• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalau Rene Descartes di Abad Modern mengatakan “Aku berpikir maka aku ada,” maka Arso Tunggal mengembangkan pemahaman bahwa budaya Jawa akan mandek dan tidak bermakna bagi kehidupan manusia tanpa eksplorasi intelektual terhadap pengertian-pengertian di dalamnya. Itulah sebabnya, Arso Tunggal mengeksplorasi kearifan-kearifan lokal Jawa (diistilahkan “memodernisasikan” Jawa) ke dalam pendekatan ilmiah. Riset-riset ilmiah dilakukan berdasarkan pemahaman dan pengetahuan tentang kearifan-kearifan lokal Jawa, kemu- dian menghasilkan produk-produk (obat-obatan dan SPOR) yang relevan dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif Karl Marx, langkah itu menggambarkan kreativitas manusia sebagai kesadaran tentang eksistensi manusia.

Langkah-langkah itu menunjukkan, bahwa paguyuban ini mengembangkan keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntutan tradisi atau otoritas (seperti yang dikemukakan Immanuel Kant). Dalam konteks budaya Jawa, maka Arso Tunggal mengkritik pemahaman yang selama ini ada, yaitu budaya Jawa (seolah-olah) hanya bermuara pada kearifan (wisdom). Kegiatan paguyuban membuktikan, bahwa budaya Jawa pun seharusnya bermuara pada ilmu pengetahuan, bukan sekadar kearifan, dan hal itu sudah dibuktikan dengan pene- muan-penemuan di bidang pengobatan dan pertanian alternatif.

Renaisans

Kalau di Masa Renaisans gerakan humanisme menentang dominasi kristianitas Periode Pertengahan, maka gerakan

Paguyuban Arso Tunggal pun mencerminkan kritik terhadap pemahaman keagamaan yang cenderung bersifat dogmatis, kurang terjun ke dalam kegiatan-kegiatan sosial, dan kurang memanusiakan manusia. Kritik itu tercermin dari ungkapan- ungkapan Djoko Murwono yang tidak peduli akan dicap apa pun sebagai penganut Katolik, yang penting baginya hidup harus bermanfaat untuk orang lain, memanusiakan manusia.

Tidak hanya kritik terhadap agama, gerakan Arso Tunggal juga merupakan manifestasi dari kritik terhadap feodalisme, seperti humanisme Renaisans Italia yang bercita-cita membe- baskan individualitas dari belenggu kekuasaan agama dan feodalisme. Hal itu tercermin dari sikap aktor sentral yang tidak

mau “terbelenggu” oleh nilai-nilai feodalistik yang dia peroleh dari didikan di lingkungan dua keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat. Dia memilih terbebas dari feodalitas itu dan hidup merdeka, mengembangkan ngélmu lewat gerakan Arso Tunggal.

Pencerahan

Gerakan Arso Tunggal tidak menafikan kekuatan pikiran, tetapi kekuatan itu diangkat dari kekuatan yang lebih dalam, yaitu kekuatan jiwa yang disinari oleh cahaya Yang Maha Kuasa. Berbeda dari gerakan humanisme Pencerahan yang menempatkan pikiran sebagai panglima dalam “perang” me- lawan takhayul, gerakan Arso Tunggal justru menyelaraskan pikiran dengan jiwa dalam setiap kegiatannya.

Sama dengan keyakinan humanisme Pencerahan, huma- nisme Arso Tunggal pun menitikberatkan pada hal-hal bersifat natural-alamiah. Pengembangan obat-obatan bio-fito farmaka yang dikembangkan berlandaskan pengetahuan pengobatan Jawa (misalnya obat hepatitis yang dikembangkan dari per- paduan kutu atau tuma dan pisang emas) adalah bukti pende-

katan natural-alamiah. Begitu pula, pengembangan SPOR yang melestarikan daya dukung tanah, menggambarkan bahwa Pa- guyuban Arso Tunggal berobsesi membangun pranata-pranata sosial yang adil, dengan mengangkat martabat petani agar mampu mandiri, terbebas dari tekanan-tekanan kekuatan kapitalistik.

Humanisme Pencerahan mengajarkan manusia tidak sela- lu menoleh ke belakang (ancient classical utopias), melainkan perlu menatap ke depan pada earthly paradise alias utopia modern ketika kemiskinan, takhayul, dan perang bisa dihapuskan. Semangat itu juga terdapat dalam gerakan Paguyuban Arso Tunggal, tercermin dari gerakan SPOR yang berusaha mengangkat kesejahteraan petani, tidak memercayai takhayul tapi memandang bahwa Yang Maha Kuasa menyinari hidup manusia, dan mendorong terciptanya perdamaian antar- manusia. Gerakan Arso Tunggal berorientasi pada masa depan

yang lebih baik, tidak menoleh ke belakang. “Kita tidak perlu menoleh ke belakang, karena dengan begitu kita bisa berpikir

maju, berorientasi masa depan,” kata Djoko Murwono.

Arso Tunggal dan Humanisme Postmodern

Seperti pemahaman yang berkembang pada masa Post- modern, pemahaman Arso Tunggal juga menitikberatkan pada pentingnya unsur manusia dan budaya. Titik berat pada unsur manusia dibuktikan oleh paguyuban ini pada kegiatan-kegiatan pengobatan yang dilakukan melalui klinik di Bulusan dan Plamongan, Semarang serta pengobatan yang dilakukan di Manokwari, Papua dan Ketapang, Kalimantan Barat. Selain itu, juga pengembangan SPOR untuk membantu para petani.

Kegiatan tersebut dilandasi pemahaman “tetulung marang sak padha-padha manunggsa” (“menolong sesama manusia”).

Pengutamaan budaya terlihat dari fakta bahwa bahwa Arso Tunggal adalah gerakan budaya, bukan agama. Oleh sebab itu, paguyuban ini terbuka bagi orang-orang dari berbagai agama, aliran kepercayaan, dan profesi. Arso Tunggal juga mengembangkan pemahaman, bahwa budaya dan agama merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Pemisahan tersebut perlu untuk menghindari (mengurangi) konflik-konflik yang di permukaan seperti konflik agama, padahal sebenarnya konflik budaya.

Gerakan Paguyuban Arso Tunggal mencerminkan karak- teristik Postmodern, yaitu:

1. Makna kemanusiaan tidak dapat diandalkan, melainkan harus selalu ditemukan dan dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan manusia dengan realitas dan konteks yang baru. (Bukti empirik: Paguyuban Tunggal selalu berusaha menemukan hal- hal baru dalam pengobatan dan pertanian. Harga obat yang mahal dijawab dengan penemuan-penemuan baru di bidang pengobatan dan pemberian subsidi kepada masyarakat; revolusi hijau yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi pangan, biaya produksi pertanian yang makin mahal, maupun persoalan lingkungan yang diakibatkannya dijawab dengan penerapan SPOR).

2. Kemanusiaan bukanlah suatu esensi tetap atau situasi akhir, melainkan suatu proses menjadi manusiawi secara terus-menerus dalam interaksi manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berubah dan berkembang. (Bukti empirik: ketika ditanya apa sebenarnya tujuan hidup manusia, Djoko Murwono

menjawab: “menjadi manusia, menjadi diri sendiri.”

terus-menerus mencari dan mengembang-kan jatidirinya. Gerakan yang mencerminkan hal ini adalah, pendampingan kepada para petani agar mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah; memanusiakan petani).

3. Humanisme harus mengandung unsur dialogis, artinya me-rupakan undangan untuk saling menjadi makin manusiawi. (Bukti empirik: ritual yang dikembangkan Arso Tunggal membimbing anggota untuk meningkatkan kualitas sebagai manusia, yang dalam budaya dikenal dengan satriya, satriya pinandhita, pinandhita ratu, ratuning pinandhita, ratu ratuning pinandhita.).

4. Nilai-nilai universal dan kontekstual atau dimensi normatif dan faktual dalam realitas kehidupan manusia saling ber-interaksi dan tidak dapat dipisahkan. (Bukti empirik: Arso Tunggal selalu melakukan sarasehan Reboan untuk membahas perkembangan aktual berkaitan dengan gerakan di bidang pengobatan dan pertanian. Contoh: melakukan riset untuk menemukan obat alternatif untuk HIV dan riset untuk meningkatkan produksi pertanian). 5. Politik yang humanistik perlu menyeimbangkan dua

corak politik, yaitu politik emansipatorik yang bertujuan mengu-rangi atau bahkan menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan, serta politik kehidupan yang mengedepan-kan aktualisasi diri serta kepedulian moral dan eksistensial yang telah dipinggirkan oleh Humanisme Modern. (Bukti empirik: di bidang pengobatan Arso Tunggal membantu masyarakat yang kurang mampu dengan memberikan subsidi harga obat, sehingga harga menjadi murah dan terjangkau. Di bidang pertanian

Paguyuban Arso Tunggal berusaha meningkatkan daya saing dan kemandirian petani melalui SPOR, menghapus eksploitasi, ketidaksetaraan, dan penindasan).

Dokumen terkait