasangka menyesatkan. Kritik dipandang sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (“terbangun dari tidur dogmatis”).

Subjektivitas dan kritik kemudian mendorong keyakinan tentang kemajuan (progress). Manusia menyadari bahwa waktu adalah rangkaian peristiwa yang mengarah pada sasaran yang dituju oleh subjektivitas dan kritik. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dalam segalanya, bukan hanya dalam bentuknya yang indah, namun juga dalam akalnya yang cerdas mengagumkan. Dari akal, manusia dapat berbicara, meng-analisis, dan berpikir secara luas, termasuk di dalamnya adalah kemampuan akal berpikir secara kognitif (Kant, 1989:2004).

Gerakan humanisme Modern memuncak pada abad ke-18. Di masa itu berkembang pemikiran-pemikiran yang berpusat pada manusia sebagai subjek, pikiran sebagai kemampuan kritis, dan sejarah sebagai kemajuan. Gerakan tersebut mengembali-kan posisi manusia sebagai subjek kehidupan (Indratno, 2009), dengan ciri pokok, bahwa:

(16)

2. Rasio manusia seperti teraktualisasi dalam ilmu, mampu memberikan suatu dasar pengetahuan yang bersifat objektif, dapat diandalkan, dan universal; 3. Pengetahuan yang diperoleh dari penggunaan rasio

secara benar akan menghasilkan kebenaran;

4. Rasio memiliki kualitas transendental dan universal; 5. Penggunaan rasio secara benar akan menjamin

otonomi dan kebebasan;

6. Rasio dapat membedakan pengetahuan yang benar dari kekuasaan;

7. Ilmu adalah paradigma semua pengetahuan sejati; 8. Bahasa merepresentasikan realitas.

Kaum humanisme modern adalah murid ilmu penge-tahuan, yang mengharapkan dunia yang kuat dan baru, serta menggunakan teknologi dan matematika dalam desain mereka. Masih ada kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi karena dunia dilanda penemuan baru, yaitu telepon, radio, penerbangan komersial, penerangan listrik dan alat-alat rumah tangga (O’Donnell, 2009:14).

Meskipun ada kerancuan tentang makna humanisme dikaitkan dengan gerakan humanisme Modern, menurut Hoertdoerfer (1998), ide-ide dasarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Humanisme merupakan bagian dari pandangan orang-orang yang berpikir tentang dirinya sendiri. Tidak ada rasa takut bagi seorang humanis dalam menghadapi tantangan dan eksplorasi;

(17)

3. Humanisme adalah filosofi tentang rasio dan ilmu pengetahuan;

4. Humanisme adalah filosofi imajinasi, mengakui bah-wa intuisi, prasangka, spekulasi, inspirasi, emosi, pernyataan di luar kesadaran, dan bahkan peng-alaman religius, kalau tidak valid secara ilmu pengetahuan, hanya menjadi sumber gagasan; 5. Humanisme adalah filosofi tentang kedisinian dan

kekinian, memandang nilai-nilai kemanusiaan se-bagai masuk akal hanya dalam konteks kehidupan manusia, bukan kehidupan setelah kematian;

6. Humanisme adalah filosofi perasaan. Etika humanis berkaitan dengan pertemuan kebutuhan manusia dan penyelesaian masalah kemanusiaan – baik secara individual maupun sosial – dan mengabaikan kaitan-nya dengan entitas teologis;

7. Humanisme merupakan filosofi realistik, mengakui adanya dilema antara moral dan kebutuhan dalam pertimbangan-pertimbangan sebagai konsekuensi pengambilan keputusan moral;

8. Humanisme berada dalam irama keilmuan, meng-akui bahwa kita hidup di dunia nyata dan tumbuh berkembang di planet ini dalam waktu yang pan-jang;

9. Humanisme seirama dengan pencerahan pikir, se-pakat dengan kebebasan sipil, hak-hak asasi ma-nusia, pemisahan institusi agama dan negara, pengembangan partisipasi demokrasi untuk me-nangani masalah sosial;

10. Humanisme sejalan dengan perkembangan tekno-logi;

(18)

Ditinjau dari sisi historis, maka Periode Modern merupa-kan era awal humanisme yang melepasmerupa-kan diri dari ketuhanan. Pengertian itu kemudian melahirkan pemahaman, bahwa hu-manisme memosisikan manusia sebagai subjek dan tidak lagi mengakui kekuatan metafisika maupun keberadaan Tuhan. Gerakan humanisme itu mendewakan dan mensakralkan rasio-nalitas dan individu. Sebagai akibatnya, gerakan humanisme justru mengakibatkan penyeragaman (uniformitas) dan ketidak-manusiaan manusia (inhumanitas).

Gerakan humanisme Modern yang menguniversalkan dan menyeragamkan manusia, kebudayaan, dan masyarakat, me-munculkan ketidakpuasan kaum humanis. Mereka menilai cara pandang tersebut tidak melahirkan kebaikan bersama seperti yang dicita-citakan, melainkan justru melahirkan ketidakadilan dan penderitaan banyak orang. Modernisme dinilai gagal me-nyadari pengaruh ideologi, kepentingan, dorongan tak sadar, gramatika dalam pikiran dan kehendak manusia, yang tentu saja dapat bercorak sangat lokal.

Gerakan Humanisme Postmodern

(19)

disintegrasi total, malapetaka sejarah umat manusia (Hardiman, 2003:150; Heidegger, 1970).

Kejenuhan rasional atau akal budi pada era modernisme merupakan latar belakang kelahiran Postmodernisme. Pada era Postmodern terjadi pertentangan antara alam dan budaya, fakta dan nilai, ideal dan realistis. Dalam kejenuhan rasional, para-digma antropologis menjadi alternatif yang terbaik. Filsafat humanisme menjadi kebutuhan dan tata nilai baru. Rasionalis-me, empirisRasionalis-me, proyek-proyek emansipasi harus diperjuangkan secara universal. Dalam konteks ini, kebudayaan manusia berperan lebih dominan. Nilai-nilai budaya menjadi perhatian gerakan humanisme Postmodern.

Dilihat dari sisi gerakan intelektual, humanisme Post-modern merupakan kelanjutan atau penyempurnaan dari hu-manisme Modern. Pemahaman terhadap nilai-nilai kema-nusiaan yang ada pada era Modern diteruskan, tetapi dengan melakukan kritik terhadap humanisme Modern, sehingga me-lahirkan pemahaman baru. Dalam beberapa aspek, gerakan humanisme Postmodern sebagai pengingkaran terhadap nilai-nilai yang dipegang teguh pada era Modern.

Pengingkaran tersebut misalnya dilakukan terhadap keabsolutan yang dipercayai pada Periode Modern, yaitu jika sesuatu itu benar maka ia benar di mana saja, tak dipengaruhi oleh tempat, waktu dan budaya. Para humanis Postmodern menolak kemutlakan itu, dengan meyakini bahwa kebenaran adalah relatif, terletak di mata si pengamat. Kebenaran dicip-takan oleh subjek yang mengalami.

(20)

modern-isme. Dua narasi besar itu berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu pengetahuan pada era Modern. Ia me-ninggalkan usaha klasik filsafat Barat untuk menyusun penjelasan menyeluruh dan kebenaran abadi. Manusia hanya memiliki pemahaman parsial. Lyotard menegaskan, bahwa proyek modernitas telah gagal membebaskan manusia dari

belenggu dogmatisme (O’Donnell, 2009:27; Davies, 1997:22;

Munir, 2008:135, Bryan S. Turner (2006:45).

Dua metanarasi tersebut adalah emansipasi subjek (lebih bersifat politis) dan dialektika roh (lebih bersifat filosofis-spekulatif). Emansipasi subjek merupakan narasi yang menga-takan bahwa pengetahuan datang bagi subjek manusia yang berupaya menemukan kebebasan. Adapun dialektika roh meru-pakan narasi yang menganggap bahwa pengetahuan ada demi pengetahuan itu sendiri (ciri khas idealisme Jerman).

Lyotard memperlihatkan bahwa dua narasi besar itu mulai kehilangan legitimasi akibat kemajuan ilmu pengetahuan karena kemajuan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Itulah sebabnya, narasi emansipasi subjek dan dialektika roh mulai kehilangan kredibilitas. Dalam era Postmodern, ketika problem pengetahuan dianggap makin meningkat dan kompleks, makin jauh pula kemungkinan adanya penjelasan tunggal tentang ilmu pengetahuan. Status ilmu pengetahuan dalam masyarakat Modern telah berubah dan merupakan problem serius terhadap legitimasi ilmu pengetahuan itu sendiri.

(21)

runtuh dan ia menawarkan alternatif berupa paralogi, yaitu pengakuan dan penghargaan terhadap pluralitas.

Diskusi-diskusi Postmodernisme masuk ke dalam aspek-aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para

Postmodernis menentang bukan hanya dominasi “aku” yang

seolah-olah bebas dan mampu melepaskan diri dari lingkungan sosial budayanya, tetapi juga menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan jender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manu-sia. Menurut pandangan humanis Postmodern, telah terjadi

dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam-diam” dalam

semua aspek kehidupan manusia (Abidin, 2006:35).

“Kolonialisasi” itu dilakukan oleh sistem-sistem besar

Modernis yang bersifat tunggal (the one) terhadap sistem-sistem kecil yang bersifat jamak (the plurals). The one identik dengan kebudayaan Barat, adapun the plurals identik dengan kebuda-yaan Timur atau negara-negara sedang berkembang. Kaum humanis Postmodernisme menentang dominasi nilai-nilai tersebut.

Melalui proyek dekonstruksi, kaum humanis Postmodern mencoba menunjukkan betapa rapuh dan lemah the one dan betapa penting dan berharga the plurals. Kenyataan hidup bersifat plural (jamak) dan pluralitas itu harus dijunjung tinggi.

The plurals harus diperhatikan, diungkapkan ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting dan tidak dapat diukur oleh nilai-nilai yang dikandung dalam the one.

(22)

in-formasi dan transparansi komunikasi mengakibatkan manusia di berbagai belahan bumi dapat saling berhubungan dengan leluasa.

Munir (2008:131) menyebutkan, secara teoretis, Periode Postmodern ditandai dengan:

1. Globalisasi: bangsa dan wilayah makin terhubung satu dengan yang lain, sehingga mengaburkan per-bedaan antarbangsa dan wilayah maju (negara maju) dan bangsa dan wilayah terbelakang (negara berkembang);

2. Lokalitas: kecenderungan global yang berdampak pada lingkungan lokal yang memungkinkan setiap orang memahami dinamika lokal dengan mem-pelajari manifestasi lokal;

3. Akhir dari “akhir sejarah”: Modernitas bukanlah

tahap akhir sejarah, sebagaimana diangan-angankan oleh Marx yang mengatakan bahwa pada masa post-industrial segala kebutuhan dasar manusia akan ter-penuhi dan konflik kelompok dan persaingan ideologi akan menghilang. Sebaliknya bagi post-modern, post-industri adalah suatu tahap sejarah yang terputus dengan garis halus perkembangan revolusioner kapitalis sebagaimana dirancang oleh pendukung pencerahan dan oleh pendiri teori sosiologi dan ekonomi borjuis;

4. “Kematian” individu: konsep borjuis tentang

(23)

5. Mode informasi: cara produksi, dalam terminologi Marxis, kini tidak lagi relevan dibandingkan dengan yang disebut Max Poster mode informasi sebagai cara masyarakat postmodern mengorganisasi dan menye-barkan informasi dan hiburan;

6. Simulasi: dunia penuh simulasi. Pandangan ini dikemukakan oleh Baudrillard, bahwa realitas tidak stabil dan tidak dapat dilacak dengan konsep saintifik tradisional, termasuk dengan Marxisme. Masyarakat tersimulasi, tertipu dalam citra dan wacana yang secara cepat dan keras menggantikan pengalaman manusia atas realitas. Salah satu kendaraan utama simulasi adalah iklan.

7. Perbedaan dan penundaan dalam bahasa: Derrida mengatakan bahwa dalam dunia postmodern, bahasa tidak lagi berada pada hubungan representasional pasif atas kenyataan, sehingga kata dapat secara jelas dan jernih menggambarkan realitas dunia. Bahasa dalam dunia postmodern ditandai dengan pem-bacaan teks melalui metode dekonstruksi, yaitu aktivitas kreatif dengan memberikan makna yang hilang atau ambigu;

8. Polivokalitas: segala hal dapat dikatakan secara ber-beda dalam berbagai cara yang secara inheren tidak ada superior ataupun inferior. Karena itu ilmu

memiliki sejumlah “narasi” yang saling melengkapi,

menyaingi, dan mengontraskan. Tidak ada ilmu yang memiliki status epistemologis yang istimewa (teori yang satu lebih superior dari teori yang lain); 9. Kematian polaritas analitis, polaritas tradisional

(24)

me-madai, karena beragamnya pluralitas posisi subjek manusia;

10. Gerakan sosial baru: terdapat berbagai gerakan akar rumput bagi perubahan sosial progresif, suatu gerakan tidak lagi dibatasi oleh warna kulit atau kebangsaan. Gerakan massa lebih variatif, misalnya gerakan pembela lingkungan, kaum feminis, gay, lesbian, dan sebagainya;

11. Kritik atas narasi besar: cerita agung sebagai satu-satunya penjelasan tentang sejarah dan masyarakat dikritik dan ditolak. Lyotard lebih menyukai cerita kecil tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal;

12. “Yang lain” (otherness): para teoretisi postmodern

menolak konsep “yang lain” dalam pemikiran mo

-dern, khususnya tentang perempuan dan kulit berwarna.

Ciri pokok Humanisme Postmodern (Indratno, 2009), antara lain meyakini bahwa:

1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, me-lainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan rea-litas dan konteks yang baru;

(25)

3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis, ar-tinya merupakan undangan untuk saling menjadi makin manusiawi;

4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi normatif dan faktual dalam realitas kehidupan manu-sia saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan; 5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua

corak politik, yaitu politik emansipatorik yang ber-tujuan mengurangi atau bahkan menghapus eksploi-tasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta politik kehidupan yang mengedepankan aktualisasi diri serta kepedulian moral dan eksistensial yang telah di-pinggirkan oleh humanisme Modern.

Kredo Posmodern, menurut Kevil O’Donnell (2009:152), sebagai berikut:

1. Terbukalah: terbuka terhadap kehidupan, terbuka terhadap ide, terbuka terhadap cinta;

2. Terbuka terhadap panggilan dan kehadiran yang lain: Anda tidak sendirian, terkurung sel penjara yang hidup. Anda membuka batas-batas Anda ter-hadap orang lain. Kita menemukan diri kita sendiri dengan memberi sesuatu kepada yang lain. Inilah kebebasan sejati;

(26)

4. Toleran terhadap orang lain dan pandangan mereka: bebaslah untuk tidak setuju, tetapi berilah selalu tempat kepada mereka. Cegahlah sistem doktriner dan totalitarian, yang mencederai manusia. Itu tidak berarti bahwa Anda tidak dapat berpegang pada pandangan yang kuat, prinsip, dan ide yang dalam. Lakukan hal ini dengan segala cara. Rasakan mereka dengan hati, namun berikan juga tempat kepada orang lain;

5. Apa yang menurut pikiran kita ada, mungkin tidak selalu benar: jangan pernah berpikir semua tidak mungkin. Anda tidak memiliki dan tidak dapat me-miliki semua jawaban. Jangan mencoba menangkap alam semesta dengan pikiran Anda. Selalu ada yang lain;

6. Jangan takut akan hal-hal besar: Apabila ditantang

dan diterjang ”sistem besar,” keluarkan alat dekons

-truksi Anda, dan lihatlah yang besar itu berantakan. Akuilah pengaruh kultural, permainan kekuasaan. Temukan ketergelinciran;

7. Cinta itu ada: Jangan ragukan itu. Kita berjalan di atasnya. Ia membentuk jiwa. Cinta itu lebih dulu ada daripada bahasa dan semua sistem kepercayaan; 8. Rasakan misteri berembus ke wajahmu: Terbukalah

pada sesuatu yang tidak diketahui. Ada hal yang tidak dapat kita ungkapkan secara adekuat. Bebaslah

untuk menyebutnya ”Allah” kalau Anda mau. Anda

dapat percaya kalau mau. Kehidupan lebih besar dari diri kita;

(27)

dalam. Kita semua saling berhubungan. Eksistensi bersifat memasyarakat, menghargai yang lain, anu-gerah, melibatkan etika;

10. Pandanglah ke dalam jiwamu, tempat rahasiamu: Rasakanlah chora di dalam, misteri yang dalam dan kelam, penuh dorongan dan permainan. Kenalilah diri Anda sendiri. Carilah terang, sambungkan!

Dari uraian tentang gerakan humanisme Modern dan humanisme Postmodern, maka dapat disimpulkan, bahwa dua gerakan tersebut melepaskan diri dari masalah ketuhanan (teologi). Ateisme benar-benar menjadi agenda pada awal abad ke-19. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan semangat otonomi dan independensi baru yang mendorong sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan. Inilah periode ketika Ludwid Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friederich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan

tempat untuk Tuhan. “Manusia bersifat manusiawi benar-benar

hanya sejauh dia merdeka, dan dia merdeka hanya kalau dia

menjadi ateis.” Itulah dogma sentral bagi kaum ateis (seperti

juga bagi Marxisme); mengingkari Allah untuk membela martabat manusia (Armstrong, 2007:446; Leahy, 1985:58).

(28)

Humanis I tahun 1933 yang kemudian dilanjutkan Manifesto Humanis II 1973 (lihat lampiran 8 dan 9).

Globalisasi:

”Anak Kandung”

Humanisme Barat

Globalisasi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan humanisme Barat sebagai gerakan intelektual. Pemikiran kaum humanis, mulai dari Periode Klasik – bahkan sejak zaman Yunani kuna – sampai Postmodern memengaruhi cara pandang manusia terhadap eksistensi kemanusiaan. Cara pandang itu kemudian bermuara pada pemikiran kaum humanis Postmo-dern, yang menitikberatkan pada pluralitas dan lokalitas; dua hal yang menjadi ciri globalisasi.

Globalisasi yang dikenal saat ini tidak lain adalah globalisasi yang berkembang pada Periode Postmodern. Oleh Friedman (2006), globalisasi itu disebut sebagai globalisasi 3.0. Tahap ini menyusutkan dunia dari ukuran kecil menjadi sangat kecil, sekaligus mendatarkan “lapangan permainan”. Motor penggerak Globalisasi 3.0 adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerja sama dan bersaing secara individual dalam kancah global.

Tahap ini ditandai kemajuan pesat teknologi digital dan serat optik, yang memungkinkan individu-individu dalam wak-tu singkat mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan mudah. Individu-individu di seluruh dunia dapat bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari mana pun, sejauh apa pun jarak antara mereka.

(29)

bekerja sama dengan individu-individu yang lain. Pertanyaan yang muncul pada era ini adalah: di mana posisi dan peluang seseorang dalam persaingan global dan bagaimana secara pribadi bekerja sama secara global pula? Faktor manusia makin penting di dalam Globalisasi 3.0. Individu-individu makin berperan dalam perubahan dunia. Mereka makin menyadari bahwa perubahan dan nasib dunia berada di tangan manusia, bahwa nasib manusia tidak akan berubah kalau bukan manusia itu sendiri yang mengubahnya.3

Gerakan globalisasi memang sudah ada sejak sebelum Periode Postmodern, seperti dinyatakan oleh Friedman sebagai Globalisasi 1.0 dan Globalisasi 2.0, namun belum secara penuh

“menyatukan” manusia secara global. Baru pada era Postmodern

relasi antarmanusia benar-benar tanpa batas, yang oleh pakar sosiologi Jepang, Kenichi Ohmae (1991) diungkapkan, bahwa saat ini tidak ada lagi batas-batas antarnegara, karena dunia sudah tanpa batas (the borderless world). Dunia sudah menjadi desa global (global village).

Globalisasi menemukan bentuk yang nyaris sempurna setelah kekuatan sosialisme-komunisme runtuh. Dua penanda keruntuhan itu adalah ambruknya Tembok Berlin 9 November 1989 (yang menyatukan kembali Jerman Barat dan Jerman Timur) dan pecahnya Uni Soviet dua tahun kemudian. Kalau sebelumnya laju globalisasi terhambat oleh

3 Friedman menyebutkan, Globalisasi 1.0 berlangsung sejak tahun 1492,

(30)

me, maka sejak saat itu laju globalisasi tidak terbendung. Nilai-nilai kapitalisme Barat tidak lagi mendapat hambatan berarti, sehingga sangat leluasa memasuki ruang-ruang kehidupan di negara mana pun. Nilai-nilai Barat kemudian berinteraksi dengan nilai-nilai budaya yang sebelumnya sudah mengakar dan berkembang di masyarakat suatu negara.

Interaksi tersebut tidak jarang menimbulkan konfrontasi antara budaya Barat dan budaya lokal. Bagi masyarakat yang memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi adalah proses akulturasi; budaya Barat lambat laun diterima dan diolah ke dalam budaya lokal tanpa menyebabkan hilangnya unsur budaya lokal. Sebaliknya bagi masyarakat yang tidak memiliki ketahanan budaya lokal yang kuat, maka yang terjadi adalah hilangnya unsur-unsur budaya lokal tersebut digeser oleh unsur-unsur budaya Barat. Itulah sebabnya, globalisasi se-ring pula disebut sebagai penetrasi budaya Barat yang menghilangkan budaya lokal.

Globalisasi dituduh sebagai proses untuk menghilangkan nilai-nilai local, digambarkan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi sebagai pembawa perangkat teknologi dan nilai-nilai, di sisi lain merupakan penetrasi budaya yang justru meng-hancurkan nilai-nilai budaya lokal. Budaya lokal itu oleh Barat sering dianggap sebagai bukan budaya. (Goulet, 1989; Saiful Arif 2000:13).

Sebagai salah satu budaya lokal, budaya Jawa pun tidak terhindar dari konfrontasi dengan budaya Barat yang dibawa oleh arus global (diuraikan lebih lanjut di Bab Tiga).

(31)

memperkuat kembali sentimen-sentimen kedaerahan, kesu-kuan, agama, dan golongan. Terjadi paradoks-paradoks dalam kehidupan manusia. Termasuk di dalam global paradoks adalah kemunculan gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan, yang merupakan resistensi terhadap globalisasi.

Globalisasi diwarnai optimisme Barat untuk mengekspor ideologi nasionalisme dan humanisme sekuler. Gerakan itu kemudian menimbulkan sentimen anti-Barat, baik dalam bidang ideologi maupun agama. (Jurgensmeyer, 1993; Hidayat dan Nafis, 1995:102).

Sentimen anti-Barat itu terutama muncul di negara-negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam. Dengan demikian, setelah kehancuran Uni Soviet dan runtuhnya tem-bok Berlin, maka kekuatan yang menghadang Barat adalah dunia Islam. Samuel Huntington (2003) kemudian mengung-kapkan tesis benturan antarperadaban, yang menyebutkan bahwa konflik pasca-Perang Dingin adalah konflik antara Islam dan Barat.

Tesis benturan antarperadaban menekankan bahwa

konflik masa depan adalah konflik budaya.

4

4

Huntington mendasarkan tesisnya pada enam argumentasi, yaitu: (1) Perbedaan di antara peradaban selain nyata juga sangat mendasar. Peradaban dibedakan oleh faktor sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan – ini sangat penting

– agama; (2) Dunia menjadi makin kecil. Interaksi pun meningkat antar-manusia dari peradaban yang berbeda. Hal ini mendorong meningkatnya kesadaran peradaban (civilization consciousness) serta kesadaran tentang perbedaan antara peradaban-peradaban dan komunalitas di dalam peradaban; (3) Proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di dunia makin memisahkan manusia dari identitas lokal. Proses itu juga melemahkan negara-bangsa (nation-state) sebagai sumber identitas. Di banyak negara, agama kemudian mengisi kesenjangan itu; sering muncul dalam gerakan-gerakan

yang kemudian diberi label “fundamentalis;” (4) Peningkatan kesadaran peradaban diperbesar oleh “peran ganda” pihak Barat. Di satu sisi Barat adalah puncak kekuatan, tapi pada saat bersamaan muncul fenomena kebangkitan peradaban-peradaban di pihak non-Barat. “Asianization” di Jepang,

berakhirnya warisan Nehru dan “Hinduization” India, kegagalan ide-ide Barat

(32)

Perkembangan globalisasi memperkuat gerakan-gerakan ideologi transnasional. Secara teoretik, gerakan ini merupakan gerakan politik yang mengatasnamakan agama, apa pun agama itu, namun pada kenyataannya lebih dikonotasikan sebagai gerakan politik dari Timur Tengah yang masuk Indonesia mengatasnamakan Islam.

Tenhtang gerakan ideologi transnasional tersebut, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), mengeluarkan seruan (NU Online, 8 Mei 2007, 20:00), sebagai berikut:

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta ketegasan pemerintah terhadap maraknya ideologi transnasional (antar-negara) yang masuk ke Indonesia. Ideologi yang dibawa oleh kelompok dari gerakan politik dunia harus di-Indonesia-kan atau disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi, tradisi dan budaya setempat.

Setiap gerakan politik, apa pun bentuknya dan dari mana pun datangnya, harus berasaskan Pancasila. Gerakan-gerakan politik dunia itu tidak menutup ke-mungkinan telah disusupi kepentingan-kepen-tingan yang tidak sesuai dengan budaya dan tradisi di Indonesia.

Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Muja-hidin, Al-Qaeda dan sebagainya adalah gerakan politik, bukan gerakan keagamaan. Gerakan seperti itu muncul dari situasi politik di negara asalnya, tidak hanya pada Islam, di agama lain pun ada.

(33)

Pancasila sebagai ideologi terbuka, bisa menjadi solusi untuk mencegah semakin menyebarnya ideo-logi asing tersebut. Pancasila sangat memungkin-kan untuk menampung berbagai perbedaan agama dan golongan.

Jika pemerintah tidak segera mengambil sikap tegas terhadap gerakan politik internasional tersebut, lanjut Hasyim, bukan tidak mungkin akan terjadi ‘benturan-benturan’ kepentingan dan ideologi yang bisa berakibat konflik.

Dalam konteks pemikiran tersebut, maka gerakan ideologi transnasional dipahami sebagai respons terhadap globalisasi yang membawa nilai-nilai kapitalisme Barat, meskipun se-sungguhnya semua ideologi bersifat transnasional, lintas negara. Sebenarnya gerakan ideologi transnasional juga merupakan bagian dari proses globalisasi, hanya berbeda pada nilai-nilai yang direpresentasikan. Globalisasi merepresentasikan ka-pitalisme Barat, adapun gerakan ideologi transnasional merepresentasikan Islam.

Uraian tersebut menunjukkan adanya konfrontasi global-lokal dan gerakan-gerakan yang menentang globalisasi. Mansour Fakih (2001:223) mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap globalisasi menjadi tiga, yaitu:

1. Tantangan gerakan kultural dan agama

2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social movement) dan masyarakat sipil global (global civil society)

3. Tantangan gerakan lingkungan.

(34)

berkembang. Globalisasi yang kapitalistis dinilai menghilangkan nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang. (Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).

Contoh gerakan kultural adalah kelompok Hindu Revivalis (Rashtriya Swayamsewak Sangh) yang mendesak India memboikot barang buatan asing. Begitu pula, gerakan sosial baru untuk menentang pembangunan dan globalisasi, misalnya gerakan hijau, feminisme, dan gerakan masyarakat akar rumput. Adapun gerakan lingkungan banyak dipengaruhi oleh pikiran Rachel Carson dalam Silent Spring yang membongkar kerusakan ekosistem dunia yang diakibatkan oleh praktik ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson mengutuk keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin meningkatnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang dunia dan juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya kenyamanan-kenyamanan nonmateri dalam kehidupan.

Kesimpulan

Secara garis besar, gerakan humanisme dimulai pada Periode Klasik, ketika mulai muncul pemikiran-pemikiran tentang manusia, bukan lagi terpusat pada alam. Meskipun demikian, pemikiran humanisme pada Periode Klasik masih tersirat mengaitkan masalah kemanusiaan dengan masalah yang bersifat metafisika, misalnya tercermin dari pemikiran Plato yang mengakui adanya kehidupan setelah kematian.

(35)

namun karena tekanan agama/gereja sangat kuat, maka gerakan humanisme periode ini masih mengaitkannya dengan masalah ketuhanan.

Perkembangan selanjutnya, pada Periode Modern gerakan humanisme sudah melepaskan diri dari pemikiran ketuhanan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan, bahwa gerakan humanisme pada Periode Modern merupakan gerakan yang tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) dan gerakan yang tidak peduli ada atau tidak adanya Tuhan (non-teis).

Gerakan humanisme Periode Modern kemudian

mengarah pada pemikiran-pemikiran tentang penyeragaman, seolah-olah manusia dapat diperlakukan sama di seluruh dunia. Penyeragaman dan pendewaan individu itu kemudian melahir-kan geramelahir-kan humanisme Periode Postmodern. Oleh sebab itu, gerakan humanisme Periode Postmodern ditandai pemikiran yang menitikberatkan pada pluralitas dan pentingnya pen-dekatan budaya, yang ditandai dengan globalisasi dan lokalitas. Sama dengan humanisme Modern, humanisme Postmodern juga melepaskan diri dari entitas ketuhanan.

Jadi, meskipun banyak ilmuwan yang mengatakan, bahwa globalisasi sudah terjadi sejak periode Pra-Modern, namun ditinjau dari gerakan humanisme maka globalisasi yang kita kenal sekarang ini adalah globalisasi yang muncul pada Periode Postmodern. Globalisasi merupakan buah dari gerakan hu-manisme, yang puncaknya terjadi pada Periode Postmodern. Globalisasi ini kemudian memunculkan konflik lokal-global, termasuk konflik antara nilai-nilai budaya global dan nilai-nilai budaya Jawa.

(36)

karakteristik gerakan humanisme dari masa ke masa (lihat Lampiran 2).

Secara garis besar, gerakan humanisme Barat dapat dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu: humanisme yang masih mengaitkan masalah kemanusiaan dengan ketuhanan (Periode Klasik dan Periode Pertengahan) dan humanisme yang mele-paskan diri dari masalah ketuhanan (Periode Modern dan Periode Postmodern).

Perkembangan gerakan humanisme Barat itu kemudian melahirkan gerakan globalisasi pada Periode Postmodern. Dalam perkembangan selanjutnya, globalisasi menimbulkan konfrontasi lokal-global. Globalisasi dituduh sebagai proses untuk menghilangkan nilai-nilai lokal. Globalisasi digambarkan seperti pedang bermata dua; di satu sisi sebagai pembawa perangkat teknologi dan nilai-nilai, di sisi lain merupakan penetrasi budaya yang justru menghancurkan nilai-nilai budaya lokal.

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan hal itu, pendidikan vokasi bidang Manufaktur yang menyiapkan tenaga kerja sektor industri, perlu me- review pembelajaran dan penilaian hasil belajar

Dalam Praktik Pengalaman Lapangan diminta untuk membuat beberapa laporan dan rencana mengajar agar rencana yang sudah di tetapkan dapat berjalan dengan

Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai

Hasil kegiatan ini memberikan penyadaran bahwa: (1) guru mata pelajaran produktif di SMK harus mampu membuat soal ujian dengan baik (valid, reliabel, dan efisien); (2) butir soal

Hasil analisa data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara gaya dukungan keluarga terhadap kecenderungan post power syndrome pada pensiunan

Pekerjaan : Pembangunan Drainase Gunungtelu-Cidadap Kec.. Karangpucung Nama Perusahaan

Forsyth (1980) mengemukakan Relativisme adalah suatu sikap penolakan terhadap nilai-nilai moral yang absolut dalam mengarahkan perilaku. Dalam hal ini individu

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah