• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi komparatif tentang konsepsi manusia menurut aliran pangestu dan paguyuban Sumarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi komparatif tentang konsepsi manusia menurut aliran pangestu dan paguyuban Sumarah"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARATIF TENTANG KONSEPSI

MANUSIA MENURUT ALIRAN PANGESTU DAN

PAGUYUBAN SUMARAH

Oleh :

ALI IMRON

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

STUDI KOMPARATIF TENTANG KONSEPSI

MANUSIA MENURUT ALIRAN PANGESTU DAN

PAGUYUBAN SUMARAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theologi Islam

Oleh : Ali Imron 101032121605

Di Bawah Bimbingan

Dr. Hamid Nasuhi M.A NIP. 150241817

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……… ii

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………...4

C. Metode Penelitian………. 5

D. Sistematika Penulisan ………. 6

BAB II SEKILAS TENTANG ALIRAN PANGESTU DAN PAGUYUBAN SUMARAH ………... 7

A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Pangestu ………. 7

B. Pokok-Pokok Ajaran Aliran Pangestu ……… 11

C. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Paguyuban Sumarah ………... 12

D. Pokok-Pokok Ajaran Aliran Paguyuban Sumarah …………... 19

BAB III KONSEP TENTANG MANUSIA MENURUT ALIRAN PANGESTU DAN PAGUYUBAN SUMARAH ……….…………. 22

A. Konsep Manusia Menurut Aliran Pangestu ……….. 22

1. Asal-usul Manusia ……… 22

(4)

B. Konsep Manusia Menurut Aliran Sumarah ... 37

1. Badan Wadag ……… 38

2. Wadag Nafsu ……… 39

3. Roh atau Jiwa ……….. 39

BAB IV PERBANDINGAN KONSEP MANUSIA MENURUT PANGESTU DAN SUMARAH ……… 45

A. Analisa Kesamaan Pemahaman... 45

B. Analisa Perbedaan ………. 47

BAB V PENUTUP………...… 52

A. Kesimpulan ………. 52

B. Saran – Saran ………... 53

DAFTAR PUSTAKA ………... 55

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puja seiring syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengatur semua hambanya, membimbingnya, sekaligus menetapkan ketentuan hidup yang harus di lalui oleh kita sebagai makhlauk CiptaanNya. Hanyalah Dia yang dengan kekuasaanya senantiasa memberikan berbagai nikmat kepada insan semua. Semoga kenikmatan iman, Islam, dan Ihsan selalu tersimpan dalam diri kita sebagai cerminan manusia yang bertaqwa.

Shalawat seiring Salam semoga selalu tercurah keharibaan Junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarga yang sangat menjaga dan mencintai beliau semasa hidupnya maupun sampai akhir hidupnya, para sahabat yang selalu konsisten di jalan dakwah juga kita sebagai umatnya semoga bisa meneladani kepribadian Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan ini .

(7)

Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA, selaku Dekan Fakultas Ushhuluddin.

2. Bapak M. Nuh Hasan, Drs.,MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Perbandingan Agama.

3. Bapak Maulana. MA. Sekekretaris Jurusan Ilmu Perbandingan Agama. 4. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, selaku PUDEK I yang telah memberikan

kebijaksanaan kepada penulis untuk menyelasaikan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Hamid Nasuhi MA. selaku pembimbing, yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk memberikan kemudahan dalam menyelasaikan skripsi ini.

6. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama jurusan Perbandingan Agama. 7. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan

kerjasamanya kepada Ibu Titis selaku pengurus Pangestu, Pengurus Perpustakaan DEPDIKBUD dan Paguyuban Sumarah.

(8)

9. Teman-temanku semua angkatan tahun 2001 Jurusan Ilmu Perbandingan Agama, kau semua adalah teman terbaikku.

10. Sahabat-sahabatku, Bay Aji Yusuf, Miftahul Anam, Iman Firmansyah dan deden yang selalu ada dikala aku butuhkan, mungkin kita adalah the last warrior di angkatan kita.

11. Terimakasih kepada teman-teman seperjuanganku di Resimen Mahasiswa, Singgih Widodo, Ahmad Rifai dan abdul Aziz jiwa korsa kita akan selalu tertanam selamanya.

12. PT. Gramedia Asri Media khususnya cabang Melawai, PT. Epson Indonesia, sahabat-sahabatku di Electronic City SCBD sudirman dan Best Denki Grand Indonesia.

13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

Jakarta, 07 September 2010

(9)

PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQASAH

Skripsi yang berjudul

STUDI KOMPARATIF TENTANG KONSEPSI MANUSIA

MENURUT ALIRAN PANGESTU DAN PAGUYUBAN

SUMARAH

Ini telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 07 September 2010

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memproleh gelar Sarjana Program Strata I (SI) pada Jurusan perbandingan Agama

Jakarta, 07 September 2010

Mengesahkan

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. M. Nuh Hasan, MA Maulana, MA

NIP: 150 240 090 NIP: 150 293 221

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Suwarno Imam Drs. Roswen Dja’far

NIP: 150 033 254 NIP: 150 022 782

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Aliran kebatinan secara antropologis merupakan sistem kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Karenanya kebatinan juga sering disebut dengan “kejawen” atau “javanisme”. Gerakan aliran kebatinan tampil ke permukaan sebagai bagian dari gerakan revolusi Indonesia di bidang moral spiritual. Munculnya berbagai macam aliran yang demikian banyak jumlahnya itu, terutama menjelang kemerdekaan dan sesudahnya, merupakan bentuk partisipasi dalam memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Tampilnya gerakan kebatinan itu didorong pula oleh semangat melakukan kritik terhadap gerakan-gerakan agama-agama besar di Indonesia, terutama Islam dan Kristen, yang seharusnya banyak berbuat, tetapi kurang memperlihatkan peranannya sebagai kekuatan moral spiritual1.

Paguyuban Ngesti Tunggal, atau lebih terkenal dengan nama Pangestu adalah sebuah budaya kebatinan yang luas jangkauannya. Gerakan ini didirikan oleh Soenarto, yang di antara tahun 1932 dan 1933 menerima wangsit, kemudian

1

(12)

oleh kedua orang pengikutnya dicatat dan kemudian diterbitkan menjadi buku

Sasangka Jati.

Soenarto merupakan tokoh utama bagi aliran Pangestu, selama lebih kurang 28 tahun (1932-1961) telah menjadi perantara atas sabda-sabda dari Sang Guru Sejati yang telah diturunkan kepadanya. Sabda-sabda itu disusun menjadi kitab-kitab, seperti; Sabda Pratama, Sasangka Jati, dan Sabda Khusus.

Pangestu didirikan di Surakarta pada bulan Mei 1949, anggota-anggotanya kini sudah berjumlah 50.000 orang lebih, dan tersebar di berbagai kota di Jawa, terutama berasal dari kalangan priyayi. Namun anggota yang berasal dari daerah pedesaan juga banyak, yaitu yang tinggal di pemukiman transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Majalah yang dikeluarkan organisasi itu, Dwijawara, merupakan tali pengikat bagi para anggotanya yang tersebar itu2.

Paguyuban Sumarah juga merupakan organisasi besar yang dimulai dari suatu gerakan kecil, dengan pemimpinnya bernama R. Ng. Sukirnohartono dari Yogyakarta. Ia mengaku menerima wahyu pada tahun 1935. Pada akhir tahun 1940-an gerakan itu mulai mundur, namun berkembang kembali pada tahun 1950 di Yogyakarta. Jumlah anggotanya kini sudah mencapai 115.000 orang lebih, baik yang berasal dari golongan priyayi maupun dari kelas-kelas masyarakat lain3.

Pada dasarnya Ilmu Sumarah ialah suatu ilmu kebatinan yang dengan jalan sujud sumarah (penyerahan diri) mempelajari dan mengusahakan sampai

2

Budaya Kebatinan, artikel diakses tanggal 20 Juni 2009, dari http//www.kikil.org/forum

3

(13)

bersatunya jiwa dengan Zat Yang Maha Esa. Pokok ajaran Paguyuban Sumarah adalah sujud. Ungkapan sujud di kalangan Paguyuban Sumarah ini diartikan dengan “persekutuan dengan Tuhan”4.

Secara umum konsepsi tentang manusia menurut aliran kebatinan adalah sebagai percikan dari zat Tuhan, memiliki dua segi, lahir dan batin (jasmani dan rohani), dan melalui peningkatan segi batin (rohani) manusia akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan5. Seperti yang akan dijelaskan selanjutnya bahwa dalam konsep manusia menurut aliran Paguyuban Sumarah dan Pangestu, tidak lepas dari campur tangan Tuhan, karena manusia dan Tuhan dipandang sebagai satu kesatuan.

Adapun konsep ajaran tentang manusia dari kedua aliran ini dapat dilihat dari proses penciptaannya. Misalnya saja konsep manusia menurut Pangestu. Menurut mereka manusia itu tercipta dari cahaya Tuhan atau Tri Purusa (Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci), disertai empat unsur yaitu: udara, api, air dan tanah sebagai pakaiannya, serta diberi peralatan jasmani yaitu panca indra (penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan perasaan). Kemudian disertai pula empat macam nafsu (lawwamah, amarah, sufiah dan mutmainah), dan disertai angan-angan yang terdiri dari cipta, nalar dan pangerti (akal budi)6.

4

Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa, (Jakarta:Sinar Harapan, 1983), h. 103.

5

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, h. XIII. 6

(14)

Selanjutnya berdasarkan pandangan paguyuban Sumarah bahwa manusia terdiri dari badan wadag (jasmani), badan nafsu, dan jiwa (roh). Badan wadag, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, api, air, dan udara. Badan nafsu (emotional body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara Iblis. Menurut ajaran Sumarah, manusia memiliki empat macam nafsu, yaitu: (1) nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan Tuhan, (2) nafsu amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan, (3) nafsu suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi, (4) nafsu lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.

Di samping kelengkapan nafsu, manusia juga memiliki jiwa atau roh yang berasal dari Roh Suci (Tuhan). Rasa (dzauq) sangat terkait dengan jiwa, terdapat di dalam dada. Di dalam dada ada jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, tempat Baitullah. Di dalam Baitullah terdapat budi, nur, urip. Dengan demikian, hakekat manusia bukan hanya wujud jasmani saja, tetapi juga memiliki wujud gaib dan wujud yang gaib lagi7.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka skripsi ini akan membatasi beberapa masalah yang dirumuskan sebagaimana berikut: sejarah pendiri dan

7

(15)

perkembangan aliran Pangestu dan Paguyuban Sumarah, apa dan bagaimana konsep manusia, dan asal-usul manusia, dan susunan manusia menurut aliran Pangestu dan Paguyuban Sumarah. Dan kemudian akan dibahas pula mengenai perbedaan dan kesamaan pemahaman dari kedua aliran tersebut dalam konsepsi mengenai manusia dengan segala dimensinya.

C. Metode Penelitian

Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan beberapa data informasi dan meggunakan data deskriptif dan analitis. Deskriptif digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi skripsi ini.analitis dipakai agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan. Selain itu juga penulis juga menggunakan metode, yakni:

(16)

D. Sistem Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka dalam pembahasannya telah dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut :

Bab Pertama Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua Menguraikan riwayat hidup pendiri aliran Pangestu dan Paguyuban Sumarah, juga pokok-pokok ajarannya.

Bab Ketiga Menguraikan pandangan tentang konsep manusia menurut aliran Pangestu dan Paguyuban Sumarah.

Bab Keempat Menganalisa serta membandingkan konsep kedua aliran tersebut.

(17)

BAB II

SEKILAS TENTANG ALIRAN PANGESTU DAN PAGUYUBAN

SUMARAH

A. Riwayat Hidup Pendiri Pangestu

Ada beberapa keterangan yang menjelaskan dengan singkat mengenai arti Paguyuban Sumarah itu sendiri. Salah satunya yang terdapat dalam Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Pangestu.

(1) Organisasi ini bernama Paguyuban Ngesti Tunggal disingkat Pangestu. (2) Pangestu mengandung arti kata sebagai berikut: a. Paguyuban ialah persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan. b. Ngesti ialah upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa. c. Tunggal ialah bersatu dalam hidup bermasyarakat dan bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi Paguyuban Ngesti Tunggal berarti: persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan dengan upaya batiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk bersatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa8.

Didirikan pada tanggal 20 Mei 1949, di Surakarta, tetapi Pangestu, seperti yang diuraikan dalam Serat Sasangka Jati sudah diwahyukan pada tanggal 14 Februari 1932 kepada R. Soenarto Mertowerdojo di rumahnya, di Widuran, Surakarta9.

R. Soenarto adalah salah satu siswa yang terpilih menjadi warana

(perantara) turunnya sabda Ilahi dengan perantaraan utusan-Nya yang abadi, yakni

8

Pangestu, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Penyempurnaan Berdasarkan Mandat Kongres XIV/2000, Jakarta: 2002, h. 6.

9

(18)

Suksma Sejati. Sabda Ilahi yang diterima beliau bukanlah serta merta turun begitu saja, melainkan diperoleh setelah R. Soenarto berupaya keras melalui masa pencarian disertai berbagai perjalanan spiritual yang dialami beliau sejak umur tujuh tahun.

R. Soenarto dilahirkan pada tanggal 21 April 1899 di Desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, (eks) Keresidenan Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Ia anak ke-enam dari delapan bersaudara, putra-putri R. Soemowardojo, seorang juru tulis kawedanan yang kemudian menjadi mantri penjual10.

Walaupun dihimpit oleh keadaan yang serba kekurangan dan tidak menguntungkan, beliau berkeinginan kuat untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya. Oleh karena itu R. Soemowardojo berniat untuk menitipkan R. Soenarto kepada keluarga atau kerabat, bahkan kepada orang lain yang tidak ada hubungan kekeluargaan, dengan harapan orang yang dititipi akan membantu R. Soenarto mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik.

Tekanan dalam hidup bukannya merusakkan pribadinya hingga menjadi anak nakal, sebaliknya penderitaan itu dilihatnya sebagai kewajiban untuk prihatin, yang menjadi batu ujian maupun untuk memperluas sifat-sifat baik, misalnya kejujuran, percaya terhadap kasih dan keadilan Tuhan, kepatuhan dan

10

(19)

kesetian dalam tugas, tidak segan-segan bekerja berat dan menderita, ketangguhan dan lain sebagainya11.

Waktu terus berjalan dan akhirnya masa ngenger12 itupun berlalu, perjalanan ngenger yang berat inilah yang menjadi tonggak penting dalam hidup R. Soenarto. Ketika beliau beranjak dewasa, keinginan untuk terus mencari dan memahami ke-Esa-an Tuhan berikut semesta alam seisinya makin mengental melalui perenungan yang dalam, muncul pertanyaan-pertanyaan besar, seperti dimana Tuhan bertahta, bagaimana manusia bertemu dengan Tuhannya dan lain sebagainya. Hal inilah yang mendorong R. Soenarto untuk belajar kepada beberapa guru. Akan tetapi jawaban yang diperoleh beliau tidak ada yang memuaskan bahkan mengecewakan. Beliau kemudian berjanji dalam hati untuk tidak berguru lagi dan akan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Di masa dewasa R. Soenarto menikah dengan seorang wanita bernama Rr. Soemini pada tanggal 6 Februari tahun 1921 di Kedung Jati. Hasil perkawinan ini ia dianugerahi empat orang anak, yang dua orang telah lebih dahulu meninggal, tinggal dua orang yaitu Ny. Suminah yang bersuamikan R. Ngalimin Djojosaputro dan Ny. Suharti yang bersuamikan R. Murtopo Wirokusumo. Kemudian dari kedua orang wanita tersebut menurunkan cucu sebanyak tujuh belas orang13.

11

Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pangestu, h. 14. 12

Ngenger bermakna menumpang hidup, kamus online kateglo yang diakses dari http://bahtera.org/kateglo.com pada tanggal 28 juli 2009

13

(20)

Di antara pendidikan yang pernah ditempuhnya ialah; di Hollands Inlandse Middagoursus, dan di Algemeen Nederlands Verbond. Pada masa penjajahan Belanda, ia bekerja sebagai Hulpsehrijver Titdelijk di Surakarta sejak tanggal 1 April 1920, kemudian pada tanggal 21 Januari 1942 sebagai Inlandse Schrijver ter griffie Landraad te Surakarta merangkap jabatan Fungerend deuwaarder, selanjutnya diangkat menjadi Buitengewon Substituut Griffie hingga akhir penjajahan Belanda. Pada jaman pendudukan Jepang, R. Soenarto masih melanjutkan bekerja sebagia panitera, kemudian karena kesehatannya terganggu, ia keluar dari dinasnya dan membantu Mr. Suwardji di kantor advokat sebagai tenaga administrasi di Sala, sampai proklamasi kemerdekaan14.

Pengalaman mistis R. Soenarto terjadi manakala beliau sering merenungkan tentang hakikat hidup, dan selalu mencari apa yang sebenarnya dikatakan ilmu sejati itu, sebagaimana diceritakan dalam buku riwayat singkat Pak De Narto15 itu, dikatakan bahwa pada tanggal 14 Februari 1932 pukul setengah enam sore, ketika itu ia sedang duduk di serambi muka di rumahnya di kampung Widuran, Solo, tiba-tiba seperti ada yang bersabda tetapi tidak didengar oleh telinga, melainkan langsung dimengerti didalam hati sanubarinya seperti kalimat berikut: Ketahuilah yang dinamakan ilmu sejati adalah petunjuk yang nyata, yaitu

14

Suwarno Imam, Pangestu dan Mistisisme, h. 7. 15

(21)

jalan yang sampai pada asal mula hidup. (Hoesodo 1968:10) kumpulan sabda itu kemudian dibukukan yang disebut serat (kitab) Sasangka Jati16.

Sejak menerima sabda tersebut, ia mengakui dirinya sebagai siswa Suksma Sejati, kemudian ia bermaksud menyampaikan sabda itu kepada dua orang temannya yang akan ditunjuk sebagai pencatatnya. Tiba-tiba datanglah Hardjoprakoso di rumahnya pada tanggal 17 Mei 1932, seminggu kemudian, 27 Mei 1932 datang pula Sumodihardjo. Kedua temannya ini dengan gembira menerima apa yang disampaikan R. Soenarto. Pada saat itu berkumpullah tiga orang itu, R. Soenarto berumur 33 tahun, Hardjoprakoso 50 tahun, dan Trihardono Sumodihardjo 41 tahun. Selanjutnya setiap malam selama tujuh bulan mulai Juni 1932 sampai Januari 1933 tiga orang itu selalu berkumpul. R. Soenarto sebagai

warana atau perantara sabda dari Suksma Sejati, Hardjoprakoso dan Sumodihardjo sebagai pencatat dengan bahasa dan huruf Jawa17.

B. Pokok-pokok Ajaran Pangestu

Pokok-pokok ajaran Pangestu menitikberatkan pada pendidikan dan pengolahan jiwa yang memberikan tuntunan bagi umat manusia dalam bersikap dan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, serta alam. Adapun

16

Suwarno Imam, Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2005), h. 291.

17

(22)

sabda pratama yang diterima R. Soenarto pada Tahun 1932 yang berturut-turut hingga januari 1933 yaitu berisi tentang:

1. Hastasila (Delapan macam panembah batin) 2. Paliwara (Larangan Tuhan kepada manusia) 3. Gumelaring Dumadi (terciptanya alam seisinya) 4. Tunggal Sabda

5. Jalan Rahayu 6. Sangkan Paran 7. Panembah

Setelah membentuk organisasi Pangestu, menjelang kongres I pada tahun 1954, ketujuh pokok-pokok ajaran sang Guru Sejati dihimpun menjadi satu buku dan diberi nama Sasangka Jati, yang artinya Pepadang18.

C. Riwayat Hidup Pendiri Paguyuban Sumarah

Paguyuban Sumarah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh dr. Soerono Prodjohoesodo, yang sejak tahun itu hingga tahun 1972 menjabat ketua umumnya. Tetapi ajaran Sumarah, yaitu Ilmu Sumarah, telah diwahyukan kepada R.Ng. Soekirnohartono, seorang pegawai Kasultanan Yogyakarta19.

18

Pokok-pokok Ajaran Pangestu, Artikel diakses tanggal 5 juni 2009 di http://www.pangestu.or.id. 19

(23)

Sejarah berdirinya Paguyuban Sumarah tidak terlepas dari kehidupan R. Ng. Soekirnohartono sebagai tokoh pendirinya. Ia dilahirkan pada hari Rabu Kliwon tanggal 20 Rajab tahun Alip 1827, atau tanggal 26 Desember 1897 jam. 03.00 Wuku Wugu di desa Munggi Kecamatan Semewu Kab. Gunung Kidul Yogyakarta, dan wafat pada hari Kamis tanggal 25 Maret 1971 di Yogyakarta. Ia keturunan dari keluarga R. Wirowedono. Waktu ia kecil diberi nama oleh kakeknya dengan sebutan Gudel, namun setelah dewasa ia meminta kepada ibunya agar namanya diganti dengan “Soekirnohartono”, permintaan itu dikabulkan dan resmilah nama Soekirnohartono sebagai ganti nama Gudel. Adapun nama “Hartono” adalah nama tambahan pemberian kesultanan Yogyakarta ketika ia menjadi pegawai kesultanan, dan bertugas menangani keuangan pasar20.

Sejak masih kecil, yaitu sejak duduk di sekolah dasar, ia sudah nampak sebagai anak yang rajin, tertarik mempelajari ilmu kebatinan, senang berguru kepada kyai, menghadiri sarasehan, gemar shalat, puasa dan sebagainya. Disamping itu ia juga mempelajari ilmu politik, ekonomi, kursus bahasa dan pengetahuan umum terutama setelah berusia dewasa. Pada perkembangan selanjutnya semua pengetahuan yang telah diperolehnya itu menjadi kurang menarik perhatiannya, ia lebih tertarik pada ilmu warisan nenek moyangnya yaitu “Ilmu Kewaskitaan dan Kedigdayaan”. Namun ilmu itupun akhirnya

20

(24)

ditinggalkannya karena dianggap mengarah kepada perkelahian dan pembunuhan. Ketidakpuasan terhadap ilmu-ilmu yang telah diperolehnya itu mendorong dirinya untuk berusaha terus-menerus mencari ketenteraman hati dan akhirnya masuklah ia ke dalam “Panguden Hardopuroso” yang dipimpin oleh Ranuhadidjoyo yang mengajarkan tentang wirid untuk memperoleh kemulyaan hidup21.

Ia pernah mengikuti kelompok Hardopusoro yang mengajarkan teknik meditasi yang didirikan oleh Ki Sumocitro. Ia juga pernah berkenalan dengan Muhammad Subuh pendiri Subud22. Pada masa inilah ia berteman akrab dengan R. Soehardo. Seterusnya R. Ng. Soekirnohartono dan R. Soehardo menjalin hubungan persaudaraan yang erat sekali, karena nampaknya keduanya memang sama-sama berbakat di dalam ilmu kebatinan.

Kemudian pada suatu hari, tepatnya tanggal 8 September 1935, ketika R.Ng. Soekirnohartono sedang melaksanakan meditasi sebagaimana yang diajarkan oleh gurunya, ia mohon pada Tuhan agar supaya bangsa Indonesia diberi kemerdekaan. Pada saat itu R. Ng. Soekirnohartono merasa mendapat perintah dari Tuhan untuk menutup iman kepada umat, karena sebagian besar dari umat itu tidak bulat lagi imannya kepada Tuhan. Perintah tersebut diterima oleh R. Ng. Soekirnohartono melalui Hakiki, yang menurut aliran Sumarah, merupakan sumber dari otoritas dan otentitas spiritual, sebagai saluran yang mengalirkan bimbingan spiritual yang

21

Abd Mutholib, Abd Ghofur Imam, dkk. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, (Surabaya: Amin, 1988), h. 98.

22

(25)

langsung dari Tuhan kepada individu. Pada mulanya R. Ng. Soekirnohartono mengelak terhadap perintah tersebut sebab pada waktu itu masih merasa ragu-ragu. Lagi pula memang tidak ada minat dari hatinya untuk menjadi seorang guru atau kyai. Akan tetapi karena perintah tersebut datang berulang-ulang disetiap R.Ng. Soekirnohartono mengadakan meditasi, maka akhirnya R. Ng. Soekoinohartono bersedia juga untuk menyebarluaskan ilmu Sumarah yang diterimanya melalui wangsit23 tersebut dengan syarat bangsa Indonesia diperkenankan oleh Tuhan untuk memperoleh kemerdekaan terlepas dari penjajahan24.

Maka untuk melalui melakukan perintah tersebut R. Ng. Soekirnohartono menghubungi R. Soehardo untuk mencoba menyampaikan pengalamannya sewaktu menjalankan meditasi tersebut di atas. Setelah R. Soehardo dibimbing oleh R. Ng. Soekirnohartono melakukan meditasi sebagaimana petunjuk dari Hakiki yang disampaikan kepada R. Ng. Soekirnohartono, ternyata ia mempercayai dan menerimanya. Maka dari itu mulai mantaplah hati R. Ng. Soekirnohartono untuk terus meluaskan ilmu Sumarah tersebut sebagai sarana untuk membimbing umat manusia menuju iman yang bulat, menuju Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya R. Ng. Soekirnohartono dan R. Soehardo aktif mendatangi sarasehan-sarasehan yang diadakan oleh perkumpulan-perkumpulan aliran

23

Pesan (amanat) gaib, kamus online kateglo http://bahtera.org/kateglo diakses dari http://bahtera.org/kateglo pada tanggal 30 juli 2009.

24

(26)

kebatinan dengan maksud untuk menarik orang serta menyebarluaskan ilmu Sumarah kepada para pengikut sarasehan. Maka dimulailah awal perkembangan Sumarah25.

Paguyuban Sumarah mengenal tiga orang pini sepuh awal ialah Sukirnohartono sebagai warana perintis didampingi oleh Soehardo dan H. Soetadi sebagai pamong-pamong pertama bidang tugasnya masing-masing. Dua diantaranya telah meninggal dunia: Pak Soetadi tanggal 28 Januari 1958 di Sala, dan Pak Kino, tanggal 25 Maret 1971 di Yogyakarta. Untuk seterusnya tugas warana dan pamong diemban dan berkembang pada diri petugas-petugas yang dikehendaki oleh tuntunan Sumarah atas kesaksian dalam sujud bersama yang kemudian dikukuhkan oleh organisasi. Tuntunan Sumarah tidak dimonopoli seseorang dan tidak pula pada diktatatas dasar suatu dokumen ajaran tertulis atau bentuk symbol tertentu, melainkan ada dan berkembang semata-mata mengikuti penjabaran tuntunan atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa dalam penghayatan dari waktu-waktu bersinambungan dan tingkat-meningkat sejak tahun 1935 hingga kini26.

Oleh karena warga Paguyuban Sumarah bertambah luas dan tempatnya berpencar-pencar di beberapa kota, padahal pada waktu itu belum ada pedoman tertentu, maka oleh para tokoh-tokoh (pini sepuh) Paguyuban Sumarah dipandang

25

Romdon, Tashawuf dan Alran Kebatinan , h. 111. 26

(27)

perlu adanya pedoman ilmu Sumarah yang kemudian dikenal dengan nama

‘Sesanggeman’, adapun Sesanggeman berasal dari kata sanggem mendapat awalan se- dan ahiran -an. Sanggem artinya sanggup menjalani. Sesanggeman berarti kesanggupan untuk menjalani. Sesanggeman adalah ketentuan-ketentuan moral untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari27. Sesanggeman itu tidak diperlakukan sebagaimana kitab suci, tetapi harus dipakai sebagai pedoman para warga sehingga berstatus sebagai norma etisnya. Sesanggeman tersebut diberikan oleh Pak Kino (Soekirnohartono) setelah melakukan meditasi28.

Perkembangan organisasi Sumarah itu sendiri selanjutnya dapat dibagi menjadi beberapa fase:

a. Pra-organisasi (1935-1950) di mana bimbingan Paguyuban Sumarah berada di tangan tiga orang pini sepuh, dengan pembagian tugas :

Pak Kino – bagian kerohanian/ Ketuhanan Yang Maha Esa Pak Soehardo – bagian pendidikan dan pengembangan Pak Soetadi – bagian organisasi dan praja.

b. Dalam tahun-tahun perjuangan fisik usaha pembentukan organisasi diserahkan kepada angkatan muda/kanoman, namun akhirnya usaha tersebut dikembalikan lagi kepada para pini sepuh.

27

Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa,Sesanggeman, Direktorat Jendral Nilai Budaya Seni dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2006, h. 61.

28

(28)

c. Baru pada tahun 1950, terbentuklah organisasi dengan pimpinan yang disebut Pengurus Besar (PB), yang diketuai oleh Dr. Soerono Prodjohoesodo dan berkedudukan di Yogyakarta. Periode PB yang berakhir pada tahun 1966 sempat mengantar Paguyuban Sumarah hingga pertengahan fase ke-III.

d. Disusul dengan periode DPP (Dewan Pimpinan Pusat) ke-I (1966-1970) dengan trio pimpinan Arytrimutrhy – Soediyono – Pranyoto yang berkedudukan di Jakarta, dimana Paguyuban Sumarah mulai dibebani tugas ekstern dengan kekaryaannya pada BK5I (Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian/Kebatinan/Kejiwaan Indonesia).

e. Dilanjutkan dengan periode DPP ke-II (1970-1974) dengan trio pimpinan Arymutrhy – Soetjipto – Zahid Hussein, dimana Paguyuban Sumarah meningkatkan pengertian ekstra organisasinya dengan peranannya pada Simposium Nasional Kepercayaan dan Munas Kepercayaan ke-I bulan November dan Desember 1970 di Yogyakarta yang melahirkan SKK (Sekretariat Kerjasama Kepercayaan).

(29)

Purwokerto dan dalam pengurusan SKK baik di pusat maupun di daerah-daerah29.

Kemudian proses ini berlanjut sampai sekarang, dengan bentuk organisasi yang matang, lengkap dengan pengurus-pengurusnya, dari tingkat cabang, daerah sampai pusat, dengan jumlah pengikutnya yang juga semakin bertambah, hingga ribuan orang pemeluk taat, dan ratusan ribu simpatisannya.

D. Pokok-pokok Ajaran Sumarah.

Sebenarnya Paguyuban Sumarah tidak memiliki pedoman yang mereka anggap sebagai kitab suci, sebab menurut mereka, pedoman jalan hidup yang suci dapat diperoleh dengan cara melakukan sujud sepenuh jiwa, sehingga Hakiki, dapat dirasakan dan dimengerti oleh hati. Maka oleh karena demikian, yang kita dapati tentang ajaran-ajaran Sumarah, biasanya di ambil dari kumpulan-kumpulan ceramah, pengajian, atau apapun istilahnya, yang kemudian direkam, ditulis, dan disebarkan secara terbatas. Misalnya, buku kumpulan ceramah Pak Kino (Sukirnohartono) yang terkadang dimasukkan dalam buku organisasi, atau kumpulan ceramah dr. Soerono, sebagai ketua organisasi, dan seterusnya, seperti

29

(30)

buku Sumarah I, II dan kumpulan wewarah30 Sumarah, yang dipimpin oleh Drs. Arimurti (salah seorang ketua setelah dr. Soerono). Terkadang isinya pun hanya mengenai ajaran untuk meneruskan ajaran Sumarah, melakukan peran langsung dalam pembangunan negara, ataupun kajian atas ajaran-ajaran yang pernah disampaikan oleh Pak Kino31.

Bagi orang yang baru mengenal dan ingin belajar ilmu Sumarah, biasanya ditest terlebih dahulu, dan harus mengucapkan 9 janji (baiat), yang disebut

Sesanggeman, adapun 9 janji atau baiat itu sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga Sumarah, yaitu :

1. Percaya kepada Allah, Nabi-Nya, dan Kitab-kitab-Nya.

2. Sanggup untuk senantiasa ingat kepada Allah, menjauhkan diri dari rasa mengaku, sombong, dan percaya kepada kasunyatan dan sujud kepada Allah.

3. Berusaha bagi kesehatan badan, ketentraman hati, dan kesucian roh, serta pembangunan watak, percakapan dan tindakan.

4. Mempererat persaudaraan berdasarkan cinta kasih.

5. Sanggup berusaha dan bertindak memperluas tugas dan tujuan hidup dan memperhatikan kepentingan masyarakat umum, taat kepada kewajiban

30

Wewarah bermakna ajaran: ia juga mengajarkan pengetahuan kebatinan berdasarkan -- nenek moyangnya, kamus online kateglo diakses dari http://bahtera.org/kateglo pada tanggal 30 Juli 2009.

31

(31)

sebagai warga Negara, menuju kepada kemuliaan dan keluhuran yang membawa ketentraman dunia

6. Sanggup untuk berbuat benar, tunduk kepada undang-undang Negara, menghormati sesama manusia, tidak mencela paham dan pengetahuan orang lain, bahkan berdasarkan rasa cinta kasih berusaha semua golongan, para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para pemeluk agama bersama-sama menuju tujuan yang satu.

7. Menghindari perbuatan hina, maksiat, jahat, dengki, dan sebagainya, segala perbuatan dan ucapan serba jujur dan nyata dibawakan dengan sabar dan teliti, tidak tergesa-gesa, tidak terdorong nafsu.

8. Rajin menambah pengetahuan lahir dan batin.

9. Tidak fanatis, hanya percaya kepada hakikat kenyataan, yang pada ahirnya bermanfaat bagi masyarakat umum.

(32)

BAB III

KONSEPSI TENTANG MANUSIA MENURUT PANGESTU

DAN SUMARAH

Pembahasan mengenai manusia dengan segala dimensinya adalah pembahasan yang menarik dan paling fundamental sekaligus berpolemik yang berkepanjangan di semua agama, aliran kebatinan, mistik ataupun di disiplin ilmu lainnya. Demikian juga di Pangestu dan Sumarah, pembahasan manusia menempati posisi yang sangat penting sebagai jalan utama untuk mengenal Allah dan menyatu dengan-Nya.

A. Konsepsi Manusia Menurut Pangestu

1. Asal-usul Manusia Menurut Pangestu

(33)

organisasi ada. Atau dengan pemahaman lain adalah, semua ajaran yang ada di Pangestu ada bersamaan dengan adanya usaha manusia di muka bumi untuk mencari Tuhan.

Konsepsi tentang manusia itu sendiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari konsepsi ke-Tuhanan dalam Pangestu yang disebut dengan Tri Purusa, keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu : Suksma Kawekas (Tuhan Sejati), Suksma Sejati (Guru Sejati-Utusan Tuhan) dan Roh Suci (Manusia Sejati), yaitu jiwa manusia sejati32. Roh Suci dipandang sebagai jiwa manusia sejati. Oleh karena itu Yang Mutlak dipandang sebagai asal manusia33.

Sebelum pembahasan mengenai manusia, Sasangka Jati merinci tentang penciptaan alam, sebab pembahasan mengenai Tuhan, alam dan manusia merupakan penjabaran yang kronologis dan saling berkaitan baik dari segi material maupun esensinya. Dalam Sasangka Jati ditemukan keterangan:

Sebenarnya sebelum ada apa-apa (sebelum ada awang-uwung), yaitu sebelum buana ini tercipta, Tuhan sudah bertakhta, demikian pula Aku, Suksma Sejati. Maka inilah yang disebut keadaan Tuhan dan Aku, juga keadaan Alam Sejati, yakni istana Tuhan dan Aku. Aku dan Tuhan bertakhta di pusat hidup. Sebelum buana itu tercipta, Tuhan mempunyai karsa menurunkan Roh Suci ialah cahaya Tuhan, tetapi karsa itu terhenti, sebab belum ada wadah dan tempatnya, maka Tuhan kemudian menciptakan buana. Yang mula-mula

32

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 7.

33

(34)

diciptakan yaitu empat anasir yang disebut suasana, api, air dan tanah. Terciptanya empat macam anasir tersebut, sekalipun atas kekuasaan Tuhan, juga berasal dari Tuhan, maka dapat diumpakan pelita dan asapnya34.

Menurut Sumantri35, bahwa turunnya roh suci digambarkan seperti

pletikan api Yang Maha Agung. Hal ini berdasarkan penafsiran Sumantri yang menyatakan, bahwa dalam Kesadaran Agung yang diam ini terkandung Kehendak untuk melepaskan cahaya-cahaya kemampuan dan kesadaran, sebagai pletikan api Yang Maha Agung. Roh suci sebagai cahaya Tuhan, sebelumnya telah tertunggal dengan Suksma Sejati. Keterangan ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia menurut Pangestu melalui proses emanasi36. Proses emanasi ini juga dapat diterapkan pada penciptaan empat anasir, yaitu; udara37, air, api, dan tanah, hal ini berdasarkan kalimat

sekalipun atas kekuasaan Tuhan, juga berasal dari Tuhan, maka dapat

diumpakan pelita dan asapnya.

Kemudian tentang penciptaan manusia, terdapat keterangan dalam Sasangka Jati:

Adapun terciptanya manusia itu dari sinar bertunggalnya Tripurusa: Suksma Kawekas-Suksma Sejati-Roh Suci (menurut Islam, bagi para ahli makrifat, disebut:

34

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 37.

35

Sumantri Hardjoprakoso, salah seorang yang mula-mula meneliti tentang aliran Pangestu, dengan judul disertasi Indonesisch Mensbeld Als Basis Ener Psycho Therapie, di Universitas Leiden Belanda, pada tahun 1956, dan sekaligus sebagai salah seorang pengurus Pangestu pada saat itu. 36

Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 310.

37

(35)

Muhammad; atau menurut Kristen: Sang Bapa-Sang Putra-Roh Kudus) yang diberi busana sari empat macam anasir, seperti suasana, api, air dan tanah, yang kemudian terbabar menjadi bahan bakal kasar dan halus (lahir, batin). Adapun alat badan jasmani dianugerahi pancaindera, yaitu: penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan perasaan. Lagi pula diberi saudara, yang lazimnya disebut empat macam nafsu, seperti: lawwamah, amarah, sufiah, muthmainnah, dan tiga saudara lagi yang berkumpul menjadi satu di angan-angan, yaitu yang disebut pangaribawa, prabawa dan kamayan38.

Berdasarkan keterangan sebelumnya didapat kesimpulan bahwa alam dunia ini tercipta dari empat anasir yang berasal dari Tuhan, yaitu; udara, api, air dan tanah. Empat anasir ini juga kemudian merupakan baku penciptaan manusia, maka demikian manusia disebut dunia kecil, makrokosmos dan

mikrokosmos. Kesamaan anasir ini yang menyebabkan adanya sifat saling mempengaruhi, dalam Sasangka Jati dengan kalimat dunia besar dapat menguasai dunia kecil39 atau sebaliknya. Alam dapat menyebabkan bencana bagi manusia atau sebaliknya. Alam menguasai manusia, dan atau sebaliknya.

Kemudian, dalam Sasangka Jati:

Adapun terciptanya manusia yang paling awal adalah laki-laki, yaitu yang akan menurunkan benih, atau yang menjadi perantara turunnya Roh Suci. Tuhan kemudian menciptakan perempuan, yang akan mewadahi turunnya Roh Suci, semua itu terjadi atas kekuasaan Tuhan. Demikian seterusnya, keadaan

38

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 40.

39

(36)

manusia dapat berkembang biak hingga sekarang, turunnya Roh Suci dengan perantaraan laki-laki dan perempuan40.

Keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa turunnya Roh Suci melalui perantaraan laki-laki dan perempuan, atau dengan kata lain turunnya Roh Suci setelah adanya manusia pertama. Tentang manusia pertama, diterangkan selanjutnya:

Namun, ketahuilah olehmu bahwa terciptanya manusia yang mula-mula itu tidak hanya sepasang seperti umumnya anggapan orang yang disebut Adam dan Hawa. Akan tetapi sejatinya, di setiap pulau besar-besar juga ada manusia sepasang yang diciptakan mula pertama guna dijadikan benih41.

Jadi terjadinya manusia pertama, yang jadi dari kekuasaan Tuhan, adalah merupakan banyak pasangan manusia laki-laki dan perempuan. Di tiap-tiap pulau diberi manusia sejodoh sebagai bibit untuk menurunkan suatu bangsa. Baru setelah itu terjadi perkembangbiakan manusia dengan memakai perantara ibu-bapa seperti yang terjadi sampai sekarang.

Adanya perbedaan-perbedaan rupa dan kulit di antara bangsa, dianggap sebagai petunjuk bahwa umat manusia ini tidak berasal dari keturunan Adam dan Hawa yang hanya sepasang itu. Perbedaan kulit dan watak di antara bangsa-bangsa, disebabkan oleh tebal tipisnya anasir yang menjadi busana Roh Suci, dan menurut tebal tipisnya anasir di setiap pulau. Misalnya: apabila anasir api tebal (di negara yang berhawa sangat panas) anasir airnya tipis, suasananya juga kurang padat, warna kulit bangsa di tanah itu menjadi hitam, seperti di Afrika dan Arab. Apabila anasir air terlalu banyak,

40

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 40. 41

(37)

anasir apinya kurang, warna kulit bangsa di tanah itu putih, seperti bangsa di Eropa dan lain-lain tempat yang dingin42.

Keterangan tersebut menjelaskan tentang pendapat yang menguatkan bahwa manusia diciptakan banyak pasangan dan ditempatkan banyak pulau besar, dengan asumsi perbedaan kulit dan watak yang disebakan perbedaan kekuatan di antara empat anasir, antara alam dan manusia, dunia besar dan dunia kecil, atau makrokosmos dan mikrokosmos.

Selanjutnya mengenai kisah Adam dan Hawa, sebagai prototipe manusia pertama dijelaskan pula dengan pendapat yang berbeda dengan umumnya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam Sasangka Jati, bahwa ketika Tuhan hendak menurunkan Roh Suci, Kehendak itu terhenti karena belum ada wadah atau kancahnya, maka Tuhan menciptakan alam. Kehendak yang terhenti, diartikan oleh Harun Hadiwijono sebagai penjabaran mitologis tentang kejadian Adam dan Hawa, seperti yang termaktub baik di Al Qur’an maupun Injil. Hawa, sebagai perempuan, dipakai Tuhan untuk menyembunyikan Roh Suci. Adam, sebagai lelaki, adalah alat yang dipakai Roh Suci untuk turun43.

Secara global mitologis tentang Adam dan Hawa menurut Pangestu, seperti telah disinggung di atas, merupakan cerita yang terambil dari Al-Quran maupun Injil: Adam dijadikan di surga, lalu diberi jodoh Hawa, yang

42

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 43. 43

(38)

dijadikan dari tulang rusuk kiri yang terakhir dari Adam. Tatkala Adam dan Hawa di surga, Tuhan memberi larangan tidak boleh memakan buah khuldi. Pada waktu itu Hawa lalu digoda oleh Iblis yang menyamar menjadi ular yang membujuk Hawa. Hawa lalu mengajak Adam memakan buah larangan tadi. Setelah Adam dan Hawa makan buah khuldi itu, mereka lalu diusir dari surga, diturunkan ke dunia.

Menurut Sasangka Jati, Adam sesungguhnya bahan bakal jasmani, yaitu bercampurnya empat macam anasir yang menjadi busana Roh Suci, oleh karena semua manusia pertama yang banyak pasangan itu jasmaninya sama, yaitu empat anasir, maka disebut satu, tunggal bahan bakalnya44.

Selanjutnya, Adam dan Hawa berada di dalam Firdaus adalah simbol terhentinya kehendak untuk menurunkan Roh Suci, dan simbol dari kesatuan Suksma Kawekas dan Suksma Sejati.

Adam dijadikan di sorga, itu adalah isbat Kehendak (Tuhan), adapun Hawa itu isbat dari pada Sir, yaitu Aku (Ingsun)! Sirullah, yaitu Suksma Sejati, yang menyatakan Kehendak Tuhan (Suksma Kawekas). Oleh karena itu terjadinya Hawa diceritakan sebagai sempalan(pecahan) dari pada tulang rusuk Adam yang terakhir, yang kiri, yang berarti : terjadinya Sir itu dari pada sempalan Kehendak, atau Kehendak itu ternyata Sir. Sir itulah yang menyatakan kuasa Tuhan. Jadi Aku dapat dimisalkan terjadi dari pada sempalan Tuhan45.

44

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 41.

45

(39)

Jadi Adam dan Hawa itu, kecuali menjadi ibarat dari pria dan wanita, juga menjadi ibarat dari Tuhan (Kehendak) dan Suksma Sejati (Sirullah), yang menunjuk kepada hubungan yang tak terpisahkan, seperti halnya Tuhan dan kekuasaannya46. Simbol penciptaan Hawa dari tulang rusuk yang kiri, itu berarti bahwa Kehendak Allah untuk menjadikan perkara yang fana, yang bisa rusak. Kiri adalah simbol dari sesuatu yang tidak kekal47.

Kisah tersebut menurut Pangestu harus diartikan secara alegoris-mistis, dan bukan sebagai cerita yang harus diterima secara historis. Menurut Sasangka Jati, makna yang terkandung antara lain; buah khuldi yang dimakan berarti terlahirnya Kehendak. Khuldi itu kekal, tetapi terlahirnya mengadakan barang yang tidak kekal, ialah terjadinya empat anasir (udara, air, api dan tanah). Buah dapat dimakan apabila sudah ada yang memakan berarti Kehendak untuk menurunkan Roh Suci dapat terlaksana bila sudah ada wadahnya (pakaiannya), sedang yang memakan (memakai) adalah Roh Suci memakai pakaian (anasir empat macam) atau masuk ke dalam alam materi. Inilah artinya Adam dan Hawa turun ke dunia48.

Selanjutnya mengenai godaan iblis yang menyamar menjadi ular, memiliki arti; pelaksanaan Kehendak Allah menyebabkan adanya empat anasir yang dapat rusak, empat anasir itu sendiri menimbulkan adanya

46

Sularso Sopater, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Pangestu, (Jakarta: PT. New Aqua Press, 1987), h. 69.

47

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 73. 48

(40)

Kehendak untuk berkembang (inilah saatnya Roh Suci ingin turun ke dunia). Keinginan itu menimbulkan kerusakan, sebab pelaksanaan keinginan itu terjadi di alam dunia dengan menggunakan selubung (pakaian) yang dapat rusak dan terbatas49.

Selanjutnya mengenai, turunnya Roh Suci ketika masuk ke rahim ibu, Sasangka Jati, secara tegas menyatakan bahwa terjadinya jabang bayi setelah ada manusia, dalam arti, melalui proses perkawinan antara pasangan manusia pertama, yang kemudian menurunkan banyak bangsa.

Kini Aku memberi petunjuk tentang terjadinya jabang bayi setelah ada manusia, yaitu turunnya Roh Suci dengan perantaraan laki-laki dan perempuan. Ketika benih hidup (Roh Suci) sudah memasuki rahim ibu (wadah bayi) sesungguhnya sudah memakai busana halusnya anasir yang tidak kasatmata. Ketika itu membentuk peranti busana hidup di alam jasmani, dengan bertemunya kerja empat macam anasir, yang saling mempengaruhi, sehingga makin lama busana tersebut mulai terbentuk dan setiap hari makin besar hingga akhirnya berwujud manusia. Begitu pula semua organ dan bagian sekujur badan, kemudian juga siap lengkap, terjadinya ada yang bersama-sama atau ada yang ganti-berganti, misalnya; jantung, ari-ari (tembuni), pusar dan air ketuban. Adapun tembuni itu perlu untuk menerima mengalirnya anasir suci dari ibu, sari anasir tersebut masuknya ke tubuh jabang bayi, diterima pusar, selanjutnya ke jantung dan merata ke seluruh tubuh. Adapun air ketuban itu perlu untuk mendinginkan daya panas dari api ibu dan juga melicinkan persentuhan bayi dengan bungkusnya50.

Keterangan di atas sebenarnya, tidaklah bertentangan dengan ajaran manapun mengenai terjadinya bayi, baik dari segi pemahaman agama

49

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 43. 50

(41)

maupun medis. Hanya saja memang sangat menekankan tentang empat macam anasir yang menjadi elemen terpenting terciptanya alam dan manusia. Sasangka Jati juga menerangkan bahwa manusia setelah masuk ke alam jasmani atau lahir, kemudian juga bersinggungan dengan empat anasir, matahari sebagai sumber anasir api, air susu ibu sebagai unsur air dan tanah melalui air susu ibunya, dan unsur suasana (udara) yaitu keluar masuknya nafas. Dan proses tersebut berlangsung terus, hingga si bayi menjadi tua dan mati, hanya saja ada juga penekanan bagi manusia untuk tidak memakan daging hewan, karena hewan mempunyai unsur hidup yang harus dihormati. Jika dilanggar, maka kemungkinan jika konsumsi daging berlebihan, menimbulkan efek, baik fisik maupun psikis.

2. Susunan Manusia

Kemudian tentang penciptaan manusia sekaligus penjelasan mengenai susunan manusia, terdapat keterangan seperti telah dikutip sebelumnya:

(42)

dan tiga saudara lagi yang berkumpul menjadi satu di angan-angan, yaitu yang disebut pangaribawa, prabawa dan kamayan51.

Kutipan di atas menjelaskan bahwa manusia tercipta dari cahaya Tripurusa, diberi busana empat anasir, dilengkapi dengan pancaindera, yaitu; penglihatan, pendengaran, pengucapan, penciuman dan perasaan. Oleh karena terjadinya jabang bayi itu dari tujuh keadaan, yaitu Tri Purusa dan empat anasir yang menjadi busananya, maka manusia juga mempunyai apa yang lazimnya disebut “tujuh saudara”, yang lahir bersama-sama dalam seketika, yaitu empat macam nafsu, lawwamah, amarah, sufiah, muthmainnah, dan tiga saudara yang menjadi satu di angan-angan, pangaribawa, prabawa dan kemayan.

Penjelasan mengenai empat macam nafsu ini terdapat dalam keterangan selanjutnya di Sasangka Jati, sebagai berikut:

Adanya empat anasir itu menyebabkan timbulnya nafsu empat macam, yaitu: lawwamah, tercipta dari anasir tanah berwarna ungu kehitam-hitaman, berada dalam daging manusia. Wataknya jahat, tamak, serakah, malas, tidak tahu kebaikan. Tetapi apabila sudah mau tunduk dan patuh dapat menjadi dasar kekuatan. Amarah tercipta dari unsur api, berwarna merah berada dalam darah, merata di sekujur manusia. Wataknya berhasrat kuat, mudah tersinggung, berangasan dan pemarah. Amarah menjadi jalan bagi saudara-saudara lainnya yang bertindak jahat atau baik, semua lewat amarah, amarah itu menjadi baku yang mempengaruhi daya kekuatan saudara-saudara lainnya agar dapat tercapai maksudnya. Sufiah tercipta dari air, berwarna kuning, berada dalam tulang sumsum. Adapun halusnya sufiah menjadi kehendak. Sufiah adalah nafsu yang menyebabkan adanya keinginan, kasmaran atau

51

(43)

sengsem. Muthmainnah tercipta dari anasir suasana, berwarna putih, berada dalam nafas, wataknya terang, suci, bakti, kasih sayang52.

Sumantri menambahkan, bahwa kombinasi antara muthmainnah, amarah, dan sufiah akan mendatangkan bahagia umat manusia. Hubungan lawwamah, amarah, dan sufiah, dapat membawa kekuatan badan jasmani tetapi juga mendatangkan bencana bagi orang lain53. Dalam kehidupan manusia, muthmainnah dan lawwamah menetukan watak manusia, sedang sufiah dan amarah hanya menampilkan warna atau tampilan apakah muthmainnah atau lawwamah.

Selanjutnya mengenai saudara tiga lainnya, dalam Sasangka Jati: Pangaribawa, kasarnya berwujud pusar, yaitu daya kekuatan darah dari jantung ibu yang diterima pusar, dapat menghidupi jabang bayi ketika masih di rahim ibu, adapun halusnya berada di angan-angan. Prabawa, ketika bayi lahir, prabawa bertindak, wujudnya ibu lalu mengejan, sebab pengaruh daya perbawa darah, yaitu uap darah lazimnya disebut ejanan, ejanan itulah yang mendorong lahirnya jabang bayi. Setelah bayi lahir halusnya prabawa (ejanan) menyatu dalam angan-angan. Kemayan kasarnya berwujud jantung, halusnya juga menyatu mennjadi angan-angan, yang berada di pusat sanuabari54.

Keterangan tersebut kemudian ditambahkan oleh Dr. Sumantri, yang dikutip oleh Harun Hadiwijono, sebagai berikut:

52

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, h. 46. 53

R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 1989), h. 12.

54

(44)

Karena adanya Tri Purusa di dalam pakaian jasmani, maka tampaklah bayangan dari Tripurusa itu. Bayangan Tri Purusa ini disebut angan-angan atau kecakapan intelektuil manusia, yaitu; logos. Logos ini juga terdiri dari tiga faset, yaitu; cipta sebagai bayangan Roh Suci, nalar sebagai bayangan Suksma Sejati, dan pangerti sebagai bayangan Suksma Kawekas. Cipta adalah pikiran atau fungsi yang membentuk gambaran, nalar atau pemikir adalah fungsi yang assiosiatif, yang mengasosiasikan atau menghubungkan pengertian yang bermacam-macam, yang satu dihubungkan dengan yang lain. Akhirnya pangerti, adalah fungsi untuk mengerti, untuk merangkumkan, untuk mengawasi dan merealisasi, pokoknya pangerti adalah fungsi transenden bagi pengawasan dan pengertian55.

Dalam kitab Sasangka Jati pula juga didapati kalimat bahwa angan-angan yang terdiri dari tiga saudara di atas, bayangan Tri Purusa yang dimaknai dengan “Ingsun-nya manusia”, atau “Aku”-nya manusia56, yang memiliki kekuasaan untuk memerintah saudara empat nafsu lainnya. Aku-nya manusia ini disebut dengan “Ego”. Ego atau “Aku” manusia harus dibedakan dengan Roh Suci. Roh Suci ialah jiwa manusia sejati yang tidak dibelenggu oleh benda, sedang Aku ialah gejala psikologis yang hanya bersangkutan dengan hidup sehari-hari saja. Jika kecakapan intelektuil manusia disebut Ego maka Roh Suci dapat disebut “Super Ego”57.

Keberadaan angan-angan, sangat dibutuhkan untuk memerintah empat saudara nafsu, hal ini disebabkan ketika Roh Suci turun ke dunia, kesadaran bahwa ia bersumber dari Suksma Sejati menjadi latent atau

55

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 78 56

R. Soenarto Mertowardojo, Sasangka Jati, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006), cet. ke-6, h. 47.

57

(45)

tersembunyi karena adanya empat nafsu yang tercipta dari empat anasir, dan bersinggungan dengan dunia kasar. Manusia akhirnya menjadi permainan nafsu-nafsunya. Hal ini diterangkan oleh Sumantri:

Setelah Roh Suci mendapatkan selubung unsur-unsur yang bersifat jasmani, kesadaran Tripurusa menjadi tersilam. Karena ini manusia tidak merasa lagi dipimpin dan dituntun oleh Suksma Sejati. Terombang-ambinglah manusia oleh pergolakan nafsu-nafsu jasmani. Di sini Suksma Sejati atas Kehendak Suksma Kawekas melimpahkan Kemurahan-Nya. Diberikanlah sesuatu untuk memimpin nafsu-nafsu ini. Pemimpin baru ini bersarang dan berkedudukan di dalam badan jasmani sendiri, berlawanan dengan Tripurusa yang tidak terikat oleh badan jasmani, sekalipun ada di dalamnya. Pimpinan baru ini berwujud bayangan Tripurusa di dalam badan jasmani. Bayangan itu disebut Angan-angan. Kekuatan di dalam angan-angan untuk tugas sehari-hari diputuskanlah dalam apa yang disebut Aku58.

Secara global penjelasan mengenai manusia menurut Pangestu, secara baik telah dirangkum oleh Sumantri, dengan menggunakan bagan skema susunan manusia yang disebut dengan Candra Jiwa Soenarto59, tentu saja hal ini berdasarkan keterangan dari Sasangka jati, bahwa manusia terdiri dari tiga bentuk ke-ada-an yang terpisah, tetapi saling berhubungan, yaitu badan kasar, badan halus dan tanpa jasad (immaterial). Penjelasannya sebagai berikut;

1. Badan Jasmani Kasar (wadag kasar/biologis)

Di sini terdapat alat pelaksana untuk melaksanakan keinginan, yaitu anggota tubuh dan panca indera. Panca indera merupakan pintu gerbang

58

R. Soemantri Hardjoprakoso, Arsip Sarjana Budi Santosa, (Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 1989), h. 13.

59

(46)

antara manusia dengan dunia besar, makhluk-makhluk lainnya, dengannya manusia mengetahui hal yang berada di luar dirinya. Bila mati, maka hubungan antara badan kasar dan badan halus terputus, dan badan kasar akan kembali ke anasir lagi secara berangsur-angsur.

2. Badan Jasmani Halus (psikologis)

Badan halus terdiri dari dari; angan-angan, nafsu-nafsu, dan perasaan. Angan-angan, merupakan bayangan Tripurusa yang terdiri dari cipta (bayangan Roh Suci, disebut Pangaribawa) untuk membayangkan dan menangkap image dan wujud, nalar (bayangan Suksma Sejati, disebut Prabawa), menghubungkan semua bayangan yang ada, dan pangerti (bayangan Suksma Kawekas, disebut Kamayan) untuk menimbulkan pengertian. Nafsu-nafsu terdiri dari lawwamah, amarah, sufiah dan muthmainnah. Perasaan, merupakan hasil saling mempengaruhi antara angan-angan dengan nafsu-nafsu. Bila angan-angan dan nafsu-nafsu selaras, maka perasaan menjadi positif, senang, puas dan sebagainya, bila tidak selaras, maka perasaan menjadi negatip, penolakan, sedih, kecewa dan sebagainya. Fungsi tertinggi perasaan adalah percaya kepada Tri Purusa.

3. Alam Sejati (Dunia tanpa jasad/immaterial)

(47)

Sejati, yang melalui pintu inilah Tuhan selalu memancarkan pepadang dan tuntunan-Nya60.

Berdasarkan pembagian susunan manusia, dan alam yang meliputinya, maka manusia mempunyai dua tenaga pusat vitalitas hidup, yaitu ;

1. Pusat tanpa jasad (immaterial), yakni Tri Purusa, Suksma Kawekas, Suksma Sejati dan Roh Suci.

2. Pusat berjasad, terdiri dari; Angan-angan (Pangerti, Nalar dan Cipta sebagai bayangan Tri Purusa, Kemayan, Prabawa dan Pangaribawa), Nafsu-nafsu (muthmainnah, sufiah,

amarah dan lawwamah), dan Rasa Pangrasa atau hidup perasaan 61.

Demikian konsepsi tentang manusia berdasarkan keterangan Sasangka Jati, sebagai pedoman utama Pangestu.

B. Konsep Manusia Menurut Sumarah

Konsepsi tentang manusia menurut Sumarah, begitu halnya dengan Pangestu, tidak dapat dipisahkan dengan konsep Tuhan, hanya saja konsep

60 Ringkasan Ceramah V, Candra Jiwa Soenarto, Paguyuban Ngesti Tunggal, tanpa tahun, h. 3. 61

(48)

Tuhanan Sumarah tidak banyak didapati keterangan. Dikatakan bahwa Tuhan itu Allah, Allah itu Esa. Ajaran tentang Tuhan di Sumarah dan hampir semua aliran kebatinan dapat disebut “monisme panteistik”, di mana Tuhan dan manusia dipandang sebagai satu kesatuan. Imanensi Tuhan secara total dikatakan bahwa Tuhan berada di dalam diri manusia yang diwakili oleh Urip (Hidup). Bahkan dikatakan bahwa urip (hidup) itu hakikatnya adalah Tuhan itu sendiri62.

Menurut Sumarah, manusia terdiri dari: badan wadag (jasmani), badan nafsu dan jiwa atau roh. Berikut penjelasan mengenai tentang itu yang dikutip langsung dari Harun Hadiwijono dalam Kebatinan dan Injil.

1. Badan Wadag (jasmani)

Badan wadag atau jasmani berasal dari anasir: bumi, angin, air dan api. Jika orang meninggal dunia, badan wadagnya dikubur atau dibakar, sehingga dengan cara itu badan wadag dikembalikan pada asalnya. Badan wadag dilengkapi dengan bermacam-macam alat, yaitu: panca indera, yang dikuasai oleh pemikir (kecakapan berfikir). Pemikir ini hanya bersangkutan dengan segala perkara duniawi, untuk mendapatkan segala macam pengetahuan dan pengalaman hidup. Alat yang erat sekali dengan pemikir adalah

62

(49)

angan. Keduanya bekerja sama erat sekali. Apa yang ditangkap oleh pemikir diteruskan kepada angan-angan untuk disimpan.

2. Badan Nafsu

Badan nafsu berasal dari Allah dengan perantaraan Iblis dan dikembalikan kepada asalnya juga. Ada empat nafsu, yaitu: muthmainnah, sumber segala perbuatan baik dan sumber semangat mencari Allah,

ammarah, sumber kemarahan, sufiah, sifat erotis, dan lawwamah, yaitu sifat mementingkan diri sendiri. Pusat segala nafsu ini disebut Suksma, yang harus dibedakan dari Jiwa, yaitu jiwa manusia tak berjasad. Sedangkan pusat pemikir, angan-angan, nafsu dan suksma disebut Nyawa, yaitu jiwa dalam arti psikologis.

3. Jiwa atau Roh

(50)

perasaan sebagai alat penginderaan. Rasa ini terdapat dalam sanubari yang letaknya kira-kira di dada dan termasuk dunia bayangan63.

Menurut Sumarah, bahwasanya Roh itu kekal dan tidak berubah atau musnah. Yang tidak kekal adalah badan jasmani. Roh itu berada dalam alamnya sendiri, menurut perbuatannya semasa hidup, kalau menyimpang dari hukum-hukum ke-Tuhanan maka roh itu mendapat hukumnya sesuai dengan perbuatannya. Roh yang sesat dapat masuk dalam badan kasar yang lain, ia dapat menjadi binatang atau manusia lagi sesuai dengan hukum Tuhan64. Atau bila roh tersebut belum dapat melepaskan diri dari segala nafsunya, maka roh itu setelah jasmaninya meninggal, tersesat atau mengembara kepada hidup duniawi. Seandainya roh yang mengembara demikian itu menjumpai dua sejoli yang sedang berkasih-kasihan, ia segera terarik untuk masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan tersebut, serta mencampurkan diri dengan persatuan sperma dan telur kedua sejoli itu65. Dengan cara itu orang dilahirkan kembali. Inilah yang disebut dalam ajaran Hindu dengan reinkarnasi.

Badan wadag dan badan nafsu termasuk dunia yang tampak ini, tetapi jiwa dan rasa termasuk alam gaib, yang dianggap lebih luas dari dunia yang tampak ini, serta yang meliputi badan wadag dengan segala alat-alatnya.

63

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 16. 64

Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 8.

65

(51)

Selain dua alam di atas, masih ada alam yang lebih luas lagi, bahkan yang terluas, yaitu Qalbu (hati) terletak kira-kira di dalam jantung. Di dalam Qalbu terdapat Masjidil Haram (Masjid Kudus), Baitullah (Rumah Allah). Di dalam Baitullah terdapat Budi, Nur dan Urip66.

Tentang Urip (Hidup) diterangkan bahwa urip itu mewakili Dzat Yang Mutlak, dan bahwa Urip itu adalah satu. Hidup sudah ada sebelum sesuatu yang lain ada. Hidup adalah unsur yang terpenting di dalam keadaan suatu makhluk. Tetapi manusia bukan hanya memerlukan hidup saja, ia memerlukan yang lain juga. Untuk dapat melangsungkan hidupnya manusia perlu memiliki urip, nyawa dan jiwa67.

Selanjutnya apa yang disebut manusia pertama adalah manusia yang ada di dunia ini bukan karena dilahirkan kembali. Adam dan Hawa harus dipandang bukan sebagai benar-benar manusia, sebab mereka adalah Roh Suci yang berasal dari Dzat Yang Maha Esa, dan badan nafsu yang berasal dari iblis. Keduanya berada di Firdaus, yang di artikan sebagai Alam Suci. Godaan Iblis berbentuk ular diartikan sebagai godaaan badan nafsu kepada Roh suci untuk bersekutu dengannya. Godaan itu berhasil, keduanya, Adam dan Hawa, harus meninggalkan Alam Suci dan masuk ke dalam kandungan wanita yang sedang berkasih-kasihan. Ketika mereka diusir dari Firdaus

66

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 16. 67

(52)

dengan telanjang, berarti bahwa baru sesudah bayi dilahirkan orang dapat mengetahui apakah bayi itu perempuan atau laki-laki68.

Jika dirangkumkan, dapat dikatakan bahwa manusia menurut Sumarah dengan peralatannya yang jasmani dan rohani ditempatkan dalam tiga alam, yaitu :

1. Alam yang tampak, tempat badan wadag atau jasmani dengan peralatannya yaitu pemikir dan angan-angan. Kemudian ada suksma yang menguasai, segala nafsu dan ada nyawa yang menjadi pendorong pemikir, angan-angan, dan suksma.

2. Alam gaib yang pada manusia, kira-kira berada di dalam sanubari, dengan jiwa di dalamnya.

3. Alam gaib yang lebih luas lagi, yang pada manusia kira-kira berada di dalam jantung, dengan qalbu, masjidil haram, baitullah, budi, nur dan urip di dalamnya69.

Penjelasan di atas di rangkumkan oleh dr. Soerono dalam sebuah bagan meliputi70 :

I. Dunia yang tampak ini

1. Angan-angan dengann panca indera

68

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 19. 69

Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 105.

70

(53)

2. Pemikir 3. Nyawa 4. Nafsu 5. Suksma

II. Alam gaib di dalam sanubaru 6. Sanubari

7. Rasa 8. Jiwa

III. Alam gaib yang lebih luas lagi 9. Qalbu

10.Masjidilharam 11.Baitullah

12.Budi, Nur, Urip

(54)

bila muthmainnah yang memegang kendali, maka ia menjadi orang berbudi, baik dan seterusnya71.

Demikian konsepsi tentang manusia menurut Sumarah, bahwa manusia memiliki Urip yang berasal dari Yang Maha Hidup, dengan demikian manusia sehakikat dengan Yang Memiliki Hidup itu sendiri.

71

(55)

BAB IV

PERBANDINGAN KONSEP MANUSIA MENURUT

PANGESTU DAN SUMARAH

A. Analisa Kesamaan Pemahaman

Dari penjelasan mengenai konsepsi manusia menurut Pangestu dan Sumarah, dapat diketahui beberapa hal tentang manusia, keduanya memiliki kesamaan pemahaman, walaupun dalam penjelasannya, Pangestu dengan Sasangka Jatinya lebih mendetail dibandingkan dengan Sumarah. Kesamaan pehamannya antara lain :

1. Kesamaan bahwa Roh Suci itu bersifat kekal.

(56)

menurut Sumarah, Roh yang ada di dalam tubuh manusia, bersumber dari Tuhan. Dalam konsep ini Roh disebut sebagai Urip (Hidup), karena ia berasal dari Yang Memiliki Hidup, maka manusia sehakikat dengan Yang Memilki Hidup. Urip ini berpusat di jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, di Masjidil Haram, terdapat Baitullah, dalam Baitullah inilah Urip bertakhta. Tempat Urip bertahkta dengan kelengkapannya, Masjidil Haram, Baitullah, di sebut Alam Gaib yang lebih luas, yang meliputi, badan kasar, badan nafsu, dan alam gaib yang berada di sanubari. Baik Pangestu dan Sumarah juga mengatakan bahwa Roh Suci (dalam Pangestu) dan Urip (dalam Sumarah) berasal dari cahaya Tuhan sebagai pletikan api, dengan Tuhan sebagai Api Agungnya. Dengan demikian Roh bersifat abadi dan kekal.

2. Kesamaan bahwa proses penciptaan Adam dan Hawa tidak bersifat biologis. Menurut keduanya, dalam proses penciptaan Adam dan Hawa, mempunyai kesamaan pemahaman bahwa Adam dan Hawa harus dipandang bukan sebagai manusia dalam arti biologis (penciptaan Adam dan Hawa di Firdaus), keduanya hanya sebagai symbol, yang harus diartikan secara alegoris mistis72. Menurut Pangestu, Adam dan Hawa itu, kecuali menjadi ibarat dari pria dan wanita, juga menjadi ibarat dari Tuhan (Kehendak) dan Suksma Sejati (Sirullah), yang menunjuk kepada hubungan yang tak terpisahkan, seperti halnya Tuhan dan kekuasaannya. Begitu juga menurut Sumarah, Adam dan Hawa harus dipandang

72

(57)

bukan sebagai benar-benar manusia, sebab mereka adalah Roh Suci yang berasal dari Dzat Yang Maha Esa, dan badan nafsu yang berasal dari iblis.

3. Kesamaan bahwa manusia itu diciptakan dari empat anasir dan dilengkapi dengan panca indera.

Tentang konsepsi manusia, keduanya juga mempunyai kesamaan pemahaman, bahwa manusia diciptakan dari empat anasir, yang sama dengan alam, yaitu, udara, api, air dan tanah. Dengan diberikan kelengkapan panca indera; penglihatan, pendengaran, penciuman, pengucapan dan perasaan, beserta empat macam nafsu yaitu amarah, lawwamah, sufiah dan muthmainnah. Hanya saja penjabaran selanjutnya tentang pembagian manusia, keduanya memiliki perbedaan yang akan dijelaskan selanjutnya.

4. Kesamaan bahwa Roh Suci turun ke dunia.

Turunnya Roh ke dunia, menurut keduanya melalui penyatuan laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai kesamaan pemahaman bahwa turunnya Roh Suci itu melalui manusia pertama, dengan Adam sebagai alat turunnya Roh, dan Hawa sebagai wadah (rahim) tempat bersemayam Roh, sebelum masuk ke alam materi.

B. Analisa Perbedaan

(58)

1. Perbedaan mengenai konsep manusia pertama di dunia ini.

(59)

di surga. Tetapi di Sumarah, terdapat konsep reinkarnasi, yaitu, bila manusia itu mati tidak sempurna, maka jasmaninya menjadi hancur (baik dibakar, atau dikubur) maka rohnya mengembara dan tersesat di kehidupan duniawi, hal ini biasanya disebabkan orang itu meninggal tetapi segala nafsu duniawiahnya belum lenyap (apakah itu disebabkan dosa, atau ketidakpuasan hidup). Roh yang mengembara itu, jika dalam pengembaraannya itu menemukan pasangan yang sedang berkasih-kasihan, maka roh itu akan masuk ke dalam rahim wanita yang sedang berkasih-kasihan itu, dan mencampurkan diri ke dalam sperma dan sel telur kedua sejoli tersebut. Dengan cara inilah ia dilahirkan kembali.

2. Perbedaan tentang manusia dengan segala kelengkapannya, baik jasmani maupun rohani.

(60)

nafsu dan suksma, kedua, alam gaib dalam sanubari, yaitu sanubari, rasa, jiwa,

ketiga, alam gaib yang lebih luas, terdiri dari: qalbu, masjidil haram, baitullah dan budi, nur, urip.

(61)

dalam lagi, sebab perbedaan istilah dalam kebatinan bukan berarti pula berbeda makna. Hal ini disebabkan oleh perbedaan wadah yang menerima wahyu, ilham, wangsit, pepadang ataupun istilahnya, maka hal ini bisa bersifat subjektif.

3. Perbedaan dalam penggunaan istilah tentang alam ketiga yang meliputi manusia.

(62)

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis pada Bab IV, dapat diambil kesimpulan mengenai konsep manusia, menurut Pangestu dan Sumarah terdapat kesamaan pemahaman dan perbedaan. Kesamaan pemahamannya antara lain;

1. Bahwa hakikat manusia adalah Roh Suci yang berasal dari Dzat Tuhan, oleh sebab demikian Roh yang terselubung jasmani ini memiliki kesamaan sifat dengan Dzat Tuhan, kekal dan tidak musnah.

2. Penciptaan Adam dan Hawa di surga, menurut keduanya, harus ditafsirkan secara alegoris mistis ( kiasan ), bukan secara jasmaniah.

3. Manusia menurut keduanya berasal dari empat anasir: udara, api, air dan tanah. 4. Roh Suci turun ke dunia melalui manusia pertama, dengan Adam sebagai alat turunnya Roh, dan Hawa sebagai wadah (rahim) tempat bersemayam Roh, sebelum masuk ke alam materi.

(63)

1. Keduanya memiliki perbedaan pemahaman mengenai konsep manusia pertama di dunia ini, satu pasangan atau banyak pasangan Adam dan Hawa.

2. Perbedaan tentang manusia dengan segala kelengkapannya, baik jasmani maupun rohani.

3. Perbedaan dalam penggunaan istilah tentang alam ketiga manusia yang meliputi manusia.

B.

Saran-saran

(64)

menguasai nafsu yang negatif dan membiarkan nafsu baik menjadi penuntun dalam hidup.

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Mutholib, Abd Ghofur Imam, dkk. Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Surabaya: Amin, 1988

Budaya Kebatinan, artikel diakses tanggal 20 Juni 2009, dari http//www.kikil.org/forum

Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, direktorat jendral nilai budaya seni dan film direktorat kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, 2006

Hadiwijono Harun, Kebatinan dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987

Hardjoprakoso Soemantri, Arsip Sarjana Budi Santosa, Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 1989

Imam Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005

Imam Suwarno, Pangestu dan Mistisime Analisa dan Pandangan, Jakarta: Percetakan Saudara, 1978

Mertowardojo Soenarto, Sasangka Jati, Jakarta: Paguyuban Ngesti Tunggal, 2006 Pangestu, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,

Penyempurnaan Berdasarkan Mandat Kongres XIV/2000, Jakarta: 2002

(66)

Rahnip, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan dalam Sorotan, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

Romdon, Tashawuf dan Aliran Kebatinan, Perbandingan Antara Aspek-Aspek Mistikisme Jawa, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1995

Ringkasan Ceramah V, Candra Jiwa Soenarto, Paguyuban Ngesti Tunggal, tanpa tahun

Sumarah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Proyek Inventaris Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanpa tahun

(67)

LAMPIRAN

Paranpara Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) R. SOENARTO MERTOWERDOJO

Referensi

Dokumen terkait

Fakta keragaman Indonesia dari sisi agama, etnis, suku dan budaya tidak bisa kita bantah dan merupakan kekayaan bangsa. Fakta ini memiliki kesamaan dengan kondisi kota Madinah

Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (QS. Berangkat dari pemahaman ayat diatas, ayat tersebut menerangkan bahwasanya para ulama berbeda pendapat mengenai

Jadi, kesimpulan dari pengakuan nasab anak menurut Hukum Islam maupun Hukum Positif dalam menetapkan asal-usul anak yang tidak diketahui nasabnya mempunyai

Dari penelitian yang dilakukan pada site penelitian di daerah Mojorejo Kecamatan Kebonsari Kabupaten Madiun Propinsi Jawa Timur, peneliti memperoleh temuan-temuan data diantaranya

(pensucian), maka sangat wajar jika Mu’tazilah benar-benar mensucikan Tuhan dari materi, karena Tuhan tidak ber- jism (bersifat immateri), tidak dibatasi oleh

Dari pandangan Syi‟ah tentang Imamah ini lahirlah aliran politik lain seperti aliran Mu‟tazilah yang gerah karena percaturan politik pada saat itu dan memiliki corak pemikiran

Kaunee (2008) menyebutkan bahwa pewarisan sifat yang terjadi dalam proses kloning, sifat-sifat yang diturunkan hanya berasal dari orang yang menjadi sumber pengambilan

Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke