• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang D 902006011 BAB VII"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Tujuh

Arso Tunggal

Menyiasati Globalisasi

Ngèli nanging Ora Kèli

Dari studi terhadap Arso Tunggal, penulis menemukan “kata kunci” gerakan paguyuban ini, yaitu: ngèli nanging ora

kèli (hanyut tapi tidak terhanyut). Paguyuban Arso Tunggal

dapat mengikuti arus global tapi tidak terhanyut oleh arus tersebut. Paguyuban ini tetap bertahan pada budaya dan kearifan lokal Jawa, menggunakan budaya dan kearifan lokal Jawa tersebut sebagai landasan untuk menyikapi globalisasi.

(2)

Berpikir global dipraktikkan dalam kerja sama dengan Jepang. Bertindak lokal, karena landasan yang dipakai adalah budaya dan kearifan lokal Jawa dalam pengobatan, hasilnya dimanfaatkan untuk masyarakat, baik di dalam negeri maupun internasional. Langkah itu dapat disebut sebagai “dari Jawa untuk Indonesia,”bahkan “Jawa untuk dunia.”1

Dalam perspektif “Jawa untuk dunia” itu konsep “Jawa menyiasati globalisasi” berada. Jawa yang dimodernisasikan, dikembangkan dengan menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dan penerapan teknologi modern, namun tidak kehi-langan jatidiri dan larut dalam arus global. Itulah ketahanan budaya dan kearifan lokal untuk menangkal globalisasi.

Di bidang pertanian, aktivitas Arso Tunggal sebagai gerak-an menyiasati globalisasi lebih jelas. Kegiatgerak-an SPOR merupakgerak-an respons terhadap gerakan revolusi hijau yang berkembang dalam ranah globalisasi. Melalui SPOR, paguyuban ini mem-bangkitkan kembali varietas-varietas lokal yang sudah terdesak oleh revolusi hijau tersebut.

Sistem Pertanian Organik Rasional merupakan salah satu sistem dalam gerakan pertanian organik yang menggugat re-volusi hijau. Rere-volusi hijau dinilai telah menurunkan kuantitas dan kualitas produksi pangan, mengakibatkan biaya produksi pertanian makin mahal dan berbagai persoalan lingkungan. Melalui SPOR, Arso Tunggal membuktikan, bahwa dalam sek-tor pertanian Indonesia tidak harus mengikuti sistem pertanian

1 Kekuatan budaya dan kearifan lokal Jawa itu sudah pernah dibuktikan

(3)

asing dengan pemakaian sarana produksi kimiawi anorganik. Melalui SPOR pula, Arso Tunggal membangkitkan kemandirian petani dan kelestarian daya dukung lingkungan.

Mengapa Arso Tunggal menjalin kerja sama dengan Sumitomo Jepang? Beberapa pertimbangannya antara lain:

1. Pemerintah Indonesia kurang menghargai hasil karya warga negaranya sendiri;

2. Pemerintah Indonesia tidak menyediakan dana yang cukup untuk kegiatan riset yang dilakukan dengan Sumitomo;

3. Kerja sama dengan pihak luar itu sebagai “jembatan” untuk mengembangkan budaya dan kearifan lokal Ja-wa ke dunia internasional;

4. Kerja sama tersebut sebagai sikap terhadap Peme-rintah Indonesia yang tidak menghargai hasil karya anak bangsanya sendiri.

Dalam konteks kerja sama tersebut, menurut penulis, Arso Tunggal menggarisbawahi pendapat Giddens (2000), yaitu globalisasi bukan tentang saling ketergantungan ekonomi, me-lainkan tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan manusia. Peristiwa di tempat yang jauh, berkaitan atau tidak berkaitan dengan ekonomi, memengaruhi manusia secara lebih langsung dan segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, keputusan yang diambil seseorang sebagai individu-individu seringkali memiliki implikasi global.

Gerakan Arso Tunggal juga dapat dilihat sebagai sikap terhadap pandangan dikotomis Pang Lixin dalam Bleeding

Horse Pub, Dublin yang dimuat di Far Eastern Economic

Review 24 Juni 2004. “This is globalization, this is the world

today. You fit in or it will throw you out,” kata Lixin.

(4)

left behind. Seseorang hanya dihadapkan pada dua pilihan, ikut larut atau terpental keluar dari arus global.

Arso Tunggal membuktikan diri sebagai gerakan yang tidak terhanyut tapi juga tidak terpental dari arus global seperti disebutkan oleh Lixin. Kegiatan yang dilakukan memang bekerja sama dengan pihak luar negeri, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi global, namun kerja sama itu justru dilakukan demi kepentingan lokal, yaitu pengembangan budaya dan kearifan lokal Jawa.

Dalam konteks pemikiran itu, maka Arso Tunggal adalah komunitas lokal yang tidak menentang, melainkan menyiasati globalisasi demi kebangkitan budaya dan kearifan lokal Jawa. Dalam kegiatannya, paguyuban ini selalu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi landasan gerakan. Kegiatan bidang pengobatan dan pertanian yang dilakukan merupakan aplikasi pemahaman bahwa humanisme kejawèn harus menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan hanya berhenti pada olah rasa yang hanya bermuara pada ketenangan jiwa secara pribadi. Karya nyata yang dihasilkan paguyuban ini sebagai praktik tahapan krenteg-karep-karsa-karya untuk menghadapi globalisasi.

Secara kelembagaan, saat ini masih tergolong kecil,2 namun Arso Tunggal memiliki etos yang kuat untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Pandangan Arso Tunggal, menurut penulis, layak diseja-jarkan dengan pandangan ekonom Jerman E.F. Schumacher

2 Jumlah anggota Arso Tunggal yang aktif di sarasehan Reboan hanya

(5)

(1993) yang mengkritik perilaku perusahaan-perusahaan besar yang kejam dan tidak memperhatikan lingkungan usaha mau-pun aspek manusiawi kegiatan usaha. Etos gerakan Paguyuban Arso Tunggal juga dapat disandingkan dengan semangat berdi-kari Bung Karno, perjuangan swadesi Mahatma Gandhi, gerak-an kemgerak-anusiagerak-an Bunda Teresa, gerakgerak-an Sarvodaya Shramadgerak-ana A.A. Ariyaratne di Sri Lanka yang menerapkan empat prinsip kehidupan, yaitu: pemerataan distribusi kesejahteraan, harmoni dan rasa hormat, perbaikan material, dan tidak ada diskriminasi sosial.

Inti gerakan-gerakan itu sama, yaitu perjuangan dapat dilakukan mulai dari hal-hal kecil, bahwa sesuatu yang besar justru merupakan kumpulan sesuatu yang kecil-kecil. 3

Ciri-ciri Paguyuban Arso Tunggal dalam menyiasati glo-balisasi adalah:

1. Menerapkan pandangan, bahwa nasionalisme bukan merupakan paham yang sempit dalam menghadapi globalisasi, melainkan cinta Tanah Air didasarkan pada pengembangan kearifan lokal dipadukan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kearifan lokal itu relevan menjawab tantangan global.

2. Melakukan langkah-langkah nyata berlandaskan budaya dan kearifan lokal Jawa untuk menangkal laju globalisasi, tidak menyerah, tidak ikut arus.

Dari observasi partisipatif yang dilakukan, penulis me-nemukan fakta bahwa di balik kegiatan di bidang pengobatan

3 Ketika ditanya penulis, Djoko Murwono menjawab, “Terserah mau

disebut sebagai gerakan apa, tapi yang jelas kami berusaha mengembangkan kearifan lokal Jawa yang sudah terdesak oleh globalisasi, agar bangsa kita bisa bangkit menghadapi arus globalisasi yang mematikan kearifan-kearifan lokal

(6)

dan pertanian, sesungguhnya Arso Tunggal menitikberatkan pada tiga isu, yaitu globalisasi, pemahaman budaya Jawa, serta kerancuan budaya dan agama, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Isu Globalisasi

Gerakan Arso Tunggal melengkapi tesis Mansour Fakih (2001:223), yang mengidentifikasi gerakan tantangan terhadap globalisasi menjadi tiga, yaitu:

1. Tantangan gerakan kultural dan agama;

2. Tantangan dari gerakan sosial baru (new social

movement) dan masyarakat sipil global (global civil

society);

3. Tantangan gerakan lingkungan.

Inti ketiga gerakan perlawanan tersebut adalah menolak pembangunanisme dan globalisasi, dengan argumentasi dasar bahwa kedua hal itu membawa nilai-nilai kapitalisme dari negara-negara maju ke negara-negara sedang berkembang. Menurut Fakih, globalisasi yang kapitalistis menghilangkan nilai-nilai lokal yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk membangun masyarakat di negara-negara sedang berkembang. (Saiful Arif, 2000; Mansour Fakih, 2001).

(7)

ekonomi modern dalam kerangka globalisasi. Carson mengutuk keras industri pestisida Amerika, menguraikan makin mening-katnya kecemasan terhadap teknologi pasca-perang dunia dan juga makin tingginya kesadaran akan pentingnya kenyamanan-kenyamanan nonmateri dalam kehidupan.

Fakta bahwa Arso Tunggal menyiasati globalisasi mem-beri warna baru terhadap gerakan-gerakan menghadapi globali-sasi. Berbeda dari tiga gerakan yang disebutkan Mansour Fakih, yang bersifat globalisasi, gerakan Arso Tunggal tidak anti-globalisasi, melainkan menyiasati globalisasi dengan cara “memodernisasikan” kearifan lokal Jawa. Cara-cara itu khas Jawa yang sinkretis dan mengutamakan keselarasan (fakta empirik mengenai hal ini dijabarkan pada Bab Lima dan Bab Enam, yaitu melalui berbagai karya nyata di bidang pengobatan dan pertanian).

Siasat Arso Tunggal dilandasi pemahaman yang dikem-bangkan, yaitu:

1. Globalisasi merupakan penetrasi budaya kapitalisme Barat, yang berusaha menyeragamkan budaya-budaya lokal menjadi budaya global. Penyeragaman tersebut tidak dapat di-biarkan dan harus direspons dengan cara-cara mengembang-kan budaya dan kearifan lokal dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekno-logi;

2. Kearifan lokal Jawa, begitu pula kearifan-kearifan lokal daerah lain di Indonesia, tidak kalah dari nilai-nilai global, oleh karena itu harus dikembangkan untuk menghadapi globalisasi;

(8)

tekno-logi, sehingga tidak berhenti pada pengagungan budaya tanpa bermanfaat bagi kemanusiaan;

4. Kekalahan budaya lokal Jawa terhadap budaya global, disebabkan kurangnya aspek tindakan nyata (pakarti), karena selama ini budaya Jawa cenderung dipahami sebagai ajaran yang bersifat inward looking, hanya berkutat pada olah rasa, laku, dan hanya meng-hasilkan kearifan pribadi. Berbagai kegiatan budaya Jawa, bahkan cenderung “terjebak” pada romantisme masa lalu dan hanya mengagung-agungkan budaya Jawa sebagai budaya yang adiluhung, yang perlu dilestarikan (diuri-uri), tapi tidak diaplikasikan ke dalam karya nyata yang berguna bagi kemanusiaan; 5. Globalisasi telah menjerumuskan manusia kepada

pemikiran yang bersifat sangat materialistik dan kapitalistik, menghan-curkan fungsi dan peran manusia sebagai makhluk sosial yang plural dan dekat dengan alam. Manusia menjadi sangat tergantung dengan manusia yang lain serta kesulitan me-nempatkan diri dalam perkembangan zaman. Hal itu tercer-min dalam ungkapan Jawa ӎwuh ing pambudi,

yèn ta ora tahan.” Ungkapan itu bermakna, bahwa

manusia Jawa yang tidak tahan terhadap gelombang globalisasi akan kesulitan menempatkan diri dan kehilangan orientasi.

(9)

Perlu kebanggaan terhadap budaya lokal untuk menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu rendah diri atau tidak percaya diri terhadap budaya sendiri. Manusia Jawa harus bangga terhadap budaya Jawa untuk memberi kontribusi pada pembangunan bangsa dan tidak lekang oleh waktu serta mampu menghadapi globalisasi. Manusia Jawa tidak perlu ikut arus global, karena bagaimanapun budaya lokal tidak dapat disera-gamkan menjadi global. Globalisasi, dalam konteks ini, tidak perlu disikapi sebagai gerakan pemusnahan budaya lokal, melainkan justru akan mengembalikan kejayaan budaya lokal tersebut.

Oleh karena itu, Paguyuban Arso Tunggal mengembang-kan pemahaman, bahwa budaya Jawa harus mampu meredam arus global. Hal itu dilakukan melalui pengembangan budaya Jawa yang diaktualisasikan dengan pemanfaatan ilmu penge-tahuan dan teknologi modern.

Dalam konteks itu, maka gerakan Arso Tunggal juga mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak ber-pihak pada masyarakat banyak karena terkontaminasi oleh globalisasi. Obat-obatan yang dikembangkan paguyuban ini, yang dijual dengan harga murah, merupakan jawaban terhadap penerapan harga-harga obat yang mahal, adapun SPOR me-rupakan jawaban terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani.

Isu Pemahaman Budaya Jawa

(10)

pada pemahaman tentang inti humanisme kejawèn, yaitu

sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti, dan

laku. Karena berhenti pada laku, maka humanisme kejawèn

dipahami sebagai proses yang menghasilkan ketenangan jiwa dan kearifan secara pribadi.

Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya, mengkritik pemahaman tersebut, dan mengembangkannya menjadi: sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula gusti,

dan pakarti. Paguyuban ini menekankan aspek pakarti atau

tindakan nyata, bahwa pemahaman humanisme kejawèn harus diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan.

Oleh sebab itu, Arso Tunggal juga melakukan ”modern -isasi” budaya dan kearifan lokal Jawa. Gerakan ini menjawab tesis Benturan Antarperadaban Samuel Huntington (2003). Huntington mengajukan hipotesis bahwa perpecahan besar di antara manusia dan sumber konflik yang dominan adalah budaya.

(11)

Dalam konteks hipotesis Huntington, maka gerakan Arso Tunggal merupakan salah satu fenomena kebangkitan per-adaban non-Barat, cerminan dari hasrat, niat, dan akal untuk membentuk dunia dengan cara-cara non-Barat. Kalau Hunting-ton menyebutkan ”Asianization” di Jepang, ”Hinduization” di India, ”re-Islamization” di Timur Tengah, maka gerakan Arso Tunggal dapat disebut sebagai gerakan revitalisasi Jawa di Jawa.

Proses revitalisasi Jawa itu merupakan usaha untuk membangkitkan kembali budaya dan kearifan lokal Jawa. Usaha itu mengangkat budaya Jawa agar tidak lagi tertinggal dari budaya-budaya lain, termasuk budaya Barat dan budaya Timur Tengah yang menekan budaya lokal di negara-negara berkem-bang. Konsep revitalisasi Jawa mengacu pada pemahaman, bahwa budaya Jawa memiliki kekuatan untuk menangkal pengaruh budaya dari luar.

Revitalisasi Jawa merupakan jawaban atas kerisauan dan penolakan berbagai pihak yang menyebutkan bahwa tesis Huntington itu sangat dikotomis dan memojokkan dunia Islam. Dalam hal ini, maka revitalisasi Jawa dapat dijadikan penengah atau jalan keluar, yang memberikan solusi, setidak-tidaknya bagi orang Jawa sendiri. Orang Jawa tidak harus (atau bahkan: harus tidak) terjebak pada dikotomi Barat-Islam, melainkan kembali ke akar-akar budayanya sendiri: Jawa.4

Berbagai seminar, diskusi, sarasehan, dan pertemuan-pertemuan tentang budaya Jawa, yang diikuti penulis, selama ini cenderung hanya memperbincangkan tentang kehebatan budaya Jawa, sifat adiluhung budaya Jawa, namun kurang

4 Dalam dunia pemasaran (marketing) cara itu disebut sebagai blue ocean

(12)

mencari langkah-langkah konkret untuk membangkitkan buda-ya Jawa sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pemba-ngunan nasional di tengah-tengah gempuran budaya dari luar.

Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah misalnya, pernah menyelenggarakan sarasehan “Sumbangan Nilai-nilai Jawa untuk Manajemen Masa Kini,” 12 Mei 2005. Bekerja sama dengan harian Suara Merdeka, DRD juga mengadakan sarasehan “Sumbangan Jawa untuk Pembangunan Karakter Bangsa,” 30 Agustus 2005.

Tidak ada kesimpulan dalam sarasehan-sarasehan itu dan tidak ada pula tindak lanjut. Sarasehan-sarasehan itu, bagi penu-lis, hanya menjadi ajang curahan perhatian (curhat), sambung rasa, rerasan, dan romantisme masa lalu, tanpa penjabaran konkret. Hal itu makin menguatkan pendapat, bahwa budaya Jawa bersifat subjektif, bermuara pada kearifan individual, sehingga kurang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Begitu pula dengan Kongres Bahasa Jawa maupun Kongres Sastra Jawa yang selama ini diselenggarakan. Kongres-kongres tersebut lebih menitikberatkan pada pelestarian bahasa dan sastra Jawa, bukan pada budaya Jawa secara komprehensif. Sama dengan forum-forum yang lain, kongres itu pun tidak berusaha melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Jawa agar mampu menjadi pendorong kebangkitan bangsa di era globali-sasi. Pelestarian bahasa dan sastra Jawa memang perlu, tapi revitalisasi terhadap budaya Jawa juga penting, agar budaya Jawa relevan dengan perkembangan zaman.

(13)

memahami wujud fisik, tetapi tidak menangkap “roh” yang terwadahi oleh simbol-simbol yang memang banyak ditemukan dalam budaya Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penafsiran ulang untuk menemukan penafsiran baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.

“Modernisasi” yang dilakukan Arso Tunggal merupakan rekonstruksi, tercakup upaya-upaya untuk mencari makna-makna yang tersembunyi di balik teks dan realitas berkaitan dengan budaya Jawa. Setelah menemukan makna yang tersembunyi itu, langkah berikutnya adalah merekonstruksi pemahaman terhadap teks, sehingga melahirkan pemahaman baru.

Arso Tunggal memberi sumbangan pada “modernisasi” Jawa dengan melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman budaya Jawa. Rekonstruksi tersebut pada intinya “meluruskan” pemahaman yang semula memandang bahwa budaya Jawa hanya menghasilkan kearifan individual menjadi menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, budaya Jawa (yang dipadukan dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern) dapat menghasilkan suatu karya nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan, tidak lagi bersifat subjektif-individual.

Secara garis besar, upaya yang dilakukan Paguyuban Arso Tunggal adalah merekonstruksi pemahaman terhadap budaya Jawa. Pemahaman yang selama ini menyatakan bahwa nilai-nilai budaya Jawa hanya bersifat subjektif dan bermuara pada kearifan individu, oleh Arso Tunggal direkonstruksi menjadi nilai-nilai yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat sosial, bermanfaat bagi kemanusiaan.

Penulis berpendapat, pendekatan humanisme kejawèn

(14)

terhadap globalisasi maupun dalam rekonstruksi terhadap pemahaman budaya Jawa. Siasat terhadap globalisasi dilakukan karena pemahaman bahwa globalisasi mengancam eksistensi manusia, yang unik dan tidak dapat diseragamkan, terlebih lagi ditindas. Rekonstruksi terhadap pemahaman budaya Jawa didorong oleh kesadaran bahwa pemahaman selama ini justru membatasi gerakan untuk meningkatkan martabat dan ke-sejahteraan manusia.

Isu Kerancuan Budaya dan Agama

Perkembangan budaya Jawa dipengaruhi oleh budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia bersama agama-agama dari luar (Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, Konghucu). Akibatnya, sering terjadi kerancuan dalam hubungan antara budaya dan agama dalam konteks globalisasi.5

Dalam berbagai sarasehan Reboan, Arso Tunggal sering membahas perlunya pemisahan antara budaya dan agama. Pemisahan antara budaya dan agama itu penting, agar budaya Jawa tetap terjaga dari pengaruh budaya asing (baik Barat

5 Contoh kerancuan pemahaman antara budaya dan agama adalah polemik

di media massa tentang Bupati Kendal, Jateng Widya Kandi Susanti yang tidak mengenakan jilbab pada saat upacara pelantikan 23 Agustus 2010, padahal sehari-hari ia berjilbab. Pada acara pelantikan itu, Widya mengenakan pakaian Jawa; kain, kebaya, dan sanggul. Beberapa penulis surat pembaca di suratkabar mempersoalkan hal tersebut dan menuduh ia khilaf, tidak menghargai syariat Islam, dan sebagainya. Menghadapi polemik itu, dalam pertemuan dengan manajemen Suara Merdeka 30 Agustus 2010, Widya menjelaskan, bahwa ia mengenakan kain, kebaya, dan sanggul karena ingin

melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. “Dalam undangan disebut -kan dress code: pakaian nasional, maka saya mengenakan pakaian nasional yaitu kain, kebaya, dan sanggul, sedangkan jilbab bukan pakaian nasional Indonesia. Siapa lagi yang akan melestarikan kain, kebaya, dan sanggul kalau

(15)

maupun Timur Tengah). Budaya Jawa dapat dikembangkan, dimodernisasikan, mengikuti perkembangan zaman.

Dalam globalisasi, terjadi proses inkulturasi dalam per-kembangan agama-agama dalam relasi dengan budaya Jawa, tetapi tidak berarti agama mengubah budaya Jawa. Agama ibarat bulan yang menerangi bumi (budaya) di malam hari dengan pancaran sinar matahari (ibarat Tuhan Yang Maha Esa).

Agama menyinari budaya (sinarnya merupakan pantulan cahaya dari matahari – Tuhan Yang Maha Kuasa), tetapi agama tidak dapat disatukan dengan budaya. Kalau agama disatukan dengan budaya, berarti ada agama dan ada mono-budaya, sehingga universalisme hilang. Kekeliruan yang terjadi adalah agama disamakan dengan budaya, sehingga terjadi benturan antaragama, yang kemudian mengimbas pada benturan antarbudaya. Akibatnya, sekarang terjadi keresahan budaya.

Keresahan budaya itu digambarkan lewat ungkapan

“wong Jawa wis ilang jawané, wong wadon ilang wirangé, kali

ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé. (Terjemahan bebas:

orang Jawa kehilangan sifat Jawanya, perempuan-perempuan sudah kehilangan rasa malu, sungai kehilangan pusarannya, pasar kehilangan hiruk-pikuknya sebagai tempat tawar-menawar).

Ungkapan itu kemudian diteruskan dengan “Landané

kari sak jodho, Cinané kari separo, wong Jawa éla-élo.

Ungkap-an itu menggambarkUngkap-an, orUngkap-ang kulit putih tinggal sepasUngkap-ang (yaitu Eropa dan Amerika), orang Cina menguasai separo dunia, adapun orang Jawa hanya terbengong-bengong.

(16)

sangat terpengaruh budaya-budaya asing yang masuk, sehingga lebih berpola pikir, bersikap, dan berperilaku dengan nilai-nilai dari luar yang bukan nilai-nilai Jawa lagi. Pola pikir, sikap, dan perilaku itu digambarkan dalam ungkapan Jawa kaya gabah

diinteri (seperti gabah diacak-acak), sehingga terjadi

kebe-ringasan di sana-sini, bertentangan dengan substansi budaya Jawa yang penuh nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta keseimbangan manusia dan alam semesta.

Ungkapan wong Jawa ilang jawané, menggambarkan kebudayaan Jawa masa kini, ketika banyak manusia Jawa tidak lagi memahami kebudayaannya sendiri. Kebudayaan Jawa tergusur oleh kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar bersamaan dengan arus globalisasi.

Wong wadon ilang wirangé menggambarkan, kaum

perempuan, yang menurut nilai-nilai Jawa seharusnya menjaga harga diri sebagai perempuan, justru kehilangan rasa malu. Akibatnya, kaum perempuan Jawa masa kini berperilaku seperti layaknya perempuan-perempuan dengan nilai-nilai asing, baik Barat maupun Timur Tengah. Salah satu tandanya adalah dalam hal berpakaian dan bergaul dengan lawan jenis.

Kali ilang kedhungé, pasar ilang kumandhangé,

meng-gambarkan keadaan lingkungan yang sudah rusak, tidak terawat dengan baik. Sungai-sungai kering karena kerusakan ekosistem, pasar-pasar (tradisional) tidak lagi hiruk-pikuk, tidak ada lai tawar-menawar harga, tidak lagi ramai dikunjungi orang. Pasar tradisional sudah terdesak pasar-pasar modern, seperti

hy-permart, mal-mal, supermarket, dan sejenisnya. Pasar-pasar

modern itu bahkan telah memasuki wilayah-wilayah pedesaaan, tidak lagi hanya di kota-kota.

(17)

kebatinan yang menyanjung kelenturan dan kehebatan budaya Jawa menghadapi pengaruh dari luar. Bagi Arso Tunggal, se-karang inilah puncak kehancuran budaya Jawa karena pengaruh budaya asing. Di antara pengaruh itu termasuk pengaruh aga-ma-agama.

Dalam sarasehan Reboan sering dibahas tentang kehancuran budaya Jawa karena pengaruh budaya luar yang masuk dengan wajah agama. Ada penyampuradukan antara budaya dan agama, seperti dijelaskan Djoko Murwono sebagai berikut:

Jadi sebetulnya, kalau saya boleh ngomong jujur, pisahkanlah antara agama dan budaya. Justru kalau agama itu identik dengan budaya di mana asal agama itu ada, akan menghancurkan segala-galanya. Jadi, justru kiamat itu akan terjadi apabila budaya Arab diidentik-kan dengan Muslim. Itu sudah salah. Dan kalau kita datang ke luar Jawa jangan mengidentikkan budaya Jawa ini sama dengan budaya Sumatera. Biarlah budaya Sumatera, budaya Melayu tumbuh dengan sendirinya, biarlah budaya Jawa tumbuh dengan sendirinya.

Ini adalah suatu kesalahan. Kesalahan ini direstrukturisasi dan direstui oleh sesuatu kekuatan, tapi justru saya terima kasih, karena itu akan menimbulkan khasanah baru yaitu menjadi suatu kerusakan, dan apabila kerusakan terjadi itu seperti goro-goro (dalam pewayangan). Setelah itu timbul gejolak yang sangat tinggi lagi, maka rem-rem sidhem permanem, karena ada sesuatu yang datangnya dari Allah dan akan menenteramkan bangsa ini, setelah timbulnya hara yang besar. Jadi, apa-kah sekarang akan jadi huru-hara yang besar, jawabnya ya, karena dari jangka Joyoboyo dikatakan den kaya gabah diinteri. Jadi yang bisa menenteramkan itu, yèn wong Jawa ketemu jawané.

(18)

Palon Noyo Genggong (Hardiyanto, 2007:67) disebutkan, ketika itu Brawijaya V sudah berganti agama, dari Buda (Jawa) menjadi Islam setelah diberi pengertian tentang agama Islam oleh Sunan Kalijaga. Brawijaya V membujuk Sabdo Palon untuk memeluk Islam juga, tapi pelayan ini tidak mau mengikuti ajakan tersebut.

Sabdo Palon mengungkapkan, ”Paduka yektos,

manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buda, turun paduka temtu apes, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, remen nunut bangsa sanès.” (”Sungguh paduka, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Buda, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal jawan,

artinya hilang, suka ikut bangsa lain”). Sabdo Palon

meneruskan kata-katanya, ”Besok udara tanah Jawa berubah, tambah panas, jarang hujan. Hasil bumi berkurang, banyak orang suka menipu, berani bertindak nista, hujan salah musim, membuat bingung para

petani.”

Ungkapan Sabdo Palon itu sekarang sudah menjadi kenyataan. Jawa tinggal nama karena orang-orang Jawa tidak lagi hidup berdasarkan nilai-nilai kejawaan (antara lain karena pengaruh budaya asing yang dibawa agama-agama), manusia Jawa lebih senang mengikuti budaya bangsa lain, iklim sudah berubah (musim hujan kering, musim kemarau hujan), produksi pertanian merosot (sampai mengimpor produk-produk pertani-an), banyak orang yang senang menipu, bertindak nista.

Pandangan tentang pemisahan antara agama dan budaya mirip dengan sikap Kiai Sadrakh yang menjadi Kristen (secara agama) tapi tidak mau menjadi Belanda (secara budaya) dan Sunan Kalijaga yang menjadi Islam (secara agama) tetapi tetap Jawa (secara budaya). Meskipun demikian, dalam perkem-bangannya, selalu terjadi ”tarik-menarik” antara agama dan budaya.

(19)

budaya dan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh agama-agama tersebut. Kenyataan ini berbeda dari kondisi beberapa puluh tahun silam.6

Cerita Ajisaka juga menggambarkan keberhasilan para cendekiawan Jawa dalam mengubah huruf Hindu menjadi huruf Jawa, serta proses pemanfaatan Tahun Saka untuk catat peristiwa-peristiwa sejarah Jawa. Sunan Kalijaga men-transformasikan agama Islam yang bernuansakan Arab kepada orang-orang Jawa. Nuansa Islam yang (ketika itu) terasa asing bagi orang Jawa diubah menjadi agama yang bisa diterima di Jawa. Sunan menggali perbendaharaan spiritual Jawa dan memadukannya dengan ajaran Islam, yaitu Ayat 255 Surat Al

Baqarah, dan menghasilkan tembang lima bait “Rumeksa ing

Wengi”. Intinya, sebagai mantra untuk perlindungan dari keja-hatan di waktu malam (Achmad Chodjim, 2006).

Bait pertama syair tembang tersebut sebagai berikut:

Ana kidung rumeksa ing wengi

(20)

gunaning wong luput geni atemahan tirta

maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirna

Makna ungkapan itu adalah:

Ada kidung rumeksa ing wengi

Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit Terbebas dari segala petaka

Jin dan setan pun tidak mau Segala jenis sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat guna-guna tersingkir Api menjadi air

Pencuri pun menjauh dariku Segala bahaya akan lenyap.

Komunikasi antara Islam dan budaya lokal Jawa kemudian juga melahirkan berbagai kebiasaan khas yang dilakukan oleh masyarakat, yang berbeda dari masyarakat Timur Tengah. Sebut saja, misalnya, halalbihalal, mudik, dan tilik kubur. Sebelum ada campur tangan misionaris Barat (Bambang Noorseno, 2003), pengabaran Injil (agama Kristen) di Jawa yang relatif alamiah tidak menimbulkan gejolak apa pun. Seperti Sunan Kalijaga tidak perlu menjadi Arab meskipun memeluk Islam, para “kiai” Kristen Jawa menerima agama Kristen tetapi menolak Belanda. Kiai Tunggul Wulung tetap mempertahankan identitas Jawa-nya; begitu pula Kiai Sadrakh yang menyebut jamaahnya sebagai pasamuwané wong Kristen mardika (jamaah Kristen merdeka).

Masalah mulai muncul ketika kekristenan dekat dengan misionaris Barat. Kedekatan itu kemudian menuai kritik; kemudian muncul istilah “Kristen Jawa” dan “Kristen Landa”,

(21)

Pertemu-an antara agama dan budaya selalu melahirkan “tarik-menarik,” bahkan tidak jarang penyampuradukan antarkeduanya. Dari sejarah, kita belajar bahwa orang Jawa pintar menyikapi “tarik -menarik” itu; maka muncul ungkapan-ungkapan budaya Jawa lentur, luwes, fleksibel, sehingga agama apa pun bisa “dija -wakan” (atau justru sebaliknya: justru Jawa yang “diagamakan”). Tidak dapat dimungkiri, bahwa sejarah pun mencatat muncul keresahan-keresahan ketika budaya menerima pengaruh dari luar, baik karena masuknya agama, budaya, maupun agama bersama-sama dengan budaya. Kenyataan itu tidak hanya terjadi pada budaya Jawa karena pengaruh agama-agama, tapi juga pada masyarakat Eropa di Abad Pertengahan dulu. Dominasi agama/gereja yang melakukan ekspansi ke wilayah budaya, pada Abad Pertengahan itu, menimbulkan berbagai reaksi. Salah satu reaksi itu adalah kehendak untuk kembali kepada masa Romawi-Yunani kuna, mengembalikan harkat kemanusiaan agar terlepas dari dominasi agama/gereja, kemudian memunculkan gerakan-gerakan humanisme.

Globalisasi yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai pemaksaan budaya Barat terhadap budaya-budaya lokal, juga menimbulkan keresahan-keresahan. Masyarakat Indonesia se-karang ini sedang mengalami keresahan budaya semacam itu. Sebuah gejala, yang sangat tidak menguntungkan bangsa ini. Ibaratnya, bangsa ini sudah kehilangan pegangan, sehingga arahnya tidak jelas, karena budaya adalah fondasi yang seha-rusnya kokoh dipertahankan sebagai modal untuk bersaing di era global. Oleh sebab itu, penulis mendambakan, kebangkitan agama-agama sekarang ini diimbangi oleh kebangkitan budaya-budaya lokal, seperti pada masa Airlangga, Gajah Mada, Sunan Kalijaga, dan Kiai Sadrakh.

(22)

Tunggal, sehingga gerakan ini tidak pernah menyebut diri sebagai gerakan agama, melainkan sebagai gerakan sosial-budaya. Gerakan sosial-budaya yang dimaksud adalah gerakan yang menitikberatkan pada karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat dan kajian-kajian budaya, melintasi sekat-sekat agama. Dalam ranah empirik, hal itu dipraktikkan Arso Tunggal dalam berbagai kegiatan yang tidak membeda-bedakan penga-nut agama. Itulah sebabnya, pasien yang berobat atau mitra kerja paguyuban ini pun terdiri dari berbagai penganut agama.

Pemisahan antara budaya dan agama sangat sulit dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah, hampir semua umat beragama (terutama Islam dan Kristen) berkeyakinan bahwa agama mereka adalah wahyu dari Tuhan, agama yang memang dicipta oleh Tuhan, bebas dari campur tangan manusia. Keyakinan itu mengakibatkan, umat beragama tidak dapat memisahkan antara ajaran-ajaran agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan kebiasaan serta adat istiadat manusia pada zaman ajaran-ajaran agama itu berkembang.

(23)

pemeluk agama, misalnya orang Kristen tidak mau mengucap-kan ”Salam,” melainmengucap-kan ”Syalom,” orang Islam tidak mau meng -ucapkan ”Tuhan” tetapi ”Allah.”

Gejala tersebut makin menimbulkan terkotak-kotaknya umat beragama. Oleh sebab itu, konflik-konflik yang muncul dalam masyarakat selalu dikaitkan dengan faktor agama, meskipun sebenarnya merupakan konflik budaya atau mungkin konflik ekonomi.

Pemikiran tentang pemisahan antara budaya dan agama adalah pemikiran yang idealis, karena kalau hal itu bisa diterap-kan, maka akan mengurangi konflik-konflik sosial-budaya, yang selama ini dipersepsi sebagai konflik agama. Hal itulah yang oleh George Weigel (seperti dikutip Huntington, 2003) disebut

the unsecularization of the world sebagai salah satu faktor sosial

yang dominan dalam kehidupan akhir abad ke-21. Persaingan antaragama (the revival of religion) menguatkan basis identitas dan komitmen yang melampaui batas-batas nasional dan mempersatukan peradaban-peradaban.

Ungkapan itu dapat dimaknai, bahwa persaingan antaragama yang akhir-akhir ini menajam karena meningkat-nya fundamentalisme agama-agama, justru akan memperkuat dan mempersatukan budaya-budaya. Kalau demikian, maka pemisahan antara budaya dan agama bukan sesuatu yang mustahil, setidak-tidaknya umat manusia akan makin mengerti hal-hal yang bersifat budaya tidak harus dikaitkan dengan agama. Kalau pemahaman itu terjadi, maka bangsa Indonesia tidak perlu terkotak-kotak oleh agama, karena sama-sama berbudaya Indonesia.

Manusia-manusia Indonesia, apa pun agama yang mereka anut, secara ideal bisa hidup dalam budaya umum (common

(24)

ekspansi cepat hubungan ekonomi antara Republik Rakyat Cina dan Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan komunitas Cina di negara-negara Asia yang lain. Dengan berakhirnya Perang Dingin, pening-katan komunalitas budaya mengalahkan per-bedaan-perbedaan ideologi, sehingga Cina daratan dan Taiwan pun bergerak menyatu. Bangsa Indonesia pun seharusnya bisa menerapkan budaya umum itu dalam lingkup keindonesiaan, sehingga tiap-tiap orang bisa berkata: ”Aku orang Indonesia, yang berbudaya Indonesia, terlepas dari agama yang aku anut.”

Huntington mengungkapkan, dalam konflik kelas dan ideologi, pertanyaan kuncinya adalah “Which side are you on?”

dan orang dapat memilih atau mengubah dirinya. Dalam konflik peradaban, pertanyaannya “What are you on?”; sesuatu

yang given, tidak dapat diubah. Menghadapi pertanyaan ”What

are you on?” maka orang Jawa bisa menjawab tegas: ”I am

Javanese!” terlepas dari agama yang dianut, kelas sosial maupun

ideologi yang diyakini. Orang Jawa adalah bagian dari bangsa Indonesia, maka jawaban itu pun bisa menjadi ”I am

Indone-sian!” Jawaban tersebut menggambarkan, bahwa seorang Jawa

adalah seorang yang hidup dengan nilai-nilai budaya Jawa, pada saat yang bersamaan ia adalah bagian dari bangsa Indonesia yang juga menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

Pemisahan antara budaya dan agama, kalau dapat diterap-kan, akan mengurangi kekhawatiran tentang meningkatnya konflik justru karena kebangkitan agama-agama yang sekarang terjadi. Kekhawatiran itu muncul karena kebangkitan agama-agama cenderung hanya terkonsentrasi pada masalah teologis, mengabaikan masalah kemanusiaan.

(25)

“agama kemanusiaan.” Dalam benaknya, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah abad pertengahan digantinya dengan le Grand Etre, (Ada Agung), yakni: Kemanusiaan (dengan huruf K besar!).

Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte membagi pengetahuan ke dalam tiga tahap, yaitu tahap teologis, meta-fisika, dan positif. Penahapan itu, menurut dia, sesuai dengan perkembangan individu; masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. (Budi Hardiman, 2004: 206).

Lalu, apa kaitan “agama kemanusiaan” dengan kondisi masa kini? Setidak-tidaknya ada tiga hal, yaitu:

1. Dalam konteks pemikiran Comte, manusia zaman sekarang sedang menuju “masa kanak-kanak,” kembali pada “masa teologis.” Masa ketika banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi “yang terdekat” atau “yang terkasihi” oleh sesuatu kekuatan di luar diri manusia, yang biasa dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Masa ini ditandai pula dengan munculnya pemikiran yang ingin membawa agama sebagai “pusat kekuasaan.” Masa itu diwarnai kebangkitan agama-agama di hampir seluruh belahan dunia. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) penuh jemaah. Simbol-simbol agama; apa pun agama itu, makin merebak. Meskipun belum pernah menghitung, saya yakin jumlah pemakai jilbab pasti bertambah banyak, begitu pula jumlah orang yang mengenakan kalung bertanda salib, atau jumlah umat Buddha, Hindu, dan Konghucu yang merasa lebih leluasa memperlihatkan jatidiri mereka.

(26)

banyak orang yang memercayai hal-hal di luar fakta yang oleh Comte diyakini sebagai satu-satunya kenyataan. Bagi pemikir kelahiran Montpellier, Prancis ini, pengetahuan sejati hanyalah yang faktual, maka ia menolak metafisika. Masa teologis dan masa metafisik, menurut dia, adalah masa kanak-kanak dan remaja dalam perkembangan individu. Jadi, masuk akal kalau terjadi berbagai macam paradoks pada masa kini. Misalnya, meskipun tempat ibadah penuh jemaah dan banyak orang yang percaya pada hal-hal metafisik, namun kebencian, kedengkian, caci-maki, permusuhan, konflik, dan korupsi tetap terjadi.

3. “Agama kemanusiaan” mungkin bisa menjadi pe -nyeimbang bagi kemajuan pesat “masa teologis” dan "metafisik" sekarang ini. Bukankah keseimbangan memang diperlukan dalam hidup manusia? Seperti juga diajarkan di semua agama, selain menjalin hubungan vertikal (dengan Tuhan) umat manusia juga diwajibkan menjalin relasi horizontal yang baik dengan sesamanya. Apa pun istilahnya, menurut penulis, konsep Comte sangat menarik dan layak direnungkan, terutama konsep bahwa cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan se-bagai moralitas tertinggi. Bukankah semua agama juga meng-ajarkan moralitas yang sama? Mana ada agama yang mengan-jurkan umatnya untuk tidak mencintai dan mengabdi kepada kemanusiaan?

(27)

Dalam perspektif itulah, penulis mengkhawatirkan ke-bangkitan agama-agama hanya terkonsentrasi pada masalah teologis (atau bahkan pengumpulan massa pengikut) dan menga-baikan masalah yang lebih membumi, yaitu kemanusiaan. Penulis memimpikan, kebangkitan itu justru makin mendekat-kan agama pada kehidupan sehari-hari dan pada kerja sama kemasyarakatan antaragama. Para penganut agama bersatu dalam sinergi cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan, mem-beri kontribusi nyata pada penanganan kemiskinan, keter-belakangan, pengangguran, konflik, korupsi, dan masalah ke-manusiaan lain yang masih menjadi tantangan bersama.

Bagi penulis, semua agama adalah “agama kemanusiaan” karena mengajari manusia untuk mengasihi sesama manusia (siapa pun mereka) sebagai perwujudan cinta kasih Tuhan di dunia ini. Dengan begitu, tesis Karl Marx bahwa “agama adalah candu” terbantahkan.

Kesimpulan

Inti dari gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi adalah ngèli nanging ora kèli. Ungkapan tersebut menunjukkan karakter budaya Jawa yang sinkretis; dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, namun tidak terhanyut oleh arus perkembangan zaman itu.

Gerakan Arso Tunggal menyiasati globalisasi, menurut temuan penulis, melakukan kritik terhadap globalisasi, kritik terhadap pemahaman budaya Jawa, kritik terhadap kerancuan budaya dan agama. Kritik-kritik tersebut melengkapi pan-dangan-pandangan tentang globalisasi yang sudah ada.

(28)

globalisasi menjadi tiga, yaitu: Tantangan gerakan kultural dan agama; tantangan dari gerakan sosial baru (new social

movement) dan masyarakat sipil global (global civil society);

serta tantangan gerakan lingkungan.

Paguyuban Arso Tunggal, lewat berbagai kegiatannya, mengkritik pemahaman bahwa budaya Jawa hanya berhenti pada ketenangan jiwa dan kearifan individu. Paguyuban ini menekankan aspek tindakan nyata. Humanisme kejawèn harus diaplikasikan pada tindakan nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan lingkungan.

Dalam konteks pemikiran itu pula, Arso Tunggal mengembangkan pemahaman perlunya pemisahan antara budaya dan agama. Hal itu perlu dilakukan, agar pembangunan sungguh-sungguh dilakukan dengan pendekatan budaya dan manusia, terbebas dari kerancuan pemahaman relasi antara budaya dan agama. Budaya diibaratkan bumi, agama diibaratkan bulan yang menyinari bumi di malam hari, dan Tuhan Yang Maha Kuasa diibaratkan matahari sebagai sumber cahaya yang menyinari bulan dan bumi.

Referensi

Dokumen terkait

dialami baik dirinya sendiri, keluarga atau orang yang dianggap kerabat oleh orang Jawa, orang Jawa umumnya memiliki sikap atau pandangan mengenai masalah yang dialami sebagai

PROVIDENSIA DI MATA PETANI JAWA: STUDI ATAS PEMAHAMAN WARGA GKJTU NGADUMAN

Ketika ditanyakan distorsi budaya apakah yang mereka nilai menyebabkan banyak orang Tionghoa Benteng yang sebelumnya cukup mapan kemudian menjadi jatuh miskin, mereka

bahasa, dan adat istiadat yang sesungguhnya harus dipandang sebagai sebuah kekayaan/kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia, karena itu menurut hemat penulis sudah

mengabdikan hidup mereka untuk Keraton dan budaya Jawa, maka hidup mereka.. akan diberkati sehingga mereka memperoleh ketenangan dan

Potret Relasi Dosen dan Mahasiswa Dalam Tumblr “YeahMahasiswa” (Sebuah Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough).. Komodifikasi Budaya Jawa (Wayang) Dalam

Selatan berpikir bahwa alat musik gamelan merupakan hasil budaya Jawa yang harus. dilestarikan

Dengan kekhasan yang dimiliki oleh pimpinan Anak Sulung, Anak Tengah, Anak Tunggal, mereka dapat mengembangkan budaya sekolah yang mencerminkan kekhasannya berdasarkan urutan