• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Konsepsi Manusia Menurut Pangestu

1. Asal-usul Manusia Menurut Pangestu

Konsep tentang manusia menurut Pangestu dijabarkan secara lengkap pada kitab Sasangka Jati, terutama pada Surat Gumelaring Dumadi (Terjadinya Alam Semesta dan Seisinya) yang menjadi pegangan pokok aliran Pangestu. Menurut mereka semua konsep atau ajaran yang ada di Pangestu sebenarnya adalah konsepsi yang ada jauh sebelum Pangestu secara

organisasi ada. Atau dengan pemahaman lain adalah, semua ajaran yang ada di Pangestu ada bersamaan dengan adanya usaha manusia di muka bumi untuk mencari Tuhan.

Konsepsi tentang manusia itu sendiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari konsepsi ke-Tuhanan dalam Pangestu yang disebut dengan Tri Purusa, keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu : Suksma Kawekas (Tuhan Sejati), Suksma Sejati (Guru Sejati-Utusan Tuhan) dan Roh Suci (Manusia Sejati), yaitu jiwa manusia sejati32. Roh Suci dipandang sebagai jiwa manusia sejati. Oleh karena itu Yang Mutlak dipandang sebagai asal manusia33.

Sebelum pembahasan mengenai manusia, Sasangka Jati merinci tentang penciptaan alam, sebab pembahasan mengenai Tuhan, alam dan manusia merupakan penjabaran yang kronologis dan saling berkaitan baik dari segi material maupun esensinya. Dalam Sasangka Jati ditemukan keterangan:

Sebenarnya sebelum ada apa-apa (sebelum ada awang-uwung), yaitu sebelum buana ini tercipta, Tuhan sudah bertakhta, demikian pula Aku, Suksma Sejati. Maka inilah yang disebut keadaan Tuhan dan Aku, juga keadaan Alam Sejati, yakni istana Tuhan dan Aku. Aku dan Tuhan bertakhta di pusat hidup. Sebelum buana itu tercipta, Tuhan mempunyai karsa menurunkan Roh Suci ialah cahaya Tuhan, tetapi karsa itu terhenti, sebab belum ada wadah dan tempatnya, maka Tuhan kemudian menciptakan buana. Yang mula-mula

32

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 7.

33

diciptakan yaitu empat anasir yang disebut suasana, api, air dan tanah. Terciptanya empat macam anasir tersebut, sekalipun atas kekuasaan Tuhan, juga berasal dari Tuhan, maka dapat diumpakan pelita dan asapnya34.

Menurut Sumantri35, bahwa turunnya roh suci digambarkan seperti

pletikan api Yang Maha Agung. Hal ini berdasarkan penafsiran Sumantri yang menyatakan, bahwa dalam Kesadaran Agung yang diam ini terkandung Kehendak untuk melepaskan cahaya-cahaya kemampuan dan kesadaran, sebagai pletikan api Yang Maha Agung. Roh suci sebagai cahaya Tuhan, sebelumnya telah tertunggal dengan Suksma Sejati. Keterangan ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia menurut Pangestu melalui proses emanasi36. Proses emanasi ini juga dapat diterapkan pada penciptaan empat anasir, yaitu; udara37, air, api, dan tanah, hal ini berdasarkan kalimat

sekalipun atas kekuasaan Tuhan, juga berasal dari Tuhan, maka dapat diumpakan pelita dan asapnya.

Kemudian tentang penciptaan manusia, terdapat keterangan dalam Sasangka Jati:

Adapun terciptanya manusia itu dari sinar bertunggalnya Tripurusa: Suksma Kawekas-Suksma Sejati-Roh Suci (menurut Islam, bagi para ahli makrifat, disebut:

34

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 37.

35

Sumantri Hardjoprakoso, salah seorang yang mula-mula meneliti tentang aliran Pangestu, dengan judul disertasi Indonesisch Mensbeld Als Basis Ener Psycho Therapie, di Universitas Leiden Belanda, pada tahun 1956, dan sekaligus sebagai salah seorang pengurus Pangestu pada saat itu. 36

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 310.

37

Muhammad; atau menurut Kristen: Sang Bapa-Sang Putra-Roh Kudus) yang diberi busana sari empat macam anasir, seperti suasana, api, air dan tanah, yang kemudian terbabar menjadi bahan bakal kasar dan halus (lahir, batin). Adapun alat badan jasmani dianugerahi pancaindera, yaitu: penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan perasaan. Lagi pula diberi saudara, yang lazimnya disebut empat macam nafsu, seperti: lawwamah, amarah, sufiah, muthmainnah, dan tiga saudara lagi yang berkumpul menjadi satu di angan-angan, yaitu yang disebut pangaribawa, prabawa dan kamayan38.

Berdasarkan keterangan sebelumnya didapat kesimpulan bahwa alam dunia ini tercipta dari empat anasir yang berasal dari Tuhan, yaitu; udara, api, air dan tanah. Empat anasir ini juga kemudian merupakan baku penciptaan manusia, maka demikian manusia disebut dunia kecil, makrokosmos dan

mikrokosmos. Kesamaan anasir ini yang menyebabkan adanya sifat saling mempengaruhi, dalam Sasangka Jati dengan kalimat dunia besar dapat menguasai dunia kecil39 atau sebaliknya. Alam dapat menyebabkan bencana bagi manusia atau sebaliknya. Alam menguasai manusia, dan atau sebaliknya.

Kemudian, dalam Sasangka Jati:

Adapun terciptanya manusia yang paling awal adalah laki-laki, yaitu yang akan menurunkan benih, atau yang menjadi perantara turunnya Roh Suci. Tuhan kemudian menciptakan perempuan, yang akan mewadahi turunnya Roh Suci, semua itu terjadi atas kekuasaan Tuhan. Demikian seterusnya, keadaan

38

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 40.

39

manusia dapat berkembang biak hingga sekarang, turunnya Roh Suci dengan perantaraan laki-laki dan perempuan40.

Keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa turunnya Roh Suci melalui perantaraan laki-laki dan perempuan, atau dengan kata lain turunnya Roh Suci setelah adanya manusia pertama. Tentang manusia pertama, diterangkan selanjutnya:

Namun, ketahuilah olehmu bahwa terciptanya manusia yang mula-mula itu tidak hanya sepasang seperti umumnya anggapan orang yang disebut Adam dan Hawa. Akan tetapi sejatinya, di setiap pulau besar-besar juga ada manusia sepasang yang diciptakan mula pertama guna dijadikan benih41.

Jadi terjadinya manusia pertama, yang jadi dari kekuasaan Tuhan, adalah merupakan banyak pasangan manusia laki-laki dan perempuan. Di tiap-tiap pulau diberi manusia sejodoh sebagai bibit untuk menurunkan suatu bangsa. Baru setelah itu terjadi perkembangbiakan manusia dengan memakai perantara ibu-bapa seperti yang terjadi sampai sekarang.

Adanya perbedaan-perbedaan rupa dan kulit di antara bangsa, dianggap sebagai petunjuk bahwa umat manusia ini tidak berasal dari keturunan Adam dan Hawa yang hanya sepasang itu. Perbedaan kulit dan watak di antara bangsa-bangsa, disebabkan oleh tebal tipisnya anasir yang menjadi busana Roh Suci, dan menurut tebal tipisnya anasir di setiap pulau. Misalnya: apabila anasir api tebal (di negara yang berhawa sangat panas) anasir airnya tipis, suasananya juga kurang padat, warna kulit bangsa di tanah itu menjadi hitam, seperti di Afrika dan Arab. Apabila anasir air terlalu banyak,

40

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 40. 41

anasir apinya kurang, warna kulit bangsa di tanah itu putih, seperti bangsa di Eropa dan lain-lain tempat yang dingin42.

Keterangan tersebut menjelaskan tentang pendapat yang menguatkan bahwa manusia diciptakan banyak pasangan dan ditempatkan banyak pulau besar, dengan asumsi perbedaan kulit dan watak yang disebakan perbedaan kekuatan di antara empat anasir, antara alam dan manusia, dunia besar dan dunia kecil, atau makrokosmos dan mikrokosmos.

Selanjutnya mengenai kisah Adam dan Hawa, sebagai prototipe manusia pertama dijelaskan pula dengan pendapat yang berbeda dengan umumnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam Sasangka Jati, bahwa ketika Tuhan hendak menurunkan Roh Suci, Kehendak itu terhenti karena belum ada wadah atau kancahnya, maka Tuhan menciptakan alam. Kehendak yang terhenti, diartikan oleh Harun Hadiwijono sebagai penjabaran mitologis tentang kejadian Adam dan Hawa, seperti yang termaktub baik di Al Qur’an maupun Injil. Hawa, sebagai perempuan, dipakai Tuhan untuk menyembunyikan Roh Suci. Adam, sebagai lelaki, adalah alat yang dipakai Roh Suci untuk turun43.

Secara global mitologis tentang Adam dan Hawa menurut Pangestu, seperti telah disinggung di atas, merupakan cerita yang terambil dari Al-Quran maupun Injil: Adam dijadikan di surga, lalu diberi jodoh Hawa, yang

42

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 43. 43

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: Percetakan BPK GUNUNG MULIA, 1987), h. 72.

dijadikan dari tulang rusuk kiri yang terakhir dari Adam. Tatkala Adam dan Hawa di surga, Tuhan memberi larangan tidak boleh memakan buah khuldi. Pada waktu itu Hawa lalu digoda oleh Iblis yang menyamar menjadi ular yang membujuk Hawa. Hawa lalu mengajak Adam memakan buah larangan tadi. Setelah Adam dan Hawa makan buah khuldi itu, mereka lalu diusir dari surga, diturunkan ke dunia.

Menurut Sasangka Jati, Adam sesungguhnya bahan bakal jasmani, yaitu bercampurnya empat macam anasir yang menjadi busana Roh Suci, oleh karena semua manusia pertama yang banyak pasangan itu jasmaninya sama, yaitu empat anasir, maka disebut satu, tunggal bahan bakalnya44.

Selanjutnya, Adam dan Hawa berada di dalam Firdaus adalah simbol terhentinya kehendak untuk menurunkan Roh Suci, dan simbol dari kesatuan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati.

Adam dijadikan di sorga, itu adalah isbat Kehendak (Tuhan), adapun Hawa itu isbat dari pada Sir, yaitu Aku (Ingsun)! Sirullah, yaitu Suksma Sejati, yang menyatakan Kehendak Tuhan (Suksma Kawekas). Oleh karena itu terjadinya Hawa diceritakan sebagai sempalan(pecahan) dari pada tulang rusuk Adam yang terakhir, yang kiri, yang berarti : terjadinya Sir itu dari pada sempalan Kehendak, atau Kehendak itu ternyata Sir. Sir itulah yang menyatakan kuasa Tuhan. Jadi Aku dapat dimisalkan terjadi dari pada sempalan Tuhan45.

44

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 41.

45

Jadi Adam dan Hawa itu, kecuali menjadi ibarat dari pria dan wanita, juga menjadi ibarat dari Tuhan (Kehendak) dan Suksma Sejati (Sirullah), yang menunjuk kepada hubungan yang tak terpisahkan, seperti halnya Tuhan dan kekuasaannya46. Simbol penciptaan Hawa dari tulang rusuk yang kiri, itu berarti bahwa Kehendak Allah untuk menjadikan perkara yang fana, yang bisa rusak. Kiri adalah simbol dari sesuatu yang tidak kekal47.

Kisah tersebut menurut Pangestu harus diartikan secara alegoris-mistis, dan bukan sebagai cerita yang harus diterima secara historis. Menurut Sasangka Jati, makna yang terkandung antara lain; buah khuldi yang dimakan berarti terlahirnya Kehendak. Khuldi itu kekal, tetapi terlahirnya mengadakan barang yang tidak kekal, ialah terjadinya empat anasir (udara, air, api dan tanah). Buah dapat dimakan apabila sudah ada yang memakan berarti Kehendak untuk menurunkan Roh Suci dapat terlaksana bila sudah ada wadahnya (pakaiannya), sedang yang memakan (memakai) adalah Roh Suci memakai pakaian (anasir empat macam) atau masuk ke dalam alam materi. Inilah artinya Adam dan Hawa turun ke dunia48.

Selanjutnya mengenai godaan iblis yang menyamar menjadi ular, memiliki arti; pelaksanaan Kehendak Allah menyebabkan adanya empat anasir yang dapat rusak, empat anasir itu sendiri menimbulkan adanya

46

Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pangestu, (Jakarta: PT. New Aqua Press, 1987), h. 69.

47

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 73. 48

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 43.

Kehendak untuk berkembang (inilah saatnya Roh Suci ingin turun ke dunia). Keinginan itu menimbulkan kerusakan, sebab pelaksanaan keinginan itu terjadi di alam dunia dengan menggunakan selubung (pakaian) yang dapat rusak dan terbatas49.

Selanjutnya mengenai, turunnya Roh Suci ketika masuk ke rahim ibu, Sasangka Jati, secara tegas menyatakan bahwa terjadinya jabang bayi setelah ada manusia, dalam arti, melalui proses perkawinan antara pasangan manusia pertama, yang kemudian menurunkan banyak bangsa.

Kini Aku memberi petunjuk tentang terjadinya jabang bayi setelah ada manusia, yaitu turunnya Roh Suci dengan perantaraan laki-laki dan perempuan. Ketika benih hidup (Roh Suci) sudah memasuki rahim ibu (wadah bayi) sesungguhnya sudah memakai busana halusnya anasir yang tidak kasatmata. Ketika itu membentuk peranti busana hidup di alam jasmani, dengan bertemunya kerja empat macam anasir, yang saling mempengaruhi, sehingga makin lama busana tersebut mulai terbentuk dan setiap hari makin besar hingga akhirnya berwujud manusia. Begitu pula semua organ dan bagian sekujur badan, kemudian juga siap lengkap, terjadinya ada yang bersama-sama atau ada yang ganti-berganti, misalnya; jantung, ari-ari (tembuni), pusar dan air ketuban. Adapun tembuni itu perlu untuk menerima mengalirnya anasir suci dari ibu, sari anasir tersebut masuknya ke tubuh jabang bayi, diterima pusar, selanjutnya ke jantung dan merata ke seluruh tubuh. Adapun air ketuban itu perlu untuk mendinginkan daya panas dari api ibu dan juga melicinkan persentuhan bayi dengan bungkusnya50.

Keterangan di atas sebenarnya, tidaklah bertentangan dengan ajaran manapun mengenai terjadinya bayi, baik dari segi pemahaman agama

49

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 43. 50

maupun medis. Hanya saja memang sangat menekankan tentang empat macam anasir yang menjadi elemen terpenting terciptanya alam dan manusia. Sasangka Jati juga menerangkan bahwa manusia setelah masuk ke alam jasmani atau lahir, kemudian juga bersinggungan dengan empat anasir, matahari sebagai sumber anasir api, air susu ibu sebagai unsur air dan tanah melalui air susu ibunya, dan unsur suasana (udara) yaitu keluar masuknya nafas. Dan proses tersebut berlangsung terus, hingga si bayi menjadi tua dan mati, hanya saja ada juga penekanan bagi manusia untuk tidak memakan daging hewan, karena hewan mempunyai unsur hidup yang harus dihormati. Jika dilanggar, maka kemungkinan jika konsumsi daging berlebihan, menimbulkan efek, baik fisik maupun psikis.

Dokumen terkait