• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel: Membantu Anak Memahami Makna Kematian

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 137-142)

Betapa paniknya Atik dan adiknya Edo menyaksikan marmut mereka mati. Setiap pagi ibu mereka menjemur sejenak marmut kesayangan ini bersama kandangnya di taman berumput agar makin sehat. Hari itu, ketika keluar rumah, sang ibu rupanya lupa memasukkan marmut ini ke tempat yang lebih teduh. Akibatnya, marmut kepanasan dan akhirnya mati.

Atik dan Edo pun berdebat mengenai apa yang harus mereka lakukan atas marmut yang sudah tidak bergerak dengan tubuh kaku itu. Mereka membawa bangkai marmut ke sana kemari dan akhirnya memaksa ibu membawa marmut itu ke dokter. Ketika ibu berusaha membuang bangkai marmut, Atik dan Edo menjerit dan menangis. Mereka tidak habis mengerti mengapa marmut yang lucu itu harus di buang. Mereka sangat sedih ketika mereka harus berpisah dengan sang marmut. Kejengkelan mereka terbangkit karena ibu seolah tidak berbuat banyak untuk membuat sang marmut bergerak kembali.

Beberapa hari kemudian, ibu membeli lagi seekor marmut. Hal ini membuat Atik dan Edo merasa senang. Meskipun demikian, di benak mereka berdua terbentuk konsep yang kurang tepat. Mereka berpikir bahwa marmut yang di beli ini adalah marmut yang dulu telah mati itu. Atik maupun Edo belum mampu memahami bahwa marmut yang dulu mati itu tidak pernah dapat hidup kembali.

Tentu ada perbedaan besar antara kematian hewan piaraan dengan kematian manusia. Salah satunya adalah bahwa jiwa manusia berharga di mata Allah dan karena itu Allah menyelamatkan manusia melalui Anak-Nya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus.

Sedangkan binatang diciptakan untuk hidup manusia. Meskipun ada perbedaan ini, bila anak dapat mengalami sendiri situasi matinya hewan piaraan dan belajar darinya, anak juga akan memiliki konsep yang lebih tepat mengenai kematian.

Kecenderungan umumnya orangtua dalam situasi matinya hewan piaraan kesayangan ataupun orang dekat adalah melindungi anak dari perasaan sedih. Orangtua mungkin akan menyembunyikan fakta tentang kematian misalnya dengan mengatakan bahwa si marmut (atau hewan lainnya) sakit parah dan perlu dirawat dalam jangka waktu yang sangat panjang. Orangtua lainnya mungkin segera membelikan marmut yang mirip sehingga tertanam kesan pada anak bahwa binatang piaraan pada dasarnya tidak berbeda dari mainan yang dapat bergerak yang tidak memiliki kehidupan.

Tentu orangtua bermaksud baik dengan tidak mengijinkan anak mengalami kesedihan dan rasa takut yang berkepanjangan. Meskipun demikian, akan lebih sehat bagi anak bila ia diijinkan mengalami kesedihan ini dan memperoleh konsep yang lebih tepat soal kematian. Pernyataan kesedihan secara terbuka akan membantu anak belajar

bagaimana meredakan dan mengontrol emosinya.

Apa dampak yang mungkin dialami anak bila mereka tidak diberikan fakta yang sebenarnya?

138

1. Anak marah karena merasa dibohongi orangtuanya.

Kita sering berpikir bahwa suatu fakta dapat disembunyikan dari anak dan suatu ketika anak akan melupakannya. Padahal yang lebih sering terjadi adalah anak tidak pernah melupakan hal itu dan secara diam-diam marah terhadap

orangtuanya ketika tahu bahwa orangtuanya tidak mengatakan fakta yang sebenarnya. Anak mungkin tidak akan sampai pada pemikiran bahwa orangtua tidak ingin melihat mereka sedih. Yang mereka ingat adalah bahwa orangtua telah berbohong pada mereka.

2. Anak memperoleh konsep yang salah dalam jangka waktu yang lama.

Ada kalanya konsep yang salah ini berakibat munculnya pemikiran dan perasaan yang kurang logis. Sebagai contoh, anak yang diberitahu bahwa marmut yang mati itu sebenarnya tidur panjang maka mungkin anak tidak lagi berani tidur karena takut tidak akan pernah bangun lagi.

Bagi sebagian kita, berbincang mengenai masalah kematian adalah sesuatu yang menimbulkan perasaan yang sangat tidak nyaman. Bahkan dalam budaya tertentu, topik mengenai kematian cenderung dihindari. Namun sama halnya dengan pertanyaan anak mengenai kelahiran dan dari mana mereka berasal, pertanyaan mengenai

kematian juga selalu akan anak tanyakan. Karena itu tak ada jalan lain kecuali kita mempersiapkan diri menjawab pertanyaan mereka.

Berbincang mengenai kematian, Charles Schaefer dan Theresa Foy DiGeronimo dalam bukunya "How to Talk to Your Kids About Really Important Things" (1994), menyatakan bahwa tujuan kita dalam perbincangan mengenai kematian dengan anak adalah:

1. Membantu anak-anak belajar memandang kematian sebagai sesuatu yang alami, yang sama sekali bukan merupakan hal yang misterius atau menakutkan. 2. Membantu anak-anak menyiapkan diri menghadapi pengalaman kematian yang

tak terhindarkan, seperti kematian hewan piaraan atau kematian orang dekat mereka.

Dari sudut pandang kristiani, pemahaman mengenai kematian mempermudah anak memahami pandangan Alkitab mengenai kasih Allah. Anak akan lebih mudah diberi penjelasan mengenai dosa dan penebusan Tuhan Yesus Kristus di atas kayu salib. Anak yang memahami arti kematian juga lebih memiliki kemampuan menghadapi krisis atas kematian orang-orang yang dekat dengan mereka.

Bahan diedit dari sumber:

Judul Buku : Majalah Eunike, Edisi 07/Triwulan IV Penulis Artikel: Heman Elia, M.Psi.

Penerbit : Yayasan Eunike, Jakarta, 2002 Halaman : 8 - 10

139

Artikel 2: Menghadapi Masalah Kematian

Menghadapi masalah kematian tidaklah mudah, tetapi di dalam kebudayaan yang mengagungkan kemudahan, masalah belajar menghadapi kematian menjadi lebih sulit lagi. Apalagi jarang ada orang dewasa yang memberi teladan. Dan bagi anak-anak yang baru mulai belajar tentang kematian, matinya binatang kesayangan, meninggalnya seorang kerabat, atau sahabat, merupakan pengalaman yang meninggalkan bekas yang dalam, membingungkan dan menggoncangkan jiwa.

Cara yang terbaik untuk menolong anak dalam mengatasi kedukaan bergantung pada beberapa faktor, termasuk umur anak, bagaimana akrabnya anak itu dengan orang yang baru meninggal, dan suasana ketika meninggalnya orang itu. Tetapi sebelum Anda dapat menolong anak Anda, Anda sendiri perlu menyadari bagaimana respons atau reaksi Anda sendiri terhadap kejadian itu.

Biasanya dukacita itu dialami dalam beberapa tahap, baik oleh anak- anak maupun oleh orang dewasa. Terutama sekali, kita perlu menyadari bahwa betapapun kuatnya iman kita kepada Allah, kemungkinan besar kita akan mengalami beberapa tahap penolakan dan kemarahan terhadap keadaan itu dan lebih baik hal itu dihadapi dan diatasi

daripada dipendam. Walaupun kita tidak usah menyembunyikan perasaan-perasaan itu dari anak-anak -- mereka perlu mengetahui bahwa kita juga merasakannya -- kita perlu bersandar pada orang dewasa lainnya untuk mengkaji perasaan hati kita dan menolong kita supaya kita dapat menerima kenyataan itu. Sekali-kali jangan membuat anak agar berperan sebagai penghibur atau penasihat.

Seorang anak kecil mungkin sekali akan mengajukan berbagai pertanyaan tentang kematian jika ada binatang kesayangannya yang mati. Pertanyaan itu harus dijawab sejujur-jujurnya, tanpa harus mengelak ataupun memerinci yang tidak perlu. Dalam menghadapi kematian seseorang yang dekat dengannya seorang anak yang masih kecil cenderung untuk memberi reaksi dengan menyalahkan dirinya sendiri, karena mungkin ia teringat bahwa ia pernah marah terhadap orang yang meninggal itu dan dengan demikian menganggap bahwa kematian itu merupakan kesalahannya. Anak itu harus ditolong untuk menyadari bahwa perasaannya itu tidak ada kaitannya dengan kejadian itu. Ia juga harus ditolong untuk mengatasi perasaan bahwa ia ditolak -- bahwa yang meninggal itu dengan sengaja telah meninggalkan dia.

Jika kematian itu terjadi sebagai akibat suatu penyakit atau terjadi di rumah sakit, harus diperhatikan agar anak itu tidak mempunyai anggapan bahwa hubungan antara

penyakit dan kematian erat sekali. Jika tidak demikian maka anak itu akan merasakan ketakutan yang dahsyat setiap kali ia jatuh sakit atau masuk rumah sakit. Kepada anak kecil tidak boleh diajarkan bahwa kematian itu adalah tidur yang lelap sehingga orang yang meninggal itu tidak akan bangun lagi. Banyak anak yang diajarkan demikian selalu merasa takut apabila ia harus tidur pada waktu malam.

Masih terus dipermasalahkan apakah anak boleh menyaksikan upacara penguburan atau tidak; anak-anak yang sudah berumur lima atau enam tahun sudah dapat mengerti

140

dan sudah dapat menghadapi pengalaman yang demikian itu. Selama masa sesudah kematian, anak harus tetap tinggal bersama di rumah walaupun orang tua mereka memperlihatkan bahwa mereka masih berdukacita. Seorang anak merasa berdukacita, jadi ia perlu melihat orang lain yang sedang berdukacita.

Pada umur kira-kira delapan tahun, seorang anak mulai mengerti bahwa kematian itu tidak dapat dielakkan dan juga kejadian itu tidak dapat diulangi kembali. Pada tahap ini ia perlu mendapat kebebasan untuk mengemukakan dan membicarakan pokok itu. Jangan mengejek atau mempermalukan, tapi kita harus peka terhadap ketakutan atau kekuatiran yang dialaminya. Perasaan malu, ragu-ragu, atau sikap agresif dalam usia ini sering sekali merupakan ungkapan dari perasaan takut atau kuatir anak itu.

Akan merupakan pengalaman yang baik jika anak dapat ikut hadir dalam upacara atau kebaktian penguburan atau kebaktian untuk mengenang orang yang meninggal.

Persiapkan dia dengan membicarakan setiap butir acara yang ada, dan jelaskan

kepadanya bahwa maksudnya ialah untuk memberi kesempatan kepada kaum keluarga dan para sahabat untuk mengenang hal-hal yang baik tentang kehidupan orang yang meninggal. Kalau ada acara penutupan peti, berilah anak itu kesempatan untuk memilih apakah ia mau melihat atau tidak.

Seorang remaja sudah dapat lebih mengerti arti selengkapnya dari kematian dan sifat kematian yang merupakan akhir dari kehidupan di dunia ini. Dalam masa remaja yang sudah penuh dengan pergolakan emosi ini, seorang anak remaja memerlukan peluang untuk dapat mengutarakan perasaannya secara bebas tanpa ada tuduhan atau

penghakiman. Orang muda itu mungkin ingin menyendiri guna menyusun pemikiran-pemikirannya, dan mungkin ingin berkonsultasi dengan orang dewasa lain atau malah kawan-kawan sebayanya untuk memperoleh dukungan emosional.

Dalam setiap tahap usia, anak Anda perlu mengerti tentang kematian dengan sebaik-baiknya sejauh kesanggupannya dan di dalam konteks iman. Alkitab mengajarkan bahwa:

kematian itu universal (Mazmur 89:49; Ibrani 9:27) sebagai akibat dosa (Roma 6:23; Yakobus 1:15)

dan merupakan musuh (Lukas 22:39-44; Matius 26:36-44; 1Korintus 15:26) [Red.: - dan maut itu sudah dikalahkan! (1Korintus 15:55)]

Dalam menghadapi kematian, orang-orang Kristen juga akan berdukacita, namun bukan tanpa pengharapan (1Tesalonika 4:13). Dengan teladan Anda, doronglah anak Anda untuk mengakui kepada Allah setiap perasaan marah, takut, atau perasaan memberontak yang ada. Dan redakan perasaan-perasaan itu dengan mengingat akan janji-janji Allah, kehadiran-Nya yang memelihara, dan kasih-Nya yang tanpa pamrih itu. Anda perlu menyetujui pandangan anak Anda bahwa memang apa yang terjadi dalam kehidupan ini tidak semuanya nampak adil atau konsisten. Jika Anda bersikap realistik

141

maka hal itu akan melepaskan anak Anda dari perasaan bersalah karena bertanggung jawab atas kematian yang terjadi itu.

Bersama-sama berharaplah akan janji dalam Mazmur 23:4 dan 116:15. Sesuatu yang masih merupakan rahasia itu menakutkan, tetapi orang- orang beriman dijanjikan akan mendapat pengawalan (Yohanes 14:1-3) dan juga dijanjikan akan dibangkitkan

(1Tesalonika 4:13-18; 1Korintus 15:51,52). Kita orang-orang dewasa tidak dapat sepenuhnya mengerti tentang kematian, tetapi kita dapat mempercayakan diri kepada Allah waktu kita menghadapi hal itu.

Walaupun kehadiran Allah pada waktu kita sedang berduka itu sangat membesarkan hati, tetapi hal itu tidak dapat seluruhnya menghapuskan dukacita kita itu. Kita ini masih tetap manusia biasa. Ketika Anda memberi teladan dalam hal secara sukarela

mempercayakan diri Anda kepada Allah pada waktu Anda menghadapi segala

ketidakpastian dalam kehidupan ini, anak Anda akan belajar bahwa wajarlah kalau ada sesuatu yang melukai hati, jadi kita boleh mengakui perasaan kita yang sebenarnya dan juga boleh mengungkapkannya tanpa perlu malu.

Dengan menolong anak Anda belajar bagaimana mengatasi masalah kematian, Anda sedang membebaskan dia supaya ia dapat menikmati hidup ini.

Sumber:

Judul Buku: 40 Cara Mengarahkan Anak Pengarang : Paul Lewis

Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1997 Halaman : 67 - 71

142

Dalam dokumen publikasi e-binaanak (Halaman 137-142)