• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Muasal Orang Tionghoa di Indonesia

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

C. Asal Muasal Orang Tionghoa di Indonesia

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah

salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan

istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka).

Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: "orang Tang"). Hal

ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas

sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi:

hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang

sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka

beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik

Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina

menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan

erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang

kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia

dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang

berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam

lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Menurut Onghokham, salah satu sejarawan terkemuka Indonesia,

masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen, mereka begitu

beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa

datang sebagai perorangan atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini

sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar kaum migran ini menyatu

dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini

tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin.

Sedangkan, di Kalimantan Barat dan Pesisir Timur Sumatera,

perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap

mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku

mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat lokal. Selain

berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam

agama di Indonesia, Kristen, Katolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.

Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai jauh sebelum masa

pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah bangsa

pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu berdagang.

Bangsa Cina adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak pertama berdirinya

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah

kehilangan posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa

hubungan keduanya selalu mulus.

Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga etnis Cina

terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta di masa kolonial) pada tahun 1970,

yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota. Setelah

peristiwa itu, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi.

Warga etnis Cina harus tinggal di pemukiman yang diperuntukan bagi ras

mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan

mempunyai surat izin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Cina

di kota yang berbeda. Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik

keturunan etnis Cina ini baru dicabut tahun 1905.

VOC memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga

Asing, dan golongan bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa

yang dikenal sebagai sistem apartheid di Afrika Selatan. Dan sekarang ini

dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu

kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih

Belanda membantu warga etnis Cina terangkat ke posisi ekonomi yang kuat

seperti sekarang.

Sentimen anti etnis Cina yang kuat muncul diantara para pejabat

kolonial Belanda. Hal itu sangat kentara di bawah kebijakan etnis tahun 1900

yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi. Para pejabat

kolonial Belanda secara keliru merasa bahwa mereka harus melindungi

penduduk pribumi terhadap warga etnis Cina yang licik. Namun, hal ini dan

praktek-praktek diskriminatif lainnya tidak berarti bahwa warga ernis Cina

hidup makmur dibawah sistem kolonial.

Kekayaan secara tradisional dikumpulkan melalui pemerintah di

kepulauan Indonesia. Pada abad ke-19, warga etnis Cina diberi keistimewaan

untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan

usaha rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang

harus pribumi. Perkebunan umumnya dikuasai oleh para kepala desa yang

sebagian diwariskan pemiliknya biasanya. Pedagang besar karena status

kedekatannya dengan pemerintah berarti bahwa mereka beserta agennya

dapat pengecualian dari pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada

anggota masyarakat etnis Cina. Sistem ini mendorong perkembangan

Warga etnis Cina sebagai mitra dagang Belanda terkena

Undang-undang kepemilikan dan usaha Belanda. Dari awal abad ke-20 mereka juga

terkena Undang-undang keluarga Belanda. Undang-undang ini memberi

warga etnis Cina keamanan pada transaksi dagang mereka yang mana hal ini

tidak didapat di bawah Undang-undang adat yang diterapkan oleh para

petinggi dan pengusaha Indonesia saat itu.

Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Barat dan posisi

mereka sebagai padagang menempatkan kelompok etnis Cina jauh dari

jangkauan sentimen keji dari para pejabat Belanda yang konon lebih buruk

daripada anti-etnis Cina yang dilakukan oleh pemerintah kolonial lain di

zaman itu seperti Inggris dan Prancis. Sering dikatakan bahwa negara-negara

yang baru merdeka menceminkan masa lalu penjajah terakhir mereka, yang

agaknya cukup menjelaskan sentimen anti-etnis Cina yang dilakukan oleh

para pejabat pemerintah Indonesia sekarang ini.

Kebijakan anti-etnis Cina dari penjajah membangkitkan apa yang

dinamai “gerakan etnis Cina“ di Jawa yang bertujuan mambebaskan

masyarakat etnis Cina dengan tuntutan bahwa pembatasan terhadap gerakan

anggota komunitas mereka dihapuskan, kesetaraan penuh di hadapan hukum

dan pembentukan sekolah untuk etnis Cina. Gerakan tersebut merupakan

gerakan emansipasi pertama yang dihadapi oleh Belanda dari subjek

jajahannya. Gerakan tersebut tidak bersifat anti-penjajahan. Gerakan tersebut

hanya mencari hak-hak bagi kelompok etnis Cina di Hindia Belanda dan

dimana pun, gerakan politik dan sosial cenderung untuk mempertahankan

sifat segregasi dari masyarakat penjajah yang menciptakan mereka,

menyeruakan satu kelompok etnis saja sampai tahun 1900, sebagaian besar

tuntutan warga etnis Cina dipenuhi dan sekolah Tionghoa-Belanda (HFC)

diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan sebelum sekolah

Bumiputera-Belanda (HIS) diluncurkan.

Ketika pemerintah mencabut larangan perjalanan yang membatasi

warga etnis Cina pada 1905, masyarakat usaha etnis Cina keluar dari ghetto

mereka dan semakin berkompetisi dengan kelompok wirausaha dari etnis

Jawa. Serikat Dagang Islam (1909) dibentuk sebagai tanggapan tantangan

terhadap perkembangan ini, dan berlanjut menjadi gerakan massa sosial dan

politik pertama di Hindia Belanda. Kerusuhan anti-etnis Cina yang terjadi

pada tahun 1918 di Kudus, Jawa Tengah, mendapat dukungan penuh dari

kaum borjuis Jawa dan Islam. Pemicunya adalah arak-arakan warga ernis

Cina yang menyinggung kaum Muslim, namun peristiwa tersebut terjadi

berlatar persaingan kelas menengah yang sedang terjadi.

Semua partai politik Indonesia juga eksklusif hanya mengakui warga

Indonesia. Bahkan, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh

Soekarno pada tahun 1926 mengakui warga etnis Cina hanya sebagai

pengamat. Pengecualian terhadap eksklusivitas ini adalah Perhimpunan

Hindia yang diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki

Hajar Dewantara yang menerima kelompok etnis lainnya sebagai anggota.

politik, para profesional etnis Cina yang mendukung Indonesia membentuk

partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1930.

Dalam arti yang luas, itulah situasi ketika pasukan Kekaisaran

Jepang menginvasi Indonesia pada tahun 1942 dalam Perang Dunia ke II.

Baru setelah invasi Jepang kekerasan massa anti-etnis Cina meletus untuk

kedua kalinya. Daerah yang paling terkena adalah pesisir utara Jawa dimana

sasarannya terutama rumah dan toko milik warga etnis Cina kaya. Sejarah

Indonesia sejak Perang Dunia ke II penuh dengan kekerasan debandingkan

dengan negara-negara tetangga dekatnya seperti Singapura, Malaysia,

Thailand, dan Filipina. Tetapi, selama masa revolusi menentang Belanda,

tidak semua kekerasan ditujukan kepada warga etnis Cina. Sasarannya

mencakup ras Eurosia, Maluku, dan elit tradisional. Satu-satunya abti etnis

Cina yang mencolok selama masa revolusi terjadi di Tangerang, barat Jakarta.

Tahun 1950-an menyaksikan diperkenalkan kebijakan yang

diskriminatif terhadap warga etnis Cina, termasuk “kebijakan benteng” yang

mencoba mendorong naiknya kelas usaha Indonesia, yang kemudian

melarang perdagangan dan pemukiman etnis Cina asing di pedesaan. Selama

awal tahun 1960-an, keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga

etnis Cina menjadi pion dalam permainan catur politik Perang Dingin.

Beberapa kerusuhan di kota dengan sasaran warga etnis Cina terjadi pada

masa ketidakpastian tahun 1965/1966, meskipun kebanyakan kekerasan

tersebut ditujukan kepada para tersangka anggota komunis. Serangan dan

sosialdan politik yang serius di Indonesia, yang oleh banyak ahli dari luar

negeri disalahtafsirkan sebagai pembantaian sebagai warga etnis Cina.

Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan

terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga etnis Cina yang

dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang hampir bersamaan. Di antara

aspek budaya etnis Cina yang dinyatakan ilegal adalah drama (bukan film),

perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong

warga etnis Cina untuk menggunakan nama lokal juga diluncurkan

bersamaan dengan pengekangan kebudayaan etnis Cina.

Di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, ketegangan antara warga

etnis Cina dan warga Indonesia asli tumbuh akibat jurang yang semakin lebar

antara si kaya dan si miskin di Indonesia, birokrat pemerintah, militer dan

polisi bergaji rendah. Selain itu, di saat masyarakat Indonesia semakin dekat

ke agama Islam, warga etnis Cina mencari ketenangan spritual ke agama

Kristen dan Buddha. Peristiwa kekerasan selama pemerintahan Orde Baru

bersifat rasial dan agama.

Onghokham juga mengatakan bahwa kerusuhan anti-etnis Cina

baru-baru ini di Jakarta terjadi akibat kecemburuan dan sentiment ras. Masyarakat

etnis Cina menunjukan kreativitas mereka dan mencapai kebehasilan

ekonomi, meskipun posisi mereka di masyarakat kurang populer. Fakta

keunggulan di bidang ekonomi ini adalah menjamurnya toko-toko milik

Dokumen terkait