• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif

BAB II PENGERTIAN DI LUAR PERKAWINAN MENURUT HUKUM

3. Asal Usul Anak di Luar Perkawinan dalam Perspektif Hukum Positif

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah mengatur mengenai asal usul anak. Di mana anak adalah hasil dari adanya hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan. Jika anak tersebut lahir dari perkawinan yang sah menurut hukum Islam, maka anak tersebut juga menjadi anak sah. Demikian juga sebaliknya, apabila anak tersebut lahir dari perkawinan yang tidak sah, maka anak tersebut

16 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2, Penerj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h., 718.

17 Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 39.

18 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al- Al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fiqr, 1986), jilid 7, h., 678.

juga berkedudukan sebagai anak tidak sah, sehingga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan dicatatkan di instansi pemerintah yang menangani bidang tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Mengenai kedudukan anak, Undang-Undang hanya mengenal dua golongan anak yakni:

a. Anak sah dari kedua orang tuanya.

b. Anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga si ibu yang melahirkan.

Jika merujuk pada pengertian anak sah yang diatur dalam pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang beisi ketentuan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan, bahwa anak yang sah adalah:19

a. Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan.

b. Anak yang kelahirannya harus dari hubungan perkawinan yang sah.

c. Diketahui dengan jelas bapak dan ibunya yang telah resmi secara hukum terikat dalam suatu perkawinan yang sah.

Pasal 42 di atas jika diperhatikan didalamnya memberikan toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi selama bayi itu lahir pada saat ibunya dalam perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. Secara eksplisit, Undang-Undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ditegaskan dan dirinci apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

19 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading, 1975), h., 183.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah bidang hukum perkawinan di Indonesia, dalam pasal 99 KHI dijelaskan bahwa anak yang sah adalah:20

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.

b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Pasal 100 berbunyi:

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 101 berbunyi:

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Muhammad Bagir mempunyai pendapat bahwa kalimat “dalam atau akibat perkawinan yang sah” dalam pasal 99 KHI dapat menimbulkan kerancuan penafsiran. Kalimat tersebut seolah-olah mencakup anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah meskipun sebelumnya telah diketahui secara pasti, bahwa anak tersebut telah tumbuh dalam rahim ibunya sebelum ibu melangsungkan perkawinan dengan suaminya. Selanjutnya, Muhammad Bagir mengatakan bahwa pemahaman seperti itu jelas bertentangan dengan kesepakatan para ulama dari semua madzhab, bahwa apabila telah diyakini anak tersebut merupakan hasil perzinaan, maka ia tidak boleh dihubungkan nasabnya kecuali dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan sama sekali tidak dengan ayahnya, walaupun ada kemungkinan bahwa itu adalah ayah biologisnya. Oleh karena itu, pasal 99 KHI mengandung kontradiksi dengan pasal 100 KHI yang

20 Zaenal Arifin dan Anshori, Fiqh Munakahat, (Yogyakarta: CV Jaya Star Nine, 2019), h., 124.

menyebutkan: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab ibunya dan keluarga ibunya.21

Pasal 99 KHI di atas juga mengandung pembaruan hukum dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, yaitu proses ovulasi yang direkayasa di luar rahim, melalui tabung yang disiapkan untuk itu, kemudian dimasukkan kembali ke dalam rahim istri, dan dilahirkan juga oleh istri tersebut. Jadi tetap dibatasi antara suami dan istri yang terikat oleh perkawinan yang sah.22

Adapun di dalam Undang-Undang Perkawinan bab XII telah diatur tentang pembuktian asal usul anak dalam pasal 55 yakni:

(1) Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

(3) Atas dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut dalam ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Asal-usul anak ini dapat dibuktikan antara lain dengan akta kelahiran. Bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah, untuk mendapatkan akta kelahiran hanya tinggal mengurus sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang ditentukan, sehingga anak yang lahir dari perkawinan yang sah mendapatkan perlindungan yang sempurna berkaitan dengan hifz an-Nasli (pemeliharaan keturunan) dengan segala akibat hukumnya. Namun bagi anak yang dilahirkan tidak dari perkawinan yang sah, maka untuk mengetahui asal-usul anak harus

21 Neng Dzubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) cet.2, h., 310.

22 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), h,. 178-179.

melalu penetapan Pengadilan. Pengadilan hanya mengabulkan permohonan asal-usul anak jika permohonan tersebut terbukti berdasarkan dan beralasan hukum. Maka dari itu, tidak semua permohonan asal-usul anak dapat dikabulkan oleh pengadilan. Apabila permohonan tersebut tidak berdasarkan dan beralasan hukum, dengan demikan permohonan tersebut dapat ditolak.23

Dalam pemeriksaan perkara penetapan asal-usul anak, terdapat syarat-syarat yang harus dibuktikan dalam permohonannya. Apabila syarat-syarat-syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh hukum Islam sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Tetapi jika terdapat satu syarat yang tidak terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan penetapan asal-usul anak yang di ajukan tersebut ditolak. Meskipun dalam literatur fiqh tidak terdapat secara khusus pembahasan tentang pengakuan dan penetapan asal-usul anak secara lengkap. Akan tetapi, secara substansial dapat ditemukan dalam bab yang membahas tentang hukum-hukum kekeluargaan, khususnya bab tentang

da’waan nasab. Hampir semua Kitab membahas tentang perlunya perlindungan

terhadap anak terlantar, anak di luar perkawinan, anak yatim piatu, dan sebangsanya.

Oleh karena masalah ini belum terbiasa dalam kehidupan masyarakat, maka hakim diharapkan dapat menciptakan putusan yang berbobot dengan pertimbangan yang cukup. Lembaga pengakuan anak ini dapat tempat dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia dan dihargai sebagaimana mestinya. Hakim dalam menetapkan asal usul anak, khususnya pengakuan anak, perlu memerhatikan ijtihad tathliqy dengan metodologi muqaranah li mazahib wa

talfieq.24

Perkara penetapan asal-usul anak termasuk perkara voluntair. Oleh karena itu, pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan perkara voluntair yang lain dengan produk penetapan, bukan putusan. Perkara penetapan asal-usul anak

23 Asrofi, Penetapan Asal-Usul Anak dan Akibat Hukumnya dalam Hukum Positif, (Ponorogo: Artikel Pengadilan, 2019), h., 1.

24 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2014), h., 101-102.

dapat menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika perkara asal-usul anak diajukan dengan cara

contentious, maka pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang

lengkap (istbat nasab bil bayyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim berlaku dalam pemeriksaan perkara voluntair atau prosedur penatapan asal-usul anak dengan pengakuan (istbat nasab bil ikrar).25

Biasanya dalam perkara yang bersifat voluntair yang mengajukan adalah seoarang laki-laki sebagai Pemohon I yang mengaku dirinya memiliki hubungan nasab dengan anak yang diakuinya, dan seorang perempuan sebagai Pemohon II yang mengaku ibu kandungnya. Pada pokoknya di dalam permohonan memuat alasan-alasan yang di antara mengenai:26

a. Hubungan hukum antara Pemohon I dan Pemohon II (biasanya hubungan antara dengan P.I dan P.II sebagai suami istri namun perkawinan mereka tidak dapat dilegalkan karena syarat atau rukun perkawinannya tidak terpenuhu)

b. Adanya pengakuan Pemohon I dan Pemohon II terhadap anak yang diakuinya;

c. Pemohon I menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak dari hasil hubungan perzinaan; inklusif adanya sangkalan dari Pemohon II bahwa anak tersebut hasil dari sewa rahim;

d. Anak yang diakui tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah; e. Adanya motivasi para pemohon;

f. Tidak adanya sangkalan atau pengakuan dari pihak lain.

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Artinya walaupun ketentuan hukum yang mengatur asal-usul anak ini

25 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Kencana: Jakarta, 2014), h., 101.

26 Yayan Liyana, Penetapan Asal-Usul Anak: Sebuah Alternatif Dalam Perlindungan

tidak banyak, namun dalam pemeriksaan Hakim wajib memeriksa dengan teliti, khususnya pada tahap pembuktian. Karena agar tidak terjadi penyelundupan hukum, seperti anak hasil perzinaan atau anak hasil poligami illegal dimohonkan untuk disahkan.27

Peraturan yang mengatur tentang penetapan asal usul anak, antara lain:28 a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2): Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (amandemen kedua).

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 sebagaimana telah diubah dan ditambahkan Pasal 43 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

d. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 55:

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut dalam ayat (2), maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang

27 Yayan Liyana, Penetapan Asal-Usul Anak: Sebuah Alternatif Dalam Perlindungan

Anak, (Jakarta: Artikel Dirjen Badilag. 2013), h., 7-8. 28 Ibid., h., 9.

bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

e. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya pada huruf (a) butir 20 tentang kewenangan Pengadilan Agama di bidang Perkawinan yang menetapkan perkara penetepan asal-usul anak, yang mana ketentuan tersebut tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

f. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 272.

Dokumen terkait