• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Arti dan Pengertian Korupsi

Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum Indonesia sejak adanya Penguasa Militer Nomor PRT / PM-08 / 1958 tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam pasa 1 ayat (a) yang menyatakan bahwa mengadakan penyelidikan harta benda seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt / Pm/ 06 / 1957 Penguasa Militer Berwenang pula mengadakan penyelidikan terhadap harta setiap orang atau badan di dalam daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

‘Corruption’ is a very broad term. It covers fraud (theft through misrepresentation), embezzlement (misappropriation of corporate or public funds) and bribery (payments made in order to gain an advantage or to avoid a disadvantage). The different types of corruption are likely to be closely linked. It is not easy to define a corrupt deal in a few words because there are a number of elements to the transaction. It is an act of theft (and hence an offence against human relationships), but it is a very particular kind of theft. One definition that has the virtue of simplicity (but which needs unpacking) is “the act by which ‘insiders’ profit at the expense of ‘outsiders’ ”. This can convey the ideas of abuse of position, offending against relationships, and underhandedness.7

Para ahli hukum dalam memberikan pengertian korupsi sangatlah bervariasi, sedangkan dalam peraturan perundang-undangan KUHP maupun

         7

 Bryan R Evans, The Cost of corruption, A discussion paper on corruption, development and the poor,

dalam undang-undang tindak pidana korupsi sama sekali tidak terdapat satu pasalpun yang memberikan definisi korupsi secara jelas.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman.

Kata Korupsi dalam bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruptie” yang selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Korupsi”. Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion Webster Dictionary8 diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian , sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,dsbnya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9

Secara harfiah arti korupsi10 dapat berupa : kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran11. Perbuatan yang buruk, sepeti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Perbuatan yang kenyataaan yang menimbulkan keadaan bersifat buruk, penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, seperti kata diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat.

Pengertian tindak pidana korupsi adalah salah satu dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan penyimpangan keuangan dan perekonomian negara.

      

8 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law dictionary, ST. Paul Minn West Publishing, hal. 35. 

9

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, hlm 118. 

10

Lilik Mulyadi, ibid, hlm. 16 

Sedangkan dalam definisi yang formal adalah merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang pejabat kekuasaan untuk mengambil secara melawan hukum sejumlah harta kekayaan yang terbilang atau yang seharusnya akan dibilangkan sebagai harta kekayaan negara, sebagian literatur merumuskan korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status uang yang menyangkut pribadi ( perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau melanggar aturan-aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi. Definisi-definisi ini tidak statis karena pemahaman masyarakat tentang apa yang disebut corup itu berkembang, sepanjang waktu masyarakat lambat laun mampu membuat perbedaan yang lebih tajam antara suap dan tindakan timbal balik atau transaksi dan semakin mampu membuat perbedaan ini berlaku dalam praktek.

Dalam arti sempit, korupsi berati pengabaian standar perilaku tertentu oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) mendefinisikan korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Baharudin Loppa12 membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk yaitu sebagai berikut :

1. Korupsi yang bermotif terselubung

Yakni korupsi sepintas kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang belaka.

Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi Pegawai Negeri atau di angkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak memperdulikan lagi janji kepada orang yang memberi suap tersebut yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut.

      

12

Baharudin Loppa dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta, hal. 10

2. Korupsi yang bermotif ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriyah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain yaitu kepentingan politik.

Contoh, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil keputusan memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun sesungguhnya si penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkausa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya namun walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga rahasianya. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan politik atau umum ( masyarakat ). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Menurut Carl J. Friesnich sebagaimana dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo, mengatakan bahwa apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah

yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar mambahayakan kepentingan umum.13

Secara hukum, pengertian korupsi adalah “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut :

“Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya kepada mereka”.

Korupsi di mana pun dan kapan pun akan memiliki ciri khas, ciri tersebut bisa bermacam-macam di antaranya14 :

1. Melibatkan lebih dari satu orang;

2. Korupsi tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, tetapi terdiri juga dari Organisasi usaha swasta;

3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk tunai, benda atau wanita;

4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;

5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu uang;

6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum;

7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma, tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;

8. Di bidang swasta korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya untuk membuka rahasia perusahaan, tempat seorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3 mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut:

      

13

Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Kekuasaan Kehakiman dan Kewenangan Mengadili. Ghalia Indonesia,

Jakarta. hlm.10  14 Ibid, hlm.10 

a. Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara....”

Menurut Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971). Rumusan delik pada Undang-undang N0.3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dan Undang-undang No.24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistmatikanya. Sehingga ada dua kelompok delik korupsi yaitu delik korupsi yang selesai (vooltoid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan (convenant).

Menurut Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar delik korupsi menurut rumusan Undang-undang No.3 tahun 1971, dengan perubahan sebagai berikut:

1. Memperluas subyek delik korupsi. 2. Memperluas pengertian pegawai negeri. 3. Memperluas pengertian delik korupsi.

4. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara. 5. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil. 6. Subyek korupsi dikenakan sanksi.

7. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah memberantas delik korupsi sanksi pida berbeda dengan sanksi pidana undang-undang sebelumnya.

8. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasi oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi.

9. Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan pembuktian terbalik terbatas.

10. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. 11. Akan dibentuk komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dua tahun

mendatang.

Delik korupsi menurut Undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok besar, yakni, kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi. Sedangkan definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undamg-undang ini. Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar dari delik korupsi menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, dengan beberapa perubahan yang antara lain penyebutan unsur-unsur yang langsung yang terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dimulai dengan kata “setiap orang”, yang diberi makna orang atau perseorangan atau termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum dan dapat terjadi subyek tindak pidana korupsi.

Lebih lanjut perumusan ciri-ciri tindak pidana korupsi15 sebagai berikut : 1.Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan;

2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum;

3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus;

4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu;

5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak;

6. Adabya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk unag atau lainnya;

7. Terputusnya kegiatan ( korupsi ) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya;

8. Adanya bentuk usaha menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum; dan

9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula, dan artinya pula tergantung dari segi mana pendekatan itu dilakukan. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti yang halnya yang dilakukan oleh Syed Husien Alatas dalam bukunya “ He Sociology of Corruption” yang menyatakan bahwa istilah korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yand di sodorkan oleh swasta dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa agar memberikan perhatian istimewa untuk kepentingan si pemberi. Akan lain halnya bila dilakukan pendekatan normatif, atau pendekatan politik maupun ekonomi.

Hunington16 menyatakan : ”Akan tetapi tidak berati dengan adanya pola korupsi ditingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan untuk mobilitas keatas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai

      

15

SH. Alatas, 1987, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerbit LP3ES, Jakarta, vii. 

16

Mochtar lubis dan James C. Scoot, 1977, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, LP3ES,

oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatn yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem terbuka tersebut akan digoncangkan oleh kekuasaan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya tergantung pada mobilitas keatas”.

Lain halnya jika melihat korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagia tindak pidaan korupso secara tegas diatur dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus, oleh karena itu disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti halnya adanya penyimpangan hukum acara pidana.

Apabila dikaji secara mendalam maka tindak pidana korupsi sebenarnya tidaklah terlepas dari dan berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan tindakan lain yang diatur dalam perundang-undang lainnya lainnya, misalnya undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan lain sebagainya.

Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks, dengan faktor penyebab seseorang pelaku berbuat korupsi antara lain faktor internal maupun eksternal. Hal ini dikatakan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa aspek-aspek penyebab seseeorang berbuat korupsi antara lain :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri ( keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya);

b. Rangsangan dari luar ( dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya);

Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi

(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.

Menurut Bambang Poernomo17 berbicara kejahatan korupsi akan berhubungan dengan faktor-faktor :

1. Kelemahan dalam kegiatan penegakkan hukum yang berkaitan manipulasi penyelenggaraan penerapan hukum secara tidak adil dan kekebalan bagi para pelanggar hukum dengan beraneka imbalan yang diatur dengan rapi;

2. Mekanisme kegiatan dewan legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilu sering berkaitan dengan aktivitas industriawan dan perdagangan;

3. Melalui sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha akan lebih mudah menjurus untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan;

4. Sistem koneksi di berbagai bidang;

5. Penyelenggaraan pemilihan dengan pemungutan suara berbeda dalam lingkungan kegiatan politik.

Korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasan, dalam perspektif kejahatan yang terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk membangun diri sendiri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisasi. Didalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran yang dipakai oleh seorang oknum tunggal.

Korupsi yang terorganisir lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan struktur organisasi yang ada. Berbeda dengan kejahatan yang terorganisasi yang membangun struktur organisasinya dilakukan oleh anggota mereka sendiri. Didalam korupsi yang terorganisir terdapat beberapa kepala organisasi sedangkan pada kejahatan terorganisir hanya seorang kepala yang berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala di dalam korupsi yang terorganisir

      

17

Bambang Poernomo, 1994. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi, Ghalia Indonesia,

bertindak secara otonom meskipun seringkali mereka saling tergantung satu sama lain. Mereka akan menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak lain.

Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu faktor tersebut adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope18 kemiskinan merupakan faktor penyebab korupsi, meskipun bukan satu-satunya. Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) tahun 1997 disebabkan aspek individu pelaku korupsi seperti sikap tamak, moral dan iman yang lemah sehingga tidak dapat menahan godaan hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar.

Faktor yang kedua adalah aspek organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung meniyupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga, aspek masyarakat tempat iindividu dan organisasi berada seperti iindividu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hany Negara, namun masyarakat luas luas juga akan terkena dampak korupsi itu.

Andi Hamzah19 menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :

1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP di pandang jurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri;

3. Manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;

4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

      

18

Rohim, 2008, Modus Operandi tindak Pidana Korupsi, PT, Pena Multi Media, Jakarta, hal. 14 

19

Andi Hamzah dalam Parman Suparman, Korupsi di Indonesia, masalah dan pemecahannya, Gramedia,

Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Perumusan Delik Sebagai Delik Formil

Adanya kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 UUPTK menunjukkan bahwa delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Sehingga adanya kerugian negara / perekonomian atau tidak bukanlah merupakan hal yang senantiasa essetialita artinya tidak merupakan unsur yang mutlak sehingga tidak perlu dibuktikan secara obyektif.

2. Pidana Minimal Khusus

Penggunaan ancaman pidana minimal khusus beralasan agar pelaku korupsi dapat dijatuhi pidana seberat-beratnya. Namun yang menjadi masalah adalah belum adanya atau tidak disertai dengan aturan atau pedoman pemidanaan yang menerapkan ancaman pidana khusus tersebut. Hal ini disebabkan dalam KUHPidana sendiri tidak mengatur masalah ini, sehingga tidak jelas apakah pidana minimal ini dapat diperingan ( dalam faktor yang meringankan ) dan dapat diperberat ( dalam faktor yang memberatkan ).

3. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapus dipidanya

Pelaku

Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya seorang pelaku. Upaya pengembalian kerugian negara tetap ada dan tidak dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf kesalahan tersangka atau terdakwa20.

      

Menurut Lilik Mulyadi21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi korupsi menurut Undang-undang ini dapat di interpretasikan dari rumusan perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum karena tindak pidana.

Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 ini secara tegas menyatakan bahwa penegakkan hukum untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menghadapi berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakkan hukum secara luar biasa melalui pembentukan sebuah “badan khusus negara” yang mempunyai wewenang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk upaya pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extra ordinary crime.

Lebih jauh melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ( KPK ), yang tenaga penyidiknya diambilkan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.

Menurut Romli22 pembentukan korupsi ini merupakan paradigma baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatn yang sistematik dan meluas sehingga bukan saja merugikan keuangan negara melainkan juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan sosial masyarakat luas;

2. Penyelesaian kasus korupsi dengan karakteristik tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan metode-metode dan lembaga-lembaga yang bersifat konvensional melainkan harus dengan metode baru dan lembaga baru;

      

21

Lilik Mulyadi,2000, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 5. 

22

Romli Atmasasminta, 1995, Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi, CV. Bandar maju.

3. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah saatnya dilakukan dengan senjata pamungkas yang dapat melindungi hak asasi seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus dapat membatasi hak asasi seorang tersangka atau terdakwa. Senjata pamungkas ini hanya dapat

Dokumen terkait